Mengenal Teori Komunikasi Kelompok

Komunikasi kelompok merupakan studi mengenai komunikasi yang terjadi antara komunikator dengan sekelompok orang yang dihubungkan dengan tujuan yang sama (De Vito, 1997). Suatu komunikasi dapat dikatakan sebagai komunikasi kelompok apabila dilakukan dengan dua orang atau lebih. Orang-orang yang saling berkomunikasi ini dapat mempengaruhi satu sama lain, melakukan interaksi dengan tujuan tertentu, memiliki peran, dan berkomunikasi tatap muka (Shaw, 1976 dalam Jayanti, 2015).

Macam-Macam Komunikasi Kelompok

macam-macam komunikasi kelompok
Sumber: Malachi Witt from Pixabay

Selayaknya bentuk komunikasi lainnya, komunikasi kelompok juga terklasifikasi dalam dua macam yakni kelompok kecil dan kelompok besar (Sendjaja, 2008).

Komunikasi kelompok kecil merupakan komunikasi yang terjadi pada jumlah yang memungkinkan setiap anggotanya untuk melakukan komunikasi antarpribadi dengan umpan balik. Biasanya dapat dijumpai dalam kelompok diskusi, kelompok belajar, seminar, dan lain-lain. Antar anggotanya juga memiliki norma yang disepakati bersama.

Sedangkan komunikasi kelompok besar merupakan komunikasi yang terjadi pada jumlah yang setiap anggotanya sulit untuk melakukan komunikasi antarpribadi lebih jauh. Terlalu banyaknya orang yang berkumpul membuat hal tersebut sulit dilakukan. Kamu bisa mengambil contoh dari tabligh akbar dan kampanye. Dalam kegiatan tersebut, komunikais lebih bersifat linear di mana hanya komunikator menyampaikan pesan ke komunikan tanpa ada umpan balik.

Teori Komunikasi Kelompok

teori komunikasi kelompok
Sumber: Free-Photos from Pixabay

Tak dapat dipungkiri, dalam keseharian kita pasti akan selalu terlibat dalam komunikasi kelompok.  Mulai dari kelompok pertemanan berskala kecil hingga kelompok besar. Pada umumnya, komunikasi kelompok terjadi karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, kamu melakukan komunikasi selama kerja kelompok. Oleh sebab itu, penting sekali untuk mengetahui seberapa efektif komunikasi kelompok yang dilakukan.

Ada beberapa teori komunikasi kelompok yang dikembangan untuk mengukur seberapa efektifnya komunikasi yang dilakukan. Tingkag efektivitas tersebut mempengaruhi kepuasan tiap anggotanya. Ada beberapa teori penting yang membahas komunikasi kelompok, di antaranya:  Symbolic Convergence Theory, Effective Intercultural Workgroup Communication Theory, Groupthink Theory, Adaptive Structuration Theory dan Socio-Egocentric and Group-Centric Model.

Symbolic Convergence Theory

Symbolic Convergence Theory atau biasa dikenal sebagai fantasy-theme analysis, merupakan salah satu teori komunikasi kelompok yang digagas oleh Ernest Bormann, John Cragan dan Donal Shields. Teori ini membahas bagaimana setiap orang dalam kelompok memiliki suatu realitas bersama melalui komunikasi (Littlejohn, dkk., 2017).

Dalam teori ini, penggambaran kita terhadap suatu hal dapat mempengaruhi kepercayaan bersama (Littlejohn, dkk., 2017). Adanya komunikasi memungkinkan tiap anggotanya untuk membicarakan penggambaran tersebut melalui percakapan dengan orang lain. Semakin sering dibicarakan, lama-lama hal tersebut akan diyakini bersama.

Penggambaran tersebut dikenal dengan konsep Rhetorical Vision. Pada dasarnya, Rhetorical Vision merupakan sebuah citra visual yang memuat karakter, cerita, dan kejadian tertentu (Littlejohn, dkk., 2017). Misalnya, salah satu temanmu pernah mengalami kejadian memalukan yakni menepuk bahu orang tak dikenal, yang disangkanya dirimu, sambil memanggilnya “Ayo, Yog.”

Hingga beberapa tahun setelah kejadian tersebut, temanmu masih sering diledek dengan kalimat “Ayo, Yog.” Bahkan, ketika salah satu teman sekumpulanmu melontarkan “Ayo, Yog,” semua orang akan otomatis tertawa. Bagi orang-orang yang tidak bergabung dalam kelompok permainanmu, “ayo, Yog” mungkin tidak memiliki makna apapun. Namun, bagi kamu dan teman-teman sepermainanmu, “ayo, Yog” memuat suatu cerita lucu yang akan terus tersimpan dalam memori hingga masa akan datang.

Effective Intercultural Workgroup Communication Theory

Effective Intercultural Workgroup Communication Theory merupakan teori yang dikembangkan oleh John Oetzel dan didasari dari input process output model (model input proses output) (Littlejohn, dkk., 2017). Pada dasarnya teori ini berfokus pada kelompok dengan anggota yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Baca juga: Teori Komunikasi Kesehatan

Dalam teori ini, suatu kelompok dengan keberagaman budaya (input) memiliki frekuensi berinteraksi yang menciptakan pengaruh pada tiap anggota kelompok (process) dan menimbulkan hasil baik kepuasan/ketidapuasan (output). Keberagaman budaya dalam kelompok terbagi dalam tiga buah kluster yakni individualism-collectivism (individualism-kolektivisme), self-construal (makna diri) dan face concerns (perhatian padah wajah).

Kluster pertama, individualism-collectivism (individualism-kolektivisme) membedakan individu dalam kelompok dengan dua ciri khas. Anggota kelompok dengan orientasi individualime merupakan individu yang independen yang cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan kelompok. Biasanya individu dengan orientasi ini bergabung dengan kelompok karena kepentingan tertentu. Contoh: kelompok belajar.

Sedangkan anggota kelompok dengan orientasi kolektivisme merupakan individu yang merasa sebagai bagian dari kelompok dan cenderung mengutamakan tujuan kelompok dibandingkan tujuan pribadi. Misal, kelompok gerakan perempuan penyintas perkosaan yang memperjuangkan pengesahan RUU KUHP demi keadilan bagi perempuan di Indonesia.

Kluster kedua yakni self-construal (makna diri) merupakan bagaimana anggota kelompok memaknai dirinya sendiri. Biasanya, mereka memaknai dirinya dengan dua parameter yakni independen dan interdependen. Anggota kelompok yang merasa dirinya independen biasanya berpikir bahwa dirinya unik. Sedangkan anggota yang merasa interdependen biasanya lebih cenderung berfokus pada bagaimana mereka berhubungan dengan anggota lainnya.

Kluster ketiga ialah face concerns (perhatian padah wajah). Pada dasarnya, kluster ini memuat perbedaan individu dalam menciptakan personal image (gambaran diri). Anggota kelompok dapat menciptakan gambaran diri melalui self-face concern yang berfokus pada gambaran untuk diri sendiri, other face yang berfokus pada gambaran diri orang lain dan mutual face yang menyangkut pada hubungan dengan orang lain.

Selain membahas model dan kluster, dalam teori ini Oetzel (Littlejohn, dkk., 2017) juga menjabarkan faktor pendukung keberhasilan komunikasi kelompok. Di antaranya adalah:

  • Konflik yang belum selesai antara kelompok dengan masyarakat. Misal, sejarah konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura di Sampit.
  • Keseimbangan dalam dan luar kelompok yang menyangkut representasi anggota dengan latar belakang budaya tertentu. Misal, dalam suatu kelas, anggota kelompok dengan Suku Jawa lebih banyak ketimbang suku-suku lainnya.
  • Faktor kerjasama atau kompetisi dalam kelompok
  • Perbedaan status antar anggotanya.

Groupthink Theory

Teori yang dikembangkan oleh Irving Janis, dkk, ini merupakan teori komunikasi kelompok yang berfokus pada efektivitas kelompok. Fokus dari teori ini ialah bagaimana kondisi tertentu dapat menciptakan kepuasaan kelompok yang tinggi, namun dengan output (hasil) yang tidak efektif (Littlejohn, dkk., 2017). Kepuasaan tersebut ada karena kohesivitas kelompok yakni besaran derajat seseorang untuk menjadi anggota suatu kelompok. Dalam kasus ini, biasanya tingkat pengakuan antar anggota yang tinggi.

Kondisi dengan tingginya tingkat kepuasaan kelompok namun memiliki output yang tidak efektif dapat disebut dengan istilah Groupthink. Groupthink biasanya terjadi jika kohesivitas kelompok dibarengi dengan ketidakterbukaan, pengambilan keputusan yang buruk, isolasi kelompok, masukan yang tidak memadai (biasanya dari luar kelompok) dan juga situasi yang menciptakan rasa stress antar anggota (Littlejohn, dkk., 2017).

Misalnya, seringkali kita jumpai kelompok dengan anggota yang merasa bahwa apa yang mereka lakukan paling benar dengan berkata “kami paham benar yang kami lakukan, urus saja urusan sendiri.” Selain itu, suatu kelompok ada dalam kondisi groupthink ketika para anggotanya menganggap kelompok lain itu melakukan hal yang salah, bodoh, dan buruk. Intinya, perasaan terlalu bangga padahal hasil yang dikerjakan mungkin tidak berkualitas.

Untuk mengatasi keadaan groupthink dalam kelompok, Janis memberikan beberapa argumen, di antaranya (Littlejohn, dkk., 2017):

  • Ajak semua orang untuk menjadi kritis dan menunjukkan diri dalam pengambilan keputusan.
  • Jangan biarkan pemimpin menyatakan kecenderungan pilihannya di muka umum.
  • Ciptakan kelompok pembuatan kebijakan yang independen dan terpisah.
  • Pecah kelompok ke dalam kelompok-kelompok kecil.
  • Ajak orang selain anggot kelompok untuk memberikn ide-ide baru.
  • Mengundang orang luar kelompok ke dalam kelompok untuk memberikan ide-ide segar.
  • Tugaskan seseorang dalam setiap rapat/pertemuan untuk memberikan kritik atas ide-ide yang dipaparkan.
  • Identifikasi tanda-tanda peringatan dalam kelompok.
  • Pertimbangkan kembali keputusan yang diambil dengan melakukan rapat/pertemuan kedua.

Adaptive Structuration Theory

Marshall Scott Poole dan Gerardine DeSantis mengembangkan Adaptive Structuration Theory yang berfokus pada bagaimana tekonologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan dalam suatu kelompok atau organisasi (Littlejohn, dkk., 2017). Teori ini menemukan fakta bahwa produk teknologi informasi dan komunikasi yang sama dapat dimanfaatkan secara berbeda oleh tiap kelompok atau organisasi.

Teori ini memiliki dua buah elemen penting. Pertama structural features yakni fitur yang dimiliki sebuah teknologi dan spirit yakni manfaat yang diberikan. Semisal, dalam menunjang kerja kelompok dari rumah masing-masing, anggota kelompokmu memutuskan untuk menggunakan google meet karena memiliki fitur present (structural features) yang memungkinkan kamu melakukan presentasi (spirit).

Fitur dan manfaat sebuah teknologi akan terus digunakan selama anggota kelompok terus menggunakannya. Pemilihan teknologi yang digunakan pun dipengaruhi oleh iklim dan kepemimpinan kelompok. Jika anggota kelompokmu sadar akan pentingnya pemanfaatan teknologi untuk efektivitas pekerjaan, maka biasanya teknologi akan digunakan. Jika bersinergi dengan baik, teknologi tersebut akan mewujudkan hasil yang positif bagi kelompok (Littlejohn, dkk., 2017).

Socio-Egocentric and Group-Centric Model

Joseph Bonito, dkk, melakukan kritik atas Socio-Egocentric Model yang dikemukakan oleh Dean Hawes melalui Socio-Egocentric and Group-Centric Model. Jika Hewes berpendapat bahwa komunikasi dalam kelompok hanya dilakukan karena anggotanya memiliki kepentingan tertentu (socio-egocentric), maka Bonito, dkk, memiliki pendapat berbeda.

Menurut Bonito, dkk (Littlejohn, dkk., 2017), selain memiliki kepentingan pribadi (socio-egocentric), para anggota kelompok juga melakukan komunikasi demi kepentingan bersama (group-centric).  Tentu saja pendapat Bonito berlawanan dengan pendapat yang dimiliki oleh Hewes.

Biasanya, komunikasi egosentris terjadi dalam kelompok jika masalah yang perlu diselesaikan sangat mudah, kelompok dibentuk dalam sebuah penelitian, hasil kerja yang dibutuhkan bersifat informasi dan prosedur, diskusi dilakukan di awal kelompok terbentuk, anggota kelompok memiliki keterlibatan yang rendah dan anggota kelompok tidak memiliki sejarah bekerja bersama (Littlejohn, dkk., 2017).

Sedangkan komunikasi grupsentris merupakan bentuk komunikasi yang terjadi ketika masalah yang perlu dipecahkan lebih sulit, kelompok terbentuk secara alami, hasil kerja yang dibutuhkan bersifat pemecahan masalah dan argumentative, diskusi dilakukan dalam proses kelompok bekerja, anggota kelompok memiliki keterlibatan yang besar dan anggotanya pun telah memiliki sejarah bekerja bersama (Littlejohn, dkk., 2017).

Baca juga: Teori Komunikasi Antarpribadi

Pemahaman Akhir

Komunikasi kelompok adalah studi tentang komunikasi yang terjadi antara komunikator dengan sekelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Komunikasi kelompok dapat terjadi antara dua orang atau lebih dan melibatkan interaksi, pengaruh timbal balik, peran, dan komunikasi tatap muka.

Terdapat dua macam komunikasi kelompok, yaitu komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar. Komunikasi kelompok kecil terjadi dalam jumlah anggota yang memungkinkan komunikasi antarpribadi dan umpan balik. Contohnya adalah kelompok diskusi atau kelompok belajar. Komunikasi kelompok besar terjadi ketika jumlah anggota sulit untuk melakukan komunikasi antarpribadi lebih jauh, seperti dalam tabligh akbar atau kampanye.

Beberapa teori komunikasi kelompok yang penting membahas efektivitas komunikasi kelompok antara lain:

  1. Symbolic Convergence Theory: Teori ini menekankan bagaimana setiap anggota kelompok memiliki realitas bersama melalui komunikasi. Melalui komunikasi, anggota kelompok membicarakan dan memperkuat penggambaran bersama yang menghasilkan konsep Rhetorical Vision.
  2. Effective Intercultural Workgroup Communication Theory: Teori ini berfokus pada komunikasi kelompok dengan anggota yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Teori ini memperhatikan keberagaman budaya dalam kelompok dan dampaknya terhadap interaksi dan kepuasan anggota kelompok.
  3. Groupthink Theory: Teori ini menyoroti kondisi di mana kelompok memiliki tingkat kepuasan yang tinggi tetapi menghasilkan keputusan yang tidak efektif. Groupthink terjadi ketika kohesivitas kelompok berdampak negatif pada pengambilan keputusan karena ketidakterbukaan, isolasi kelompok, dan situasi yang menimbulkan stres.
  4. Adaptive Structuration Theory: Teori ini meneliti bagaimana teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan dalam kelompok atau organisasi. Teori ini memperhatikan bagaimana fitur dan manfaat teknologi dapat berbeda-beda tergantung pada kelompok atau organisasi yang menggunakannya.
  5. Socio-Egocentric and Group-Centric Model: Model ini mencerminkan perdebatan mengenai apakah komunikasi dalam kelompok hanya dilakukan berdasarkan kepentingan pribadi anggota (socio-egosentris) atau juga untuk kepentingan bersama kelompok (grupsentris).

Dalam mempelajari dan memahami komunikasi kelompok, penting untuk mempertimbangkan berbagai teori ini untuk mengukur efektivitas komunikasi dan kepuasan anggota kelompok.


Sumber:

De Vito, Yoseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books

Jayanti, Nadia Ayu. 2015. “Komunikasi Kelompok “Social Cilmber” pada Kelompok Pergaulan di Surabaya Townsquare (Sutos)” dalam Jurnal E-Komunikasi. 3, (2), 1-12.

Littlejohn, Stephen W., dkk. Theories of Human Communication: Eleventh Edition. 2017. Illinois: Waveland Press, Inc.

Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2008. Modul Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *