Sejarah Sosiologi Klasik

Pada dasarnya, sosiologi adalah ilmu yang relatif baru, tepatnya muncul di awal abad ke-19. Kajian sosial sebenarnya sudah dipelopori lebih dulu oleh disiplin ilmu yang lebih tua, yaitu filsafat. Namun, berkat buah pemikiran Comte, seorang filsuf saat itu, sosiologi pun mampu menjadi ilmu yang dapat disandingkan dengan ilmu yang lain. Selengkapnya mengenai perjalanan sejarah ilmu sosiologi dari awal dapat kamu simak sebagai berikut.

Lahirnya Sosiologi

Lahirnya Sosiologi
Sumber: ngopibareng.id

Membahas sejarah sosiologi tidak bisa terlepas dari peran penting Auguste Comte, yang sering disebut sebagai bapak sosiologi. Ia lahir di Perancis pada tahun 1798 dan memiliki minat besar dalam menggabungkan ilmu alam dan ilmu sosial. Comte memulai usahanya dengan menggunakan pendekatan ilmiah untuk memahami fenomena sosial.

Menurut Comte, ilmu sosial harus didasarkan pada fakta empiris dan harus memiliki metode pengumpulan data yang jelas, mirip dengan ilmu alam. Pendekatan ini disebutnya sebagai positivisme. Ia meyakini bahwa seperti gravitasi yang mengatur alam semesta, realitas sosial juga tunduk pada serangkaian hukum yang dapat dipahami.

Contohnya, jika apel jatuh dari pohon karena hukum alam, maka perubahan sumber daya ekonomi dari pemilik modal ke pekerja juga diatur oleh hukum sosial. Comte meyakini bahwa ilmu sosial, dengan prinsip positivisme, memiliki kemampuan untuk mengungkap hukum-hukum sosial yang tak terlihat ini. Dengan berpegang pada dasar ini, Comte menciptakan istilah baru, yaitu sosiologi.

Comte mendefinisikan sosiologi sebagai kajian sistematis tentang fenomena sosial. Baginya, sosiologi adalah alat untuk meramalkan perkembangan masyarakat di masa depan. Melalui pengamatan data empiris, sosiologi memiliki potensi untuk mengidentifikasi hukum-hukum sosial yang memengaruhi arah perkembangan masyarakat.

Comte berpendapat bahwa, seperti hukum alam, hukum-hukum sosial dapat digunakan untuk meramalkan masa depan. Ia bahkan pernah meramalkan bahwa di masa depan, masyarakat akan dipimpin oleh sekelompok “filsuf positif” yang merupakan intelektual yang memahami prinsip-prinsip positivisme. Namun, ramalannya ini belum terbukti benar.

Meskipun demikian, peran Comte dalam mengukuhkan sosiologi sebagai disiplin ilmu sangat penting. Pemikirannya, terutama mengenai positivisme, menjadi dasar perkembangan ilmu sosiologi. Pemikiran Comte terus dikembangkan dan dikritik oleh ilmuwan sosial lainnya, termasuk tokoh-tokoh besar dalam sosiologi klasik seperti Durkheim, Marx, dan Weber.

Tiga Pemikir Utama Sosiologi

Tiga Pemikir Utama Sosiologi
Sumber: vector4stock on Freepik

Dari sekian banyak sosiolog, nama Durkheim, Marx, dan Weber memang sedikit lebih spesial. Ketiganya sering disebut sebagai canon, atau pemikir utama sosiologi. Durkheim merupakan sosiolog kelahiran Perancis, sama seperti Comte, sedangkan Marx dan Weber lahir di Jerman.

Perbedaan konteks sosial dari ketiga sosiolog inilah yang membuat cara pandang mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya. Buah pemikiran merekalah yang kelak dikembangkan menjadi tiga pendekatan utama sosiologi.

Emile Durkheim

Durkheim memiliki cara pandang yang paling mirip dengan Comte. Durkheim sepakat dengan Comte, bahwa ilmu sosial harus mengkaji hal-hal yang bersifat empiris, serta menggunakan metode ilmiah. Namun, Durkheim menganggap Comte belum secara spesifik membahas hal-hal empiris apa sajakah yang dapat diklasifikasikan sebagai objek kajian sosiologi.

Oleh karena itu, Durkheim mencetuskan sebuah terminologi baru: fakta sosial. Durkheim mendefinisikan fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, atau berperasaan yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan untuk memaksa individu tersebut. Menurut Durkheim, sosiologi adalah studi sistematis tentang fakta sosial.

Salah satu sumbangan terbesar Durkheim bagi sosiologi adalah konsep pembagian kerja. Durkheim menyatakan bahwa masyarakat modern diikat oleh fakta sosial berupa perbedaan peran antara satu dengan lainnya.

Durkheim menyebut hal ini sebagai solidaritas organik. Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam masyarakat, seperti organ tubuh manusia yang mempunyai fungsinya masing-masing. Layaknya organ tubuh yang menjamin keberlangsungan hidup manusia, pembagian kerja menjamin keberlangsungan masyarakat.

Karl Marx

Jika Durkheim relatif setuju dengan pemikiran Comte, maka lain halnya dengan Marx. Meski sama-sama sepakat bahwa ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah, serta memiliki kemampuan untuk menyibak hukum sosial, Marx menolak gagasan Comte tentang positivisme.

Bagi Marx, kajian ilmu sosial tidak hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya empiris atau dapat dilihat saja. Marx menekankan pentingnya ide, sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak empiris, yang juga harus dikaji oleh ilmuwan sosial.

Salah satu sumbangan terbesar Marx bagi sosiologi adalah konsep kelas. Menurut Marx, masyarakat modern terbagi menjadi dua kelas: borjuis dan proletar. Borjuis memegang kontrol atas alat produksi (sumber daya alam dan mesin), sedangkan proletar berkerja untuk borjuis.

Bagi Marx yang besar di era revolusi industri, relasi antara borjuis dan proletar selalu berakhir dengan opresi. Pihak yang memiliki sumber daya akan selalu menindas pihak yang tidak memiliki sumber daya. Penindasan ini hanya akan berakhir apabila kelompok proletar menyatukan kekuatan, dan merebut alat produksi dari borjuis.

Pemikiran Marx tentang kelas bertolak belakang dengan pandangan Durkheim tentang masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx melihat masyarakat sebagai arena konflik, konflik kelas tepatnya.

Pihak-pihak yang teropresi akan terus memperjuangkan kepentingannya, sedangkan pihak yang mengopresi akan berusaha mempertahankan posisi mereka dengan berbagai cara. Bagi Marx, pembagian kerja merepresentasikan kesenjangan, karena dalam pembagian kerja, terdapat pihak yang memiliki sumber daya ekonomi lebih banyak dari pihak lainnya.

Max Weber

Pemikir klasik selanjutnya, Weber, memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dari Comte, Durkheim, dan Marx. Bagi Weber, realitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat dipahami lewat metode ilmiah. Sama seperti Marx, Weber menolak gagasan Comte dan Durkheim terkait objek kajian sosiologi, yaitu fakta empiris.

Bagi Weber, tidak ada sesuatu yang benar-benar empiris, karena pemaknaan manusia tentang realitas sosial berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, Weber juga tidak sepenuhnya setuju dengan Marx. Karena realitas sosial bersifat subjektif dan dapat berubah, Weber menolak teori-teori yang mencoba menjelaskan masyarakat secara keseluruhan, seperti teori Marx tentang kelas, dan teori Durkheim tentang pembagian kerja.

Salah satu sumbangan terbesar Weber bagi sosiologi adalah konsep tindakan sosial. Jika Durkheim menganggap tindakan sosial didorong oleh fakta sosial, dan Marx menganggap tindakan sosial sebagai manifestasi dari kelas sosial, maka lain halnya dengan Weber.

Bagi Weber, setiap tindakan individu yang ditujukan kepada individu, atau kelompok lain memiliki makna yang sifatnya subjektif. Sosiologi, menurut Weber, adalah studi tentang tindakan sosial, atau dengan kata lain, studi tentang makna dibalik tindakan individu dalam konteks sosial.

Pemikiran Durkheim, Marx, dan Weber merepresentasikan tiga cara berbeda dalam melihat masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx memandang masyarakat sebagai arena konflik antar kelas. Weber, di sisi lain, fokus terhadap makna tindakan sosial antar individu.

Pemikiran ketiga tokoh inilah yang kemudian dijadikan basis tiga pendekatan utama sosiologi. Pemikiran Durkheim melahirkan pendekatan struktural fungsionalisme, pemikiran Marx melahirkan pendekatan kritis, dan pemikiran Weber melahirkan pendekatan interaksionisme simbolik.

Sepeninggal Comte, Durkheim, Marx, dan Weber, sosiologi terus berkembang dan melahirkan pemikir-pemikir baru. Layaknya masyarakat yang selalu berubah seiring perkembangan zaman, sosiologi juga turut berubah dan mengambil bentuk yang berbeda tergantung konteks sosial masyarakat yang dikaji. Sosiologi lahir sebagai respon dari perubahan sosial, dan akan terus hidup selama fokus kajiannya, masyarakat, masih ada di muka bumi.

Demikianlah sejarah singkat sosiologi yang diawali dari Auguste Comte dan kemudian didukung oleh ketiga pemikir lainnya. Sosiologi kini terus berkembang dengan pemikir-pemikir baru yang pastinya kajiannya juga disesuaikan dengan realitas pada masyarakat sekarang.


Sumber:

Antonio, R., Karl Marx, dalam George Ritzer (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell.

Comte, A. (1969). Cours de Philosophie Positive. Paris: Anthropos.

Durkheim, E. The Rules of Sociological Method, dalam S. Lukes (1982). The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method. London: Macmillan.

Jones, R. A. Emile Durkheim, dalam George Ritzer (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell. 2003.

Kalberg, S. Max Weber, dalam George Ritzer (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell.

Pickering, M. Karl Marx, dalam George Ritzer (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell.

Walker, D. (2011). Marx, Methodology and Science. Hampshire: Ashgate.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Wasila

Lulusan Sastra Inggris, UIN Sunan Ampel Surabaya yang saat ini berkecimpung di dunia penerjemahan. Disela-sela kesibukan menerjemah, juga menulis artikel dengan berbagai topik terutama berhubungan dengan kebudayaan.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *