Mengenal Sosiologi Politik

Sosiologi politik tidaklah sama dengan lingkup sosiologi secara umum. Sosiologi politik mengandung definisi yang lebih spesifik. Misalnya saja, dasar-dasarnya yang meliputi konsep kekuasaan dan konsep kewarganegaraan. Untuk mengenal lebih jauh seperti apa sosiologi politik tersebut, mari simak penjelasan berikut yang akan mengupas definisi hingga dasar-dasar sosiologi politik.

Definisi Sosiologi Politik

Definisi Sosiologi Politik
Sumber: wavebreakmedia_micro on Freepik

Sosiologi politik adalah bidang studi yang memfokuskan diri pada pemahaman tentang kekuasaan dan hubungan antara negara dan masyarakat. Fokus utamanya adalah mengungkap sumber-sumber kekuasaan dalam politik, yang masih menjadi topik perdebatan yang berkelanjutan.

Dalam kajiannya, sosiologi politik membahas konsep kekuasaan pada berbagai tingkatan, mulai dari individu, kelompok organisasi, hingga tingkat nasional. Seperti cabang-cabang sosiologi lainnya, akar pemikiran sosiologi politik dapat ditelusuri hingga karya-karya sosiolog klasik seperti Karl Marx dan Max Weber.

Dasar-Dasar Sosiologi Politik

Dasar-Dasar Sosiologi Politik
Sumber: wavebreakmedia_micro on Freepik

Sosiologi politik memiliki dua pokok bahasan utama, yaitu kekuasaan, serta hubungan antara negara dan masyarakat. Pokok bahasan yang pertama, kekuasaan, telah terlebih dahulu diulas oleh sosiolog-sosiolog klasik seperti Marx dan Weber. Bagi Marx, kekuasaan berada di tangan mereka yang memiliki alat-alat produksi.

Sedangkan bagi Weber, kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan oleh berbagai kelompok yang berbeda, dan tidak selalu berhubungan dengan sesuatu yang bersifat material. Pokok bahasan yang kedua, hubungan antara negara dan masyarakat, dapat dilihat melalui konsep kewarganegaraan (citizenship) yang dikemukakan oleh Thomas Humpfrey Marshall pada akhir 1940an.

Kekuasaan

Pokok bahasan utama dari sosiologi politik adalah kekuasaan. Menurut R. H. Tawney, kekuasaan mengacu pada kapasitas seorang individu atau sebuah kelompok (A), untuk memodifikasi tindakan individu atau kelompok lain (B), sesuai dengan keinginan individu atau kelompok tersebut (A).

Tokoh lain, Max Weber, mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan yang dimiliki oleh seorang aktor untuk mewujudkan keinginannya, terlepas dari resistensi pihak-pihak lain.

Wewenang untuk menggunakan kekuasaan umumnya berada di tangan pemerintah, atau organisasi formal yang mengarahkan kehidupan politik masyarakat. Oleh karena itu, selain fokus pada kekuasaan, sosiologi politik juga turut membahas tentang hubungan antara negara dan masyarakat.

Terdapat dua pendekatan utama yang dapat digunakan untuk mengkaji kekuasaan, yaitu pendekatan zero-sum dan non zero-sum (distribusional). Pendekatan zero-sum memposisikan kekuasaan sebagai sesuatu yang langka dan terbatas.

Bagi pendekatan ini, keinginan seorang aktor (A) hanya dapat terwujud dengan cara mengorbankan aktor lain (B). Sebaliknya, bagi pendekatan non zero-sum, kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan dimiliki oleh semua orang.

Bagi pendekatan ini, setiap orang memiliki sumber kekuasaannya masing-masing, yang dapat digunakan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari pekerjaan, pendapatan, hak politik, kemampuan teknis, hingga ikatan pertemanan.

Pendekatan ini melihat bahwa terpenuhinya keinginan seorang aktor (A) terjadi bukan karena aktor yang lain (B) tidak memiliki kekuasaan, melainkan karena distribusi kekuasaan yang timpang di antara keduanya.

Teori Kekuasaan

Secara sosiologis, distribusi kekuasaan di dalam masyarakat dapat dijelaskan melalui dua teori atau model utama, yaitu model pluralis dan model elit-kekuasaan. Model pluralis memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang terdistribusi secara merata di seluruh elemen masyarakat. Sebaliknya, model elit-kekuasaan memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang terkonsentrasi di kelompok tertentu saja.

  • Model Pluralis

Menurut model pluralis, kekuasaan tersebar di antara berbagai kelompok kepentingan yang saling berkompetisi. Model ini memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang terdistribusi secara luas di seluruh elemen masyarakat. Artinya, setiap individu, siapapun dia dan apapun latar belakangnya, pasti memiliki suara di dalam sistem politik.

Bagi model pluralis, politik merupakan arena negosiasi. Masing-masing kelompok memiliki akses sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, sebuah kelompok dituntut untuk berkerja sama dengan kelompok lain, dan membentuk aliansi (yang disebut sebagai veto group), demi mencapai tujuan kelompok tersebut.

  • Model Elit-Kekuasaan

Model elit-kekuasaan (power-elite) melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang terkonsentrasi di kalangan orang-orang kaya. Istilah elit-kekuasaan sendiri pertama kali dicetuskan oleh sosiolog bernama C. Wright Mills, yang menyatakan bahwa sebagian besar kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan masyarakat dipegang oleh sekelompok kecil orang yang berasal dari kelas atas.

Menurut Mills, elit yang menguasai satu sektor (misalnya ekonomi) akan berusaha untuk “berpindah,” dan menguasai sektor lain (misalnya pemerintah). Hal inilah yang menyebabkan elit dalam model elit-kekuasaan terkesan sangat kuat, dan tidak memiliki oposisi.

Kewarganegaraan

Selain fokus pada konsep kekuasaan, sosiologi politik juga membahas tentang hubungan antara negara dan masyarakat. Hubungan antara negara dan masyarakat dapat dilihat melalui konsep kewarganegaraan atau citizenship. Menurut T. H. Marshall, konsep kewarganegaraan dapat dibagi ke dalam tiga elemen yang berbeda, yaitu hak sipil, hak politik, dan hak sosial.

Elemen pertama, hak sipil, mengacu pada perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap kebebasan warganya, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan beragama, hak untuk memiliki properti pribadi, hak untuk memperoleh keadilan, dan sebagainya.

Elemen kedua, hak politik, mengacu pada hak warga negara untuk memilih, dan dipilih dalam ranah politik. Elemen ketiga, hak sosial, mengacu pada hak untuk hidup secara beradab (civilized), sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat. Hak sosial dimanifestasikan melalui kebijakan-kebijakan terkait kesejahteraan warga negara, seperti jaminan kesehatan, dan subsidi pendidikan.

Kesimpulan

Sosiologi politik didefinisikan sebagai studi tentang kekuasaan, serta hubungan antara negara dan masyarakat. Pokok bahasan sosiologi politik yang pertama, kekuasaan, berbicara tentang darimana kekuasaan berasal, dan bagaimana kekuasaan didistribusikan dalam sebuah masyarakat.

Pokok bahasan sosiologi politik yang kedua, hubungan antara negara dan masyarakat, berbicara tentang bagaimana negara, melalui pemerintah, memenuhi hak-hak dasar warga negaranya yang dibagi ke dalam tiga aspek berbeda, yaitu hak sipil, hak politik, dan hak sosial.

Demikian uraian penjabaran tentang sosiologi politik mulai dari definisi hingga dasar-dasarnya. Dari penjelasan di atas, sosiologi politik ini memiliki pokok bahasan tersendiri dibandingkan dengan sosiologi pada umumnya.


Sumber:

Janoski, T., Alford, R. R., Hicks, A. M., & Schwartz, M. A. (Eds.). (2005). The Handbook of Political Sociology. United Kingdom: Cambridge University Press.

Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.

Nash, K. (2010). Contemporary Political Sociology: Globalization, Politics, and Power (2nd ed.). United Kingdom: Wiley-Blackwell.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Wasila

Lulusan Sastra Inggris, UIN Sunan Ampel Surabaya yang saat ini berkecimpung di dunia penerjemahan. Disela-sela kesibukan menerjemah, juga menulis artikel dengan berbagai topik terutama berhubungan dengan kebudayaan.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *