Teori Sosiologi Klasik: Pemikiran Emile Durkheim

Salah satu tokoh pemikir sosiologi yang memiliki peran krusial adalah Emile Durkheim. Beliau memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan sosiologi dengan lahirnya empat karya. Seperti apakah kehidupan Emile Durkheim dan bagaimanakah ia mengawali perjalanannya sebagai akademisi? Mari cari tahu jawabannya dengan menyimak penjelasan berikut.

Pemikiran Emile Durkheim (1858-1917)

Pemikiran Emile Durkheim
Sumber: commons.wikimedia.org

Emile Durkheim lahir pada tahun 1858 di Epinal, Perancis. Keluarganya berasal dari komunitas Yahudi yang kuat dan tradisional. Ayahnya adalah seorang Rabi yang memimpin kegiatan keagamaan di komunitas tersebut. Meskipun keluarganya berharap Durkheim akan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang Rabi, namun Durkheim memilih jalan yang berbeda dengan meninggalkan sekolah Rabi dan memutuskan untuk masuk ke sekolah umum. Keputusan ini menjadi titik awal perjalanan Durkheim sebagai seorang akademisi.

Durkheim memiliki kontribusi besar dalam perkembangan sosiologi. Ia terkenal karena empat karya utamanya yang berjudul “The Rules of Sociological Method,” “The Division of Labor in Society,” “Suicide,” dan “The Elementary Form of the Religious Life.”

Dalam karyanya yang berjudul “The Rules of Sociological Method,” Durkheim memperkenalkan konsep yang dikenal sebagai “fakta sosial.” Fakta sosial merujuk pada cara bertindak, berpikir, atau merasakan yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan untuk memengaruhi individu tersebut.

Bagi Durkheim, fakta sosial adalah inti dari sosiologi yang membedakannya dari disiplin ilmu lain. Tiga karya lainnya membahas berbagai topik, mulai dari pembagian kerja, bunuh diri, hingga agama, yang semuanya menjadi kontribusi penting dalam pemahaman kita tentang masyarakat.

The Division of Labor in Society (1893)

Dalam The Division of Labor in Society, Durkheim membahas tentang spesifikasi lapangan pekerjaan, dan dampaknya bagi kondisi solidaritas masyarakat. Durkheim membagi konsep solidaritas ke dalam dua tipe, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

Masing-masing solidaritas dapat dibedakan melalui dua indikator, yaitu faktor pengikat solidaritas, dan sanksi yang diterapkan oleh tiap solidaritas terhadap tindak kriminal yang dilakukan individu. Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik identik dengan masyarakat tradisional, sedangkan solidaritas organik identik dengan masyarakat modern.

Dalam solidaritas mekanik, masyarakat diikat oleh sebuah konsep bernama kesadaran kolektif, atau “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama yang dianggap umum dalam sebuah masyarakat”. Kejahatan, dalam solidaritas mekanik, didefinisikan sebagai tindakan yang mencederai kesadaran kolektif tersebut, atau dengan kata lain, mencederai seluruh masyarakat.

Sanksi bagi pelaku tindak kriminal dalam solidaritas mekanik bersifat represif. Artinya, sanksi yang dijatuhkan bagi bertujuan untuk membalas, merugikan, atau membuat pelaku menderita, seperti hukuman mati. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang diikat oleh “kesamaan” dalam bentuk kesadaran kolektif, solidaritas organik justru diikat oleh “perbedaan” dalam bentuk pembagian kerja.

Dalam solidaritas organik, setiap orang memiliki tugas yang spesifik, dan saling bergantung antara satu dengan lainnya. Sanksi yang diberikan bagi pelaku tindak kriminal dalam solidaritas organik bersifat restitutif. Artinya, sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang terganggu akibat tindak kriminal tersebut seperti semula, contohnya dengan membayar ganti rugi.

Dalam solidaritas organik, masyarakat tidak diikat oleh kesadaran kolektif, maka tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mencederai seluruh masyarakat, sehingga sanksi yang bersifat represif tidak lagi dibutuhkan.

Suicide (1897)

Dalam Suicide, Durkheim mencoba melihat hubungan antara lingkungan sosial dan fenomena bunuh diri. Durkheim mengkaji data statistik angka bunuh diri di wilayah Eropa Barat, dan menemukan sesuatu yang menarik. Wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen Protestan memiliki angka bunuh diri yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen Katolik.

Durkheim lalu menyimpulkan bahwa rendahnya solidaritas diantara pemeluk agama Kristen Protestan, yang cenderung lebih individualis dan kritis, merupakan penyebab utama tingginya angka bunuh diri di wilayah tersebut.

Durkheim menggunakan istilah “egoistik” untuk menyebut bunuh diri yang terjadi akibat rendahnya tingkat solidaritas di masyarakat. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah ditinggal oleh kekasihnya dapat dikatakan telah melakukan bunuh diri egoistik.

Lebih lanjut, Durkheim menyadari bahwa tingginya tingkat solidaritas di masyarakat juga dapat memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri. Durkheim menyebut bunuh diri yang terjadi akibat tingginya tingkat solidaritas di masyarakat sebagai bunuh diri “altruistik”. Bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok radikal keagamaan dapat dikategorikan sebagai bunuh diri altruistik.

Selain faktor solidaritas, Durkheim menemukan bahwa ketatnya regulasi yang berlaku juga turut memengaruhi angka bunuh diri di sebuah wilayah. Sebagai contoh, ketatnya aturan di penjara dapat memicu narapidana untuk melakukan bunuh diri. Durkheim menyebut bunuh diri yang terjadi akibat ketatnya regulasi yang berlaku sebagai bunuh diri “fatalistik”.

Sebaliknya, longgarnya regulasi juga dapat memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri. Durkheim menyebut bunuh diri yang terjadi akibat longgarnya regulasi yang berlaku sebagai bunuh diri “anomik”. Contoh dari bunuh diri anomik adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang bingung dan tidak memiliki tujuan hidup.

The Elementary Form of the Religious Life (1912)

The Elementary Form of the Religious Life (1912)
Sumber: fakta.id

Dalam The Elementary Form of the Religious Life, Durkheim membahas tentang agama paling primitif yang dikenal oleh manusia. Durkheim menolak mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap sesuatu yang misterius” atau “kepercayaan terhadap sosok supernatural”.

Bagi Durkheim, agama merupakan kesatuan sistem kepercayaan, dan praktik-praktik yang berkaitan dengan hal-hal suci (sacred) dan tidak suci (profane). Berangkat dari definisi tersebut, Durkheim menyatakan bahwa totemisme, atau pemujaan terhadap hewan dan tumbuhan, merupakan bentuk agama yang paling primitif yang dikenal oleh manusia.

Durkheim berargumen bahwa gagasan mengenai hal-hal yang sifatnya sacred dan profane pasti diawali dari sesuatu yang sifatnya benar-benar empiris bagi masyarakat tradisional, yaitu hewan dan tumbuhan, bukan fenomena alam (naturisme)  maupun roh leluhur (animisme).

Menurut Durkheim, suku-suku dengan sistem kepercayaan totemisme memiliki ikatan persaudaraan yang unik. Alih-alih diikat oleh hubungan darah, mereka justru diikat oleh kesamaan nama atau “totem”. Totem ini sendiri umumnya mengambil bentuk dari spesies binatang, atau tumbuhan tertentu.

Totem-totem ini diukir, ditulis, dan bahkan digambar di bagian tubuh para penganut totemisme. Menurut Durkheim, tindakan mengukir, menulis, dan menggambar totem-totem tersebut merupakan upaya untuk mengubah sesuatu yang sifatnya profane (kayu, batu, dan anggota tubuh) menjadi sacred, mengubah sesuatu yang tidak suci menjadi suci.

Lebih lanjut, Durkheim menjelaskan bahwa alih-alih menyimbolkan Tuhan, atau keberadaan lain yang sifatnya supernatural, totem merupakan simbol dari suku, atau klan yang bersangkutan. Berangkat dari argumen tersebut, Durkheim menyatakan bahwa “God is nothing more than society apostheosized,” atau dengan kata lain, Tuhan adalah masyarakat.

Untuk mendukung argumennya, Durkheim menyatakan bahwa Tuhan dan masyarakat memiliki empat kesamaan utama yaitu: 1) Keduanya merupakan keberadaan yang lebih besar daripada individu; 2) Keduanya ditakuti oleh individu; 3) Keduanya tidak dapat hadir tanpa adanya kesadaran individual; dan 4) Keduanya menuntut individu untuk mengorbankan sesuatu secara berkala.

Setelah Durkheim wafat, pemikirannya terus dikembangkan oleh murid-muridnya seperti Marcel Maus, yang mengkaji fenomena pemberian hadiah, dan Bougle, yang mengkaji sistem kasta. Tulisan-tulisan Durkheim sendiri berhasil dikenal hingga Amerika Serikat.

Tulisannya juga menjadi salah satu sumber rujukan yang berpengaruh berkat sosiolog seperti Talcott Parsons dan Robert Merton, yang menggunakan kerangka berpikir Durkheim dalam menyusun karya-karyanya. Di era modern, pemikiran Durkheim turut mempengaruhi karya-karya sosiolog kontemporer seperti Michel Foucault, Clifford Geertz, Peter Berger, dan masih banyak lagi.

Nah, sekian perjalanan hidup dan karya yang dikeluarkan oleh Emile Durkheim, salah satu pemikir sosiologi klasik. Beliau memiliki kontribusi yang besar terhadap keilmuan sosiologi sehingga menilik mengenai latar belakang kehidupannya sebagai akademisi dinilai hal yang penting bagi siapa pun yang tertarik dengan keilmuan ini.


Sumber:

Calhoun, C., Gerteis, J., Moody, J., Pfaff, S., & Virk, I. (2007). Classical Sociological Theory. Great Britain: Blackwell Publishing.

Lukes, S. (1982). The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method. London: Macmillan.

Little, W., Vyain, S., Scaramuzzo, G., Cody-Rydzewski, S., Griffiths, H., Strayer, E., & Keirns, N. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.

Ritzer, G. (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Wasila

Lulusan Sastra Inggris, UIN Sunan Ampel Surabaya yang saat ini berkecimpung di dunia penerjemahan. Disela-sela kesibukan menerjemah, juga menulis artikel dengan berbagai topik terutama berhubungan dengan kebudayaan.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *