Perspektif, Teori, dan Pendekatan Sosiologi

Sosiologi diambil dari bahasa Yunani, socius – “kawan” dan logos – “ilmu.” Secara harfiah, sosiologi kemudian diartikan sebagai ilmu berkawan. Sementara itu, sebagai sebuah cabang ilmu, sosiologi adalah studi sistematis berkaitan dengan masyarakat.

Tentunya sosiologi memiliki cara pandang unik yang membedakannya dari ilmu lain dan disebut sebagai perspektif sosiologi. Untuk mengenal lebih jauh seperti apa perspektif, teori, dan pendekatan yang digunakan dalam ilmu sosiologi, kamu bisa menyimak penjelasannya di bawah ini.

Perspektif Sosiologi

Perspektif Sosiologi
Sumber: drobotdean on Freepik

Dalam pandangan sosiologi, tindakan manusia sehari-hari banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Hal tersebut berbeda dengan pandangan awam yang melihat jika fenomena sehari-hari merupakan manifestasi kehendak bebas individu.

Para sosiolog, melalui perspektif sosiologi, mencoba melihat kaitan antara lingkungan sosial dan tindakan individu melalui tiga prinsip utama, yaitu: melihat hal-hal umum dari hal-hal yang khusus, melihat hal-hal yang aneh dari sesuatu yang dianggap biasa, dan melihat pilihan individu dalam konteks sosial. Ketiga prinsip utama ini akan dijabarkan lebih lanjut di bawah ini.

1. Melihat Hal-Hal yang Umum dari Hal-Hal yang Khusus

Prinsip pertama ini menggarisbawahi pentingnya bagi seorang sosiolog untuk dapat mengidentifikasi pola dalam tindakan-tindakan individu yang pada pandangan awal mungkin tampak acak. Sebagai contoh, pemilihan pasangan hidup oleh individu sering dianggap sebagai fenomena yang acak, karena setiap individu memiliki kriteria unik dalam mencari pasangan, dan preferensi mereka bervariasi.

Namun, penelitian yang dilakukan oleh Rubin mengungkapkan bahwa ternyata ada pola tertentu dalam fenomena pemilihan pasangan ini. Misalnya, perempuan dengan penghasilan tinggi cenderung mencari calon suami yang memiliki sifat sensitif dan empati, sementara perempuan dengan penghasilan rendah cenderung mencari calon suami yang memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki catatan kekerasan dalam hubungan sebelumnya.

2. Melihat Hal-Hal yang Aneh dari Sesuatu yang dianggap Biasa

Pada prinsip kedua ini, sosiolog harus selalu mempertanyakan hal-hal yang terlihat normal. Ketika ditanya tentang motif berolahraga, kebanyakan orang mungkin akan menjawab mereka berolahraga demi mencapai postur tubuh yang ideal.

Bagi masyarakat awam, jawaban tersebut mungkin terdengar memuaskan. Namun bagi para sosiolog, jawaban tersebut harus dipertanyakan lebih lanjut. Misalnya Apa yang dimaksud dengan bentuk tubuh yang ideal? Siapa yang menciptakan standar ideal tersebut? Serta sederet pertanyaan lainnya.

3. Melihat Pilihan Individu dalam Konteks Sosial

Prinsip ini menunjukkan bahwa sosiolog harus menyadari pentingnya peran lingkungan sosial dalam proses pengambilan keputusan seorang individu. Perempuan yang tinggal di Indonesia rata-rata hanya memiliki dua sampai tiga orang anak. Angka tersebut tentu saja berbeda dengan perempuan yang tinggal di Nigeria, yang rata-rata memiliki lebih dari enam orang anak.

Perbedaan yang signifikan ini tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Perempuan yang lahir dan tinggal di negara miskin akan mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan dan sumber daya ekonomi.

Dampaknya, selain tidak memiliki pengetahuan tentang alat kontrasepsi, kehidupan perempuan di negara-negara miskin tersebut akan terpusat di rumah. Hal ini berujung pada rata-rata jumlah anak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.

Perlu diingat bahwa ketiga prinsip sosiologi di atas merupakan satu kesatuan yang saling tumpang tindih. Melihat sebuah fenomena lewat perspektif sosiologi dapat diawali dengan mencari pola umum, mempertanyakan hal-hal yang terkesan normal, atau bahkan langsung menarik kesimpulan terkait konteks sosial yang memengaruhi fenomena tersebut.

Teori Sosiologi

Teori Sosiologi
Sumber: pressfoto on Freepik

Pada masa awal berkembangnya sosiologi, sosiolog klasik Emile Durkheim tertarik untuk  melihat fenomena bunuh diri secara sosiologis. Durkheim, dengan menggunakan perspektif sosiologi, berhasil menemukan pola umum dari fenomena bunuh diri yang terjadi di Eropa.

Setelah menganalisa data statistik yang ia kumpulkan dari penjuru Eropa, Durkheim menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat bunuh diri antara dua kelompok dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda, yaitu tingkat bunuh diri pada orang-orang yang beragama Protestan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut ajaran Katolik.

Untuk menjelaskan temuan tersebut, Durkheim mengembangkan sebuah konsep bernama “solidaritas sosial”. Solidaritas sosial mengacu pada hal-hal yang mengikat sekelompok orang dalam sebuah kesatuan, seperti agama, suku bangsa, atau kesamaan tempat tinggal.

Durkheim mengkombinasikan konsep solidaritas sosial dengan data yang berhasil ia kumpulkan untuk merumuskan sebuah teori, yaitu tingkat bunuh diri dalam sebuah kelompok dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya solidaritas sosial di dalam kelompok tersebut.

Kelompok Katolik, melalui ritual-ritual keagamaan yang melibatkan seluruh anggota kelompok, memiliki tingkat solidaritas sosial yang lebih tinggi dibandingkan kelompok Protestan yang cenderung individualis. Hal tersebutlah yang menyebabkan angka bunuh diri di kelompok Katolik relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Protestan.

Contoh di atas menjelaskan perbedaan mendasar antara perspektif sosiologi, dan teori sosiologi. Teori adalah pernyataan yang menjelaskan hubungan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Perspektif sosiologi digunakan untuk melihat, atau menemukan sebuah fenomena, sedangkan teori sosiologi digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut.

Namun, sebuah teori tidak lahir dari ruang hampa. Dalam membangun sebuah teori, seorang sosiolog harus memiliki gambaran umum tentang masyarakat yang akan diteliti terlebih dahulu.  Gambaran umum inilah yang disebut sebagai pendekatan sosiologi.

Pendekatan Sosiologi

Pendekatan Sosiologi
Sumber: pressfoto on Freepik

Pendekatan sosiologi adalah gambaran umum tentang masyarakat, yang memandu sosiolog dalam proses berpikir dan melakukan penelitian. Dalam membangun sebuah teori, sosiolog harus mengumpulkan berbagai jenis data melalui metode penelitian yang beragam.

Pendekatan sosiologi menjadi panduan bagi sosiolog terkait data apa saja yang harus ia kumpulkan, serta metode penelitian apa yang akan ia gunakan dalam proses pembangunan teori tersebut. Sosiologi memiliki tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan struktural fungsional, konflik, dan interaksionisme simbolik.

1. Pendekatan Struktural Fungsional

Pendekatan struktural fungsional melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian. Bagian-bagian tersebut (yang disebut sebagai sub-sistem) memiliki fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Sub-sistem dengan fungsi yang berbeda-beda inilah yang kemudian berkerja sama untuk mempertahankan kestabilan masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat (sistem) terdiri dari berbagai institusi (sub-sistem) seperti politik, ekonomi, pendidikan, serta keluarga.

Setiap institusi memiliki fungsinya masing-masing, yaitu politik mengatur proses pengambilan keputusan, ekonomi mengatur pembagian sumber daya, pendidikan mempersiapkan individu untuk hidup di dalam masyarakat, dan sebagainya. Insitusi-institusi tersebut saling bekerja sama untuk menjaga keberlangsungan dan keharmonisan masyarakat.

2. Pendekatan Konflik

Pendekatan ini melihat masyarakat sebagai arena konfik yang penuh dengan ketimpangan. Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional yang fokus pada kestabilan masyarakat, pendekatan konflik justru berfokus pada perubahan sosial. Ketimpangan akan menghasilkan konflik, dan konflik akan membawa perubahan.

Sosiolog yang menggunakan pendekatan ini akan melihat masyarakat sebagai ladang konflik antara kelompok yang dominan dengan kelompok yang dirugikan. Kelompok dominan akan berusaha mempertahankan posisi mereka, sedangkan kelompok yang dirugikan akan berusaha merebut kekuasaan dari kelompok dominan.

Sebagai contoh, pemilik modal akan berusaha mengeksploitasi pekerja demi mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Sebaliknya, kelompok pekerja juga akan terus melawan pemilik modal, lewat demo dan aksi-aksi lainnya, demi memperjuangkan kesejahteraan mereka.

3. Pendekatan Interaksionisme Simbolik

Pendekatan ini memiliki fokus yang berbeda dengan pendekatan struktural fungsional dan konflik. Jika kedua pendekatan tersebut melihat masyarakat dari level makro, interaksionisme simbolik melihat masyarakat dari level mikro.

Artinya, alih-alih berusaha menjelaskan masyarakat secara keseluruhan, pendekatan interaksionisme simbolik justru berfokus pada interaksi-interaksi sosial spesifik yang terjadi antar individu.

Sosiolog yang menggunakan pendekatan ini akan melihat masyarakat sebagai produk dari interaksi sosial antar individu. Bagi pendekatan interaksionisme simbolik, realitas merupakan hasil konstruksi masyarakat yang disepakati bersama.

Misalnya, warna hitam identik dengan duka karena masyarakat sepakat bahwa hitam adalah simbol berduka. Sama halnya dengan kendaraan bermotor berhenti saat lampu lalu lintas sedang lampu berwarna merah, dan siulan laki-laki yang ditujukan kepada perempuan dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan.

Memilih pendekatan mana yang akan digunakan dalam mengkaji sebuah fenomena merupakan hal yang penting. Pilihan pendekatan sosiologi menentukan metode penelitian apa yang akan digunakan oleh seorang sosiolog, dalam membangun sebuah teori.

Pendekatan struktural fungsional dan konflik umumnya menggunakan metode kuantitatif, sedangkan pendekatan interaksionisme simbolik umumnya menggunakan metode kualitatif.

Namun, tentu saja terdapat pertimbangan-pertimbangan lain sebelum seorang sosiolog menentukan metode penelitian yang akan digunakan. Hal ini akan dibahas secara detail dalam bagian metode penelitian sosial.

Demikianlah ulasan mengenai perspektif, teori, dan pendekatan dalam sosiologi. Pemahaman ini menjadi kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang sosiolog. Melalui perspektif sosiologi, seorang sosiolog dapat melihat fenomena yang luput dari perhatian masyarakat awam.


Sumber:

Jones, R. A., Emile Durkheim, dalam Ritzer, George (2003). The Wiley-Blackwell Companion to Sociology. Oxford: Wiley-Blackwell.

Little, W., Vyain, S., Scaramuzzo, G., Cody-Rydzewski, S., Griffiths, H., Strayer, E., & Keirns, N. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.

Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Wasila

Lulusan Sastra Inggris, UIN Sunan Ampel Surabaya yang saat ini berkecimpung di dunia penerjemahan. Disela-sela kesibukan menerjemah, juga menulis artikel dengan berbagai topik terutama berhubungan dengan kebudayaan.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *