Mengenal Teori Komunikasi Organisasi

Rasanya mustahil sekali jika kita hidup tanpa berorganisasi. Sebut saja dari yang terdekat seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hingga organisasi ekstra kampus dengan berbagai landasan ideologi. Organisasi menjadi salah satu cara untuk berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat dan paham yang sama serupa dengan kita.

Untuk memahami bagaimana efektivitas suatu organisasi, kamu bisa mempelajari teori komunikasi organisasi. Namun, sebelum mempelajari teori, ada baiknya kamu memahami terlebih dahulu definisi komunikasi organisasi ya!

Definisi Komunikasi Organisasi

definisi komunikasi organisasi
Photo by Sebastian Herrmann on Unsplash

Menurut Pace & Faules (2006), komunikasi organisasi adalah perilaku organisasi terjadi dan bagaimana aktor yang terlibat dalam proses tersebut saling berbagi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi.

Hampir serupa dengan definisi komunikasi organisasi sebelumnya, Goldhaber (1986) mengartikan komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan dan pertukaran pesan dalam suatu hubungan yang saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang penuh ketidakpastian (Muhammad, 1995).

Contoh paling nyata yang dapat kamu lihat ialah perserikatan pekerja. Biasanya, dalam suatu perusahaan besar, pekerjanya memiliki perserikatan untuk membahasa kebijakan perusahaan dan masa depan anggotanya sebagai pegawai perusahaan.

Teori Komunikasi Organisasi

teori komunikasi organisasi
Image by Werner Heiber from Pixabay

Suatu organisasi dapat bertahan dengan komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi memiliki empat fungsi yakni sebagai kontrol/pengawasan, motivasi, pengungkapan emosional dan informasi (Scott & Mitchell, 1976). Komunikasi organisasi yang efektif dapat mempengaruhi tercapainya tujuan organisasi secara maksimal. Nah, untuk mengetahui efektivitas komunikasi yang dilakukan, kamu bisa mengetahuinya dengan mempelajari teori komunikasi organisasi.

Organizational Culture Theory

Salah satu teori yang populer dalam kajian komunikasi organisasi ialah Organizational Culture Theory. Jika kamu merupakan pengguna Linkedin, pasti kamu familiar dengan berbagai perusahaan yang tidak hanya membagikan informasi lowongan kerja saja, namun juga membagikan kegiatan dan rutinitas para pegawainya. Kegiatan dan rutinitas itu merupakan budaya organisasi (organizational culture).

Joann Keyton mendalami komunikasi yang terjadi dalam keberlangsungan budaya organisasi. Melalui teori ini, kamu dapat mengetahui bagaimana nilai-nilai dalam organisasi, anggapan mengenai organisasi dan identitas organisasi terbentuk melalui interaksi antar anggotanya (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Bagi Keyton, organisasi tidak memiliki suatu budaya, melainkan berwujud budaya itu sendiri (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Term budaya organisasi merujuk pada budaya mengenai pengorganisasian di mana terdapat pertukaran cerita, kebiasaan, simbol dan berbagai kegiatan yang menciptakan kepercayaan bersama.

Kamu pernah dengar cerita mengenai kegiatan mahasiswa yang memiliki ritual perploncoan bagi anggota barunya? Ada suatu masa di mana perploncoan dianggap sebagai sarana untuk membangun karakter seseorang. Mungkin, kamu sebagai orang luar yang tidak mengalami hal tersebut menganggap perploncoan sebagai suatu yang terbelakang, namun tidak bagi para anggotanya.

Kepercayaan bahwa dengan melakukan tindakan perploncoan seperti penyiksaan secara verbal dan nonverbal memperkuat mental seseorang menjadi salah satu bentuk kepercaaan bersama (shared understanding) dalam komunikasi organisasi. Pemaknaan bahwa hal tersebut penting dan cukup masuk akal untuk dilakukan merupakan pemaknaan dan kesadaran bersama (shared meaning and shared sense making).

Kepercayaan, pemaknaan dan kesadaran bersama tersebut dapat terwujud dengan adanya interaksi melalui komunikasi antar anggotanya. Untuk mendalami hal tersebut, Keyton menawarkan lima perspektif yang dikenal dengan lens of narrative reproduction yakni the lens of narrative reproduction, the lens of textual production, the lens of power and politics, technology dan the lens of symbolic performance.

The lens of narrative reproduction merupakan cerita yang diulang-ulang untuk mennyampaikan nilai-nilai organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, selama mengikuti kegiatan debat bahasa inggris di kampus, seniormu bercerita bahwa beberapa alumni berhasil memperoleh karir yang cemerlang karena memenangkan kompetisi debat. Cerita tersebut di samping menjadi motivasi juga bertujuan agar organisasi tidak kehilangan anggotanya dan kegiatan terus berjalan.

The lens of textual production merupakan nilai-nilai yang dimuat dalam tulisan formal seperti misi organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Umumnya dapat dilihat dalam akun resmi media sosial atau website yang mewakilkan tujuan adanya organisasi.

The lens of power and politics memuat praktik normatif dari kekuasaan para anggota organisasi untuk memetakan siapa yang menguntungkan dan siapa yang berbahaya bagi kelangsungan organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Jika kamu melihat dalam konteks dunia kerja, seorang direktur bisa saja memberhentikan pegawainya karena melakukan penyelewengan. Direktur dapat melakukan hal tersebut karena memiliki kekuasaan yang diberikan perusahaan (organisasi).

The lens of technology melihat bagaimana penggunaan teknologi dapat menciptakan suatu kebiasaan dalam organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, kamu bergabung dengan Divisi Media di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampusmu. Berbeda dengan divisi lainnya yang rapat secara langsung, untuk mempermudah koordinasi, divisimu memanfaatkan Google Meet untuk rapat. Kebiasaan penggunaan Google Meet yang dilakukan divisimu merupakan apa yang berusaha dilihat dari perspektif ini.

Terakhir ada juga the Lens of Symbolic Performance. Perspektif ini berusaha melihat bagaimana berbagai kejadian dan komunikasi yang unik membentuk budaya organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater tempatmu bergabung sangatlah humoris. Tiada pertemuan dihabiskan tanpa gelak tawa. Pada akhirnya, UKM Teater dikenal sebagai organisasi yang santai dan menyenangkan. Itulah yang berusaha dilihat Keyton dalam perspektif ini.

Organizational Information Theory

Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Karl Weick. Pada dasarnya, teori ini memandang bahwa organisasi tidak terdiri dari struktur anggota dan sejumlah posisi yang memiliki peran, namun merupakan sebuah kegiatan komunikasi (Morissan, 2009).

Fokus dari teori ini ialah komunikasi informasi, seperti penyampaian pesan yang penting untuk menentukan keberhasilan suatu organisasi. Secara spesifik, teori ini menaruh perhatian pada proses organisir anggota untuk mengelola informasi (Morissan, 2009). Informasi yang diterima organisasi perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastiaan.

Baca juga: Teori Komunikasi Kelompok

Dalam perusahaan, biasanya hanya orang-orang pemegang posisi tinggi dengan pengalaman kerja yang cukup lama saja yang bisa mengetahui secara detail krisis yang dialami perusahaan. Orang-orang tersebut dipercaya sebagai penanggung jawab yang dapat mengkomunikasikan krisis tersebut dengan baik pada pegawai di bawahnya serta sebagai pemberi solusi untuk perusahaan.

Menurut Weick, proses organisir informasi merupakan sebuah evolusi yang terdiri dari tiga tahap. Pertama, enactment (penerimaan informasi yang mengacu pada proses interpretasi informasi oleh anggota organisasi. Kedua, selection (seleksi) yang mengacu pada pemilihan metode untuk memperoleh informasi tambahan jika informasi yang diperoleh masih tidak pasti. Ketiga, retention (retensi) yang mengacu pada pemanfaatan informasi untuk dijadikan pembelajaran di masa yang akan datang (Morissan, 2009).

Theory of Bureaucracy

Teori ini dicetuskan oleh ahli sosiologi asal Jerman, Max Weber. Berbeda dari dua teori sebelumnya yang lebih berfokus pada organisasi berlangsung dengan komunikasi, teori ini menyatakan bahwa organisasi didasari oleh peraturan dan hierarki. Menurut Weber, interaksi interpersonal merupakan upaya koordinasi tugas individu dalam organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Terdapat tiga prinsip dalam organisasi menurut Weber yakni otoritas, spesialisasi dan regulasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).  Otoritas merujuk pada legitimasi kekuasaan. Seseorang mendapatkan kekuasaan jika ditetapkan oleh organisasi. Seorang petinggi bisa menyuruh bawahannya karena mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal tersebut.

Spesialisasi merujuk pada peran yang dimiliki anggota organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Ketika kamu akan bergabung dengan suatu perusahaan, kamu akan mendapatkan penjelasan mengenai apa yang harus kamu lakukan (deskripsi pekerjaan). Deskripsi pekerjaan biasanya akan dijelaskan oleh HRD (Human Resources Department). Spesialisasi yang jelas biasanya berlaku dalam organisasi formal dengan jumlah anggota yang besar.

Sedangkan regulasi memuat peraturan dalam perusahaan (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Peraturan dalam perusahaan ditegakkan untuk mempermudah koordinasi dan mengatur anggotanya (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, ada aturan yang ketat mengenai jam datang, jam pulang dan jam makan siang bagi pekerja kantoran untuk memastikan semua pekerjaan selesai sesuai target yang ditetapkan.

Organizational Control Theory and Organizational Identification

Teori ini digagas oleh Philip Tompkins, George Cheney, dkk. Dalam teori ini terdapat dua konsep penting yakni kontrol organisasi dan identifikasi organisasi.

Tompkins, Cheney, dkk tertarik pada peran concertive control dalam organisasi. Concertive control dapat berupa peraturan tak tertulis hasil dari nilai-nilai interaksi dalam organisasi yang menggantikan peraturan tertulis organisasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, dalam kontrak kerjamu tertulis tidak ada sistem dan upah lembur, namun selalu ada banyak pekerjaan sehingga mau tak mau bekerja sampai malam menjadi budaya umum di kantormu.

Jika kamu menolak bekerja sampai malam, teman-teman kantormu yang lain akan menganggapmu payah meskipun dalam peraturan tertulis tidak ada peraturan lembur. Normalisasi kerja sampai malam merupakan bentuk concertive control yang bisa terus langgeng karena adanya pembentukan identitas hasil dari proses identifikasi organisasi (organizational identification).

Identitas dapat terbentuk melalui proses identifikasi organisasi di mana setiap anggota organisasi menghubungkan dirinya dengan anggota lain (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Dalam kasus lembur di atas, tiap karyawan baru di tempatmu melihat bahwa karyawan lainnya tidak bermasalah jika bekerja sampai malam asal selesai dengan baik. Nah, lama-kelamaan mereka mulai mengikuti kebiasaan tersebut dan meyakini hal yang sama meskipun dalam peraturan tertulis tidak ada sistem lembur. Itulah makna identifikasi yang dimaksud.

Pada akhirnya baik kontrol dalam organisasi dan identifikasi merupakan hal yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Tanpa identifikasi para anggotanya, sebuah organisasi tidak dapat menjalankan kontrol secara maksimal.

Corporate Social Responsibility Communication Model

Ralph Tench, dkk, mengembangkan model teoritis mengenai faktor komunikasi dalam kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan suatu perusahaan. Model teoritis ini terdiri dari empat elemen di antaranya komunikasi, subjek komunikasi, bentuk komunikasi dan konten komunikasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Komunikasi sendiri mengacu pada fakta bahwa komunikasi dijalankan dan bersifat dua arah atau tidak. Menurut Tench, dkk, komunikasi dalam CSR haruslah bersifat dua arah agar dapat memiliki hasil yang efektif (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Akan terasa sia-sia bukan jika sebuah perusahaan melakukan kegiatan CSR tanpa diketahui publik? Pada akhirnya CSR selalu memiliki tujuan tersendiri yang menguntungkan perusahaan.

Subjek komunikasi mengacu pada penerima pesan (berbagai stakeholders) dan perusahaan (pemberi pesan mengenai CSR) (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Dalam elemen ini, ketepatan CSR dengan stakeholder adalah kunci efektivitas CSR. Untuk mengetahui ketepatan tersebut, dilakukanlah komunikasi. Jika pihak tersebut merespon program CSR suatu perusahaan dengan baik, perusahaan perlu melanjutkan komunikasi dengan pihak tersebut. Namun jika tidak, perusahaan perlu membuka dialog untuk melihat peluang di masa yang akan datang.

Elemen lain yang tidak kalah penting ialah bentuk komunikasi. Dalam mengkomunikasikan kegiatan CSR pada publik, biasanya perusahaan menggunakan berbagai media seperti media sosial, iklan, laporan yang dipaparkan di website hingga melakukan dialog langsung dengan masyarakat (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Elemen terakhir dalam model teoritis ini ialah konten komunikasi. Konten memuat pesan yang didasari dari beberapa aspek yakni nilai dan kepercayaan perusahaan, penyebab dan tujuan program CSR dilakukan, evaluasi dan penilaian kesuksesan program CSR dan bagaimana pemecahan masalah melalui program CSR berhasil dilakukan (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Konten ini biasanya dimuat dalam bentuk laporan perusahaan yang diunggah baik di website maupun media sosial.

Baca juga: Yuk Pelajari Lebih Mendalam Tentang Komunikasi Organisasi

Pemahaman Akhir

Organisasi memiliki peran penting dalam kehidupan kita, mulai dari organisasi di lingkungan kampus hingga organisasi di luar kampus. Organisasi memungkinkan kita untuk berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat dan tujuan yang sama dengan kita. Untuk memahami efektivitas suatu organisasi, kita perlu mempelajari teori komunikasi organisasi.

Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi dan bagaimana aktor yang terlibat dalam proses tersebut saling berbagi dan memberikan makna terhadap apa yang terjadi. Komunikasi organisasi mencakup proses penciptaan dan pertukaran pesan dalam suatu hubungan yang saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Salah satu teori yang dapat dipelajari dalam komunikasi organisasi adalah Organizational Culture Theory. Teori ini meneliti komunikasi yang terjadi dalam keberlangsungan budaya organisasi. Melalui teori ini, kita dapat memahami bagaimana nilai-nilai, anggapan, dan identitas organisasi terbentuk melalui interaksi antar anggota. Budaya organisasi terbentuk melalui pertukaran cerita, kebiasaan, simbol, dan kegiatan yang menciptakan kepercayaan bersama.

Teori Komunikasi Organisasi lainnya adalah Organizational Information Theory. Teori ini menganggap bahwa organisasi terdiri dari kegiatan komunikasi yang berfokus pada pengelolaan informasi. Teori ini menekankan pentingnya komunikasi informasi dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi. Proses organisir informasi melibatkan tiga tahap yaitu enactment (interpretasi informasi), selection (pemilihan metode untuk mendapatkan informasi tambahan), dan retention (pemanfaatan informasi untuk pembelajaran di masa depan).

Theory of Bureaucracy adalah teori lain yang dikembangkan oleh Max Weber. Teori ini menekankan pentingnya peraturan dan hierarki dalam organisasi. Otoritas, spesialisasi, dan regulasi adalah prinsip-prinsip penting dalam organisasi menurut teori ini. Keberlangsungan organisasi didasarkan pada kontrol dan identifikasi organisasi. Concertive control merupakan kontrol yang dilakukan melalui peraturan tak tertulis yang berkembang melalui interaksi antar anggota. Identifikasi organisasi terjadi ketika anggota menghubungkan diri mereka dengan organisasi dan merasakan adanya identitas bersama.

Teori lain yang dapat dipelajari adalah Corporate Social Responsibility Communication Model. Teori ini menekankan pentingnya komunikasi dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Komunikasi dua arah, subjek komunikasi, bentuk komunikasi, dan konten komunikasi adalah elemen penting dalam model teoritis ini. Komunikasi yang efektif dalam CSR harus bersifat dua arah dan melibatkan berbagai stakeholder. Bentuk komunikasi yang digunakan dapat beragam, seperti media sosial, iklan, laporan perusahaan, dan dialog langsung dengan masyarakat.

Dengan mempelajari teori-teori komunikasi organisasi ini, kita dapat memahami bagaimana komunikasi mempengaruhi efektivitas suatu organisasi. Teori-teori tersebut memberikan wawasan tentang bagaimana nilai-nilai, budaya, kontrol, identifikasi, dan komunikasi memainkan peran penting dalam keberlangsungan dan keberhasilan organisasi.

Nah, itulah beberapa teori komunikasi organisasi yang dapat diaplikasikan dalam melakukan analisa mengenai efektivitas komunikasi organisasi di kehidupan sehari-hari. Cek juga berbagai teori komunikasi lain seperti teori komunikasi kelompok, teori komunikasi antarpribadi dan juga teori komunikasi kesehatan.


Sumber:

Littlejohn, Stephen W, Foss, Karen A., & Oetzel, John. G. Theories of Human Communication 11th Edition. Illinois: Waveland Press, Inc.

Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muhammad, Arni. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Scott, W.G. & Mitchell, T.R. 1976. Organizational Behavioral and Performance 2nd Ed. Santa Monica: Good Year.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *