Jika mendengar atau membaca kata-kata ‘psikologi sosial’ mungkin readers akan berpikir bahwa ini adalah ilmu yang menggabungkan antara ilmu psikologi dengan ilmu sosial, atau mungkin readers akan berpikir bahwa ini merupakan cabang ilmu psikologi yang berfokus pada interaksi sosial.
Kedua pemahaman readers tersebut tidaklah salah, namun sebenarnya apa sih psikologi sosial itu? Kemudian, apa saja yang menjadi pembahasan pokok dalam psikologi sosial? Dan apakah benar psikologi sosial membahas mengenai interaksi manusia sebagai makhluk sosial? Untuk menemukan jawaban yang readers cari, yuk baca terus artikel ini!
Daftar Isi
- 1 Definisi Psikologi Sosial
- 2 Sejarah Psikologi Sosial
- 3 Batasan dan Ruang Lingkup Psikologi Sosial
- 4 Perbedaan dan Persamaan Psikologi Sosial dengan Disiplin Ilmu Lain
- 5 Manfaat Psikologi Sosial
- 6 Lima Perspektif Utama Psikologi Sosial
- 7 Persepsi Sosial: Memahami Orang lain
- 8 Konformitas
- 9 Perilaku Agresi
- 10 Prasangka
- 11 Pemahaman Akhir
Definisi Psikologi Sosial
Secara umum, psikologi sosial merupakan salah satu cabang dalam psikologi yang mempelajari tingkah laku serta berlangsungnya proses tersebut dalam lingkungan sosial (Nurrachman, 2008).
Baron dan Branscombe (2012) mendefinisikan psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari bagaimana pikiran, perasaan, serta tindakan individu dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Lebih lanjut, Myers (2010) menjelaskan bahwa psikologi sosial adalah studi ilmiah mengenai bagaimana seseorang berpikir, saling memengaruhi, dan berhubungan satu sama lain.
Hampir sama dengan Myers, definisi psikologi sosial menurut Aronson, Willson, dan Sommers (2019) adalah studi ilmiah mengenai bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku individu dipengaruhi oleh kehadiran nyata atau yang dibayangkan oleh orang lain.
Rahman (2018) mendefinisikan psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari proses mental dan perilaku manusia dalam konteks sosial.
Sementara itu, menurut Kenrick (2015), psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari bagaimana individu berpikir, merasakan, dan berperilaku yang dipengaruhi oleh sesamanya.
Dari kelima tokoh d iatas, maka readers dapat menarik kesimpulan bahwa psikologi sosial merupakan ilmu yang fokus utamanya adalah mengenai cara dari lingkungan sosial mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan, dalam hal ini lingkungan sosial yang dimaksud adalah orang-orang di sekitar kita.
Baca juga: Psikologi Pendidikan
Sejarah Psikologi Sosial
Sebagai ilmu yang mempelajari mengenai terbentuknya perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, psikologi sosial ternyata sudah ada dari mulai abad ke-19. Untuk mengetahui sejarahnya lebih lanjut, berikut ini adalah penjelasannya :
Tahun-Tahun Awal Psikologi Sosial
Sejarah psikologi sosial ternyata tidak lepas dari publikasi serta masyarakat ilmiah. Diawali pada pertengahan abad ke-19, ilmuwan jerman menyebut folk psychologist untuk konsep psikologi sosial.
Selanjutnya tahun 1960, Lazarus dan Seinthal yang keduanya adalah volkerpsychologie menulis sebuah jurnal yang mendalami tentang masalah teoritis dan faktual. Menariknya, jika dilihat dari tahun lahirnya – maka bisa jadi psikologi sosial telah lebih dahulu lahir dari ilmu psikologi sendiri, yaitu pada tahun 1879 saat laboratorium psikologi Wundt didirikan.
Pada waktu itu, naskah-naskah psikologi sosial tidak terlalu dikenal oleh masyarakat. Namun, tulisan yang paling sering dikatakatan sebagai awal mula dari psikologi sosial adalah tulisan “kembar” yang ditulis oleh dua orang berbeda.
Tulisan tersebut dinamakan kembar karena memiliki judul yang sama serta terbit pada tahun yang sama, yaitu tahun 1908. Penulis tersebut adalah McDougall dan Ross. Mereka berdua sama-sama menulis naskah mengenai psikologi sosial dengan cara pandang yang berbeda. McDougal berfokus bahwa tingkah laku sosial adalah wujud dari insting. Sementara itu, Ross menjelaskan tingkah laku sosial dalam lingkup sosiologi.
Era Perang Dunia II Hingga Tahun 1960
Tulisan lainnya yang terkenal adalah tulisan milik Floyd Allport di tahun 1924. Dalam tulisanya, Allport mengutarakan orientasi yang lebih modern. Pandangan Allport mengenai tingkah laku sosial yang berakar dari berbagai faktor, seperti kehadiran orang lain hingga metode eksperimental ternyata dapat dibuktikan.
Memasuki tahun 1960, ada banyak tokoh-tokoh Perang Dunia II yang melakukan penelitian berdasarkan kejadian Perang Dunia II. Kurt Lewin adalah salah satu tokoh psikologi sosial yang muncul pada masa ini. Kurt Lewin dikenal dengan rumusan teoritisnya mengenai tingkah laku.
Dalam teorinya, Lewin menjabarkan bahwa tingkah laku (B : behavior) adalah hasil dari individu (P) dan juga lingkungan (E : environment). Lewin melakukan eksperimen mengenai pengaruh gaya kepemimpinan yang terwujud dalam otoritarian, demokratis, dan laissezfaire.
Tetapi, pada tahun 1960-1970 psikologi sosial dianggap terlalu postivistik, yaitu penerimaan nonkritis sebagai suatu ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan kebenaran tunggal tanpa adanya gugatan. Untuk itu, hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan distoris dan salah arah dalam menjelaskan berbagai hal mengenai psikologi sosial.
Perkembangan Psikologi Sosial di Indonesia
Kemunculan psikologi sosial di Indonesia dimulai dari tahun 1967. Pada waktu itu, Universitas Indonesia memunculkan psikologi sosial melalui Fakultas Psikologi. Di tahun yang sama juga, hal tersebut menghasilkan para peneliti untuk bidang psikologi sosial di Indonesia.
Para peneliti tersebut melakukan analisis terhadap kondisi di Indonesia. Misalnya, pada akhir tahun 1970-an mahasiswa menjadi fokus dari pemerintah untuk penelitian mengenai dinamika mahasiswa.
Hal tersebut menghasilkan disertasi mengenai dinamika mahasiswa karya Sarlito Wirawan Sarwono. Selanjutnya, tahun 1978 muncul penelitian mengenai stereotip beberapa etnis di Indonesia karya Suwarsih Warnaen yang sempat membuat masyarakat menjadi gempar.
Pengaruh dari banyaknya budaya dalam psikologi sosial di Indonesia dapat dikatakan memiliki pandangan universal terhadap tingkah laku. Sebagai contoh, teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, teori belajar milik Pavlov, Skinner, dan Bandura seolah menunjukan kesamaan pola universalitas psikologi. Selanjutnya, psikologi sosial juga memiliki gejala yang sama, tetapi dalam penelitian mengenai psikologi sosial tidak menunjukkan adanya pola yang universal.
Contohnya adalah gugatan mengenai universalitas teori psikologi yang merupakan temuan Malinowski, seorang antropolog yang meneliti peranan budaya di kepulauan Trobriand, Samudera Pasifik.
Ketika berada di pulau tersebut, Malinowski memperhatikan hubungan antara anak lelaki dengan ayahnya. Ketika melihat hal tersebut, ia tidak memiliki pemahaman yang sama dengan Freud. Seharusnya, anak laki-laki tersebut menunjukkan gejala dari oedipus complex, tapi pada kenyataannya tidak.
Selain budaya, faktor lain yang juga memengaruhi adalah lingkungan hidup. Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai negara, faktor kesejahteraan dan kemiskian adalah faktor utama yang menyimpulkan bahwa terdapat suatu pola tertentu.
Negara yang miskin umumnya terdapat di wilayah yang beriklim tropis, sementara negara yang maju berada di wilayah dengan iklim sedang. Namun, terdapat catatan yang mengatakan bahwa beberapa negara maju berada di wilayah dengan iklim tropis. Untuk itu, sebagai bentuk adaptasi maka akan terbentuk karakter dan pola pikir yang juga berbeda.
Peran dari faktor budaya dan keanekaragaman manusia terhadap tingkah laku serta pemikiran sosial juga muncul pada berbagai macam kasus di dunia. Untuk itu, psikologi sosial perlu melihat kebudayaan yang berbeda dari masing-masing kelompok sosial dalam menerapkan atau memperlakukan suatu teori dasar, terlebih jika teori tersebut ingin diterapkan di Indonesia yang penuh dengan keanekaragaman budaya (Meinarno dan Sarwono, 2018).
Batasan dan Ruang Lingkup Psikologi Sosial
Setelah mengetahui definisi dan sejarah dari psikologi sosial, Meinarno dan Sarwono (2018) menjelaskan lima ruang lingkup psikologi sosial yang akan mempermudah pemahaman kita mengenai psikologi sosial, yaitu :
- Psikologi sosial mempelajari perilaku manusia dan bukan perilaku hewan, karena hewan tidak mempunyai interaksi seperti yang ada pada manusia (seperti : bahasa, norma, dll).
- Perilaku tersebut harus dapat diamati dan dapat diukur, bisa berupa aktivitas motorik yang besar (misalnya : melompat), bisa juga aktivitas motorik yang kecil (misalnya : mengedipkan mata, berbicara, atau menulis).
- Karena objek dari psikologi sosial dapat diamati dan diukur, maka psikologi sosial dapat diverifikasi oleh siapa saja, walaupun maknanya tergantung pada perspektif teori, latar belakang budaya, dan interpretasi pribadi.
- Psikologi sosial tidak mempelajari perilaku yang tidak kasat mata dan tidak terukur, seperti : beriman, kejujuran, culas, berijwa besar, berideologi pancasila, dll. Namun, hal-hal yang tidak dapat terlihat oleh mata, seperti : pikiran, perasaan, sikap, niat, minat, tujuan, kepercayaan, harapan, dll harus tetap terukur dan disimpulkan dari perilaku yang dapat dilihat oleh mata.
- Dengan demikian, psikologi sosial menghubungkan aspek-aspek psikologi sosial dari perilaku sosial dengan proses dan struktur kognitif yang lebih mendasar.
Baca juga: Teori Kepribadian Erik H. Erikson
Perbedaan dan Persamaan Psikologi Sosial dengan Disiplin Ilmu Lain
Psikologi sosial seringkali disamakan dengan disiplin ilmu yang lain, misalnya saja dengan sosiologi atau dengan cabang-cabang ilmu psikologi lainnya. Di bawah ini adalah beberapa perbedaan serta persamaan psikologi sosial dengan disiplin ilmu lainnya, yaitu (Bashori dan Hidayat, 2016) :
1. Psikologi Sosial dan Sosiologi
Ilmu sosiologi dan psikologi sosial membahas banyak isu yang sama, seperti : kekerasan, prasangka, perbedaan budaya, perkawinan, dan terorisme. Walaupun demikian, terdapat perbedaan antara kedua disiplin ilmu ini.
Ilmu sosiologi lebih berfokus pada tingkat kelompok (group level), sementara psikologi sosial lebih berfokus pada tingkat individu (individual level). Sebagai contoh, sosiolog mungkin saja melacak sikap rasis dari masyarakat kelas bawah Indonesia atau kelompok etnis tertentu selama masih berada pada level kelompok.
Lain halnya dengan psikolog sosial yang akan lebih tertarik untuk meneliti beberapa faktor spesifik penyebab individu memiliki kecenderungan berperilaku rasis yang lebih tinggi atau lebih rendah terhadap anggota kelompok tertentu.
Selain itu, psikolog sosial lebih sering melakukan eksperimen dengan cara memanipulasi beberapa variabel dan menentukan efek dari manipuasi dengan menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif. Sementara itu, sosiolog lebih melihat realitas sosial dalam kondisi yang sebenarnya.
Walaupun demikian, kedua ilmu tersebut dapat menghasilkan pandangan yang lebih komprehensif serta memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai isu-isu sosial yang penting di dalam masyarakat.
Misalnya, penelitian mengenai penyebab terorisme yang dikaji dari faktor sosial (sistem sosial atau norma sosial yang dapat mempengaruhi sikap maupun perilaku teror) dan juga faktor langsung yang dapat berupa balas dendam terhadap ketidakadilan penguasa atau kelompok sosial tertentu.
2. Psikologi Sosial dan Psikologi Klinis
Psikologi klinis merupakan ilmu psikologi yang membahas serta mempelajari mengenai kesulitan-kesulitan emosional pada manusia, tidak terbatas pada abnormal atau subnormal. Dalam mengamati perilaku, psikolog klinis berfokus pada gangguan-gangguan kejiwaan yang dialami oleh individu.
Untuk menangani hal tersebut, psikolog klinis melakukan assessment, penelitian, dan terapi untuk masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri, maupun perilaku abnormal dari seseorang.
Psikolog sosial tidak melihat individu dari gangguan psikologis, melainkan dari cara mereka berpikir, merasakan sesuatu, berperilaku, serta memengaruhi satu sama lain. Meskipun kedua ilmu tersebut berbeda, tetapi banyak hal menarik mengenai persamaan pada kedua ilmu tersebut.
Contohnya, kedua ilmu tersebut dapat menjelaskan bagaimana individu mengatasi kecemasan atau tekanan dalam situasi sosial, bagaimana individu yang tertekan dan yang tidak tertekan bertindak kepada orang lain, atau bagaimana pengaruh bullying atau kekerasan terhadap kesehatan dan harga diri korban.
3. Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian
Psikologi kepribadian adalah ilmu yang menjelaskan pola pikir, perasaan, dan perilaku individu yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Psikologi kepribadian menekankan pada konsep bahwa setiap individu adalah unik dan berbeda. Psikologi kepribadian melihat tingkah laku sebagai sesuatu yang mengarahkan atau menentukan perilaku individu.
Antara psikologi kepribadian dan psikologi sosial memiliki kesamaan, karena kedua ilmu tersebut berfokus pada pikiran, perasaan, serta perilaku individu. Namun, psikologi kepribadian berusaha memahami perbedaan individu yang relatif menetap dan stabil di berbagai situasi. Berbeda dengan psikologi kepribadian, psikologi sosial berfokus pada faktor sosial yang memengaruhi sebagian besar kehidupan individu.
Meskipun terdapat perbedaan, namun kedua ilmu tersebut mempunyai kesamaan yang sangat erat. Bahkan di berbagai negara terdapat komunitas psikologi kepribadian dan psikologi sosial yang membahas mengenai topik-topik kajian sosial tertentu, melakukan penelitian bersama, menghadiri konferensi yang sama, hingga menerbitkan hasil riset pada jurnal yang sama.
Manfaat Psikologi Sosial
Manusia merupakan mahkluk sosial, yaitu mustahil untuk hidup tanpa berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Dalam hal ini, psikologi sosial memiliki peranan yang besar dan diharapkan tidak hanya berhenti pada teori semata.
Dengan hadinya kajian mengenai dinamika kejiwaan manusia dalam kehidupan sosial, praktisi psikologi sosial diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat terhadap kualitas kehidupan manusia sebagai berikut (Bashori dan Hidayat, 2016) :
- Memberikan gambaran yang lebih ilmiah kepada masyarakat mengenai kiat-kiat dalam menjalin kehidupan ideal dalam bermasyarakat dan berbangsa berdasarkan hasil dari penelitian ilmiah dalam psikologi sosial.
- Dapat melakukan deteksi dini dan mengupayakan langkah-langkah pencegahan yang lebih akurat terhadap kemungkinan terjadinya konflik di tengah masyarakat.
- Memberikan solusi yang tepat saat terdapat konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan adanya pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep yang ada pada psikologi sosial dapat membantu pihak-pihak terkait dalam mengetahui karakter suatu komunitas lebih akurat.
- Sebagai pedoman dalam mengelola perbedaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Setiap perbedaan-perbedaan yang ada pada masyarakat seharusnya dapat digunakan untuk mencapai tujuan bersama dan bukan sebagai pemicu perselisihan antarkelompok.
- Mengoptimalkan potensi sosial suatu komunitas untuk memajukan bangsa, melalui program-program pemberdayaan masyarakat yang lebih tepat guna karena para pemangku kepentingan telah mempertimbangkan semua faktor internal dan eksternal yang saling terkait.
Lima Perspektif Utama Psikologi Sosial
Teori-teori dalam psikologi sosial dipengaruhi oleh perkembangan intelektual, mulai dari kelahiran sosiologi hingga perkembangan teori evolusi biologi, hingga munculnya kecerdasan buatan.
Mewakili perkembangan psikologi sosial, terdapat lima perspektif utama yang mendominasi, yaitu : sosial budaya, evolusioner, pembelajaran sosial, fenomenologi, dan kognitif sosial (Kenrick, Neuberg, dan Cialdini, 2015).
Perspektif Sosial Budaya
Pada tahun 1908, terdapat dua teks buku pertama yang terbit dengan judul : Psikologi Sosial. Salah satu buku tersebut ditulis oleh seorang sosiolog bernama Edward Alsworth Ross. Ross berpendapat bahwa perilaku sosial tidak hanya ada dalam diri individu, tetapi juga berada dalam kelompok sosial.
Ross menjelaskan bahwa orang-orang dipengaruhi oleh arus sosial, seperti penjatuhan hukuman mati tanpa adanya keadilan yang terjadi dalam kerumunan orang banyak. Dia melihat kegilaan dan juga mode sebagai produk dari pikiran massa, seperti : kebulatan pendapat, minat, atau perbuatan tidak rasional antar individu yang saling berkomunikasi akan memengaruhi orang-orang tersebut.
Sama seperti Ross, ahli teori berbasis sosiologi lainnya menekankan bahwa kelompok sosial yang lebih besar (misalnya : partai politik dan kelompok etnis) memiliki kemungkinan yang juga lebih besar untuk mengembangkan pandangan bahwa prasangka, preferensi, serta keyakinan politik seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : kebangsaan, kelas sosial, dan tren historis saat ini.
Perspektif Evolusi
Seorang tokoh psikolog Inggris bernama McDougall awalnya berfokus pada biologi tertarik pada ‘teori adaptasi’ dalam buku psikologi sosial pada tahun 1908. McDougall memahami perspektif evolusi sebagai pandangan yang menjelaskan bahwa perilaku sosial manusia berasal dari kemampuan fisik serta psikologis yang membantu manusia untuk bertahan hidup.
Gagasan utama dari perspektif evolusi adalah seleksi alam, yaitu gagasan yang menjelaskan bahwa hewan yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik dapat bertahan hidup serta bereproduksi untuk menghasilkan keturunan.
Dalam hal ini, misalnya lumba-lumba adalah mamalia yang berarti sama dengan sapi, tetapi kaki sapi telah berevolusi menjadi sirip karena bentuk tersebut lebih cocok untuk kehidupah di bawah air. Selain itu, Darwin juga berasumsi bahwa jika tubuh hewan dirancang oleh seleksi alam, maka hal yang sama juga berlaku untuk otak hewan.
Meskipun sebagian ilmuwan yang meneliti mengenai perilaku menerima gagasan bahwa otak hewan dirancang oleh seleksi alam, namun saran itu masih menimbulkan sedikit kontroversi ketika hewan tersebut adalah spesies primata yang disebut Homo Sapiens (manusia).
Perspektif Pembelajaran Sosial
Selama beberapa dekade setelah tahun 1908, perspektif sosial budaya dan perspektif evolusi telah menurun popularistasnya. Pada masa itu, banyak psikolog yang mengadopsi perspektif pembelajaran sosial yang memandang perilaku sosial didorong oleh pengalaman pribadi masing-masing individu dengan mendapatkan penguatan atau hukuman.
Pembelajaran sosial dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, untuk pembelajaran sosial secara langsung : seorang bernama Sandy Hill Pittman yang pada akhirnya dapat mendaki Gunung Everest karena sebelumnya didorong oleh ayahnya untuk bermain ski dan mendaki gunung.
Sementara itu, pembelajaran sosial secara tidak langsung dapat melalui proses observasi atau mengamati orang lain dan meniru perilaku orang tersebut. Proses pembelajaran sosial ini juga telah ditunjukkan dalam serangkaian percobaan yang dilakukan Albert Bandura. Melalui percobaan tersebut ditunjukkan bahwa anak-anak akan belajar meniru perilaku agresif setelah melihat anak-anak lain atau orang dewasa berperilaku tersebut.
Perspektif pembelajaran sosial mirip dengan perspektif sosial budaya, di mana individu mencari penyebab perilaku sosial di lingkungan sosial. Namun, kedua perspektif ini sedikit berbeda dalam fokus utamanya.
Para ahli teori pembelajaran sosial lebih berfokus pada pengalaman unik individu dalam keluarga, sekolah, atau kelompok teman sebaya, serta secara umum berasumsi bahwa kebiasaan yang dipelajari sejak awal kehidupan mungkin akan sulit untuk dihilangkan.
Lain halnya dengan perspektif sosial budaya yang berfokus pada kelompok sosial yang lebih besar, seperti : perkumpulan mahasiswa, perkumpulan anggota kelas. Selain itu, perspektif sosial budaya juga bersandar pada norma-norma yang dapat berubah dengan cepat, seperti : gaya berpakaian.
Perspektif Fenomenologi
Terlepas dari ketiga perspektif sebelumnya : perspektif sosial budaya, evolusioner, dan pembelajaran sosial – ketiga berfokus pada lingkungan objektif, yaitu peristiwa nyata di dunia yang memicu naluri hingga kebiasaan yang dipelajari.
Selama tahun 1930-an hingga 1940-an, Kurt Lewin membawa perspektif yang berbeda ke psikologi sosial. Perspektif ini disebut fenomenologi, yaitu perspektif yang berfokus pada sudut pandang unik yang ada pada masing-masing individu.
Dari perspektif ini, perilaku sosial didorong interpretasi subjektif dari masing-masing orang mengenai peristiwa yang terjadi di dunia sosial. Misalnya, apakah individu memutuskan untuk bekerja sebagai presiden atau tidak akan tergantung pada : (1) Pandangan subjektif mengenai peluang untuk jabatan tersebut, dan (2) Evaluasi subjektif mengenai manfaat menjadi presiden.
Lewin lebih menekankan pada tujuan dan juga interaksi antara individu dengan situasi yang memiliki dampak besar pada bidang psikologi sosial. Perspektif yang mengutamakan interpretasi subjektif ini memiliki arti bahwa individu dapat membangun atau menciptakan sebagian besar pengalaman serta kecenderungan untuk bertindak.
Perspektif Kognitif Sosial
Penekanan perspektif fenomenologi pada pengalaman batin mengarah secara alami ke hubungan yang erat antara psikologi sosial dan psikologi kognitif yang meneliti proses mental dalam memperhatikan, menafsirkan, menilai, dan mengingat peristiwa di lingkungan.
Selama tahun 1970-an hingga 1980-an, semakin banyak psikolog sosial yang mengadopsi perspektif kognitif sosial, yaitu berfokus pada proses-proses yang melibatkan individu untuk memperhatikan peristiwa-peristiwa sosial, di mana nantinya akan membentuk suatu interpretasi dan akan disimpan dalam memori.
Misalnya, pidato Martin Luther King yang berjudul “I have a dream” akan menimbulkan reaksi yang beragam. Ada orang-orang yang merasa tersentuh, semakin semangat bekerja untuk mencapai impiannya, tetapi ada juga yang merasa terganggu dengan pidato tersebut (ini berarti pesan King dalam pidato tersebut memiliki dampak yang kecil bagi orang tersebut).
Pentingnya perspektif kognitif sosial dalam psikologi sosial modern akan memberikan penjelasan mengenai perbedaan perilaku sosial pada masing-masing individu yang didasari pada perbedaan interpretasi terhadap peristiwa sosial di sekitarnya.
Baca juga: Psikologi Keluarga
Persepsi Sosial: Memahami Orang lain
Definisi
Menurut Baron dan Branscombe (2012) menjelaskan bahwa persepsi sosial adalah proses untuk mengetahui dan memahami orang lain.
Sementara itu, Rahman (2018) menyatakan bahwa persepsi sosial adalah suatu usaha untuk memahami orang lain dan diri kita sendiri.
Melengkapi kedua definisi di atas, Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan persepsi sosial sebagai usaha-usaha seseorang untuk memahami orang lain, dalam kerangka memperoleh gambaran menyeluruh tentang intensi, kepribadian, dan motif-motif yang melingkupi diri orang lain tersebut.
Berdasarkan ketiga kesimpulan tersebut, maka persepsi sosial adalah proses atau serangkaian usaha-usaha yang dilakukan individu untuk memahami orang lain secara menyeluruh.
Faktor-faktor persepsi sosial
Terdapat beberapa faktor persepsi sosial utama yang memberikan pengaruh untuk pembentukan persepsi sosial, yaitu (Robin dalam Hanurawan, 2010) :
Faktor penerima
Jika seseorang mengamati orang lain dan mencoba untuk memahami orang tersebut, maka hal tersebut adalah suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seorang pengamat. Karakteristik kepribadian utama tersebut adalah konsep diri, nilai dan sikap, pengalaman di masa lampau, dan harapan-harapan yang terdapat dalam diri.
Seseorang dengan konsep diri yang tinggi dan selalu merasa diri secara mental dalam keadaan sehat, cenderung melihat orang lain dari sudut tinjauan yang bersifat positif dan optimistik, dibandingkan dengan seseorang yang memiliki konsep diri rendah.
2. Faktor Situasi
Pengaruh faktor situasi dalam proses persepsi sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : seleksi, kesamaan, dan organisasi. Secara alamiah, seseorang akan lebih memusatkan perhatian pada objek-objek yang dianggap lebih disukai, dibandingkan dengan objek-objek yang tidak disukai. Proses tersebut dinamakan dengan seleksi informasi mengenai keberadaan objek, baik secara fisik maupun sosial.
Unsur kesamaan merupakan kecenderungan dalam proses persepsi sosial untuk mengklasifikasikan orang-orang pada objek-objek fisik ke dalam skema struktural yang ada dalam dirinya.
Unsur ketiga adalah unsur organisasi perseptual, yaitu kecenderungan individu untuk memahami orang lain sebagai objek persepsi ke dalam sisitem yang sifatnya logis, teratur, dan runtut.
Dalam hubungan sosial, individu membutuhkan adanya interpretasi terhadap faktor-faktor sosial yang ditemui pada ruang serta waktu tertentu. Individu akan mendefinisikan situasi dengan suatu konsekuensi, baik untuk dirinya maupun diri orang lain. Misalnya, seseorang cenderung menjadi agresif jika ia yakin bahwa dirinya minum-minuman beralkohol, walaupun kenyataannya dia hanya minum air stimulan, dan berlaku hal sebaliknya.
3. Faktor objek
Dalam proses persepsi sosial, objek merupakan orang lain. Beberapa ciri yang terdapat dalam objek sangat memungkinkan untuk dapat memberi pengaruh yang menentukan terhadap pembentukan persepsi sosial.
Ciri pertama yang menimbulkan kesan pada diri penerima adalah keunikan suatu objek. Dalam hal tersebut, ciri-ciri unik yang ada pada diri seseorang adalah salah satu hal penting yang menyebabkan orang lain merasa tertarik untuk memusatkan perhatiannya.
Ciri kedua adalah kekontrasan, yaitu orang akan lebih mudah mempersepsi orang lain jika orang tersebut mempunyai karateristik yang berbeda jika dibandingkan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.
Ciri ketiga adalah ukuran serta intensitas yang ada dalam diri objek. Dalam hal tersebut, objek dengan ukuran fisik tertentu, misalnya ukuran wajah yang kecil dan cantik akan lebih mudah menimbulkan kesan untuk orang lain.
Ciri keempat adalah kedekatan objek dengan latar belakang sosial orang lain. orang-orang dalam suatu departemen tertentu akan cenderung untuk diklasifikasikan dengan ciri-ciri yang sama karena hubungan yang dekat.
Misalnya, orang-orang yang bekerja sebagai dosen sastra indonesia diklasifikasikan sebagai orang yang puitis dan analitis, sama seperti mata kuliah yang diajarkan berkaitan dengan puisi serta membutuhkan analisa yang baik untuk melakukan interpretasi.
Aspek-aspek Persepsi Sosial
Sebagai objek dari persepsi sosial terdapat banyak aspek dari manusia yang bisa dipersepsi, aspek-aspek tersebut adalah (Rahman, 2019) :
- Aspek fisik terkait dengan daya tahan fisik, daya tarik fisik, kecepatan, kekuatan, tinggi badan, berat badan, kesehatan, kebugaran, kelenturan, warna kulit, kualitas suara, warna rambut, bentuk muka, bentuk hidung, dan lainnya.
- Aspek psikologis terkait dengan kepribadian, sikap, motivasi, stabilitas emosi, kecerdasan, minat, kesabaran, dan lainnya.
- Aspek sosial-kultural, yaitu keberanian, keterampilan sosial, konformitas, integrasi sosial, intensi prososial, kemandirian, kepekaan sosial, dan lainnya.
- Aspek spiritual, yaitu integritas moral, perilaku beribadah, orientasi beragama, dan lainnya.
- Pengaruh persepsi sosial terhadap perilaku sosial.
Dalam kehidupan masyarakat, persepsi sosial merupakan kerangka berpikir untuk mempermudah dan mengatur hubungan dengan orang lain. Namun, persepsi sosial juga dapat menimbulkan masalah-masalah kesalahan persepsi.
Masalah-masalah yang sering dihubungkan dengan persepsi sosial adalah terjadinya streotip dan dampak gema (halo effect). Stereotip adalah generalisasi mengenai karakteristik umum suatu kelompok individu.
Dampak negatif dari persepsi yang di dalamnya terdapat streotip adalah perlakuan kepada orang lain terhadap individu dalam suatu kelompok yang bersifat sempit. Misalnya, Rico memandang Risma sebagai wanita dengan ciri-ciri cerewet, emosional, dan lamban.
Persepsi tersebut sebenarnya mengandung bentuk prasangka secara tersembunyi, sehingga pada kondisi tertentu akan menciptakan perilaku yang tidak semestinya dalam hubungan sosial.
Selanjutnya, dampak gema (halo effect) diartikan sebagai suatu kesimpulan tentang kesan umum individu terhadap ciri-ciri orang lain pada suatu peristiwa yang secara logis juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa lainnya.
Contoh dari halo effect sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berdasarkan hasil dari tes kecerdasan seorang murid bernama Taylor memiliki hasil tes yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Siska. Guru tersebut akan berpendapat bahwa Taylor adalah siswa yang berhasil di semua pelajaran, meskipun pada kenyataannya Taylor gagal dalam bidang pelajaran tertentu.
Konformitas
Studi Kasus Konformitas
Pernahkah readers mendengar atau bahkan melakukan ice bucket challenge? Dalam bahasa indonesia dapat disebut dengan ‘tantangan ember es’ di mana nanti setiap orang yang mengikuti tantangan tersebut akan menyiram tubuhnya dengan satu ember es batu.
Tantangan ini sempat viral di media sosial dan banyak yang berpartisipasi, bahkan orang-orang ternama seperti Bill Gates, Kerry Washington, Lady Gaga, George W. Bush, dan masih banyak lagi. Setiap orang yang ditantang, harus melakukan tantangan ini dengan baik dalam waktu 24 jam setelah menerima tantangan.
Namun, untuk setiap orang yang ditantang tetapi tidak melakukan tantangan tersebut – maka mereka harus membayar 100 dollar! Hal tersebut terjadi pada Barack Obama yang saat itu ditantang, tetapi tidak mengikuti tantangan ember es dan lebih memilih untuk menyumbangkan 100 dollar.
Menurut situs asosiasi ALS pada musim panas tersebut, terdapat lebih dari 17 juta orang yang mengunggah video ember es dengan total penonton hingga 440 juta orang, dan total diputarnya video-video tersebut adalah 10 miliar kali (Aronson dan Sommers, 2019).
Secara umum, setiap hari kamu membuat keputusan apakah akan menyesuaikan diri dengan perilaku orang lain atau tidak. Namun, ketika readers memutuskan untuk mengikuti sikap orang lain, maka secara teratur pengaruh sosial ini akan memaksa readers untuk melakukan apa yang diinginkan oleh orang lain, baik secara langsung maupun secara halus.
Definisi
Perubahan perilaku individu karena pengaruh perilaku dari orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung (Aronson dan Sommers, 2019).
Konformitas adalah salah satu jenis dari pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap tingkah lakunya agar sesuai dengan norma-norma sosial (Bashori dan Hidayat, 2016).
Sementara itu, menurut Baron dan Branscombe (2012) konformitas adalah salah satu jenis pengaruh sosial yang bertujuan untuk menyesuaikan perilaku dengan norma-norma sosial.
Dari ketiga definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah salah satu jenis dari pengaruh sosial, di mana perilaku individu baik secara langsung maupun tidak langsung berubah agar sesuai dengan norma-norma sosial.
Untuk melengkapi kesimpulan diatas, Hidayat dan Bashori (2016) menjelaskan bahwa pengaruh sosial adalah suatu usaha yang dilakukan individu atau lebih untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi atau tingkah laku orang lain.
Faktor-faktor Penyebab Konformitas
Konformitas terjadi karena adanya tiga hal utama, yaitu : kohesivitas, ukuran kelompok, dan norma sosial (Baron dan Branscombe dalam Bashori dan Hidayat, 2016) :
1. Kohesivitas
Kohesivitas dapat diartikan sebagai kekompakan dalam kelompok. Semakin seseorang tertarik kepada kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut, maka semakin tinggi juga kecenderungan untuk melakukan konformitas.
Untuk itu tidak mengherankan jika semakin seseorang individu menghargai kelompok dan ingin diterima oleh anggota lain, maka ia akan semakin ingin menghindari sesuatu yang akan menjatuhkan atau memisahkannya dari kelompok tersebut.
Pada dasarnya, semakin kita ingin berperilaku seperti apa yang orang lain lakukan dalam suatu kelompok, semakin kita mendapatkan penerimaan sosial, semakin tinggi kecenderungan kita untuk menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut. Dengan kata lain, kekompakan dan keinginan untuk diterima dapat dipandang sebagai faktor yang meningkatkan kecenderungan seseorang untuk menyesuaikan diri.
2. Ukuran kelompok
Hasil-hasil penelitian terbaru mengonfirmasi bahwa semakin besar ukuran kelompok, maka semakin besar juga tekanan yang didapatkan seseorang untuk menyesuaikan diri. Singkatnya, semakin besar ukuran kelompok (jumlah individu yang banyak) yang menunjukkan perilaku tertentu dalam kelompok, maka akan semakin besar kecenderungan untuk menyesuaikan diri dan berperilaku seperti apa yang mereka lakukan.
Besarnya jumlah anggota yang berperilaku sama meningkatkan tekanan bagi anggota lainnya untuk berperilaku sama, yaitu perilaku yang sesuai dengan norma kelompoknya. Sebaliknya, jika kelompok tersebut kecil, tekanan kepada anggota kelompok untuk menyesuaikan perilaku juga tidaklah besar.
3. Norma sosial
Pengaruh sosial lainnya yang tidak kalah penting dalam konformitas adalah norma sosial. Norma sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : norma deskriptif dan norma injungtif.
Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lakukan pada suatu situasi tertentu. Norma ini dapat memengaruhi tingkah laku dengan cara memberi tahu kita apa yang umumnya dianggap efektif atau adaptif pada situasi tersebut.
Sementara itu, norma injungtif adalah norma yang tidak hanya memberi tahu kita bagaimana seseorang bertindak pada situasi tertentu, tetapi juga mengarahkan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku. Contohnya, setiap orang yang hendak menaiki pesawat harus bertingkah laku sesuai dengan norma injungtif, jika tidak akan mendapatkan sanksi sosial.
Mengapa Konformitas Dapat Terjadi?
Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (dalam Bashori dan Hidayat, 2016) konformitas dapat terjadi dikarenakan beberapa hal, yaitu :
1. Peniruan
Individu memiliki keinginan untuk sama dengan orang lain, baik secara terbuka atau karena adanya tekanan yang secara nyata maupun tekanan yang dibayangkan. Peniruan umumnya terjadi kepada sosok ideal yang dikagumi.
2. Penyesuaian
Individu melakukan konformitas terhadap orang lain agar tingkah lakunya dapat sesuai dengan norma yang sesuai dengan kelompok. Penyesuaian sikap dan perilaku ini dilakukan karena individu mempunyai keinginan untuk diterima oleh orang lain.
3. Kepercayaan
Semakin besar kepercayaan individu pada informasi yang diterima dari orang lain, maka semakin besar juga kecenderungan individu untuk melakukan konformitas terhadap orang lain.
4. Kesepakatan
Suatu keputusan yang telah disepakati besama menjadi kekuatan sosial yang mampu menimbulkan konformitas. Kesepakatan tersebut yang nantinya mengikat anggota komunitas untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kesepakatan bersama.
5. Ketaatan
Dalam hal ini, terdapat kesetiaan atau ketundukan individu kepada otoritas tertentu. Kesetiaan kepada pimpinan yang karismatik, misalnya dapat membuat individu melakukan konformitas terhadap hal-hal yang disampaikan pemimpin tersebut.
Pengaruh Informasi Sosial: Kebutuhan Untuk Mengetahui Apa Yang Benar
Ketika kita mendengar suara teriakan dari lorong berteriak untuk meminta tolong, keputusan apakah yang akan kita ambil? Apakah orang tersebut memang sedang berada dalam bahaya (misalnya : perampokan) atau orang tersebut hanya sedang bercanda dengan teman-temannya?
Pada saat kita tidak mengetahui situasi sosial apa yang sedang dihadapi, perilaku orang lain dapat menjadi sumber informasi yang kuat serta berguna bagi kita untuk mengambil keputusan yang tepat. Mengamati perilaku orang lain atau bertanya langsung mengenai situasi sosial yang kurang kita ketahui dapat membantu kita dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu situasi.
Ketika individu menyesuaikan dirinya bukan berarti individu tersebut tidak memiliki kemandirian. Sebaliknya, pengaruh orang lain membuat individu menyesuaikan diri karena individu melihat orang-orang sebagai sumber informasi untuk membimbing perilaku. Individu menyesuaikan diri karena percaya bahwa interpretasi orang lain mengenai serangkaian keadaan yang ambigu adalah akurat dan akan membantu untuk memilih tindakan yang sesuai. Hal ini disebut dengan pengaruh informasi sosial.
Salah satu hal terpenting dari pengaruh informasi sosial adalah bahwa hal tersebut dapat mengarah pada penerimaan pribadi, yaitu ketika orang-orang menyesuaikan diri dengan perilaku orang lain karena mereka benar-benar percaya bahwa orang tersebut memberikan informasi yang benar.
Contoh lainnya adalah mengenai kepatuhan publik, di mana walaupun masing-masing individu mempunyai pemahamannya masing-masing, namun individu akan menyesuaikan diri dengan kelompok tanpa menghilangkan pemahamannya masing-masing.
Misalnya, individu mempercayai bahwa cahaya bergerak sejauh 10 inchi, namun dalam kelompok tersebut mengatakan bahwa cahaya bergerak sejauh 3 inchi. Dalam upaya untuk menghindari dinilai bodoh oleh orang-orang dalam kelompok, maka individu akan mengikuti pemahaman kelompok, walaupun pemahaman individu berbeda.
Baca juga: Alasan Orang Memiliki Persepsi Yang Berbeda
Perilaku Agresi
Definisi
Perilaku agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain (Hanurawan, 2010).
Menurut Rahman (2018) agresi adalah perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain, baik secara fisik maupun psikis.
Sama dengan Rahman, Aronson dan Sommers (2019) mendefinisikan perilaku agresi sebagai perilaku yang bertujuan untuk melukai fisik atau psikologis orang lain.
Dari ketiga definisi tokoh tersebut, perilaku agresi adalah perilaku yang bersifat merusak atau merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis.
Perspektif Teoritis Perilaku Agresi
Perspektif teoritis perilaku agresi akan membahas mengenai hakekat dan sebab perilaku agresi yang cukup bervariasi berdasarkan sudut pandang psikologi sosial yang terbagi menjadi 4, yaitu (Hanurawan, 2010) :
1. Teori insting
Teori paling klasik mengenai perilaku agresi menjelaskan bahwa manusia mempunyai insting bawaan secara genetis untuk berperilaku agresi.
Teori insting menyimpulkan bahwa dasar dari perilaku agresi terletak pada aspek biologi, yaitu perilaku agresi terjadi bukan karena stimulus atau provokasi dari luar. Insting untuk melakukan agresi merupakan sesuatu yang sifatnya alamiah dari dalam diri seseorang untuk dipenuhi.
2. Agresi sebagai reaksi terhadap peristiwa tidak menyenangkan
Teori hipotesis frustasi-agresi berpendapat bahwa agresi adalah hasil dari dorongan untuk mengakhiri keadaan frustasi seseorang. Dalam hal ini, frustasi adalah kendala-kendala eksternal yang menghalangi perilaku bertujuan.
Frustasi menimbulkan reaksi perilaku agresi bergantung pada pengaruh variabel pengaruh perantara. Variabel perantara tersebut misalnya ketakutan terhadap hukuman karena melakukan tindakan agresi secara nyata, tidak adanya penyebab frustasi sebagai faktor yang mencegah timbulnya reaksi agresi, atau tanda-tanda yang berhubungan dengan perilaku agresi sebagai faktor yang memfasilitasi perilaku agresi.
3. Agresi sebagai perilaku sosial yang dipelajari
Teori belajar sosial menjelaskan perilaku agresi sebagai perilaku yang dipelajari, yaitu proses pembelajaran melalui pengamatan dalam dunia sosial.
Teori belajar sosial mengajukan pendapat bahwa manusia tidak dilahirkan bersama insting-insting negatif dalam dirinya. Manusia melakukan perilaku agresi karena mereka mempelajarinya secara sosial melalui perilaku model (orang yang dicontoh) dalam interaksi sosial.
4. Perilaku agresi dimediasi oleh penilaian kognitif
Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi sangat bergantung pada cara stimulus tersebut diinterpretasi oleh individu. Misalnya, frustasi cenderung menyebabkan perilaku agresi jika frustasi tersebut interpretasi sebagai gangguan terhadap aktivitas yang ingin dicapai oleh individu.
Macam-macam Agresi
Untuk memahami agresi dengan lebih baik, berikut ini akan disampaikan macam-macam agresi yang tampil dalam bentuk yang sangat beragam, yaitu (Rahman, 2018) :
Berdasarkan apakah agresi tersebut dilatarbelakangi emosi / marah atau tidak, terdapat dua macam agresi :
- Emotional aggression yang dilatarbelakangi oleh perasaan marah dan emosional sebagai efek dari membuncahnya emosi dalam diri seseorang.
- Instrumental aggression yang dilatarbelakangi oleh tidak adanya perasaan marah. Agresi ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan lain yang dianggap lebih menarik, seperti uang atau jabatan.
Berdasarkan apakah agresi tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan norma sosial, agresi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
- Pro-social aggression adalah agresi yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
- Anti-social aggression adalah agresi yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Tidak hanya itu, agresi juga dibedakan menjadi 3 berdasarkan pada bagaimana perilaku itu dilakukan, yaitu :
- Perilaku agresi dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
- Perilaku agresi dilakukan secara aktif atau pasif.
- Perilaku agresi dilakukan secara verbal atau secara fisik.
Strategi Mengurangi Perilaku Agresi
Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi prevalensi perilaku agresi, yaitu (Hanurawan, 2010) :
Strategi hukuman
Jika hukuman diterapkan dalam cara-cara yang tepat maka hukuman termask strategi pengendalian yang efektif terhadap prevalensi timbulnya perilaku agresi dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, seorang saksi pun yang mengamati suatu peristiwa di mana pelaku agresi diberi hukuman secara setimpal dan secara segera akan menjadi enggan atau sama sekali tidak berkeinginan untuk melakukan perilaku agresi yang sama.
Strategi katarsis
Strategi katarsis adalah kesempatan individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (aktivitas katarsis), namun dalam cara yang tidak merugikan.
Perilaku katarsis tersebut akan mengurangi tingkat emosional serta tendensi untuk melakukan serangan agresi kepada orang lain. Aktivitas katarsis misalnya memukul secara berulang kali karung pasir yang dilambangkan sebagai tubuh seorang musuh yang dibenci.
Tetapi, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis nonagresi ternyata hanya berpengaruh sementara waktu. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang emosional dan tendensi perilaku agresi akan muncul kembali jika individu bertemu secara langsung atau memikirkan seseorang yang menyebabkan dirinya marah atau ingin melakukan perilaku agresi.
Strategi pengenalan model nonagresi
Penelitian yang dilakukan oleh Baron pada tahun 1972 serta penelitian Donnerstein dan Donnerstein tahun 1976 menyatakan bahwa individu yang mengamati perilaku nonagresif akan menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang tidak mengamati perilaku nonagresi tersebut.
Di tengah-tengah suasana masyarakat yang mencekam, tegang, dan kondusif untuk melakukan perilaku agresi, dibutuhkan perilaku nonagresi untuk menyeimbangi perilaku-perilaku agresi yang ada. Dalam hal ini, perilaku nonagresif diharapkan dapat meredakan suasana yang berpotensi menimbulkan perilaku agresi ke arah lebih baik.
Strategi pelatihan keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Seringnya, individu-individu yang keterampilan sosialnya rendah cenderung melakukan tindakan agresi.
Hal tersebut terjadi karena mereka kurang mampu mengekspresikan atau mengomunikasikan keinginan pada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan tidak sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain.
Ketidakmampuan itu menyebabkan timbulnya frustasi dalam diri mereka, di mana frustasi itu dapat menimbulkan perilaku agresi.
Perkembangan Agresi
Penelitian longitudinal mengenai perilaku agresi menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai perkembangan agresi, yaitu (Rahman, 2018) :
- Perilaku agresi mencapai puncaknya terjadi pada usia 2-4 tahun dan kemudian cenderung menurun, kecuali pada masa-masa remaja.
- Perilaku agresi dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor lingkungan.
- Agresi fisik pada anak juga dipengaruhi oleh kualitas interaksi dengan teman sebaya. Jika anak ditolak oleh teman sebaya, maka anak akan melakukan perilaku agresi dan perilaku agresi bisa menyebabkan anak dijauhi oleh teman sebayanya.
- Pertambahan usia pada anak disertai dengan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang ada di lingkungan, karena agresi merupakan perilaku yang secara sosial tidak diterima, maka anak akan berusaha untuk menjauhi perilaku tersebut.
- Dari mulai masa anak hingga dewasa, laki-laki lebih banyak menggunakan agresi fisik dibandingkan dengan perempuan. Namun, perempuan lebih banyak menggunakan agresi secara tidak langsung dibandingkan laki-laki.
Prasangka
Definisi Prasangka
Menurut Rahman (2018) prasangka adalah penilaian tidak adil terhadap suatu kelompok berdasarkan karakteristik anggota dari kelompok tersebut, baik nyata ataupun tidak.
Sikap bermusuhan atau sikap negatif terhadap orang lain dalam suatu kelompok berdasarkan anggota dalam kelompok tersebut, terdiri dari komponen kognitif, emosi, dan sikap (Aronson dan Sommers, 2019).
Selanjutnya menurut Hanurawan (2010) prasangka adalah sikap yang ditujukan kepada anggota suatu kelompok tertentu berdasar pada ciri-ciri keanggotan kelompok itu.
Berdasarkan ketiga definisi dari tokoh di atas, maka prasangka adalah sikap bermusuhan terhadap anggota kelompok tertentu berdasarkan karakteristik sikap, emosi, maupun kognitif.
Faktor penyebab timbulnya prasangka
Terdapat empat faktor utama yang menjadi penyebab dari timbulnya prasangka, yaitu (Hanurawan, 2010) :
Konflik antarkelompok secara langsung
Teori realistik konflik menjelaskan bahwa pada umumnya konflik antarkelompok yang terjadi secara langsung timbul disebabkan dari kompetisi antarkelompok untuk menguasai komoditi-komoditi yang dipandang memiliki nilai yang berharga.
Pada akhirnya, kompetisi yang berkelanjutan akan menyebabkan pandangan negatif serta konsekuensi, seperti : prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok lain.
Kategori sosial
Tokoh dari teori ini adalah : Michael Hogg, John Turner, serta Henry Tajfel. Teori kategori sosial menjelaskan bahwa individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori ekstrem yang saling terpisah satu sama lain.
Kedua kelompok tersebut adalah kelompok dalam pada satu sisi dan kelompok luar pada sisi yang lain, yang biasanya disebut dengan kata ‘kita’ dan ‘mereka’.
Proses belajar sosial
Teori belajar sosial mengemukakan bahwa anak mempelajari sikap negatif terhadap suatu kelompok sosial tertentu sering kali karena mereka dikenalkan dengan pandangan-pandangan semacam itu oleh lingkungan atau sering mendapatkan ganjaran jika memperlihatkan perilaku tersebut.
Dalam hal ini, peranan dari orang tua, guru, saudara, dan media massa sangatlah penting untuk perkembangan proses belajar sosial seorang anak dalam pembentukan prasangka.
Proses kognisi sosial
Teori mengenai kognisi sosial merupakan cara individu untuk berpikir mengenai orang lain yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan prasangka.
Beberapa gejala kognisi sosial yang dapat dikategorikan memberikan kontribusi bagi timbulnya prasangka adalah korelasi ilusif, ilusi mengenai keseragaman kelompok luar, dan streotip.
Korelasi ilusif adalah kecenderungan individu untuk membuat kesimpulan tentang adanya hubungan antarvariabel, meskipun dalam kenyataan hubungan itu sebenarnya tidak ada. Misalnya, berita mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga kulit hitam akan lebih cepat menjadi berita yang menyebar bagi warga mayoritas kulit putih.
Selanjutnya, ilusi mengenai keseragaman kelompok luar adalah kecenderungan individu untuk mempersepsi bahwa anggota-anggota suatu kelompok tertentu mempunyai banyak kesamaan dibandingkan dengan mempersepsi kelompoknya sendiri secara negatif. Hal ini terjadi jika individu lebih banyak melakukan interaksi dengan kelompoknya sendiri.
Stereotip adalah pengetahuan serta keyakinan mengenai ciri-ciri anggota suatu kelompok sosial yang sering kali bersifat negatif. Streotip dapat dilihat sebagai sejenis skema yang sifatnya negatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Teori-teori Prasangka
Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk memahami prasangka, yaitu (Rahman, 2018) :
Social Identity Theory (SIT)
Teori ini merupakan karya dari Hanri Tajfel dan John Turner pada tahun 1980-an. SIT adalah teori yang paling berpengaruh terhadap penelitian mengenai prasangka.
SIT menjelaskan bahwa setiap kita mempunyai kebutuhan untuk merasa berharga. Perasaan berharga tersebut bisa diperoleh dengan prestasi pribadi atau berafiliasi dengan kelompok sosial yang dirasa membanggakan.
Optimal Distinctiveness Theory (ODT)
Optimal Distinctiveness Theory merupakan teori yang dikemukakan oleh Marilyn Brewer pada tahun 1991-an.
ODT menjelaskan bahwa kita mempunyai keinginan untuk mendapatkan keseimbangan antara pribadi yang unik (distinctiveness) dan sebagai pribadi yang umum seperti orang-orang yang ada pada konteks kelompok tertentu (inclusion).
Hal ini menjelaskan mengapa orang-orang dalam kelompok eksklusif dapat membuat anggota kelompoknya merasa lebih nyaman, yaitu karena anggota kelompoknya merasa berbeda namun tetap merasa ada beberapa orang yang memiliki kesamaan dengan mereka.
Realistic Conflict Theory (RCT)
RCT adalah teori yang diusulkan oleh Donald Campbell di tahun 1965-an, di mana teori ini menjelaskan mengenai perebutan sumber daya.
Pada situasi kompetitif, kita akan menunjukkan permusuhan dan prasangka, terutama jika dirasa memiliki sumber daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok lain untuk mencapai sasaran yang diperebutkan.
Strategi untuk Mengurangi Prasangka
Prasangka menjadi salah satu masalah sosial yang sulit dipecahkan dalam hubungan antarmanusia dalam lingkup masyarakat, untuk itu terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka (Hanurawan, 2010) :
Strategi pengubahan pola pengasuhan anak
Strategi pertama merupakan strategi yang menjelaskan bahwa masyarakat perlu mengubah pola pengasuhan anak menjadi lebih kondusif, yaitu lebih menghargai kelompok lain dalam sudut pandang objektif.
Dalam hal ini, adanya figur-figur model sosialisasi yang terlibat seperti : ayah, ibu, saudara, serta guru harus dilatih mengenali gejala-gejala prasangka yang dapat memberikan pengaruh negatif dalam kehidupan mental anak.
Strategi meningkatkan kontak antarkelompok secara langsung
Strategi yang kedua adalah strategi yang bertujuan unutk meningkatkan kontak antarkelompok secara langsung. Berdasarkan hasil-hasil kajian psikologi sosial, strategi ini akan berhasil jika berada pada kondisi yang kondusif.
Kondisi kondusif yang dimaksud adalah keberadaan status sosial ekonomi yang seimbang, adanya norma-norma sosial yang mendukung hubungan antarindividu dari berbagai kelompok sosial budaya, kerja sama untuk mencapai tujuan yang relatif sama, dan kontak yang sifatnya informal.
Strategi kategorisasi
Strategi ketiga adalah strategi dengan tujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka. Strategi ini dinamakan strategi kategorisasi, meliputi rekategorisasi dan dekategorisasi.
Rekategorisasi dapat dilakukan dengan cara mengembangkan suatu identitas bersama dalam lingkup ‘kelompok kita’ dibandingkan memecah suatu kelompok besar menjadi beberapa bagian yang menghasilkan perasaan ingroup dan outgroup.
Sementara itu, dekategorisasi adalah upaya-upaya eliminiasi kategorisasi kelompok. Pada dekategorisasi terdapat penekanan pemahaman bahwa setiap kelompok terdiri dari individu-individu yang memiliki keunikannya masing-masing.
Hal ini sebagai hasil pemahaman bahwa setiap individu dalam kelompok manapun, baik dalam kelompok maupun luar kelompok mempunyai ciri-ciri unik yang tidak bergantung atau tidak direferensikan pada stereotip keanggotaannya dalam suatu kelompok.
Baca juga: Mengenal Metode Pembelajaran
Pemahaman Akhir
Psikologi sosial merupakan cabang dalam psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dan proses mental dalam konteks lingkungan sosial. Psikologi sosial menggabungkan pengetahuan dari ilmu psikologi dan ilmu sosial untuk memahami bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu dipengaruhi oleh orang lain dan lingkungan sosial.
Pembahasan utama dalam psikologi sosial meliputi berbagai topik seperti persepsi sosial, sikap dan stereotip, pengaruh sosial, komunikasi, dinamika kelompok, konflik sosial, pemecahan masalah, dan banyak lagi. Psikologi sosial berusaha menjelaskan mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan dalam konteks sosial tertentu.
Ya, psikologi sosial memang membahas mengenai interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Lingkungan sosial, termasuk orang-orang di sekitar kita, memiliki pengaruh besar terhadap pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Psikologi sosial mempelajari bagaimana interaksi dengan orang lain, norma sosial, tekanan sosial, dan faktor-faktor sosial lainnya memengaruhi perilaku dan pengalaman manusia.
Dalam sejarahnya, psikologi sosial telah berkembang sejak abad ke-19. Awalnya, ilmuwan Jerman mengembangkan konsep psikologi sosial yang disebut “folk psychologist.” Kemudian, pada tahun 1908, dua penulis yang berbeda, McDougall dan Ross, menulis buku dengan judul yang sama dan membahas psikologi sosial dari sudut pandang yang berbeda.
Psikologi sosial juga memiliki batasan dan ruang lingkup tertentu. Psikologi sosial mempelajari perilaku manusia yang dapat diamati dan diukur, baik itu dalam bentuk aktivitas motorik yang besar maupun kecil. Psikologi sosial tidak mempelajari perilaku yang tidak kasat mata atau tidak terukur. Meskipun mempelajari perilaku sosial, psikologi sosial juga memperhatikan proses dan struktur kognitif yang mendasari perilaku sosial.
Meskipun terdapat persamaan dan overlap dengan disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikologi klinis, dan psikologi kepribadian, psikologi sosial memiliki fokus dan pendekatan yang unik dalam memahami perilaku sosial manusia.
Psikologi sosial memiliki manfaat yang penting dalam kehidupan kita. Melalui penelitian dan pemahaman ilmiah yang dikembangkan dalam psikologi sosial, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana menjalin hubungan sosial yang sehat, mencegah konflik sosial, dan mengoptimalkan potensi sosial kita dalam memajukan masyarakat.
Dalam psikologi sosial, terdapat lima perspektif utama yang mendominasi: sosial budaya, evolusioner, pembelajaran sosial, fenomenologi, dan kognitif sosial. Masing-masing perspektif ini memberikan wawasan yang berbeda tentang bagaimana perilaku sosial manusia terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
Dalam kesimpulan, psikologi sosial merupakan cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dan proses mental dalam konteks lingkungan sosial. Psikologi sosial membahas berbagai topik yang berkaitan dengan interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Melalui penelitian dan pemahaman dalam psikologi sosial, kita dapat memperoleh wawasan yang berharga tentang perilaku sosial manusia dan memanfaatkannya dalam meningkatkan kualitas kehidupan kita.
ersepsi sosial adalah proses atau serangkaian usaha-usaha yang dilakukan individu untuk memahami orang lain secara menyeluruh. Faktor-faktor seperti karakteristik kepribadian individu, situasi yang ada, dan ciri-ciri objek yang dipersepsikan mempengaruhi pembentukan persepsi sosial.
Dalam proses persepsi sosial, individu memperhatikan aspek-aspek fisik, psikologis, sosial-kultural, dan spiritual orang lain sebagai objek persepsi. Persepsi sosial juga memiliki pengaruh terhadap perilaku sosial, di mana stereotip dan dampak gema (halo effect) dapat memengaruhi perlakuan individu terhadap orang lain.
Konformitas, sebagai jenis pengaruh sosial, terjadi ketika individu mengubah sikap atau perilakunya agar sesuai dengan norma-norma sosial. Faktor-faktor seperti kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, dan norma sosial mempengaruhi terjadinya konformitas.
Pengaruh informasi sosial, di mana individu menyesuaikan perilakunya berdasarkan informasi yang diberikan oleh orang lain, juga merupakan aspek penting dalam konformitas. Perilaku agresi, sebagai respons yang merugikan atau merusak terhadap orang lain, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti insting, pengalaman belajar sosial, dan penilaian kognitif.
Prasangka, sebagai sikap bermusuhan atau negatif terhadap kelompok tertentu, dapat disebabkan oleh konflik antarkelompok, kategori sosial, proses belajar sosial, dan proses kognisi sosial.
Untuk mengurangi perilaku agresi dan prasangka, strategi seperti hukuman, katarsis, pengenalan model nonagresi, dan pelatihan keterampilan sosial dapat diterapkan.
Dalam perkembangan agresi, perilaku agresi mencapai puncaknya pada usia 2-4 tahun dan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia. Laki-laki lebih cenderung menggunakan agresi fisik, sementara perempuan cenderung menggunakan agresi tidak langsung.
Pemahaman mengenai persepsi sosial, konformitas, perilaku agresi, dan prasangka dapat membantu kita dalam memahami interaksi sosial dan mempromosikan hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
Nah, demikianlah pembahasan mengenai psikologi sosial pada manusia, serta kaitannya dengan lingkungan sosial. Semoga pembahasan ini bermanfaat, ya.
Sumber :
Aronson, E., Wilson, T. D., & Sommers, S. R. (2019). Social psychology 10th ed. USA : Pearson
Baron, A.R., & Branscombe, N.R. (2012). Social psychology 13th ed. USA : Prentice Hall
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Social Psychology. Boston : Allyn and Bacon Inc.
Bashori, K., & Hidayat, K. (2016). Psikologi sosial : aku, kami, dan kita. Jakarta : Erlangga
Hanurawan, F. (2010). Psikologi sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Kenrick, D., Neuberg, S. L., & Cialdini, R. B. (2015). Social psychology. USA : Pearson Education
Meinarno, E. A., & Sarwono, S. W. (2018). Psikologi sosial edisi 2. Jakarta : Salemba Humanika
Myers, D.G. (2010). Social psychology 10th ed. New York : McGraw-Hill
Nurrachman, N. (2008). Integrasi Psikologi : Antara the knower dan the known. Buletin psikologi, 16, 23-28. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada
Rahman, A. A. (2018). Psikologi sosial : integrasi pengetahuan wahyu dan pengetahuan empirik. Depok : Rajawali Pers