10 Cerpen Persahabatan Dengan Berbagai Pesan

Cerpen atau cerita pendek dapat menjadi sarana pembelajaran sekaligus hiburan. Salah satunya dengan cerpen bertema persahabatan. Cerpen persahabatan biasanya berisi lika-liku hubungan persahabatan, bagaimana suka duka, dan bagaimana mempertahankan persahabatan tersebut. Bukan hanya persahabatan realistis tetapi juga imajinatif.

Berikut ini ialah 10 cerpen persahabatan, selamat membaca!

Lunatic

cerpen persahabatan
Sumber foto: Виктория Бородинова dari Pixabay

Tubuh ini terjerembab ke dalam pipa berwarna merah putih yang memusingkan, berputar sampai akhirnya ujung lubang itu bertemu. Mataku yang masih berkunang berusaha untuk menangkap titik-titik cahaya yang belum terbiasa kulihat.

Biasanya hanya kelabu, tapi di sini berbeda, begitu berwarna dipenuhi dengan ornament-ornamen yang berkilauan. Aku merapihkan syal panjang yang selalu kukenakan, taku jika hawa dingin kembali muncul.

“Selamat datang, aku akan menemanimu hari ini, selamat bersenang-senang,” ucap seekor kucing berwarna biru tua dengan aksen mengkilap seperti langit malam, matanya hijau dan begitu besar.

“Di sini segala hal yang kamu inginkan akan terwujud, jadi cukup pejamkan matamu dan berharaplah.”

“Oh, benarkah?” Tuan kucing itu tersenyum menyakinkan.

Setelah kubuka kelopak mataku, tepat dihadapanku digelar karpet merah panjang dengan meja di atasnya, begitu banyak kursi dan cangkir keemasan di hadapannya.

“Apa yang kau harapkan?”

Aku sempat ragu untuk mengucapkannya, rasanya memang sedikit aneh “Aku ingin makan siang dengan teman-temanku.” Begitu semuanya terwujud, mungkin ada belasan wajah yang akrab kulihat di sekolah, kami memang kerap kali bertukar canda tawa. Aku tertawa begitu kencang saat mendengar lelucon dari Hans, ia memang rajanya komedi di sekolah.

Aku terus tertawa sambil memegang perutku yang telah terisi penuh dengan potonga-potongan roti dan berbagai selai yang menggiurkan. Sampai membuat tubuhku tersungkur ke bawah karena saking perihnya tertawa.

Mataku memandang sekeliling dasar meja yang dipenuhi awan kelabu di atas langit, semuanya gelap tanpa kaki yang seharusnya menjuntai di bawah meja, dan membuatku sadar.

“Tolong selamatkan aku.” Kini aku kembali berharap.

Lalu sosok lunatic itu muncul menutupi cahaya-cahaya terang di sekeliling kami, warnanya yang kelam namun gemerlap itu menjulurkan lengannya, “Kenapa harus mencari yang lain? jika kau punya yang tetap luar biasa di sini, ayo kembali.”

Bayangan dari Masa Lalu

Ruangan berwarna putih gading ini berubah dipenuhi noda kemerahan, pakaian yang berserakan memenuhi lantai, begitupun dengan berbagai perabotan yang kini tak lagi berbentuk. Siang tadi dunia berubah seakan bencana datang beruntun.

Aku tak cukup mengerti di mana letak kesalahannya, yang kutahu aku hanya tak cukup. Tak cukup untuk hasrat dunia yang begitu besar, tentang mereka yang kian tawanya bergetar menyeramkan saat langkahku meningjak pintu gerabng sekolah. Atau malam di mana teriakan penuh amarah memenuhi langit-langit.

“Pergi!! kau hanyalah pembuat sial!”

“Anak sialan!!” Pergelangan kasar itu menarik helaian rambutku, dunia rasanya berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan denyut yang terus bergetar mengikuti rintihan yang tak henti keluar dari bibirku.

Aku menatap kedua telapak lenganku yang kini dipenuhi noda merah, dengan penuh getar goresan kembali kuletakkan pada sisi yang masih bersih. Seakan setiap goresan yang kutuangkan ikut mengiyakan setiap ucapan yang datang padaku.

Benar jika aku tak berguna, aku tak cukup berguna untuk keluarga besar yang penuh dengan canda tawa ini, ataupun dari mereka orang-orang dengan seragam sama yang terlihat polos. Kini, tak ada lagi harapan yang membuatku cukup untuk bertahan, setelah suara sirine itu menghilang, aku mengunci diriku di antar ruangan dan pintu yang begitu tinggi.

Mataku menatap nanar tubuhu yang begitu kacau, bayangan itu seakan tersenyum mengejek diriku yang hancur. Sampai sesosok kecil muncul dalam bayangan itu, wajahnya terlihat tak asing namun tak cukup bagiku untuk mengenalinya. Ia tersenyum, lalu lengan kecilnya menyentuh cermin datar di hadapanku.

“Kamu sudah melakukannya dengan baik, percayalah pada dirimu, kita bisa berteman kan?”

Penicilium

Tatapanku jatuh pada sosok laki-laki seumuran denganku, ia masih mengenakan seragam SMA di langit malam yang telah tinggi. Sebetulnya aku tak ingin menghampirinya, namun seragam putihnya yang dipenuhi noda merah, dan juga tubuhnya yang meringkuk di depan etalase toko yang telah tutup membuatku harus peduli, ditambah hujan yang menyelimuti tubuhnya.

Aku memberikan jaket olahraga yang kupakai tadi siang, agak cukup bau keringat tapi lebih baik daripada seragamnya yang tipis.

Aku membawanya lalu memakaikan jaket tersebut, ini adalah hal paling berani yang pernah kulakukan selama hidupku pada orang asing. Namun melihat mata bulatnya yang kelabu mengingatkanku pada diriku yang berdiri menangis di tengah keramaian taman bermain.

Saat ia meninggalkanku sendiri di hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupku.

“Aku tak tahu apa yang telah terjadi, tapi kau tidak boleh sakit selama mataku masih melihat.”

Ia masih menunduk, mengentakkan sepatunya yang telah lulus, ada beberapa lubang yang terlihat baru begitupun pada celananya dengan baret-baret luka yang masih segar. Jemari kecil itu bergerak, membawanya menunjuk pada bagian dadanya.

“Di sini, di sini yang sakit,” ucapnya terbatar. Nyaris tak terdengar karena suaranya yang kini diselingi isakan.

Aku menyentuh pundaknya, “Nanti aku obati, kau tidak sendiri.”

Reuni

sahabat
Sumber: Luisella Planeta Leoni dari Pixabay

Setelah tawa mulai meredup, kami meninggalkan gedung yang disewa untuk acara reuni ini. Sudah sepuluh tahun sejak kelulusan kami dahulu, tak kusangka dapat bertemu dengan orang-orang sibuk ini. Mereka yang menghabiskan setengah dari masa sekolah menengah atasku.

“Mau mampir ke kang bakso deket sekolah dulu? denger-denger masih jualan sampe sekarang.”

“Boleh, masih laper, nih.” Saut Bayu yang masih saja berdiri di samping Indira sejak dulu, awet sekali hubungan mereka.

Baca juga: Cerpen Kehidupan Dengan Banyak Pesan

Ternyata warung bakso yang dulu rajin kita singgahi sepulang rapat harian masih berjualan sampai sekarang, bahkan tempatnya menjadi lebih luas dari sebelumnya. Penjualnya memang berbeda, tapi melihat mangkuk demi mangkuk disajikan ke hadapan kami membuat yakin kalau rasanya masih sama seperti dulu.

“Eh, inget gak waktu Alfi jemput gue subuh-subuh terus jatuh di depan pasar.”

“Sumpah ya, lu emang kebaikan Al, mau-maunya disusahin sama temen blangsak macem Mawang.”

“Heran, juga kok dulu aku mau-maunya ya.”

Malam itu dipenuhi dengan tawa yang membangkitkan kisah-kisah masa lalu kami. Saat siswa baru yang tak saling mengenal dikumpulkan bersama pada satu organisasi yang sukses membuat kami terjerat akan tipu daya masa muda, lucu memang tapi dulu amat menyenangkan.

Kami berempat belas menghabiskan waktu kami lebih banyak bahkan dengan keluarga sendiri, tak jarang aku kelupaan untuk pulang dan berakhir tak dianggap anak keesokan harinya. Memang anak durhaka, tapi aku tak menyesal jika bayarannya adalah memiliki hubungan keluarga dengan orang-orang asing ini.

Aku menatap wajah mereka satu persatu, rasanya baru kemarin melihat wajah kucel mereka sehabis diomeli senior. Sekarang mereka jauh lebih glowing!

“Aku yang bayar baksonya ya,” ucapku bergegas menuju kang bakso.

“Eehh, apa-apaan aku duluan yang ngeluarin dompet nih.”

Jika diingat dulu kita pernah bertengkar perihal uang kembalian yang tak dibagi sama rata, sekarang malah berebut untuk saling membayar. Tak kusangka kita sudah tumbuh.

Cendera Mata

“Kau tak ingin pulang? Kalau tak salah ini tahun ke dua belas setelah debutmu kan?”

“Sepertinya begitu.”

“Tak ingin pulang? Rini menanyakanmu saat aku pulang kemarin.”

Mendengar nama yang disebut, aku melepas ear phone dan menatap penuh tanya pada pria berdarah blasteran Jepang di hadapanku.

“Dia sudah pulang, tepatnya hampir setahun dia kembali jika kau ingin tahu.”

Ada perasaan yang membuatku terasa ingin mati dan hidup, mendengar namanya kembali diucapkan membuatku ingat saat pertemuan terakhir kami lima belas tahun lalu, saat aku melamar wanita yang menyandang predikat sahabat kecilku. Sebetulnya ditolak bukanlah perihal serius yang membuatku enggak untuk kembali ke sana. Tempat di mana semua cerita mimpi-mimpi kami di mulai.

Kukira tur musik di beberapa negara membuatku berhasil melupakannya, baru mendengar namanya saja aku sudah tak kuat begini. Pertemanan kami berakhir dengan Rini yang pergi tanpa sepatah kata saat itu, mungkin itu yang membuatku pria berusia 35 tahun sepertiku masih sukses melajang.

Kini aku harus kembali, setidaknya agar cerita ini dapat selesai dengan baik.

Jejak-jejak rumah tradisional mulai pudar, tak banyak rumah yang masih memiliki pendopo, atau ukiran yang khas berada di setiap sisi langit-langit rumah. Jalanan yang biasanya dipenuhi lalu lalang anak-anak yang tengah bermain egrang kini sudah tidak ada, jalanan telah dilapisi aspal dan beberapa motor yang diparkir di depan rumah.

Tujuanku adalah bukit di dekat gudang yang menyimpan persediaan pangan desa, tempat terakhir cerita yang bersambung itu. Tak terasa, ucapan Yuto semalam berhasil membuatku kembali ke sini esok siangnya, menatap desa yang telah berubah. Namun perasaan yang masih sama tertinggal di sini.

Aku menatap sosok wanita dengan rambut bergelombang dan pita berwarna merah yang selalu ia pakai. Ia masih sosok sama yang tinggal di dalam hatiku.

“Lama tak berjumpa.”

Sahabatku, Rini.

Tali Sepatu

Aku mengikat tali sepatunya yang kembali lepas, ia memang sulit sekali diajari beberapa hal, salah satunya adalah memastikan dirinya tidak jatuh karena menginjak tali yang tak terikat ini. Sekarang tak diikatpun ia tak akan jatuh.

Minggu lalu kami melukis sepatu kami bersama di halaman depan rumah, aku menggambar emoji kuning berukuran cukup besar untuk menutupi merk dari sepatu tersebut. Ia juga menggoreskan kuasnya dengan terampilan, membuat daun-daun merah jambur bermekaran pada sepatunya.

“Aku ingin melihat pohon ini suatu hari nanti.” Ia tersenyum sambil menatap lamat sepatu yang hampir selesai ia cat.

“Itu pohon sakura, dia ada jauh di Jepang sana.”

“Benarkah?” Ada sedikit gerutan kekecewaan mendengarnya, namun riang itu dengan cepat kembali. “Nanti, kita pergi bersama melihatnya ya.”

Ia terlampau sempurna, bagi kami yang menjadi sahabat setelah dicampakkan orang dewasa dan berakhir di sebuah panti asuhan. Ia selalu tampak tersenyum, menjadi aktor paling hebat. Menghabiskan waktu dengannya adalah obat terbaik bagiku, menemukan kembali arti dari keberadaan diriku.

Anak laki-laki yang membuatku sadar, bahwa kita tidak pernah sendirian di dunia ini. Ia yang begitu polos, dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan uniknya.

Aku tak sanggup untuk melupakanmu, berkata rindu malah membuatku semakin merindukanmu, tak pernah terlewat seharipun saat kau pulang dengan wajah pucat dan sapu tangan yang dipenuhi darah. Aku membencimu karena kamu meninggalkanku sendiri, jujur aku merindukanmu, tapi melupakanmu rasanya lebih sakit.

Aku menggenggam sepasang sepatu itu sesaat, seakan bahwa anak laki-laki itu tengah tersenyum di hadapanku. Menggantung sepasang sepatu putih itu di atas dahan pohon sakura yang telah lama merindukan kehadiran kami.

“Hei, aku membawamu kesini, sekarang kamu bisa melihatnya setiap hari.”

“Terimakasih, sahabatku, tinggallah sedikit lebih lama sampai jumpa kembali.”

Metamorfosa

Kami adalah sepasang ulat dari pohon yang sama, pohon ziziphus mauritiana di mana buah-buahnya yang berwarna kemerahan kerap kali menggodaku. Sebetulnya tak banyak yang dapat dilakukan oleh dua ekor ulat di dunia yang besar ini. Kami lahir bersamaan dan tumbuh bersama di dahan pohon sebelah utara.

Ada sedikit perbedaan yang kurasakan akhir-akhir ini, entah aku yang berpikir berlebihan atau memang benar adanya. Temanku yang satu ini lebih banyak berbicara dari biasanya, memang tidak ada larangan untuk itu tapi tetap saja ini adalah hal yang aneh.

“Kau tahu, jika kita jatuh maka tubuh kita akan meledak.”

“Atau saat terbang ke atas, maka dunia yang akan meledak.”

Baca juga: Contoh Teks Eksplanasi

Aneh sekali pikirku, memangnya kenapa? dan aku tak cukup paham dengan apa yang ia ucapkan. Ternyata menghabiskan waktu bersama cukup lama tak membuat aku mengenal dia lebih jauh, kukira aku cukup mengenalnya saat tahu dengan pasti kalau ia akan memakan daun yang memiliki warna kekuningan di ujungnya saja, atau saat tubuhnya meregang untuk menatap langit malam yang ditutupi dedaunan.

Sampai suatu hari suaranya yang kian memenuhi pedengaranku menghilang, kalau boleh jujur aku sedikit kesepian. Ia memang sempat mengungkit bahwa ia penasaran dengan dahan pohon di ujung selatan. Ia ingin melihat lebih banyak hal, begitu tuturnya.

Aku ingin menahannya, dan menyuruhnya untuk tetap di sini. Karena takut aku akan mati kebosanan dan berakhir menjadi mangsa burung hantu di malam hari. Sepertinya aku memang tak siap untuk situasi tersebut.

Esoknya, setelah beberapa kali sinar matahari muncul setelah galap. Ada seseorang yang datang menyapaku.

“Lama tak berjumpa kawan.”

Sayapnya yang berwarna kebiruan mengepak begitu pelan, begitu anggun sampai mataku rasanya tak percaya dapat melihat keindahan seperti ini.

“Kau sungguh rupawan, coba saja aku mengizinkanmu pergi dari dulu, mungkin aku bisa menatap keindahan ini lebih lama.”

Gemuruh Lautan

Katanya langit itu lebih dalam daripada lautan, lebih gelap dan juga lebih misterius. Aku adalah salah satu spesies paus yang berbeda, karena aku menyelam bukan di lautan yang sama dengan yang lain, melainkan langit kebiruan dengan hamparan gelap di atasnya.

Berenang di sini cukup membuatku mati kebosanan, hanya awan yang sesekali datang menyapa atau kadang meteor-meteor yang tak sopan ditembaki ke arahku. Tubuhku yang hampir transparan ini memang kadang menjadi masalah, saat aku berenang di langit yang cukup rendah kadang burung-burung yang tengah bermigrasi harus rela terkapar di tanah setelah menabrak tubuhku.

Sebetulnya tempat ini terbilang sangat nyaman bagiku, makanan melimpah dan luasnya yang tak tertandingi, tak perlu khawatir untuk terbentur jarring-jaring nelayan yang sering kulihat dari sini. Mungkin, aku akan berterima kasih pada tuhan nanti.

Sayangnya, selama 84 tahun hidupku di sini aku belum pernah sekalipun bertemu dengan sosok yang memiliki rupa sama denganku, mirip sekali pun tidak pernah.

Beberapa kali aku pernah mengajak ngobrol, pria dengan syal kuning di atas awan. Memang di sini ada beberapa anak yang sering berkeliling dan mengendalikan hujan. Tapi mereka tak ada yang menoleh, kukira suaraku cukup nyaring untuk didengarnya. Kadang aku masih terkejut saat mendengar diriku yang mengigau di malam hari dan membuat gemuruh yang sangat besar.

Cahaya di malam hari juga tak ada yang berkelip kembali membalas ucapanku, rasanya ada sedikit rasa yang gemelitik di bagian dadaku, tepatnya di bagian bawah sebelah kanan siripku. Aku sedikit kecewa karena tak ada yang membalas sapaanku di sini, setidaknya aku ingin bermain kejar-kejaran dengan sosok paus lainnya di sini, berbagi cerita, atau meminum lemak-lemak nutrisi bersama.

Mungkin, aku harus mencarinya lebih rajin.

Boks Waktuku

Aku ingin mengutuk generasi ini karena dengan lancangnya meratakan pemukiman di sini, mengubahnya menjadi pusat perbelanjaan itu keterlaluan, aku naik pitam setelah mendengar ucapan walikota tadi siang. Jika bukan karena bekerja, aku sudah membuat demonstrasi dadakan saat ini.

Rumah-rumah ini telah menjadi cerita masa kecilku, dengan kesembilan anak yang besar dan lahir di sini. Lingkungan ini bukanlah tempat yang kumuh atau ilegal, bahkan beberapa rumah terlihat besar dengan dinding yang dilapisis marmer. Walaupun tetanggannya masih ada yang tinggal di rumah dengan atap tanah liat dan sumur yang ditimba setiap pagi. Tapi, kami masih hidup dengan makmur.

Sampai rumor itu dicetuskan secara resmi. Pria buncit dengan kumis tipis dan rambutnya yang rontok. Orang sama yang menghabiskan waktu-waktu berlari perihal dikejar Bapak pemilik pohon mangga.

Bisa-bisanya dia jadi seperti ini, rutukku.

“Lama tak berjumpa Andri,” ucapnya santai sambil menyesap machiatto yang barusan datang. Tatapanku masih jengkel melihatnya.

“Masih ingat denganku? kukira bergaul dengan orang-orang berdasi membuatmu lupa.”

“Aku memang berasal dari sana jika kau lupa.”

Sialnya aku tak bisa menyangkal itu, saat dulu ia satu-satunya anak yang mengenakan sepatu sedangkan aku bahkan tak beralas kaki.

“Aku akan langsung pada tujuanku, tak kuat aku melihatmu lebih lama.”

“Silahkan.”

“Aku menentang pembangunan mal itu, aku tahu kalau kau yang mengurus segala perizinan itu.”

Ia tersenyum pongah mendengarnya, “Seharusnya kau memohon lebih baik kawan.”

Aku menarik napas lebih dalam, berusaha untuk tidak dipanggil atasan karena tindakan kekerasan.

“Baiklah, sepertinya kau memang sudah tidak bisa diajak bicara.” Aku mengeluarkan kotak cokelat yang warnanya telah pudar, membukanya dan memperlihatkan sepuluh buat kertas dengan warna yang berbeda.

“Aku ingin kau memikirkan ulang rencana pembangunan ini, rasanya sekarang adalah waktu yang tepat untuk kau membaca surat ini, kuharap jiwa mereka tenang di atas sana.”

Aku ingin bermain selamanya di sini, rumah kami.

Kami Bertemu

Aku pernah bercerita padamu tentang sepatu yang basah akan lumpur dahulu, saat itu langit berwarna cerah kelabu. Tak begitu peduli akan hal tersebut, kami tetap berlari saling bersisian menjauhi rintik hujan yang mengejar kami. Sepasang sepatu putih dengan corak biru yang lembut kini telah dipenuhi bercak kecokelatan, tapi kami tetap tertawa.

Saat itu aku bertemu dengan seorang anak lelaki pindahan dari luar kota, namanya Fariz. Tubuhnya lebih kecil dibandingkan diriku, lengannya juga kecil dan matanya yang sipit hampir jarang terlihat, ia terlalu sering tersenyum sejak pertama kali dikenalkan oleh Ibu Feni selaku wali kelas kami.

Kebetulan kursiku memang kosong sejak dua bulan lalu, saat Hafiz teman sebangkuku mengikuti kepindahan orang tuanya ke Malaysia.

“Hai, aku Daniel, teman sebangkumu.” Fariz sempat terkejut meihat diriku, memang bukan yang pertama kali ada yang terkejut melihat senyumku yang berbentuk kotak dan agak lebar ini, memang kebiasaan dari lahir.

Perkenalan kami cukup singkat saat itu, setidaknya aku tahu kalau Fariz adalah orang Jawa asli melihat logatnya yang masih sulit ia tutupi, gemas sendiri mendengarnya berusaha untuk berbaur menggunakan Bahasa Indonesia. Kami tak banyak mengobrol, mengingat pelajaran pertama adalah jamnya Pak Kris, untuk bernapaspun aku berusaha membuat suaranya sepelan mungkin.

Fariz juga terlihat seperti anak yang super penurut, waktu aku mengajaknya untuk berkeliling ia bahkan sampai mencatat semua ucapanku pada notes berwarna hijau muda yang selalu ia kalungkan di lehernya.

“Aku memiliki sedikit masalah dengan ingatan, jadi aku menulis semuanya di sini,” ucapnya begitu pelan. Tak sadar, hujan turun sedikit demi sedikit memenuhi halaman belakang sekolah, tempat favoritku. Hujan semakin deras sampai tak sadar aku menginjak akar pohon yang keluar dari tanah, sukses membuat sekujur tubuhku dipenuhi lumpur cokelat.

Fariz tertawa begitu kencang melihatku, tawanya sangat menyenagkan, mendengarnya cukup membuatku nyaman untuk berbagi banyak hal dengannya, mungkin kita bisa berteman setelah ini.

Baca juga: Cerpen Pendidikan

Pemahaman Akhir

Cerpen atau cerita pendek memang dapat menjadi sarana pembelajaran sekaligus hiburan. Salah satu tema cerpen yang menarik adalah persahabatan. Cerpen persahabatan mengisahkan lika-liku hubungan persahabatan, menggambarkan suka duka dalam persahabatan, dan bagaimana cara mempertahankan ikatan tersebut. Cerpen persahabatan tidak hanya berfokus pada persahabatan yang realistis, tetapi juga imajinatif.

“Lunatic”
Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak yang terperangkap dalam dunia imajinasinya dan bertemu dengan seekor kucing biru tua yang menjadi temannya. Mereka menjalani petualangan bersama dan belajar menghargai persahabatan.

“Bayangan dari Masa Lalu”
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang anak yang merasa tidak berguna dan diabaikan oleh keluarganya. Namun, ia menemukan teman sejati yang memberikan keberanian dan keyakinan padanya untuk mempertahankan persahabatan.

“Penicilium”
Cerita ini mengisahkan tentang seorang siswa SMA yang bertemu dengan seorang teman sekelas yang sedang mengalami masalah. Mereka saling membantu dan membangun persahabatan yang kuat.

“Reuni”
Cerpen ini menggambarkan pertemuan kembali sekelompok teman setelah sepuluh tahun berlalu sejak kelulusan. Mereka mengenang kisah-kisah masa lalu dan menyadari betapa berharganya persahabatan yang telah mereka jalin.

“Cendera Mata”
Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak yang memberikan jaketnya kepada seorang teman sekelas yang sedang kesusahan. Mereka membangun ikatan persahabatan dan saling membantu satu sama lain.

“Metamorfosa”
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang ulat langit yang merasa kesepian karena tidak memiliki teman sejenis. Ia berusaha mencari teman yang memiliki rupa yang sama dengannya dan memahami keunikannya.

“Esoknya, setelah beberapa kali sinar matahari muncul setelah galap”
Cerita ini mengisahkan tentang seorang anak yang berjuang melawan pembangunan mal yang menghancurkan pemukiman mereka. Ia berusaha meyakinkan teman lamanya untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut.

“Kami Bertemu”
Cerpen ini mengisahkan tentang pertemuan dua anak sekolah, Daniel dan Fariz, yang menjadi teman sebangku. Mereka saling mengenal dan berbagi banyak hal dalam persahabatan mereka.

Dari kesepuluh cerpen persahabatan di atas, kita dapat melihat bahwa persahabatan dapat menjadi sumber kekuatan, dukungan, dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang. Cerpen persahabatan dapat memberikan pembelajaran tentang pentingnya menjaga persahabatan, saling membantu, dan menghargai satu sama lain. Selain itu, cerpen persahabatan juga dapat mengajak pembaca untuk menggunakan imajinasi dan melihat sisi indah dalam persahabatan.

Begitulah 10 cerpen tentang persahabatan. Semoga, ke sepuluh cerpen persahabatan tersebut bisa membantumu belajar!

Artikel Terbaru

Avatar photo

Zia

Bekerja sebagai buruh tulis dalam bidang pendidikan, penulisan kreatif, dan teknologi

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *