Mengenal Teori Komunikasi Antarbudaya

Tanpa disadari, komunikasi yang kita lakukan sehari-hari dipengaruhi oleh budaya. Seperti misalnya, saat kita berbicara dengan masyarakat di daerah baru, kita harus menggunakan Bahasa yang sopan dan mengikuti adat daerah tersebut. Berbeda daerah, berbeda pula tata cara komunikasi yang perlu digunakan.

Komunikasi yang kita lakukan dengan masyarakat di daerah baru merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Mengapa demikian? Sebab, kita dan masyarakat di daerah baru tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Hal tersebut sesuai dengan definisi komunikasi antarbudaya yang dikemukakan oleh Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa yang menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda kebudayaan mulai dari suku bangsa, ras, etnis, hingga kelas sosial (Liliweri, 2003).

Teori Komunikasi Antarbudaya

teori komunikasi anatrbudaya
Photo by Mimi Thian on Unsplash

Ada beberapa teori komunikasi antarbudaya yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana proses komunikasi dilakukan. Kali ini kamu akan mempelajari empat teori komunikasi antarbudaya yakni Communication Accommodation Theory, Face-Negotiation Theory, Standpoint Theory, dan Muted Group Theory.

Communication Accommodation Theory

Kamu pernah secara tidak sengaja menyesuaikan logat dengan lawan bicaramu? Misal, secara tidak langsung kamu berbicara dengan logat batak mengikuti lawan bicaramu yang merupakan orang batak asli. Jika iya, itulah sedikit contoh dari teori ini. Pada dasarnya, communication accommodation theory menjelaskan mengapa dan bagaimana kita menyesuaikan perilaku komunikasi dengan tindakan orang lain.

Teori ini sendiri digagas oleh Howard Giles, dkk. Giles dkk menemukan bahwa komunikator seringkali meniru gerak-gerik lawan bicaranya dalam melakukan komunikasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Proses meniru ini disebut convergence yakni bentuk akomodasi dan penyesuaian timbal-balik. Jika terjadi proses sebaliknya, maka disebut divergence yakni bentuk nonakomodasi di mana tidak ada penyesuaian (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Proses convergence dan divergence memiliki dua sifat yakni mutual dan nonmutual. Jika kamu dan lawan bicaramu sama-sama meniru ekspresi dan gerak-gerik masing-masing dalam berkomunikasi, maka itu merupakan proses convergence yang bersifat mutual. Namun, jika kamu melakukan proses convergence terhadap lawan bicaramu, namun lawan bicaramu memberi respon sebaliknya maka proses convergence tersebut bersifan non mutual.

Ada tiga asumsi dasar dalam communication accommodation theory. Pertama, interaksi komunikasi yang terjadi bergantung pada konteks sejarah baik secara personal maupun kelompok (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Misal, kamu pernah punya masalah dengan salah satu teman sekelasmu bernama X, suatu saat kamu harus berkerja bersama dalam kelompok. Pasti dirimu dan dirinya berusaha untuk berkomunikasi secukupnya dan menghindari kontak secara intens.

Kedua, komunikasi memuat proses pertukaran informasi dan juga proses negosiasi penerimaan personal atau identitas budaya (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Misal, setelah lama tinggal di Jakarta kamu mengikuti program pertukaran pelajar ke Belgia. Saat sedang melakukan tawar-menawar dengan pedagang tradisional, kamu menunjukan gestur negatif untuk memberi sinyal bahwa kamu tidak mengerti apa yang diomongkan pedagang tersebut.

Pedagang tersebut lalu menangkap sinyal bahwa kamu tidak mengerti dan berusaha untuk menjelaskan informasi mengenai harga produk yang dijualnya secara perlahan. Mungkin saja ia menggunakan Bahasa inggris agar dapat lebih mudah dimengerti, mengingat Bahasa inggris merupakan Bahasa internasional. Nah, hal tersebut merupakan contoh dari pertukaran informasi dalam asumsi teori ini.

Ketiga, dalam melangsungkan proses convergence dan divergence untuk mencapai tujuan (contohnya: mendapatkan informasi dan penerimaan identitas), biasanya seseorang menggunakan berbagai bentuk komunikasi (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Baca juga: Teori Komunikasi Massa

Terkadang, bentuk komunikasi yang dilakukan menyesuaikan stereotip yang berlaku di masyarakat. Kamu pernah secara tidak sengaja mengikuti gaya bicara balita dengan mencadelkan lidah saat berbicara dengannya? Secara kultural, anak balita dianggap masih cadel karena belum dapat berbicara dengan lancar. Itulah contoh dari penyesuaian bentuk komunikasi dalam teori komunikasi antarbudaya ini.

Face Negotiation Theory

Teori ini dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey, dkk. Pada dasarnya, teori ini membantu kita memprediksi bagaimana orang-orang menciptakan wajah diri dalam kebudayaan yang berbeda, terutama jika dihadapkan dalam sebuah konflik (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Dalam komunikasi, facework (proses pembentukan wajah diri baik secara verbal maupun nonverbal) digunakan untuk mempertahankan wajah sosial diri sendiri, mempertahankan wajah sosial orang lain ataupun menyerang wajah sosial orang lain (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Wajah di sini mencakup baik-buruknya citra diri di hadapan masyarakat.

Ada dua macam facework yang berlaku. Pertama preventive facework yang dilakukan unuk menghindari konflik dengan orang lain. Misal, kamu ingin menyanggah argumen temanmu tanpa menyinggungnya. Sebelum memberikan sanggahan pasti kamu akan memulai kalimatmu dengan kata-kata “saranmu cukup bagus, namun mungkin kita perlu memperhatikan faktor lain…”

Kedua, ada juga restorative framework. Biasanya hal ini dilakukan untuk memperbaiki wajah diri yang telah rusak (biasanya karena konflik). Misal, kamu bertengkar dengan pacarmu dan mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Supaya dapat berbaikan, kamu akan meminta maaf dan berkata “kamu nggak gitu kok sebenarnya. Aku nggak maksud begitu.”

Dalam situasi konflik, ancaman terhadap wajah diri dapat terjadi dalam beberapa situasi seperti kompetisi, kemarahan dan perbedaan pendapat, sikap dan nilai yang dianut dengan lawan bicara (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Jadi tak heran, jika kebetulan kita berbeda pendapat dengan lawan bicara, kita secara tak sadar menjadi kesal sendiri karena merasa lawan bicara kita salah.

Standpoint Theory

Standpoint theory merupakan salah satu teori komunikasi antarbudaya yang memiliki perspektif kritis. Pada dasarnya, teori ini berfokus pada relasi kuasa yang timpang terhadap suatu kelompok dan bagaimana ketimpangan tersebut mempengaruhi penggambaran masyarakat terhadap kelompok tersebut (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Ketimpangan dapat terjadi antara kelompok dengan status sosial tinggi dan kelompok dengan status sosial rendah, dan juga kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas.

Serial asal Korea Selatan yang baru-baru ini sempat menghebohkan yakni the World of the Married bisa menjadi contoh sederhana. Serial televisi merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Dalam serial mengenai perselingkuhan ini, Sun Woo (tokoh utama) digambarkan sebagai sosok yang menjadi penyebab perselingkuhan suaminya dengan Da Kyung.

Secara kultural, perempuan diharuskan mempertahankan ketahanan keluarga. Alih-alih menyalahkan suami Sun Woo yang tidak menjaga komitmen (Tae Oh), semua orang di sekeliling Sun Woo menyalahkannya karena memiliki karir terlalu tinggi dan dominan secara finansial. Hal tersebut membuat Tae Oh merasa minder dan memutuskan untuk mencari hiburan lain dengan berselingkuh.

Tanpa disadari, penggambaran Sun Woo yang gagal merupakan salah satu wujud perspektif yang tidak adil terhadap perempuan. Anggapan percuma berhasil secara karir, namun keluarga berantakan kerap kali menghantui perempuan seperti Sun Woo di dunia nyata. Sedangkan laki-laki seringkali tidak dicap gagal dalam situasi tersebut. Itulah kira-kira apa yang berusaha digambarkan teori ini.

Selain itu, dalam teori komunikasi antarbudaya ini juga dijelaskan bahwa kelompok dengan status sosial yang lemah atau minoritas bisa memposisikan diri sebagai kelompok dengan status sosial lebih tinggi atau mayoritas untuk memperjuangkan dirinya.

Sedangkan kelompok dengan status sosial lebih tinggi atau kelompok mayoritas tidak akan memposisikan diri sebagai kelompok dengan status sosial lebih rendah atau kelompok minoritas karena telah nyaman dengan kehidupannya (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017).

Muted Group Theory

Sudah sejak lama perempuan terpinggirkan dalam panggung sosial. Menurut Cheris Kramarae, produk budaya selalu menghilangkan peran perempuan dalam kesenian, puisi, teater, naskah film dan tulisan dalam media massa (Griffin, 2003). Gagasan terpinggirkannya perempuan dikembangkan Kramarae dalam teori komunikasi yakni muted group theory.

Muted group theory merupakan salah satu teori komunikasi antarbudaya yang memiliki perspektif feminis yang mengatakan bahwa Bahasa sebagai saran berkomunikasi merupakan konstruksi kelompok laki-laki (Griffin, 2003). Secara lebih jauh, Kramarae berpendapat bahwa perempuan seringkali dikesempingkan dan pendapatnya tidak dianggap (Griffin, 2003).

Kamu familiar dengan penggambaran perempuan yang plin-plan, sensitif dan cenderung menggunakan perasaan (baperan) di film-film atau sinetron? Itulah yang berusaha diangkat oleh Kramarae dalam teori ini.

Kramarae berangkat dari konsep muted group yang diperkenalkan oleh Ardener (1978) di mana muted group tidak sepenuhnya diam. Mereka hanya tidak bisa menyuarakan pendapatnya kapan saja dan di mana saja (Griffin, 2003).  Muted group harus dapat menyesuaikan lingkungan di sekelilingnya dan hal tersebut sangat reflektif pada kenyataan sosial yang dialami perempuan.

Jika kamu anak perempuan, kamu pernah ditegur karena tertawa terlalu keras sedangkan adik laki-lakimu bisa tertawa sepuasnya? Alasan bahwa perempuan tidak elok di mata laki-laki jika tertawa terlalu keras menjadi suatu kebiasaan yang perlu diingat oleh perempuan. Itulah salah satu bentuk ketimpangan yang digarisbawahi oleh teori ini.

Di samping itu, teori ini juga membahasa lebih dalam bagaimana dalam proses komunikasi perempuan lebih mudah menyesuaikan topik pembicaraan dibandingkan laki-laki (Griffin, 2003).

Obrolan laki-laki dianggap lebih universal dan bisa diperbincangkan oleh siapa saja. Misal, ketika perempuan menggemari klub sepakbola, pasti tidak akan dipermasalahkan oleh orang banyak.

Namun, apa jadinya jika laki-laki membicarakan topik pembicaraan perempuan? Seringkali anak laki-laki yang membicarakan topik seperti make up, fashion, atau urusan dapur, yang dinilai sebagai topik perempuan, mendapatkan cemooh dan ejekan dari sekelilingnya. Term seperti ngondek atau banci seringkali disematkan pada mereka.

Adanya sexist linguistic seperti ngondek atau banci merupakan bentuk Bahasa, yang menurut Kramarae, dikonstruksi kelompok laki-laki. Kata-kata seperti ngondek atau banci yang mengandung makna feminin seringkali dikonotasikan negatif, sedangkan kata-kata seperti macho yang mengandung makna maskulin seringkali dikonotasikan positif.

Pada akhirnya, teori ini akan mengajakmu untuk mengupas bagaimana suatu komunikasi yang dilakukan perempuan baik secara verbal atau nonverbal selalu terpinggirkan karena budaya maskulin laki-laki.

Baca juga: Teori Komunikasi Organisasi

Pemahaman Akhir

Komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam komunikasi antarbudaya, kita harus memahami bahwa budaya memainkan peran penting dalam membentuk cara berkomunikasi dan tata nilai dalam masyarakat.

Beberapa teori komunikasi antarbudaya, seperti Communication Accommodation Theory, Face-Negotiation Theory, Standpoint Theory, dan Muted Group Theory, membantu kita memahami lebih dalam tentang interaksi antarbudaya dan bagaimana kebudayaan mempengaruhi komunikasi.

Communication Accommodation Theory menjelaskan bahwa dalam komunikasi antarbudaya, individu cenderung menyesuaikan perilaku komunikasi mereka dengan orang lain. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk konvergensi, di mana kita meniru gerakan dan gaya bicara orang lain, atau dalam bentuk divergensi, di mana kita tidak menyesuaikan perilaku komunikasi kita. Teori ini menyoroti pentingnya penyesuaian dan akomodasi dalam komunikasi antarbudaya.

Face-Negotiation Theory membahas peran wajah diri dalam komunikasi antarbudaya. Teori ini mengungkapkan bahwa kita menggunakan strategi facework untuk menjaga dan memulihkan citra diri kita dan orang lain dalam komunikasi. Facework dapat melibatkan tindakan untuk menghindari konflik, mengatasi konflik, atau memperbaiki kerusakan pada citra diri.

Standpoint Theory menyoroti ketimpangan kekuasaan antara kelompok dengan status sosial yang berbeda dalam komunikasi antarbudaya. Teori ini menekankan bahwa kelompok minoritas atau dengan status sosial yang lemah dapat memposisikan diri mereka sebagai kelompok mayoritas atau dengan status sosial yang lebih tinggi untuk memperjuangkan diri mereka. Teori ini juga menggarisbawahi perlunya kesadaran akan perspektif yang adil terhadap kelompok minoritas.

Muted Group Theory membahas bagaimana perempuan seringkali terpinggirkan dalam komunikasi dan konstruksi bahasa yang didominasi oleh kelompok laki-laki. Teori ini mengungkapkan bahwa perempuan seringkali kesulitan dalam menyuarakan pendapat dan pengalaman mereka karena konstruksi bahasa yang tidak memadai. Teori ini menekankan perlunya memahami dan menghargai pengalaman perempuan dalam komunikasi antarbudaya.

Dalam komunikasi antarbudaya, penting untuk menghormati dan memahami keberagaman budaya serta menghindari sikap prejudis atau diskriminatif. Dengan pemahaman yang baik tentang teori-teori komunikasi antarbudaya, kita dapat memperkuat hubungan antarbudaya, mengatasi konflik, dan membangun pemahaman yang lebih baik antara individu dan kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Itulah beberapa teori komunikasi yang dapat kamu gunakan untuk melihat bagaimana proses komunikasi antarbudaya dilakukan. Perbedayaan budaya merupakan suatu yang tidak terelakkan dalam kehidupan. Memahami bagaimana mewujudkan komunikasi yang efektif dan berkeadilan merupakan tujuan mempelajari teori komunikasi antarbudaya.


Sumber:

Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory 5th Edition. Boston: McGraw-Hill.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Littlejohn, Stephen W, Foss, Karen A., & Oetzel, John. G. Theories of Human Communication 11th Edition. Illinois: Waveland Press, Inc.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Komentar

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *