Mengenal Regulasi, Kode Etik Penyiaran, dan Jurnalistik

Sering merasa kesal dengan beberapa adegan film yang dipotong begitu saja? Akhirnya kita jadi bingung dengan jalan ceritanya. Atau mungkin kita sering jengkel dengan blurring yang kita temukan di tv dan kita rasa berlebihan?

Kalau sudah begitu, banyak dari kita yang menuduh ini semua salah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi, apa benar itu semua ulah KPI? Biar nggak asal tuduh, mari kita bahas tentang regulasi, kode etik penyiaran, dan jurnalistik di sini.

Undang-undang tentang Penyiaran

hukum etika penyiaran dan jurnalistik
Sumber : succo dari Pixabay

Undang-undang yang satu ini sering kita dengar di tv. Secara resmi UU ini bernama UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Apa saja sih yang diatur di UU Penyiaran? Garis besarnya, undang-undang ini mengatur tentang penyelanggaraan penyiaran di Indonesia. Tidak hanya siaran televisi saja, tetapi juga siaran radio.

Dalam UU Penyiaran terdapat 12 bab. Perihal yang dibicarakan dalam UU ini antara lain, asas, tujuan, fungsi, arah penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia, Lembaga Penyiaran, Stasiun Penyiaran dan wilayah jangkauan siaran, pelaksanaan siaran, sanksi administratif, peran masyarakat, pertanggungjawaban, penyidikan, ketentuan pidana, dan penutup.

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)

Adanya P3SPS ini diharapkan pemanfaatan frekuensi radio yang merupakan milik publik dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat. Jadi kita sebagai masyarakat sebenarnya berhak untuk memberikan keluhan atau aduan ketika tayangan televisi atau radio dirasa tidak ada manfaatnya untuk kepentingan publik. Karena frekuensi radio merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas dan udara merupakan milik kita bersama.

Dalam P3SPS ini ada sembilan tujuan dan arahan untuk lembaga penyiaran, yakni : menjunjung tinggi dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan NKRI, meningkatkan rakyat Indonesia untuk taat dan sadar hukum, menghormati dan menjunjung tinggi norma, nilai agama, budaya, etika profesi yang diakui oleh peraturan perundang-undangan, prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kepentingan publik, anak-anak dan remaja, hak orang/kelompok masyarakat tertentu, dan prinsip-prinsip jurnalistik.

pedoman perilaku penyiaran
Sumber : oleh RAEng_Publications dari Pixabay

Apa saja yang diatur dalam P3SPS? P3SPS menjadi dasar untuk standar program siaran yang berkaitan dengan nilai suku, ras, agama, antar golongan, norma kesopanan, norma kesusilaan, etika profesi, kepentingan publik, layanan publik, hak privasi, perlindungan kepada anak, perlindungan orang dan kelompok masyarakat tertentu, muatan seksual, kekerasan, konten tentang rokok, NAPZA, minuman alkohol, konten perjudian, mistik, penggolongan program siaran, prinsip jurnalistik, sumber dan narasumber informasi, bahasa, bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, sensor, lembaga penyiaran berlangganan, siaran iklan, siaran asing, siaran lokal dalam sistem stasiun jaringan, siaran langsung, konten tentang penggalangan dana, program kuis, undian berhadiah, siaran tentang Pemilu, sanksi, dan tata cara pemberian sanksi.

Baca juga: Teori Media dan Efeknya

Etika Periklanan

Penayangan iklan ini diatur di berbagai regulasi seperti P3SPS, UU Penyiaran, dan Etika Pariwara Indonesia. UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran lebih mengatur tentang pelaksanaan siaran iklan. Iklan yang tayang harus memenuhi persyaratan yang dikeluarkan KPI. Siaran iklan diatur dalam UU Penyiaran Bab IV Bagian ke delapan pasal 46.

Aturan tentang siaran iklan juga diatur dalam P3SPS bagian Pedoman Perilaku Penyiaran Bab 23 Pasal 43 dan 44, serta Standar Program Siaran dalam pasal 58 sampai dengan pasal 66. Secara rinci etika periklanan diatur dalam kitab Etika Pariwara Indonesia yang diterbitkan oleh Dewan Periklanan Indonesia.

Diskusi mengenai regulasi yang mengatur tentang periklanan sebenarnya sudah ada sejak satu abad yang lalu. Pada awalnya Komisi Periklanan Indonesia (awal mula Dewan Periklanan Indonesia) yang terdiri dari pelaku periklanan seperti pengiklan, pembuat iklan, dan komunikator iklan, bergabung untuk mengikrarkan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Lalu mereka sepakat untuk menyempurnakan kembali Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia menjadi Etika Pariwara Indonesia.

Etika Pariwara Indonesia ini mengalami empat kali perubahan yakni pada tahn 1996, 2005, dan 2014. Perubahan ini dimaksudkan untuk memperbarui aturan agar dapat menyesuaikan perkembangan jaman. Seiring berjalannya waktu metode periklanan dan menyampaikan iklan semakin beragam dan mengalami kemajuan. Untuk itu perlu adanya pembaruan.

Pada tahun 2019 Dewan Periklanan Indonesia membentuk tim untuk memperbarui Etika Pariwara Indonesia. Pada 20 Februari 2020, kitab Etika Pariwara Indonesia secara resmi selesai diperbarui.

Kitab ini berisi 5 bab yang berisi tentang pendahuluan, pedoman, ketentuan (tata krama dan tata cara), dan penjelasan. Untuk lebih rincinya kamu bisa mengunduh secara gratis kitab Etika Pariwara Indonesia pada web Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Kode Etik Jurnalistik

Etika jurnalistik secara rinci dijelaskan dalam kode etik jurnalistik. Kode etik menjadi pedoman bagi para wartawan dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Selain itu, kegiatan jurnalistik juga diatur dalam UU Pers No.40 Tahun 1999.

Kode etik jurnalistik ditetapkan oleh Dewan Pers. Terdapat 11 pasal beserta penafsirannya dalam kode etik jurnalistik. Salah satu pasal yang populer adalah pasal 1, yang berbunyi

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Independen yang dimaksud adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati tanpa campur tangan, paksaan, intervensi dari pihak lain termasuk juga pemilik perusahaan pers yang menaunginya.

kode etik jurnalistik
Sumber : oleh Neven Divkovic dari Pixabay

Dalam pasal itu juga ditekankan bahwa wartawan harus dapat dipercaya dan berimbang. Artinya, dalam kegiatan jurnalistik semua pihak seharusnya mendapat kesempatan yang setara. Selain itu, wartawan juga tidak diperbolehkan beritikad buruk, yakni dengan sengaja membuat rugi pihak lain.

Pasal ini kerap kali disinggung di berbagai kesempatan, namun pasal ini juga yang kerap kali dilanggar oleh wartawan. Jika kamu membaca lebih lanjut kode etik jurnalistik, kamu akan menyadari lebih banyak pelanggaran yang masih sering dilakukan oleh pelaku jurnalistik. Misalnya saja penyebutan identitas korban pelecehan seksual atau anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 5 kode etik jurnalistik berbunyi :

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Dalam pasal ini yang dimaksud dengan identitas adalah segala data dan informasi yang berkaitan dengan diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Selain itu, yang dimaskud anak-anak dalam pasal ini adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Baca juga: Mengenal Teori Komunikasi Massa

Sistem Stasiun Jaringan

Dalam P3SPS disebutkan bahwa sistem stasiun jaringan adalah tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar lembaga penyiaran. Sistem stasiun jaringan ini mengharuskan stasiun tv dan radio nasional untuk melakukan siaran dengan program-program lokal di berbagai kota atau kabupaten di Indonesia. Hal ini diatur dalam Standar Program Siaran Bab 25 Pasal 68 ayat 1 yang berbunyi :

Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk televisi dan paling sedikit 60% (enam puluh per seratus) untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari.

Tujuan dari adanya sistem stasiun jaringan ini adalah agar tercipta keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content). Implementasi ini dirasa masih belum maksimal. Coba kita berpikir lagi, terkadang kita lebih banyak tau tentang apa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, ketimbang daerah-daerah lainnya. Ade Armando (2011) mengatakan bahwa harus ada usaha agar industri penyiaran tidak Jakartasentris.  

Sensor dalam Film dan Iklan

Banyak dari kita yang mungkin masih sering menyalahkan KPI jika menemukan beberapa bagian di televisi terdapat blurring atau tiba-tiba ada adegan yang dipotong. Terkadang hal itu memang terasa menyebalkan karena bisa memengaruhi baik buruknya jalan cerita dalam sebuah film.

Hal yang paling penting yang harus kita ketahui adalah KPI tidak memiliki wewenang untuk menyensor tayangan televisi, film, atau iklan. Pihak yang berwenang melakukan sensor adalah Lembaga Sensor Film (LSF).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film pasal 1, disebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Jadi, baik itu film yang kamu liat di bioskop maupun di tv harus mendapatkan tanda lulus sensor dari LSF. Begitu juga dengan sinetron dan iklan.

Namun, lembaga sensor film bukan menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan sensor. Stasiun tv juga memiliki wewenang untuk melakukan sensor internal. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 39 ayat 2, disebutkan bahwa :

Lembaga penyiaran televisi wajib melakukan sensor internal atas seluruh materi siaran dan tunduk pada klasifikasi program siaran yang ditetapkan dalam peraturan ini.

Jadi, ketika kamu menemukan sensor di tv berupa blurring, adegan terpotong, atau suara bip jangan buru-buru menuduh KPI, ya. Karena KPI tidak berwenang melakukan sensor. Wewenang KPI tertulis dalam UU Penyiaran pasal 8 ayat 2, yaitu :

  1. Menetapkan standar program siaran;
  2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
  3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
  4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
  5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

Jadi yang lebih ditekankan dalam kinerja KPI adalah wewenangnya untuk mengawasi dan memberikan sanksi. Kalau kamu menemukan tayangan tv yang tidak sesuai dengan regulasi yang ada kamu bisa menyampaikan aduan pada situs kpi.go.id.

Penerapan Digitalisasi dalam Penyiaran

Seiring berjalannya waktu, metode dan teknologi penyiaran mengalami perubahan menjadi lebih canggih. Digitalisasi dalam penyiaran pun tidak terhindarkan. Untuk itu perlu adanya pengaturan mengenai digitalisasi dalam dunia penyiaran.

Penyiaran analog memiliki hambatan dalam memenuhi permintaan penyaluran prgram siaran yang semakin bertambah dikarenakan kanal frekuensi yang tersedia terbatas. Biaya untuk memelihara sejumlah perangkat untuk penyiaran analog juga dirasa lebih boros. Sebagai jalan keluar dari permasalahan itu semua, penyiaran mulai menerapkan teknologi digital.

Peraturan-peraturan yang terkait dengan digitalisasi diatur dalam serangkaian Peraturan Menteri yakni Permen Kominfo Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelanggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, Permen Kominfo Nomor 23 Tahun 2012 tentang Pemanfaatan Pembiayaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Layanan Pita Lebar, dan Permen Kominfo tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar.

Baca juga: Mengenal Teori Komunikasi Kelompok

Pemahaman Akhir

Dalam pembahasan mengenai kekesalan terhadap adegan film yang dipotong dan blurring yang berlebihan di televisi, kita perlu memahami bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bukanlah pihak yang melakukan sensor atau memotong adegan dalam film dan siaran televisi. KPI memiliki peran sebagai pengawas dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran.

Regulasi penyiaran di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, termasuk siaran televisi dan radio. Selain itu, terdapat juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang berfungsi sebagai acuan bagi lembaga penyiaran dalam menghasilkan program siaran yang memenuhi nilai-nilai etika dan kepentingan publik.

Etika periklanan juga diatur dalam berbagai regulasi, seperti P3SPS, UU Penyiaran, dan Etika Pariwara Indonesia. Ada pedoman yang mengatur tentang isi iklan, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyiaran iklan.

Kode etik jurnalistik, yang ditetapkan oleh Dewan Pers, menjadi pedoman bagi wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Wartawan diharapkan untuk bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat dan berimbang, serta tidak beritikad buruk. Kode etik ini juga melarang penyebutan identitas korban kejahatan susila dan anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Sistem stasiun jaringan mengatur tata kerja yang menghubungkan stasiun televisi dan radio nasional dengan program lokal di berbagai daerah di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menciptakan keberagaman kepemilikan dan isi program siaran agar tidak terlalu fokus pada daerah-daerah tertentu.

Dalam hal sensor, Lembaga Sensor Film (LSF) adalah lembaga yang berwenang melakukan sensor terhadap film, termasuk film yang ditayangkan di televisi. Stasiun televisi juga memiliki wewenang untuk melakukan sensor internal terhadap materi siaran. Oleh karena itu, jika ada adegan yang dipotong atau blurring dalam tayangan televisi, bukanlah tanggung jawab KPI, tetapi lebih kepada kebijakan LSF atau keputusan dari stasiun televisi itu sendiri.

Digitalisasi juga menjadi perubahan penting dalam dunia penyiaran. Penyiaran digital memberikan keuntungan dalam memenuhi permintaan program siaran yang semakin bertambah, serta mengurangi biaya pemeliharaan perangkat penyiaran analog. Peraturan-peraturan terkait digitalisasi diatur dalam serangkaian peraturan menteri.

Dalam kesimpulannya, sebagai masyarakat, kita perlu memahami regulasi, kode etik, dan aturan yang mengatur penyiaran, baik dalam film, siaran televisi, maupun iklan. Jangan asal menuduh KPI, karena KPI memiliki peran pengawasan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran, sementara sensor dan kebijakan dalam tayangan ditangani oleh lembaga dan stasiun televisi terkait.

Pembahasan dalam artikel ini merupakan perwakilan dari berbagai regulasi yang ada. Dengan mengenal regulasi dan hukum semacam ini kamu akan jadi lebih tau tayangan yang layak tonton dan tayangan yang perlu perbaikan. Semoga artikel ini membantu yaa. Semangat ya belajarnya.


Referensi

Armando, Ade. (2011). Televisi Jakarta di Atas Indonesia “Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia”. Yogyakarta : Penerbit Ikapi.

Shabana, Amin. (2018). Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) : Implementasi dan Kendala yang Dihadapi. Jurnal PERSPEKTIF Komunikasi, Vol.2.

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. (2020). Etika Pariwara Indonesia. Diakses pada 20 Juni 2020 dari https://p3i-pusat.com/etika-pariwara-indonesia-epi/

Dewan Pers. (2013). Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. Diakses pada 20 Juni 2020 dari https://dewanpers.or.id/assets/ebook/buku/822-Buku%20Pers%20berkualitas%20masyarakat%20Cerdas_final.pdf

Komisi Penyiaran Indonesia. (2012). Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Diakses pada 20 Juni 2020 pada http://kpi.go.id/download/regulasi/P3SPS_2012_Final.pdf.

Kominfo. (2012). Kominfo : Aturan Digitalisasi Penyiaran Tidak Bermasalah. Diakses pada 21 Juni 2020 dari https://kominfo.go.id/content/detail/1732/kominfo-aturan-digitalisasi-penyiaran-tidak-bermasalah/0/sorotan_media

Lembaga Sensor Film. (n.d). Diakses pada 20 Juni 2020 dari https://www.lsf.go.id/v2/.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Mayang Lestari

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya. Memilih peminatan Manajemen Komunikasi namun sering tertarik dengan kajian media massa.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *