Cerpen cinta memiliki tema yang sering diangkat dalam dunia kepenulisan. Cerpen cinta biasanya mengungkapkan perasaan, cinta, kasih sayang, dan juga penderitaan yang telah dialami.
Berikut ini ialah 10 cerpen cinta, selamat membaca!
Daftar Isi
Insidental
Kantukku semakin memuncak usai jam kantor. Untung saja aku dijemput Tino hari ini. Tidak dengan mobil seperti temanku dijemput kekasihnya, tapi dengan sepeda bebek. Entah mengapa aku selalu betah bersamanya. Mungkin dengan kesederhanaan dan kasih sayang yang ia tawarkan secara tulus.
Tak banyak percakapan malam ini, ia sadar bahwa aku sudah seperti zombie. Ia memakaikan helm ke kepalaku. Segera aku duduk di belakangnya dan sesekali bertanya kepadanya.
Motor pun melaju terus, angin malam semakin membuat mataku berat. Di pundaknya aku membenamkan kepalaku. Ia dengan sigap mengencangkan tanganku ke perutnya. Kemacetan Jakarta sudah tak kupedulikan lagi.
Detik waktu berselang, entah mengapa aku jadi teringat ketika aku terkantuk-kantuk naik motor bersama ayah waktu kecil. Kala itu aku pergi ke perpustakaan dan harus melaju jauh dari rumahku hampir 2 jam.
Ayah dengan senang hati selalu mengajakku untuk pergi ke perpustakaan untuk membaca Majalah Bobo atau buku-buku dongeng. Di kala kesibukannya sebagai guru honorer, tiap hari Sabtu atau Minggu, ia menyempatkan waktu untukku.
Aku meregangkan pelukan, seketika kantukku mendadak hilang.
“Aku kangen Ayah, No.” ujarku masih bersandar pada punggungnya.
“Besok kita ke makam ya, Raya.” suara beratnya membelah deru motor.
Kupeluk erat ia lagi. Tanpa basa basi. Untungnya aku memiliki sosok pengganti Ayah yang bisa memboncengku walau aku tertidur di pundaknya.
Pacino
Bunga matahari depan beranda terik sekali pagi itu. Sosok pemuda berusia 25 tahun tersenyum senang ketika tanamannya mekar. Momen mekarnya bunga itu sudah Kala tunggu-tunggu. Dari berbagai bunga yang ada di tamannya, bunga itulah yang paling ia tunggu.
Pasalnya, bibit bunga tersebut ia beli dari seorang gadis bermata bintang. Ketika ia pergi ke taman kota untuk berolahraga. Tanpa sengaja, matanya melihat penjual bibit bunga dan tanaman berjualan di sana. Kala pun kembali teringat momen itu.
“Bibit bunga dan tanamannya, Kak..” tawar gadis itu kepada Kala. Kala melihat selintas tak ada yang istimewa dan gadis berambut pendek itu. Ia pun beralibi untuk menolak tawaran secara halus dengan mengatakan jenis-jenis bunga yang langka.
“Apakah ada jenis Matahari Pacino?” Kala bertanya kepada gadis penjual bibit itu, berharap bibit tersebut tidak ada dan ia ada alasan untuk tak membeli.
“Ada, Kak. Mau ambil berapa bungkus?”
“Hmm hmm” Kala mulai gelagapan, tak menyangka yang ia sebut tersedia “Kalau bunga matahari earth walker?
“Stoknya habis Kak, kalau di sini. Tapi bisa saya ambilkan, took bunganya ada di ujung sana. Gimana?”
“Eeh gak usah, saya beli Pacino saja” akhirnya Kala mengalah dan membeli bibit bunga tersebut.
Sejak saat itu Kala mulai sering berolahraga ke sana setiap sore. Ia pun menjadi dekat dengan gadis penjual bibit bunga tersebut. Perkenalan yang singkat dan hanya berupa obrolan tentang bunga atau tanaman. Tapi Kala merasa bahwa ketika bersama gadis itu, ia berasa benar-benar bahagia.
Hingga pagi ini, ketika ia sedang di halaman rumahnya. Datanglah seorang gadis berambut pendek tersenyum manis ke arahnya. Binar matanya sangat terang mengalahkan bunga mataharinya di taman. Ia pun menyapa,
“Kala, ayok sarapan bareng!”
“Yuk, masuk, Tari. Terima kasih, Matahariku”
Gigitan Pertama
Donat itu telah kubuat sempurna. Sangat sempurna. Setelah hasil kuliahku di Tata Boga selama empat tahun lalu mengambil kejuruan pastry, aku yakin, aku bisa membuat donat paling enak di kotaku.
Tapi, suatu hari, lelaki bermata elang itu, yang mana ialah sahabatku dari kecil, mengucapkan hal yang tak seharusnya ia ucapkan di depan donatku. Ketika ia sudah mencicipi separuh donat tersebut.
“Ini bukan seperti kamu. Taburan gulanya kebanyakan, penuh ambisi dan keserakahan. Sementara Kiana yang kukenal adalah pembuat kue terenak yang pernah kucoba. Hapus ini dari daftar menu di tokomu” Dapur itu amat dingin. Amat dingin. Ucapan Wira itu seolah menyayat perjuanganku bertahun-tahun. Bahkan dimulai ketika aku SD, ketika dulu aku masih bermain dan berpura-pura memasakan makanan untuknya dari tanah dan rerumputan.
Awalnya aku mematung, lama kelamaan aku membela diriku sendiri.
“Kamu gak suka gula, karena teringat Riana, kan? Kamu selalu mengingatnya bahkan untuk hal-hal terkecil yang identik dengan Riana.” Riana adalah mantannya yang sudah putus tiga bulan lalu. Riana memang penyuka makanan manis, terkadang ia pun membeli kue atau donat-donat dari tokoku.
“Kok kamu bahas dia, Ki? Omonganku terlalu jujur tadi?”
“Kamu gak pernah jujur! Tapi terucap dan tertulis sendiri di mata kamu! Kamu menyalahkan donatku yang tak enak hanya karena mantanmu suka manis! Kekanak-kanakan!” Emosiku sangat meluap.
“Aku gak bilang donatmu tak enak. Aku hanya bilang donat ini bukan seperti kamu yang membuatnya.”
“Lalu siapa, Wira?!” Seruku dan ia akhirnya diam. Mungkin ia diam karena enggan bertengar denganku atau justru memang ucapanku benar.
Wira pun meninggalkan dapur toko, tanpa mengucapkan sepatah katapun dan tanpa berbalik lagi. Hari-hari berikutnya, ia pun tak mengunjungiku lagi. Mulai saat itulah, aku menyadari, aku kehilangan sosok pengigit kue pertamaku, sahabatku, dan cinta pertamaku. Aku kalah terhadap masa lalunya, namun aku merasa harus menyelamatkan ambisiku dan mimpiku.
Bangku Sisi Jendela
Tampak sosok lelaki bertubuh agak gelap duduk menghadap ke arah jendela. Sesekali mengaduk sendok pada jusnya. Sesekali pun mengecek handphone untuk menantikan kabar. Posisi yang benar-benar menunggu.
“Ale..!!”
Terdengar suara perempuan dari arah pintu masuk cafe. Yang dipanggil pun menengok dan melambaikan tangan dengan girang. Sang perempuan, Mala namanya, segera menuju Ale. Aroma lavender tercium oleh Ale dari tubuh Mala. Perempuan cantik nan anggun itu entah mengapa telah menjatuhkan hati kepada Ale- Lelaki kosan sederhana.
Menjadi mahasiswa baru di ibukota, membuat mereka saling jatuh cinta. Pertemuan pertama mereka adalah gerbang menuju kehidupan Ale dan Mala yang baru. Dan aku, selalu sendiri melihat mereka di pojok dunia yang tak tampak. Memandang dengan iba apa yang telah terjadi pada Ale selepas kecelakaan itu.
Baca juga: Yuk Baca Cerpen Pendidikan
“Mal, ada yang mau aku omongin” Ale bersua menatap Mala yang masih memesan makanan
“Hmm” Mala bergumam lalu menutup buku pesanan dan menatap Ale “ Kamu gabakal ngomongin putus kan?”
Ale menatap lekat pancaran nanar mata Mala. Pikiran negatifnya justru hal tersebut akan terjadi, meski Ale pun tak mau itu terjadi. Sesungguhnya ia hanya ingin menyampaikan kebenaran, walau justru hal itu sangatlah menyakitkan.
“Aku tak bisa melupakan Jinan. Ia amat melekat di aku, di hatiku. Apakah lebih baik..”
“Stop! Aku tahu maksud kamu apa. Jinan sudah tenang dan itu bukan salah kamu, bukan, Le”
Aku tersenyum mendengar ucapan Mala. Benar, kecelakaan yang kami alami berdua bukanlah salahnya, bukan salah siapa-siapa. Tapi, Ale selalu berpikir itu salahnya dan ia tak bisa melupakanku, walaupun ia sudah berusaha mencobanya dengan Mala.
“Mala, terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Kamu yang tahu rasa sakitku seperti apa. Tetapi, aku yang tahu sendiri batas kesanggupanku seperti apa. Dan aku gak mau berbagi rasa sakit itu denganmu. Aku gak mau nyakitin kamu. Jadi, hargai keputusanku untuk tak pernah bisa melupakan Jinan.”
Satu persatu air mata Mala terjatuh.Sementara Ale bangkit berdiri, menepuk pundak Mala lembut, dan pergi meninggalkannya. Entah aku harus sedih atau senang Ale tak bisa melupakanku. Tetapi sementara ada air mata wanita lain yang ditinggal Ale pergi. Di ujung dunia, aku berharap Ale menemukan kebahagiaanku, walau tanpaku.
Menatap Rindu
Berbeda kota membuat waktu berdua begitu amat berharga. Itulah yang dirasakan Doni dan Elsa. Namun, tak peduli sejauh Aceh-Papua atau sedekat Bogor-Jakarta, ukuran rindu mereka akan tetap sama.
“Bee, kamu sudah pulang kuliah?” tanya Elsa melalui telepon genggamnya.
“Sudah sayang. Kamu sendiri sudah beres kuliahnya? Jawab Doni.
Mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang mengejar mimpinya di kotanya masing-masing. Doni yang sedang kuliah di Depok. Lalu Elsa yang sedang kuliah di Bandung. Mereka hanya bisa berbincang melalu telepon dan videa call saja. Kadang kalau ada waktu luang beberapa hari, Doni mendatanginya ke Bandung.
“Bee, kamu dimana?” tanya Doni saat menelponnya diatas motor.
“Aku sedang makan dengan temanku. Kenapa, bee?” balas Elsa.
“Oh begitu, yasudah aku tunggu di kedai kopi depan kosan kamu, ya” ucap Doni sambil menahan tawa.
“Hah! Kamu di Bandung? Jangan becanda, dong. Kamu tau kan aku lagi kangen banget sama kamu belakangan ini, jangan buat aku makin sedih karena gabisa ketemu kamu, bee.” Ucap Elsa dengan nada sedih.
Seakan tak percaya dengan apa yang diucap Doni, Elsa pun bergegas menuju kedai kopi didepan kosan dia. Dari kejauhan elsa menyadari bahwa ada motor Doni yang terpakir depan kedai kopi tersebut.
“Bee! Kamu ko bisa kesiniii….” Ucap elsa yang langsung memeluk Doni.
“Iya, kan kamu kangen katanya, makanya aku sempatkan kesini meskipun besok harus kembali lagi ke Depok” balas Doni yang juga memeluk Elsa dengan erat.
Di benak Doni, ada banyak cerita yang ingin dia sampaikan. Namun, tak satupun yang terlintas di kepalanya. Dia terlalu sibuk mencari cara bagaimana waktu melambat, bagaimana agar pertemuan kali ini tak lagi singkat. Karena Doni tak ingin melihat Elsa cepat berlalu, dan dia tak ingin lagi hanya menatap rindu.
“Bisakah jangan pergi dulu, tunggu sebentar lagi hingga nanti. Hingga tiba sang waktu lelah berlari, lalu mengalah dan membiarkan kita disini” dalam benak Doni yang saat itu sedang menggenggam erat tangan Elsa.
“Bisakah duduk dan menetap sebentar, karena jika kamu pergi dan aku beranjak dari sini, ada rindu di depan pintu yang siap memeluku kembali” sambungnya dengan senyuman.
Perkenalan
Siang itu, Sandi mengajak Desti untuk bertemu disebuah café yang berada tidak jauh dari kampusnya. Hari ini Sandi Nampak lebih santai, paling tidak ia membawa bebrapa buku untuk dikerjakan di café tersebut. Tugas dari dosennya yang membuat dia dan teman temannya harus membawa tugas itu kemanapun karena dikejar deadline.
Sandi sudah berada di café itu sejak lima menit yang lalu dan Desti sebentar lagi akan sampai. Ia memesan segelas coklat panas kesukaannya, Sandi merupakan pelanggan yang sering dating kemari meskipun Cuma memesan secangkir coklat panas atau tiramisu untuk menemani dia saat mengerjakan tugas.
“Desti..!” Sandi memanggilnya Ketika ia melihat gadis berkulit putih dan memiliki lesung pipi itu baru saja memasuki café.
“Hai, Sandi! Sudah lama, ya?” tanya Desti.
“Hmm..sorry ya telat, hehe” ucap Desti sambil tersenyum.
Coklat panas pesanan Sandi pun menghampiri meja itu. Desti, juga memesan satu coklat panas pada barista tersebut untuk menghangatkan badannya. Hujan kali ini memberikan kedinginan yang tidak biasa.
“Oke, bapak Sandi. Asisten dosen, kita mulai dari mana tugas ini?”
“Hahaha..ga perlu seformal itu, Des.”
Baru kali ini Desti melihat Sandi tersenyum lepas, rasanya di kampus yang selalu di lihatnya adalah Sandi “ si kutu buku”. Namun memang semua Nampak berubah semenjak, obrolan yang rasanya belum tuntas Ketika makan siang di kantin hari itu. Sandi dan Desti menjadi sedikit lebih akrab sekarang. Setidaknya jika dibandingkan saat pertama kali mereka bertemu.
Desti dan Sandi menghabiskan dua jamnya bersama, yang awalnya ingin mengerjakan tugas, malah mereka berdua keasikan bercerita satu sama lain. Menceritakan hal-hal tentang pribadinya masing-masing. Hal yang tidak mereka suka, dan hal yang mereka suka. Rasanya tanpa kesulitan perkenalan kedua ini akan membuat mereka semakin akrab, atau mungkin lebih.
Melangitkan Namamu
Aku adalah sang pengagum handal di balik layar, memandangimu dari tempat yang tak kau lihat. Percayalah, bahwa aku diam-diam telah melangitkan namamu dalam setiap doa. Tak berubah, selalu sama, berharap agar dirimu bahagia di sana.
Tidak semua hal mesti disampaikan; mencintaimu, misalnya. Jangan tanya kenapa, mungkin aku hanya belum siap menerima kenyataan bahwa hatimu sudah ada yang menggenggan, belum siap untuk terluka.
Baca juga: Cerpen Kehidupan Dengan Banyak Pesan
Sebab terkadang, memendam terasa mendamaikan. Aku hanya perlu mengingat untaian rasa ini didalam doa, dan lagi-lagi, aku hanya bisa melangitkan namamu yang kutitip pada semesta dalam bentuk semoga.
Dengan begitu aku tidak perlu cemas jika harus meyakinkan penduduk semesta, tentang mengapa aku lebih memilih bercengkrama dalam diam. Karena jujur saja, aku lebih suka membungkus sebuah ingin, dalam setulus-tulusnya.
Aku, hanya ingin semuanya baik-baik saja, atau setidaknya untukku tampak baik-baik saja, meski mungkin nanti jalan cerita kita ternyata berbeda. Jika dipikirpikir lucu, ya. Aku seperti lili ulang tahun bagimu. Aku datang, kamu menutup mata. Aku padam, kamu bahagia. Mirisnya, mereka bertepuk tangan seakan merayakan.
Kamu akan terasa jauh meski jarak kita begitu dekat, karena aku telah mengubur rasa ini dalam diam yang teramat sangat. Sendirian, lamat-lamat. Aku tahu. Aku menyadari itu. Namun diri ini tak bisa pergi, aku ingin menyudahi, tetapi Langkah ini hanya menuntunku kembali ke awal lagi. Tragisnya, aku suka mengulanginya lagi dan lagi. Maaf.
Semesta yang Tak Merestui
Lelaki itu bernama Dhika, mahasiswa tingkat 3 yang sedang dilema atas perasaannya harus dibunuh secara terpaksa pada seseorang yang dia cintai. Ya, Ireine merupakan perempuannya selama 3 tahun ini. Cinta mereka timbul saat keduanya saling tatap ketika ospek kampus waktu itu.
Tapi, kini hubungan mereka berada di ujung tanduk. Bagaimana tidak, mereka mungkin memiliki rasa yang sama, berpijak pada bumi yang sama, menunjuk bintang di langit yang sama, pun pada naungan galaksi yang sama. Namun, pemilik semesta yang mereka tuju nyatanya tak sama.
Dhika bersujud, sedangkan Ireine berlutut. Lelakinya menengadahkan tangan, sementara perempuannya menyilangkan sepuluh jarinya. Bagaimanapun juga, pemilik semesta tak akan pernah merestui kisah mereka. Keduanya tak salah, hanya saja tak searah.
Saat malam tiba, mereka saling berbicara di taman kota, berusaha mengakhiri yang tak ingin di akhiri. Hubungan mereka, kini harus berakhir dengan baik baik, meskipun hati keduanya tidak baik baik saja.
“Ren, kamu harus paham, meski seandainya kita ditempat yang berbeda, ataupun jarak kita yang tak terhitung jauhya, suatu saat nanti kita pasti akan dipertemukan kembali. Asalkan kita percaya pada pemilik semesta yang sama, agar kita bertemu pada titik yang sama” tutur Dika menggenggam tangan Ireine.
“Maka demi kebaikan kita bersama, izinkanlah aku dengan amat berat hati untuk menarik hati, untuk berhenti, untuk tak bersamamu lagi. Aku tau masing-masing dari kita pasti hatinya terluka. Tapi aku yakin cepat atau lambat pasti kita akan menemukan pengobat luka.” Sambungnya.
Ireine hanya tertunduk menangis, sesekali diam dengan pandangan kosong kebawah. Meratapi kisahnya yang harus berakhir seperti ini. Dengan senyuman perpisahan, Dhika memeluk Ireine untuk terakhir kalinya, dengan berharap suatu saat ada keajaiban yang bisa mengembalikan kisah indahnya lagi bersama Ireine.
Tentang Perpisahan
Tidak ada yang tidak baik dari suatu perpisahan. Tuhan pasti menitipkan makna yang belum kita sadari maksud dibalik semua itu. Sama seperti kisahku dengannya yang harus kandas tanpa alasan yang kuat. Sudah hampir satu tahun setelah dia pergi meninggalkanku disini.
Mungkin, Tuhan menyelamatkan salah satu dari kita berdua, dari orang yang tidak baik. Meski aku yakin, dalam hal ini, tidak ada yang tidak baik diantara kita berdua. Mengingat dulu kita saling melengkapi satu sama lain. Bagaikan mentari yang menuntun untuk berjalan, hingga seperti hujan yang membasuh semua perih.
“Sepertinya kisah kita harus berakhir sampai di sini,” ujarnya malam itu.
Aku terdiam bak tersambar petir, mengingat sudah berapa jauh aku melangkah kearahnya, sedah berapa asa yang aku perjuangkan untuknya. Tapi, sekarang dia memilih untuk mengakhiri semuanya. Akupun termenung di sudut dunia.
“Mungkin saja aku sudah cukup baik, namun belum cukup baik dalam beberapa hal untukmu” gumamku dalam hati.
Beberapa bulan berlalu, aku sudah bisa membiasakan hal yang aku paksakan, tidak bersamamu. Ternyata ucapanku dulu hanya omong kosong belaka. “aku tidak bisa hidup tanpamu”. Nyatanya, tanpamu aku baik baik saja sekarang.
Jadi, salah satu hal yang selalu aku ingat hingga hari ini adalah, Ketika patah hati, berdamailah dengan diri sendiri terlebih dahulu. Kelak, setelahnya kamu akan berlapang dada melihat kenyataan yang kau jalani meskipun pahit.
Setahun berlalu, kembari terbesit dalam benak saat dia, menyapa kita dari kejauhan.
“Hey, apa kabar?” tanya dia.
“Baik” jawabku sambil tersenyum.
Bagiku, seburuk buruknya masa lalu, dia adalah guru yang mengajarkan aku dengan caranya yang manis dan pahit agar seseorang yang kelak aku tau bahwa dia adalah cinta sejatiku, bisa mendapatkan aku dalam versi yang baik.
Jadi, perpisahan itu bukan sesuatu yang harus disesali justru ktia harus merelakan dan yakin bahwa tuhan punya rencananya sendiri untuk membahagiakan kita, dan mungkin saja kebahagiaan tersebut bukan dengan seseorang yang telah meninggalkan kita.
“Aku selalu percaya bahwa, kenangan sepahit apapun itu bukanlah untuk dilupakan, tapi untuk di ingat dengan persepsi yang tidak menyakitkan” aku saat ini yang sudah beranjak dari masa lalu.
Untukmu, Aku Bisa Menjadi Apapun
Aku mungkin adalah pendengar yang baik untukmu, atau malah akulah yang terbaik? Karena aku selalu mendengarkan apa apa keluhmu dengan hati, aku mendengarnya tanpa sedikitpun menyela. Namun, seringnya aku selalu mendengarkan tanpa didengarkan.
Itu bukan menjadi masalah bagiku, karena setiap di akhir cerita yang kamu sampaikan, selalu terlukis senyum manis di bibirmu. Senyuman yang menandakan bahwa sedih dan tangismu sudah terurai. Sesederhana itu bahagiaku. Aneh memang.
“Gimana sudah lega setelah semuanya kamu ceritakan?” tanyaku sambil mengusap air mata yang kian mengering pipinya saat itu.
Akupun bisa menjadi penolong yang hebat untukmu, bahkan aku bisa menjadi apapun yang kamu butuh, aku Bahagia menjadi orang lain yang bahkan tidak aku suka, semua itu hanya demi memastikan bahwa bahagiamu utuh.
Tak masalah untukku jika harus kehilangan diri sendiri, karena setidaknya akulah satu-satunya orang yang selalu menemanimu meski seisi bumi sedang tidak bersikap baik padamu, meski singkatnya hari. Sejenak terasa lama, sebentar terasa manis.
Jauh didalam hatiku, aku ingin menuntutmu bertanggungjawab atas yang kamu lakukan selama ini. Atas pencurian hatiku yang berhraga olehmu. Namun, tuntutan yang ingin aku layangkan kepadamu itu hanya sebatas omong kosong belaka.
Karena kamu sebenarnya memang tak pernah mencuri hatiku. Karena pada kenyataannya aku sendirilah yang menyerahkannya kepadamu. Sukarela, tanpa paksaan. Entah itu disebut bodoh atau memang perasaan ini yang terlalu kokoh.
Pada akhirnya, semua yang telah kulakukan selama ini, bagimu hanya sebuah nyanyian tanpa suara, sebuah intonasi tanpa nada. Sebuah perjuangan yang tak kau sadari, atau bahkan sebuah pengharapan yang olehku terlampau tinggi. Kamu mengakui aku memang ada, tapi hanya sekadarnya saja.
Entah sampai kapan aku akan memperjuangkanmu dalam-dalam, entah berapa purnama aku harus bertahan dalam diam. Namun, percayalah aku bukannya belum menemukan waktu yang tepat untuk menyuarakan isi hati, aku hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk siap patah hati.
Baca juga: Cerpen Persahabatan Dengan Berbagai Pesan
Penutup
Cerpen cinta merupakan tema yang sering diangkat dalam dunia kepenulisan. Melalui cerpen cinta, penulis dapat mengungkapkan perasaan, cinta, kasih sayang, dan penderitaan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Beberapa cerpen cinta yang disajikan dalam pembahasan ini menghadirkan beragam nuansa dan pengalaman dalam hubungan romantis.
Begitulah 10 cerpen cinta sederhana yang telah kamu nikmati. Semoga dapat menjadi acuan apabila membutuhkan contoh cerpen tentang cinta.