Dalam analisis regresi, terdapat empat asumsi yang harus terpenuhi agar hasil analisis tersebut dapat dikatakan valid. Salah satu dari asumsi tersebut adalah tidak terjadi autokorelasi dalam residual (galat) model. Bagaimana cara mendeteksi apakah data yang kamu analisis mengalami kasus autokorelasi?
Daftar Isi
Definisi Autokorelasi
Istilah autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara galat dari data pada observasi satu dengan observasi lain, di mana data tersebut diurutkan berdasarkan waktu (Kendall & Buckland, 1971). Autokorelasi umumnya ditemui pada data time series (runtun waktu).
Secara sederhana, autokorelasi adalah suatu permasalahan dalam analisis regresi, di mana terdapat hubungan yang saling berkaitan antara galat pada observasi ke-(t) dengan observasi ke-(t-1). Perbandingan antara kasus autokerelasi dengan non-autokorelasi ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Pada gambar (a) hingga (d), terlihat bahwa grafik tersebut menunjukkan pola tertentu. Gambar (a) menunjukkan pola atau trend naik-turun, pola naik dan turun secara linear pada gambar (b) dan (c), serta pola kuadratik pada gambar (d). Adanya pola tertentu pada gambar (a) hingga (d) menjadi indikasi bahwa terdapat hubungan antara galat pada observasi ke-i dengan observasi ke-j sehingga mengakibatkan adanya autokorelasi.
Berbeda dengan empat gambar sebelumnya, pada gambar (e) tidak menunjukkan pola tertentu, atau dapat dikatakan tersebar merata di sekitar sumbu X (time). Artinya, tidak terjadi kasus autokorelasi pada grafik tersebut dan terpenuhinya asumsi analisis regresi.
Tidak terpenuhinya asumsi independen dalam regresi, atau dapat dikatakan terjadi kasus autokorelasi, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Bisa dari segi durasi observasi yang singkat, terdapat variabel prediktor yang sebenarnya penting namun tidak dilibatkan dalam analisis, dan juga bentuk fungsi antara variabel prediktor (independen) dengan respon (dependen) tidak diidentifikasi dengan benar.
Baca juga: Uji Validitas Menggunakan SPSS
Tujuan Uji Autokorelasi
Seperti yang telah kamu ketahui, non-autokorelasi atau independen merupakan asumsi yang penting dalam analisis regresi. Residual antara observasi ke-(t) dengan observasi ke-(t-1) perlu bersifat independen atau tidak saling memengaruhi. Autokorelasi perlu diidentifikasi karena dapat memengaruhi validitas dalam analisis regresi. Informasi terkait ada atau tidaknya kasus autokorelasi dapat mengarahkanmu dalam memilih analisis statistik yang lebih tepat sehingga dapat meningkatkan prediksi dan validitas analisismu.
Menurut Box & Jenkins (1976), uji autokorelasi dapat digunakan untuk dua tujuan tertentu, yakni mendeteksi data yang tidak tersebar secara acak dan mengidentifikasi model deret waktu yang sesuai.
Deteksi Autokorelasi
Terdapat tiga teknik yang dapat kamu gunakan untuk mendeteksi kasus autokorelasi, yakni secara visual melalui residual plot, serta secara uji statistik menggunakan Durbin-Watson Test dan Run Test. Dalam pembahasan deteksi autokorelasi ini, akan digunakan contoh soal yang sama untuk ketiga metode tersebut.
Di bawah ini merupakan contoh data (Tabel A) mengenai nilai gross national product (Y), estimasi nilai gross national product (y), sedangkan t adalah indeks observasi. Diketahui hasil pemodelan regresi linear pada contoh soal ini adalah: y = 264,3 + 18,77 x. Melalui persamaan regresi tersebut, terdapat informasi tambahan yakni banyaknya variabel prediktor (independen) yang digunakan dalam contoh soal ini sebanyak satu prediktor.
Residual Plot
Residual plot merupakan grafik yang dapat menggambarkan hubungan antara residual ke-(t) dengan observasi t. Apabila residual tersebut membentuk pola tertentu, maka dapat dikatakan bahwa asumsi non-autokorelasi pada model regresi yang digunakan telah terlanggar. Secara sederhana, tahap yang diperlukan untuk membuat residual plot adalah sebagai berikut:
- Melakukan analisis menggunakan metode regresi
- Menampilkan hasil prediksi
- Menampilkan hasil residual, yang dapat langsung kamu peroleh dengan mengoperasikan software statistika. Apabila secara manual, residual dapat diperoleh dengan menghitung selisih antara data aktual dengan hasil estimasi.
- Membuat plot antara residual (sumbu Y) dengan observasi t (sumbu X)
Pada Tabel A, belum diketahui hasil residual antara data aktual dan estimasi gross national product. Sehingga diperlukan perhitungan secara manual untuk mendapatkan residual tersebut, yang mana ditampilkan pada Tabel B di bawah ini.
Oleh karena nilai residual di setiap observasi telah diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah membuat residual plot untuk mendeteksi secara visual apakah terdapat kasus autokorelasi pada contoh soal tersebut.
Berdasarkan hasil residual plot di atas, secara visual grafik tersebut memiliki pola yang dapat dikatakan fluktuatif (naik-turun) dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa terjadi kasus autokorelasi pada contoh soal gross national product.
Namun terdapat kelemahan dalam mendeteksi autokorelasi dengan menggunakan teknik residual plot, yakni pola grafik dinilai berdasarkan subjektivitas. Adanya subjektivitas ini dapat menimbulkan kerancuan apabila secara visual grafik tersebut kurang menunjukkan pola tertentu. Oleh karena itu, diperlukan pengujian secara kuantitatif menggunakan teknik statistik.
Durbin-Watson Test
Durbin-Watson merupakan teknik dasar yang populer dalam analisis regresi untuk pengujian autokerelasi (Chatterjee & Hadi, 2012). Metode ini dikembangkan oleh statistisi J. Durbin dan G. S. Watson pada tahun 1951. Langkah-langkah uji autokorelasi menggunakan Durbin-Watson Test secara manual adalah sebagai berikut.
- Hipotesis:
H0: Tidak terdapat autokorelasi
H1: Terdapat autokorelasi - Statistik uji:
Rumus yang digunakan untuk Durbin-Watson Test dapat dilihat di bawah ini.Simbol e(t) merupakan galat (residual) pada pengamatan ke-t, sedangkan n adalah banyaknya data dalam analisis, di mana dalam contoh soal ini telah diketahui bahwa t = 26. Simulasi perhitungan rumus d tersebut ditampilkan di bawah ini.
- Daerah penolakan:
a. Tolak H0 jika d < dL
b. Gagal tolak H0 jika d > dU
c. Tidak dapat disimpulkan jika dL < d < dU
Nilai dL dan dU pada taraf signifikansi 5% (alpha = 5%) dapat kamu ketahui melalui Tabel Durbin-Watson di bawah ini. n merupakan banyaknya data, sementara p adalah banyaknya variabel prediktor (independen).Pada contoh soal ini, diketahui bahwa n = 26 dan p = 1. Dengan menyamakan nilai n dan p pada Tabel Durbin-Watson di atas, diperoleh nilai dL = 1,30 dan dU = 1,46. Kemudian besarnya nilai d, dL, dan DU dibandingkan dan akhirnya diketahui bahwa daerah penolakan Durbin-Watson Test ini masuk ke dalam kategori a, yakni d < dL.
- Keputusan: Tolak H0 karena nilai d < dL
- Kesimpulan: Terjadi kasus autokorelasi pada contoh soal gross national product
Run Test
Metode Run Test merupakan metode kuantitatif lain dalam statistika yang direkomendasikan untuk pengujian asumsi non-autokorelasi. Metode ini dapat digunakan sebagai alternatif apabila hasil pengujian autokorelasi pada Durbin-Watson Test tidak mengarah pada kesimpulan yang pasti. Namun apabila tidak terdapat kerancuan pada hasil dari Durbin-Watson Test, maka kamu tidak perlu menerapkan metode Run Test.
Run dapat diartikan sebagai dua jenis simbol yang berbeda, dimana kemunculan simbol tersebut dapat terjadi berulang kali, berurutan, dan bergantian. Kedua simbol tersebut menandakan koefisien dari residual, yakni bisa bernilai positif (+) dan negatif (-).
Gambar di atas merupakan ilustrasi hasil residual, yakni positif dan negatif. Run pertama merupakan urutan kemunculan simbol negatif yang pertama, run kedua adalah urutan simbol positif pertama, run ketiga adalah urutan simbol negatif kedua, run keempat merupakan simbol positif kedua, dan run kelima merupakan kemunculan simbol negatif ketiga. Dengan demikian, terdapat 5 run dalam ilustrasi tersebut.
Di bawah ini merupakan langkah-langkah pengujian autokorelasi yang dapat kamu terapkan secara manual:
- Hipotesis:
H0: Tidak terdapat autokorelasi
H1: Terdapat autokorelasi - Statistik uji:
Secara sistematis, uji autokorelasi menggunakan metode run test dirumuskan pada formula di bawah ini.R merupakan banyaknya run, n1 adalah banyaknya simbol positif, sedangkan banyaknya simbol negatif dinotasikan dengan n2. Sebelum membahas simulasi perhitungan manual, akan lebih mudah jika terlebih dahulu membuat tabel yang berisi simbol koefisien residual dan menampilkannya seperti pada ilustrasi sebelumnya.
(+++++++)(-)(+)(———-)(+++++++)
Merujuk pada visualisasi simbol di atas, diketahui terdapat 5 run, sehingga R = 5. Kemudian n1 = 15 dan n2 = 11. Sehingga simulasi perhitungan statistik uji Run Test adalah sebagai berikut.
- Daerah penolakan:
Tolah H0 jika,Pada langkah nomor 2, diperoleh nilai statistik uji |Z| = 3,56. Dengan menggunakan taraf signifikansi (alpha) sebesar 5%, maka diketahui nilai Z statistik adalah 1,96.
- Keputusan:
Oleh karena nilai |Z| lebih besar dibandingkan Z statistik = 1,96, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0. - Kesimpulan: Asumsi non-autokorelasi pada contoh soal gross national product menggunakan metode regresi linear tidak terpenuhi.
Baca juga: Uji Reliabilitas Menggunakan SPSS
Uji Autokorelasi menggunakan SPSS
Setelah mengetahui asal mula perhitungan manual dalam pengujian autokorelasi, selanjutnya kamu dapat menerapkan pengujian autokorelasi menggunakan software statistika untuk mempercepat analisismu, yaitu SPSS. Dalam artikel ini, versi SPSS yang digunakan adalah SPSS 22.
Contoh soal yang akan digunakan dalam pembahasan kali ini adalah mengenai tingkat profitabilitas perbankan selama kurun waktu 44 periode. Tingkat profitabilitas tersebut diukur melalui nilai ROA (Return of Asset). Terdapat beberapa faktor yang diduga memengaruhi profitabilitas perbankan, di mana faktor-faktor dan data tersebut ditampilkan pada tabel di bawah ini.
Data tersebut kemudian kamu input-kan ke dalam SPSS sehingga pengujian autokorelasi dapat kamu lakukan, yakni dengan cara klik “Variable View” yang terletak di bagian bawah menu SPSS untuk melakukan setting nama dan format variabel. Selanjutnya meng-input data tersebut pada bagian “Data View”.
Nah dalam artikel ini, penerapan uji autokorelasi pada software SPSS akan menggunakan dua metode yang sebelumnya telah dibahas, yaitu Durbin-Watson Test dan Run Test.
Durbin-Watson Test dengan SPSS
Langkah-langkah lanjutan untuk melakukan pengujian autokorelasi menggunakan Durbin-Watson Test pada software SPSS 22 adalah sebagai berikut:
- Pada bagian menu, pilih Analyze > Regression > Linear
- Memasukkan variabel Y ke dalam kolom “Dependent”, sedangkan variabel X1, X2, dan X3 pada kolom “Independet(s)”. Kemudian klik “Statistics”.
- Pada window “Linear Regression: Statistics” yang muncul, beri tanda centang pada bagian “Estimates”, “Model fit”, dan “Durbin-Watson”. Klik “Continue”, kemudian klik “OK” pada window “Linear Regression”.
- Selanjutnya akan muncul beberapa tabel output pada IBM SPSS Statistics Viewer. Namun tabel output yang digunakan untuk pengujian autokorelasi ini hanyalah “Model Summary”.
Berdasarkan tabel output di atas, diperoleh nilai Durbin-Watson (d) sebesar 2,282. Nilai Durbin-Watson tersebut selanjutnya kamu gunakan untuk membandingkannya dengan nilai dL dan dU pada Tabel Durbin-Watson, dimana n = 44 dan p = 3, dan alpha = 5%.
Pada Tabel Durbin-Watson di atas, tidak terdapat nilai dL dan dU untuk n = 44. Oleh karena itu diperlukan perhitungan manual untuk mendapatkan nilai tersebut, yakni dengan cara interpolasi:
Dengan membandingkan antara nilai d, dL, dan dU terhadap kriteria penolakan Durbin-Watson Test pada pembahasan sebelumnya, keputusan yang diambil adalah gagal tolak H0 karena nilai d > dU. Sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi non-autokorelasi pada contoh soal mengenai tingkat profitabilitas perbankan selama kurun waktu 44 periode telah terpenuhi.
Run Test dengan SPSS
Selanjutnya adalah penerapan Run Test menggunakan software SPSS. Langkah-langkah ini sedikit berbeda dengan Durbin-Watson Test, yakni:
- Pilih Analyze > Regression > Linear, kemudian variabel Y dimasukkan ke dalam kolom “Dependent”, sedangkan kolom “Independet(s)” diisi oleh variabel X1, X2, dan X3. Selanjutnya klik “Save”.
- Selanjutnya akan muncul window “Linear Regression: Save”. Pada window tersebut, centanglah “Unstandardized” yang terdapat pada bagian Residuals. Klik “Continue”, lalu klik pula “OK” yang pada window “Linear Regression”.
- Hasil dari langkah nomor 2 mengakibatkan munculnya variabel baru pada “Data View”, yakni RES_1 yang merupakan residual dari model regresi linear. Hasil residual ini selanjutnya digunakan untuk melakukan Run Test yang akan dibahas pada langkah selanjutnya.
- Pilih Analyze > Nonparametric Tests > Legacy Dialogs > Runs
- Pilih Unstandardized Residual (RES_1) untuk dimasukkan ke dalam kolom “Test Variable List:”, kemudian klik “OK”.
- Nantinya akan muncul output yang bernama NPar Tests. Dalam output tersebut terdapat tabel Runs Test yang selanjutnya digunakan untuk mendeteksi kasus outokorelasi.
Untuk mendeteksi autokorelasi, kamu hanya perlu memperhatikan bagian Asymp. Sig. (2-tailed), atau dapat disebut pula dengan p-value. Dengan menggunakan alpha = 5% serta hipotesis H0: Tidak terdapat autokorelasi vs H1: Terdapat autokorelasi, daerah penolakan untuk pengujian ini adalah tolak H0 jika p-value < alpha.
Pada output tabel Runs Test di atas, p-value bernilai 0,879, di mana nilai ini lebih besar dibandingkan alpha (0,005). Dengan demikian keputusan yang diambil adalah gagal tolak H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi pada kasus regresi mengenai profitabilitas perbankan. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa residual telah memenuhi asumsi independen.
Mengatasi Autokorelasi
Residual bersifat independen atau dapat dikatakan tidak terjadi autokorelasi merupakan asumsi penting yang sebaiknya terpenuhi dalam persoalan regresi. Namun bagaimana jika asumsi ini tidak terpenuhi? Permasalahan autokorelasi dapat diselesaikan dengan menerapkan metode Generalized Least Square (GLS) dan Feasible Generalized Least Square (FGLS) (Gujarati, 2004).
Baca juga: Uji Normalitas Menggunakan SPSS
Pemahaman Akhir
Dalam analisis regresi, salah satu dari empat asumsi yang harus terpenuhi adalah tidak terjadi autokorelasi dalam residual (galat) model. Autokorelasi terjadi ketika terdapat hubungan antara galat pada observasi satu dengan observasi lain dalam urutan waktu. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi autokorelasi dalam data yang sedang dianalisis.
Salah satu metode deteksi autokorelasi adalah dengan menggunakan residual plot. Residual plot merupakan grafik yang menunjukkan hubungan antara residual dengan observasi waktu. Jika grafik residual plot menunjukkan pola tertentu, seperti fluktuasi naik-turun yang konsisten, maka dapat dikatakan bahwa terdapat autokorelasi dalam data.
Metode statistik yang umum digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah Durbin-Watson Test. Tes ini menghasilkan statistik uji d yang dapat membandingkan residual pada observasi ke-t dengan residual pada observasi ke-(t-1). Nilai d yang rendah menunjukkan adanya autokorelasi positif, sementara nilai d yang tinggi menunjukkan adanya autokorelasi negatif. Dengan membandingkan nilai d dengan nilai kritis, kita dapat menentukan apakah terjadi autokorelasi atau tidak.
Metode lain yang dapat digunakan adalah Run Test. Run Test menghitung jumlah run atau urutan berurutan dari simbol positif dan negatif dalam residual. Jika jumlah run tersebut signifikan berbeda dari yang diharapkan dalam kondisi acak, maka dapat dikatakan terjadi autokorelasi dalam data.
Dalam pengujian autokorelasi menggunakan software SPSS, kita dapat menggunakan fitur Durbin-Watson Test dan Run Test yang tersedia. Dengan memasukkan data residual ke dalam SPSS dan mengikuti langkah-langkah yang disediakan, kita dapat mendapatkan hasil pengujian autokorelasi secara otomatis.
Dalam kasus contoh yang diberikan, hasil deteksi autokorelasi menggunakan metode residual plot menunjukkan adanya pola fluktuatif yang mengindikasikan adanya autokorelasi. Hasil pengujian menggunakan Durbin-Watson Test menunjukkan bahwa nilai d berada di luar batas kritis, sehingga kita dapat menyimpulkan terdapat autokorelasi dalam data. Pengujian dengan Run Test juga menghasilkan hasil yang sama, yaitu tolak H0 yang menunjukkan adanya autokorelasi.
Dengan demikian, kesimpulan dari analisis ini adalah terdapat autokorelasi dalam data yang dianalisis. Autokorelasi perlu diperhatikan karena dapat memengaruhi validitas hasil analisis regresi. Informasi mengenai adanya autokorelasi dapat membantu dalam memilih metode analisis yang lebih tepat dan meningkatkan prediksi serta validitas analisis yang dilakukan.
Demikianlah pembahasan mengenai uji autokorelasi beserta perhitungan manual dan software SPSS. Semoga penjelasan di atas dapat bermanfaat, ya.
Sumber:
Kendall, M. G., and Buckland, W. R. (1971). A Dictionary of Statistical Terms. New York: Hafner Publishing Company.
Box, G. E. P., and Jenkins, G. (1976). Time Series Analysis: Forecasting and Control. Holden-Day.
Chatterjee, S., and Hadi, A. S. (2012). Regression Analysis by Example, 5th Edition. John Wiley & Sons, Inc.
Gujarati, D. N. (2004). Basic econometrics 4th edition. Boston, Mass: McGraw-Hill.