Yuk Mengenal Teori Perkembangan Manusia

Hallo readers tambah pinter! Pada artikel kali ini kita akan membahas mengenai teori perkembangan manusia. Bidang perkembangan manusia kini menjadi disiplin ilmu yang ilmiah, memiliki tujuan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi, dan melakukan intervensi. Developmentalist menyadari bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang terjadi seumur hidup.

Developmentalist juga menjelaskan bahwa terdapat tiga domain utama atau aspek dari seorang individu, yaitu : fisik, kognitif, dan psikososial. Perkembangan fisik adalah hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan badan dan otak, kapasitas sensoris, keterampilan motorik, dan kesehatan.

Perkembangan kognitif adalah proses belajar, atensi, memori, bahasa, berpikir, penalaran, dan kreativitas. Sementara itu, perkembangan psikososial meliputi emosi, kepribadian, dan hubungan sosial.

Dalam perkembangan manusia terdapat lima perspektif utama yang banyak mendasari pengaruh teori serta penelitian perkembangan manusia, yaitu :

  • Psikoanalisis, berfokus pada emosi dan dorongan tidak sadar
  • Belajar, berfokus pada perilaku
  • Kognitif, yaitu melakukan analisi terhadap proses berpikir
  • Kontekstual, berfokus pada dampak dari historis, sosial, dan budaya
  • Evolusioner yang mempertimbangkan peranan evolusi serta biologis sebagai dasar perilaku (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Perspektif Psikoanalisis

Pada perspektif psikoanalisis, terdapat dua tokoh psikologi yang saling mengisi untuk pandangan psikoanalisis, tokoh tersebut adalah Sigmund Freud dan juga Erik Erikson.

Teori Sigmund Freud

teori psikoanalisis sigmund freud
Sumber : 272447 dari Pixabay

Sigmund Freud lahir di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan wafat di London pada tanggal 23 September tahun1939. Pada tahun 1837, Freud memasuki sekolah kedokteran di Universitas Wina dan lulus 8 tahun kemudian.

Minat Freud pada neurologi membuat ia menspesialisasikan diri di bidang perawatan gangguan-gangguan saraf, suatu cabang dari ilmu kedokteran yang metode penyembuhannya sedikit tertinggal di abad 19.

Dalam rangka meningkatkan keterampilan teknis, Freud mempelajari hipnosis untuk menyembuhkan histeria dari seorang psikiater terkenal asal Prancis bernama Jean Charcot. Namun, Freud tidak pernah benar-benar yakin bahwa kemanjuran metode tersebut.

Ketika terdapat metode baru yang dikembangkan oleh Joseph Breuer, seorang dokter asal Wina, dimana metode tersebut menyembuhkan pasien dengan cara mengungkapkannya. Freud mencoba metode tersebut dan melihat bahwa metode tersebut efektif.

Tetapi, Freud dan Breuer memiliki perbedaan pendapat mengenai peranan faktor seksual dalam histeria. Freud berpendapat bahwa konflik-konflik seksual merupakan penyebab dari histeria, sementara Breuer berpendapat lebih hati-hati.

Pada akhirnya, Freud bekerja sendiriain mengembangkan ide-ide yang menjadi dasar teori psikoanalitik. Puncaknya pada tahun 1900, dimana Freud menerbitkan buku dengan judul The Interpretation of Dreams.

Dalam teori psikoanalisis, Freud menjelaskan bahwa struktur kepribadian terdiri dari 3 sistem pokok, yaitu : id, ego, dan superego. Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanisme sendiri, namun mereka saling berinteraksi satu sama lain (Hall & Lindzey, 1993).

Pertama, id beroperasi pada prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu dorongan untuk mencari kepuasan dari kebutuhan maupun keinginan. Ketika kepuasan tersebut tertunda, maka mereka akan merasa terpisah dari dunia luar.

Misalnya, seorang bayi yang baru lahir beroperasi berdasarkan prinsip id. Jika bayi tersebut memiliki keinginan untuk makan karena lapar, tetapi tertunda karena mereka harus menunggu agar disuapi – maka mereka akan menangis, hal ini sebagai respon bahwa mereka merasa terpisah dari dunia luar.

Kedua, ego berperan sebagai media untuk mediasi antara id serta superego. Ego bertujuan untuk menemukan cara yang realistis untuk memuaskan id yang dapat diterima oleh superego, dimana hal ini berkembang di usia 5 atau 6 tahun.

Ketiga, superego dapat diartikan sebagai hati nurani yang berfungsi untuk sistem nilai anak agar dapat membedakan antara hal yang harus serta tidak seharusnya dilakukan dalam lingkungan sosial. Superego memiliki standar yang tinggi, sehingga jika standar tersebut tidak bertemu maka anak mungkin akan merasa cemas atau bersalah (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Selain menjelaskan struktur kepribadian, pendapat lain dari Freud adalah bahwa setiap individu mempunyai seksualitas kanak-kanak (infantile sexuality), yaitu dorongan seksual yang terdapat pada bayi.

Dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorongan seksualitas pada orang dewasa, melalui beberapa tingkat perkembangan, yaitu (Basuki, 2008) :

1. Fase oral (mulut)

Pada fase ini kepuasan seksual terutama terdapat di sekitar mulut. Contoh : perbuatan bayi menyusu pada ibunya atau memasukkan benda-benda ke dalam mulutnya adalah dalam rangka mencapai kepuasan fase oral.

2. Fase anal (anus)

fase anal
Sumber : PublicDomainPictures dari Pixabay

Fase ini berlangsung kira-kira pada usia dua tahun, daerah kepuasan seksual berpindah ke anus. Contoh : anak duduk di pispot dalam waktu yang lama untuk menikmati kepuasan seksualnya pada anus.

3. Fase phalic

Fase ketiga adalah fase phalic yang berlangsung pada anak usia 6-7 tahun. Kepuasan seksual pada fase ini terletak pada alat kelamin, tetapi berbeda dengan kepuasan seks pada orang dewasa. Kepuasan seks pada fase ini tidak bertujuan untuk mengembangkan keturunan.

4. Fase latent

Fase ini terjadi ketika anak-anak berusia 7-8 tahun hingga awal masa remaja. Fase ini dinamakan latent (tersembunyi), karena pada fase ini terlihat seolah-olah tidak terjadi aktivitas seksual.

5. Fase genital

Fase genital dimulai sejak masa remaja, dimana letak utama kepuasan seksual adalah pada alat kelamin.

Teori Erik Erikson

Erik Erikson lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 15 Juni tahun 1902. Erikson tidak pernah mengenal ayahnya, karena kedua orangtunya berpisah sebelum Erikson lahir. Kemudian, ibunya menikah dengan seorang dokter bernama Homburger – nama ini menjadi nama tengah Erikson.

Baca juga: Pengertian Kepribadian dalam Psikologi

Tahun 1939, ketika Erikson menjadi warga negara Amerika ia menambahkan nama Erikson, sehingga nama tersebut menjadi Erik Homburger Erikson. Erikson menyelesaikan pendidikannya di Gymnasium tanpa mengetahui hal apa yang benar-benar ingin dilakukannya.

Pada waktu Erikson berusia 25 tahun, ia diundang untuk mengajar di suatu sekolah swasta kecil yang terletak di Wina. Hal tersebut membuat Erikson menjadi sangat tertarik dengan dunia pendidikan anak-anak, sehingga ia memutuskan untuk bersekolah kembali dantamat dari sekolah pendidikan guru yang menerapkan metode Montessori.

Metode montessori adalah metode yang menjelaskan bahwa perkembangan anak adalah hasil inisiatif melalui permainan dan pekerjaan. Adanya pengalaman tersebut membuat pengaruh yang besar dalam hidup Erikson.

Berkenalan dengan perkumpulan Freud, Erikson akhirnya mempelajari psikoanalisis dibawah bimbingan Anna Freud di Institut Psikoanalisis Wina. Lulus pada tahun 1933 dari institut tersebut, Erikson pada akhirnya menemukan identitas profesinya (Hall & Lindzey, 1993).

Dalam teori perkembangan psikososial, Erikson menjelaskan adanya delapan tahapan rentang kehidupan. Empat tahapan pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa remaja, dan ketiga tahap terakhir adalah pada masa dewasa hingga dewasa akhir. (Hall & Lindzey, 1993).

Pada setiap tahapan terdapat krisis dalam kepribadian. Setiap tahapan dalam perkembangan psikososial menuntut adanya keseimbangan dari tendensi positif dengan tendensi negatif yang saling berhubungan. Keseimbangan tersebut dibutuhkan agar anak tersebut mendapatkan perkembangan yang optimal.

Dibawah ini adalah 8 tahapan perkembangan psikososial yang dipelopori oleh Erik Erikson (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014) :

1. Basic trust vs mistrust (lahir hingga 12-18 bulan)

basic trust vs mistrust
Sumber : Myriam Zilles dari Pixabay

Dalam tahapan ini, yang diutamakan adalah harapan. Bayi mengembangkan perasaan apakah dunia ini baik dan merupakan tempat yang aman.

2. Autonomy vs shame and doubt (12-18 bulan hingga 3 tahun)

Tahap autonomy vs shame and doubt berfokus pada kemauan anak. Pada fase ini, anak akan mengembangkan keseimbangan kemandirian serta kemandirian yang didasari karena rasa malu atau keragu-raguan.

3. Initiative vs guilt (3 tahun hingga 6 tahun)

Fase ini anak mengembangkan inisiatif saat mencoba aktivitas baru tanpa diliputi oleh rasa bersalah. Yang diutamakan pada tahapan ini adalah tujuan anak dalam melakukan aktivitas baru tersebut.

4. Industry vs inferiority (6 tahun hingga masa pubertas)

Tahap industry vs inferiority mengutamakan keterampilan pada anak. Anak harus mempelajari keterampilan dari budaya atau menghadapi perasaan tidak kompeten.

5. Identity vs identity confusion (masa pubertas hingga masa dewasa muda)

Fase ini akan menuntut remaja agar menentukan ‘siapa dirinya?’. Jika remaja tidak dapat menentukan siapa dirinya, maka remaja akan mengalami kebingungan mengenai peranannya dalam kehidupan sosialnya. Fokus pada fase ini adalah kesetiaan.

6. Intimacy vs isolation (masa dewasa muda)

intimacy vs isolation
Sumber : Claudio_Scott dari Pixabay

Individu pada tahapan ini akan mencari komitmen dengan individu yang lain. Jika individu tidak berhasil mendapatkan hal ini, maka individu akan merasa menderita dari isolasi. Tujuan utama dari fase ini adalah cinta.

7. Generativity vs stagnation (masa dewasa pertengahan)

Tahapan ini terjadi pada individu dewasa yang sudah matang. Pada tahapan ini fokus utamanya adalah rasa peduli terhadap sesama. Individu akan membimbing serta membentuk generasi selanjutnya. Jika individu gagal melakukan hal tersebut, maka individu akan merasa memiliki kualitas diri yang rendah.

8. Integrity vs despair (masa dewasa akhir)

Pada fase ini, individu yang berada di tahapan dewasa akhir tiba pada titik dimana mereka menerima hidup mereka sendiri, menerima terjadinya kematian, hingga merasakan putus asa karena ketidakmampuan untuk menghidupkan kembali kehidupan mereka. Fokus utama pada tahap integrity vs despair adalah kebijaksanaan.

Perspektif Belajar

Perspektif belajar menjelaskan dua teori psikologi yang berperan dalam perkembangan manusia, yaitu : teori behavioristik dan teori belajar sosial.

Teori Behaviorisme Pavlov, Watson, dan Skinner

Teori behaviorisme adalah teori belajar yang menggambarkan perilaku sebagai hal yang dapat diprediksi, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan. Behaviorisme memandang bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap apa yang mendasari perilaku seseorang.

Respon individu terhadap kondisi maupun aspek dalam lingkungan adalah hal yang akan dipelajari oleh individu sepanjang hidupnya, baik oleh hal-hal yang menyakitkan maupun hal-hal yang menyenangkan.

Behaviorisme memiliki fokus utama pada perilaku individu, dimana penelitian perilaku berfokus pada belajar asosiatif yang terbentuk dalam dua peristiwa. Dua jenis belajar asosiatif tersebut, yaitu : pengkondisian klasikal dan pengkondisian instrumental.

Pengkondisian klasikal dipelopori oleh seorang psikolog asal Rusia bernama Ivan Pavlov. Pengkondisian klasikal terkenal dengan penelitian Pavlov terhadap anjing yang belajar untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar suara bel berbunyi sebagai tanda dari waktu makan.

Pengkondisian klasik
Sumber : Ludwig Willimann dari Pixabay

Dalam kasus ini, air liur merupakan respon, sedangkan suara bel adalah stimulus. Setelah dilakukan berulang kali, air liur anjing akan keluar ketika mendengarkan suara bel sebagai tanda dari memperoleh makanan, dimana pada kondisi yang biasa ketika bel tersebut berbunyi anjing tidak mendapatkan makanan.

Selain Ivan Pavlov, terdapat John B. Watson yang melakukan penelitian terhadap ‘Albert kecil’ mengenai pengaruh perilaku orang tua dalam melaksanakan prinsip teori belajar dalam mengasuh anak. Watson melakukan penelitian dengan memaparkan suara keras ketika memunculkan seekor tikus.

Setelah berulang kali memasangkan tikus putih dengan suara yang keras, maka Albert menunjukan respon takut terhadap kelinci dan kucing berbulu putih, serta jenggot lelaki tua. Kesimpulan dari penelitian ini adalah rasa takut pada bayi dapat dikondisikan untuk takut terhadap sesuatu hal yang sebelumnya tidak membuatnya takut.

Pengkondisian instrumental menekankan pada perilaku serta konsekuensinya. Misalnya, ketika seorang anak bernama Richard mulai berceloteh “ma-ma-ma”, maka ibunya akan tersenyum dan membantu Richard untuk mengulang suku kata tersebut.

Richard akan mendapatkan konsekuensi yang dia inginkan, seperti perhatian dari orang tua. Perilaku tersebut pada akhirnya telah menjadi respon kondisional, karena anak belajar dari konsekuensi instrumental dalam lingkungannya.

Baca juga: Teori Kepribadian Psikoanalitik

Selanjutnya, terdapat seorang tokoh psikolog dari Amerika bernama B.F. Skinner yang terkenal dengan penelitian tikus serta burung merpati. Skinner memformulasikan prinsip pengkondisian klasikal pada tikus serta burung merpati yang juga dapat diterapkan pada manusia. Bedanya, pada penelitian Skinner melibatkan penguatan (untuk memperkuat perilaku agar diulangi) serta hukuman (untuk mengurangi atau melemahkan perilaku untuk diulang).

Contohnya, jika Richard mendapatkan senyuman dari ibunya ketika berusaha untuk mengatakan suatu kata, maka perilaku tersebut akan cenderung diulangi. Sementara itu, ketika Richard berusaha untuk mengatakan suatu kata dan ibunya memberikan respon cemberut, maka hal ini akan dianggap sebagai hukuman yang membuat Richard berhenti untuk mengulangi kata-kata tersebut.

Namun, perlu diingat bahwa jika suatu respon tidak lagi dikuatkan maka perilaku tersebut akan padam dan kembali ke perilaku awal. Karena penguatan yang paling efektif adalah penguatan yang secara cepat diikuti oleh perilaku.

Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Albert Bandura merupakan seorang psikolog asal Amerika yang banyak mengembangkan prinsip dari teori belajar sosial. Teori behaviorist memiliki pemahaman bahwa lingkungan bekerja pada individu, sementara Bandura berpendapat bahwa perkembangan adalah hasil dari interaksi dua arah antara dunia dan individu.

Teori belajar klasik mengatur bahwa individu belajar mengenai perilaku sosial dengan cara mengamati dan kemudian melakukan imitasi. Dalam prosesnya, individu cenderung memiih model yang mereka rasa dapat mengendalikan atau dapat memberikan hadiah atas apa yang telah mereka lakukan.

Dalam teori belajar klasik, perilaku imitasi terhadap model yang sudah dipilih adalah cara yang sangat penting bagi anak dalam mempelajari bahasa, menghadapi agresor, menumbuhkan moral, dan mempelajari perilaku sesuai gender.

Sementara itu, Bandura melakukan modifikasi dari teori belajar klasik menjadi teori belajar sosial. Teori belajar sosial merefleksikan proses kognitif sebagai inti dari perkembangan. Proses kognitif bekerja seperti individu mengamati model, mempelajari potongan kecil dari perilaku tersebut, kemudian mental akan memproses potongan-potongan perilaku tersebut ke dalam pola perilaku baru yang kompleks (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Misalnya, Glenn adalah seorang pemain piano tetapi untuk beberapa lagu Glenn merasa masih kurang mahir. Hal tersebut akhirnya membuat Glenn merasa harus meniru cara Andi dalam memainkan lagu-lagu yang ia rasa kurang mahir. gerakan tersebut dari temannya Alisa yang dia lihat lebih mahir. Dalam hal ini, Glenn perlahan akan menyadari hal apa saja yang ia butuhkan agar menjadi pemain piano yang mahir.

Perspektif Kognitif

Perspektif kognitif berfokus pada proses berpikir serta perilaku yang merefleksikan proses tersebut. Pada perspektif ini terdapat dua teori organismik dari teori tahap kognitif Piaget dan teori sosial budaya milik Vygotsky.

Teori Tahapan Kognitif Jean Piaget

Teori Tahapan Kognitif Piaget
Sumber : Steve Riot dari Pixabay

Piaget merupakan perintis dari “revolusi kognitif” yang berfokus pada proses mental. Piaget memandang bahwa perkembangan organismik adalah hasil usaha dari anak untuk memahami serta bereaksi terhadap dunia mereka.

Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses, yaitu : penyusunan (organization), adaptasi (adaptation), dan keseimbangan (equilibration).

Pertama, penyusunan (organization) adalah kecenderungan untuk menciptakan kategori-kategori dengan mengamati karakteristik anggota individual dari kategori. Misalnya, apa kesamaan yang dimiliki burung pipit dan burung kutilang.

Setelah mendapatkan kesamaan karakteristik tertentu, maka anak akan menciptakan struktur kognitif yang semakin kompleks, disebut dengan skema. Skema dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengorganisasikan informasi mengenai dunia yang diatur sebagaimana anak berpikir dan berperilaku pada situasi tertentu.

Misalnya, seorang bayi yang baru lahir memiliki skema sederhana untuk menghisap, kemudian skema tersebut akan berkembang menjadi skema yang lebih variatif lagi – mengenai bagaimana anak akan menghisap puting payudara, botol susu, maupun jempol.

Kedua, adaptasi (adaptation) merupakan cara anak untuk mengelola informasi baru yang mereka kaitkan dengan informasi yang sudah mereka ketahui. Adaptasi terjadi melalui dua proses yang saling menguntungkan, yaitu : asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses pengambilan informasi baru dan menggabungkan informasi tersebut dengan struktur kognitif yang sudah ada. Sementara itu, akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif yang sudah ada dengan informasi yang baru.

Misalnya, ketika bayi menghisap puting payudara atau botol susu hal tersebut adalah proses asimilasi. Tetapi, ketika bayi dipertemukan dengan menghisap melalui cangkir – maka bayi harus melakukan modifikasi dengan cara menghisap yang sudah diketahui sebelumnya.

Ketiga, keseimbangan (equilibration) adalah istilah yang diberikan Piaget untuk kecenderungan mencari keseimbangan yang stabil di antara elemen kognitif, melalui keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi.

Misalnya, ketika anak melihat pesawat pertama kali maka anak akan melabeli pesawat sebagai burung (asimilasi). Namun, suatu saat anak mengetahui perbedaan antara pesawat dan burung (hal ini disebut dengan ketidakseimbangan / disequilibrium). Adanya perbedaan tersebut membuat anak mengubah pemahaman mereka (akomodasi).

Pengamatan Piaget menghasilkan banyak informasi dan beberapa kejutan pandangan. Piaget telah menunjukakn kepada kita mengenai pikiran anak-anak bukanlah miniatur pemikiran orang dewasa (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Tidak hanya proses perkembangan kognitif pada anak, Piaget juga mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi 4 tahap, yaitu :

1. Tahap sensorimotor (0-2 tahun)

Pada tahap ini, pemikiran anak dilandaskan pada tindakan inderawinya.

2. Tahap praoperasi (2-7 tahun)

Saat tahap praoperasi, anak mulai berpikir dengan menggunakan simbol keinginannya atau pemikirannya, khususnya penggunaan bahasa.

3. Tahap operasi konkrit (8-11 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai berpikir dengan menggunakan aturan-aturan logis yang jelas.

4. Tahap operasi formal (11 tahun keatas)

Pada tahap ini, anak mulai berpikir abstrak dan sudah mampu membentuk hipotesis di dalam pikirannya, tidak lagi terpaku pada aturan-aturan logsi seperti di tahapan sebelumnya.

Tahap-tahap tersebut tentu saja tidak berdiri masing-masing. Tahap-tahap ini juga berjalan dalam urutan perkembangan, sehingga tidak bisa terjadi loncatan atau pertukaran tahap. Tahap pertama diandaikan untuk perkembangan tahap berikutnya. Hanya saja tahun terbentuknya setiap tahap dapat berbeda-beda, sesuai kondisi dan situasi seseorang (Basuki, 2008).

Teori Sosial Budaya Lev Vygotsky

Teori sosial budaya
Sumber : Daniela Dimitrova dari Pixabay

Teori sosial budaya yang dipelopori oleh Lev Vygotsky (1978) sama seperti teori Piaget, dimana fokus utamanya terletak pada keterlibatan aktif anak terhadap lingkungannya. Namun, pada saat Piaget menggambarkan pikiran tunggal menyerap dan menginterpretasi informasi mengenai dunia, Vygotsky melihat pertumbuhan kognitif sebagai proses kolaborasi.

Vygotsky menaruh penekanan khusus pada bahasa, tidak hanya sebagai ekspresi dari pengetahuan dan pikiran, tetapi juga memiliki makna esensoail untuk belajar dan berpikir mengenai dunia.

Berdasarkan Vygotsky, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju harus membantu mengarahkan dan mengatur belajar anak sebelum anak dapat menguasai dan menginternalisasi dalam diri anak.

Pedoman tersebut sangat efektif untuk membantu anak melewati zone of proximal development (ZPD) atau zona perkembangan proksimal. Zona tersebut adalah celah antara apa yang telah berhasil dilakukan oleh diri mereka sendiri dan apa yang bisa mereka capai dengan pendampingan.

Instruksi yang sensitif dan efektif merupakan tujuan dari ZPD dan meningkatkan kompleksitas instruksi – disertai dengan kemampuan anak yang juga semakin membaik. Tanggung jawab untuk mengarahkan dan memonitor tahapan belajar beralih ke anak.

Misalnya, ketika orang dewasa mengajari anak untuk mengambang / mengapung, dukungan orang dewasa yang pertama kepada anak di dalam air dan kemudian secara bertahap melepaskan anak di saat tubuh anak mulai santai ke dalam posisi horizontal (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Perspektif Kontekstual

microsystem
Sumber : Sanu A S from Pixabay

Berdasarkan perspektif kontekstual, perkembangan dapat dipahami hanya jika dalam konteks sosial. Kontekstualitas melihat individu bukan sebagai entitas yang interaksinya terpisah dari lingkungan, tetapi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari itu.

Seorang psikolog dari Amerika bernama Urie Bronfenbrenner (1917-2005) dengan teori bioekologis mengidentifikasi lima tingkat dari pengaruh lingkungan, mulai sangat intim sampai ke sangat luas.

Pertama, microsystem adalah lingkungan sehari-hari, di rumah, sekolah, tempat kerja, atau lingkungan sekitar, termasuk hubungan tatap muka dengan pasangan, anak, orang tua, teman, teman sekelas, guru, atasan, atau rekan kerja. Misalnya : bagaimana bayi yang baru lahir berdampak pada kehidupan orang tua?

Kedua, mesosystem adalah beragam mikrosistem yang saling terkait. Hal ini mungkin termasuk kaitan antara rumah dan sekolah (misalnya : pertemuan guru dan orang tua murid) atau antara keluarga dan kelompok sebaya (misalnya : hubungan yang terbangun di antara keluarga dari anak di lingkungan sekitar kelompok bermain). Sebagai contoh, hari yang buruk bagi orang tua di tempat kerja mungkin berdampak pada interaksi dengan anak sepulang kerja dengan cara negatif.

Ketiga, exosystem berisi kaitan antara mikrosistem dan sistem di luar atau institusi yang berdampak langsung pada individu. Misalnya : bagaimana sistem transportasi umum berdampak pada kesempatan kerja? Atau apakah program televisi yang membangkitkan perilaku prososial membuat anak lebih suka menolong?

Keempat, macrosystem berisi pola-pola budaya yang menyeluruh, misalnya keyakinan yang dominan, ideologi, sistem ekonomi, dan politik. Sebagai contoh : bagaimana dampak individu yang hidup pada kelompok sosial yang bersifat sosialis dan kapitalis?

Kelima, chronosystem merupakan sistem yang menambahkan dimensi serta waktu. Perubahan atau keajegan pada individu dan lingkungan. Hal ini dapat juga termasuk perubahan dalam struktur keluarga, tempat tinggal, atau pekerjaan, begitu juga dengan perubahan budaya, seperti : perang, dan perputaran ekonomi (periode resesi atau kemakmuran kerabat).

Berdasarkan Bronfenbrenner, individu tidak hanya  hasil dari perkembangan, tapi juga dibentuk oleh perkembangan. Individu mempengaruhi perkembangannya melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan keterampilan, ketidakmampuan, dan temperamen.

Perspektif kontekstual mengingatkan kita bahwa temuan mengenai perkembangan manusia pada suatu budaya atau dalam suatu kelompok di dalam budaya (misalnya : kulit putih, kelas menengah Amerika) mungkin tidak bisa diterapkan secara sama pada individu di kelompok sosial lain atau kelompok budaya yang lain (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Perspektif Evolusioner / Sosiobiologis

Perspektif evolusioner
Sumber : WikiImages dari Pixabay

Perspektif evolusioner / sosiobiologis diusulkan oleh E. O Wilson (1975) berfokus pada evolusioer dan biologis sebagai dasar dari perilaku. Perspektif ini dipengaruhi oleh teori Darwin mengenai evolusi, menggambarkan temuan dari antropologi, ekologi, genetika, etologi, dan psikologi evolusioner untuk menjelaskan adaptif atau bertahan, nilai dari perilaku untuk individu ataupun spesies.

Berdasarkan Darwin, spesies telah berkembang melalui proses-proses yang terkait dengan proses bertahan hidup dan seleksi alam. Individu dengan sifat bawaan yang cocok (lebih baik beradaptasi) dengan lingkungannya bisa bertahan dan menghasilkan lebih dari mereka yang kurang cocok (kurang beradaptasi).

Mekanisme evolusi adalah perilaku yang dikembangkan untuk mengatasi masalah dalam proses adaptif di awal lingkungan. Sebagai contoh, keengganan mendadak pada makanan tertentu selama kehamilan, mungkin aslinya berkembang untuk melindungi fetus yang rentan dari zat beracun (Profet dalam Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Psikologi evolusioner menerapkan prinsip Darwin pada perilaku manusia. Psikologi evolusioner mendebat bahwa hanya sebagian tubuh kita yang khusus untuk fungsi tertentu, bagian dari pikiran kita seperti hasil dari seleksi alam dan juga memiliki fungsi spesifik.

Berdasarkan pada teori ini, individu secara tidak sadar berjuang, tidak hanya untuk bertahan hidup personal, tetapi juga untuk mengabadikan warisan genetis mereka. Bagaimanapun juga perspektif evolusioner tidak perlu menurunkan perilaku manusia sepenuhnya kepada dampak dari gen yang berusaha untuk memproduksi diri mereka sendiri, juga tidak menyiratkan bahwa keinginan mengabadikan gen menjadi kesadaran atau disengaja.

Psikologi perkembangan evolusioner menerapkan prinsip-prinsip evolusioner pada perkembangan manusia. Mereka mempelajari topik mengenai strategi pengasuhan, perbedaan, gender dalam bermain dan hubungan dengan sebaya, dan mereka mengidentifikasi perilaku yang adaptif di usia yang berbeda (Papalia, Feldman, dan Martorell, 2014).

Baca juga: Mengenal Teori Perkembangan Manusia

Pemahaman Akhir

Dalam pembahasan mengenai teori perkembangan manusia, dapat disimpulkan bahwa perkembangan manusia adalah proses yang kompleks yang terjadi seumur hidup. Terdapat tiga domain utama dalam perkembangan manusia, yaitu fisik, kognitif, dan psikososial.

Perspektif psikoanalisis, yang dipelopori oleh Sigmund Freud dan Erik Erikson, menjelaskan tentang struktur kepribadian dan tingkatan perkembangan seksual pada manusia. Freud menekankan peranan dorongan seksual dalam perkembangan manusia, sedangkan Erikson menekankan pada tahapan perkembangan psikososial.

Perspektif belajar menjelaskan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Teori behaviorisme, yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov, John B. Watson, dan B.F. Skinner, menekankan pada pembelajaran melalui pengkondisian klasik dan instrumental. Teori belajar sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, menekankan pentingnya pengamatan dan imitasi dalam pembelajaran.

Perspektif kognitif, yang dipelopori oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan pada proses berpikir dan perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan kognitif, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran.

Perspektif kontekstual, yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner, menekankan pentingnya konteks sosial dalam perkembangan manusia. Teori ini menyoroti pengaruh lingkungan, mulai dari lingkungan sehari-hari individu hingga faktor budaya dan waktu.

Perspektif evolusioner atau sosiobiologis mengacu pada peran evolusi dan faktor biologis dalam membentuk perilaku manusia. Perspektif ini menggabungkan temuan dari berbagai bidang, seperti antropologi, genetika, dan psikologi evolusioner, untuk menjelaskan nilai adaptif dari perilaku.

Secara keseluruhan, pemahaman tentang teori perkembangan manusia melalui berbagai perspektif memberikan wawasan yang kaya dan holistik tentang kompleksitas dan dinamika perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupannya.

Wah, setelah membaca artikel ini readers tentunya menjadi semakin tertarik ya mempelajar bidang perkembangan manusia yang bersifat seumur hidup. Manusia sebagai mahkluk yang terus berkembang ternyata dipengaruhi oleh banyak hal dalam perkembangannya. Dari teori diatas, kira-kira teori perkembangan apa yang paling menarik untuk readers?


Sumber:

Hall, C.S., & Lindzey, G. (1993). Psikologi Kepribadian I : Teori-teori Psikodinamik (klinis). Yogyakarta : Kanisius

Papalia, D.E., Feldman, R.D., & Martorell, G. (2014). Perkembangan Manusia. Jakarta : Salemba Humanika

Basuki, H. (2008). Psikologi Umum. Jakarta : Universitas Gunadarma

Artikel Terbaru

Avatar photo

Priskila

Memiliki prinsip bahwa setiap orang mempunyai alasannya masing-masing untuk menghasilkan sebuah keputusan atau berperilaku. Hobi menulis yang ditekuninya dari sejak kecil ternyata membuat Priskila semakin komunikatif dalam menulis beragam topik dan berlanjut hingga sekarang. Disamping itu, Priskila juga menjadikan profesi Human Resource sebagai pekerjaan yang ditekuninya hingga saat ini.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *