Sebagai provinsi yang memiliki beberapa pulau cantik, NTT juga didiami oleh beberapa suku yang mempunyai kebudayaan khas. Daftar suku yang ada di NTT setidaknya ada 7 macam yaitu suku Sumba, suku Sabu, suku Helong, suku Rote, suku Dawan, suku Lio, dan suku Manggarai.
Adanya ketujuh suku tersebut semakin membuat NTT kaya akan kebudayaan dan bukan hanya terkenal akan kekayaan alamnya saja. Bentuk kekayaan budaya yang dimiliki oleh NTT dibuktikan dengan banyaknya jenis pakaian adat NTT dari setiap suku yang ada. Untuk mengetahui nama-nama pakaian adat NTT selengkapnya, mari simak penjelasannya berikut ini.
Daftar Isi
Pakaian Adat Suku Dawan
Pakaian adat yang pertama ini merupakan pakaian adat asli dari suku Dawan. Untuk informasi, suku Dawan ini tinggal di beberapa wilayah di NTT antara lain Belu, Kupang, dan Timor. Nah, untuk nama pakaian adat NTT suku Dawan ini sendiri dikenal sebagai baju amarasi.
Baju amarisi yang dikenakan oleh wanita terdiri dari beberapa komponen yaitu kebaya, sarung tenun untuk bawahan, dan selendang yang diselempangkan untuk menutupi dada. Di samping itu, baju amarisi juga dilengkapi dengan beberapa aksesori seperti sisir emas, tusuk konde berhiaskan tiga koin emas, dan gelang sepasang yang mempunyai bentuk kepala ular.
Lalu, bagi para pria, baju amarisi yang dipakai terdiri dari kemeja bodo dan sarung tenun yang diikat di pinggang. Para pria juga mengenakan perhiasan sebagai aksesori seperti kalung mutisalak, kalung habas, gelang timor, dan ikat kepala yang berhiaskan tiara.
Baca juga: 10 Suku Nusa Tenggara
Pakaian Adat Suku Helong
Suku berikutnya yang ada di NTT adalah suku Helong. Menurut sejarahnya, suku ini termasuk penduduk asli dari Pulau Timor. Saat ini, kebanyakan dari suku Helong berdomisili di daerah Kupang, tepatnya Kupang Tengah dan Kupang Barat. Tetapi, beberapa masyarakat suku Helong pun juga ditemukan di beberapa pulau lain di NTT seperti Pulau Semau dan Pulau Flores.
Beralih mengenai pakaian adatnya, suku Helong membedakan pakaian adatnya untuk para wanita dan pria. Untuk wanita, pakaian adatnya terdiri dari atasan kebaya atau kemben dan bawahan sarung yang diikat dengan ikat pinggang emas atau pending seperti yang ada pada gambar pakaian adat NTT suku Helong yang tertera di atas.
Sebagai pelengkap, aksesori yang dikenakan oleh wanita suku Helong berupa bula molik yaitu hiasan kepala yang berbentuk bulan sabit. Kemudian, mereka juga mengenakan kalung dengan bentuk bulang serta giwang atau anting-anting yang disebut dengan karabu.
Sementara itu, para pria suku Helong mengenakan pakaian adat berupa atasan kemeja bodo, bawahan selimut lebar, destar sebagai ikat kepala, dan perhiasan leher yang dikenal dengan habas.
Pakaian Adat Suku Rote
Suku Rote adalah sebuah suku yang menurut sejarahnya pernah bermigrasi dari Pulau Seram, Maluku dan sekarang menjadi penduduk asli dari Pulau Rote. Tetapi, suku ini juga mendiami beberapa pulau lain di NTT seperti Pulau Timor, Pulau Ndao, Pulau Pamana, Pulau Nuse, Pulau Heliana, Pulau Manuk, Pulau Landu, dan lainnya.
Dalam hal pakaian adatnya, suku Rote patutlah berbangga dikarenakan pakaian adat suku Rote telah dijadikan sebagai ikon pakaian adat daerah untuk NTT. Pakaian adat ini memang unik dan punya ciri khas.
Nah, keunikan pakaian adat suku Rote tersebut ada pada penutup kepalanya yang disebut dengan ti’i langga. Bentuk topi inilah yang membuatnya unik mengingat sangat mirip dengan topi yang dipakai oleh orang-orang meksiko.
Ti’i langga tersebut dibuat dari bahan daun lontar kering. Pria yang memakai topi ini diyakini akan menambah kewibawaan. Selain topi ti’i langga, para pria juga mengenakan selendang yang diselempangkan pada bahu sebagai aksesoris tambahan.
Sedangkan untuk komponen utama dari pakaian adat NTT suku Rote yang dikenakan para pria terdiri dari kemeja putih dan sarung tenun berwarna gelap. Lalu, pada wanita, komponen pakaian adatnya terdiri dari kebaya dan sarung yang ditenun secara tradisional.
Pakaian Adat Suku Sumba
Nampak pada gambar pakaian adat NTT suku Sumba yang tercantum di atas, pakaian adat dari suku yang mendiami Pulau Sumba ini bisa dibilang cukup sederhana. Nama pakaian adat NTT untuk suku Sumba pria dikenal dengan hinggi. Dalam pemakaiannya, hinggi yang dikenakan terdiri dari dua lembar yaitu hinggi kawuru dan hinggi kombu.
Lalu, pada bagian kepala dilengkapi dengan ikat kepala yang dililitkan atau diikat membentu jambul. Posisi jambul tersebut bisa dibuat pada bagian depan ataupun samping kiri dan kanan bergantung dengan simbol yang ada. Ikat kepala ini dinamai dengan tiara patang.
Tak lupa, pakaian adat pria Sumba ini dilengkapi dengan beberapa aksesori seperti kabiala (senjata tradisional suku Sumba) yang diselipkan di bagian ikat pinggang. Pemakaian kabiala ini melambangkan keperkasaan.
Kemudian, di pergelangan tangan bagian kiri, para pria Sumba juga mengenakan perhiasan yang disebut dengan mutisalak dan kanatar. Pemakaian perhiasan ini menyimbolkan strata sosial dan kemampuan ekonomi.
Berikutnya, bagi para wanita mengenakan kain dengan nama-nama yang berbeda di antaranya lau kawuru, lau mutikau, lau pahudu, dan lau pahudu kiku. Kain tersebut dikenakan sampai setinggi dada dan bagian bahunya ditutup dengan taba huku yang punya warna senada dengan kain yang dipakai.
Pada bagian kepalanya, tiara dengan warna polos diikatkan serta dilengkapi dengan pemakaian hai kara atau tiduhai. Untuk bagian dahi juga dipakaikan maraga (semacam perhiasan logam), bagian telinga diberi perhiasan yang disebut mamuli, dan bagian leher diberi kalung emas untuk membuat tampilan wanita Sumba semakin menawan.
Pakaian Adat Suku Sabu
Sama seperti namanya, suku Sabu merupakan suku yang tinggal di wilayah Pulau Sabu tepatnya di Kabupateng Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pakaian adat suku Sabu juga dibedakan untuk wanita dan pria. Untuk pria, pakaian yang dipakai meliputi atasan kemeja putih lengan panjang.
Kemudian, bagian bawahan sekaligus selendangnya berupa sarung tenun. Pakaian ini dilengkapi dengan adanya aksesori ikat kepala mahkota 3 tiang yang dari emas, kalung habas, kalung mutisalak, sepasang gelang emas, dan sabuk berkantong. Sementara itu, komponen pakaian untuk wanita lebih sederhana dengan memakai kebaya serta sarung tenun dan ikat pinggang (pending).
Pakaian Adat Suku Lio
Suku Lio tergolong sebagai suku tertua yang ada di Flores. Lebih tepatnya suku ini mendiami Kabupaten Ende. Sebagai suku yang tertua, tentunya kebudayaan yang dimiliki pun sudah sangat melegenda.
Salah satu nama pakaian adat NTT khas suku Lio yang sampai saat ini tetap dilestarikan adalah ikat patola. Bila dijabarkan, ikat patola merupakan sebuah kain tenun yang dikhususkan untuk kalangan kepala suku atau warga kerajaan.
Motif dari ikat patola cukup beragam mulai dari motif dedaunan, hewan seperti biawak, hingga manusia seperti pada gambar pakaian adat NTT di atas. Motif-motif tersebut umumnya ditenun menggunakan benang berwarna biru atau merah pada dasaran kain berwarna gelap. Untuk melengkapi motif ini, kain ini biasanya akan diberi hiasan manik-manik ataupun kulit kerang di tepi kainnya.
Hanya saja, hiasan manik-manik dan kulit kerang itu lebih dikhususkan untuk para wanita bangsawan. Menurut sejarahnya, ikat patola mendapat pengaruh dari budaya Portugis serta India dikarenakan adanya perdagangan rempah-rempah ke Flores di abad 16. Ikat patola dinilai sangat sakral mengingat kain ini juga dipakai untuk menutup jenazah para kepala suku, bangsawan, dan raja.
Pakaian Adat Suku Manggarai
Manggarai menjadi salah satu suku yang ada di NTT dengan pakaian adatnya yang mempunyai nilai-nilai filosofis. Nama pakaian adat tersebut adalah kain songke. Kain ini menjadi pakaian adat wajib yang dipakai oleh wanita suku Manggarai.
Pemakaian kain songke bisa dibilang mirip dengan pemakaian sarung. Hanya saja, dalam memakainya tidak bisa sembarangan, dikarenakan ada bagian tertentu yang harus menghadap ke bagian depan.
Kain songke ini didominasi oleh warna hitam yang melambangkan keagungan dan kebesaran orang suku Manggarai. Di samping itu, setiap motif yang berbeda pada kain songket juga melambangkan nilai yang berbeda pula.
Misalnya, pada motif wela kaleng menyimbolkan ketergantungan manusia dengan alam, lalu motif motif ranggong menyimbolkan kejujuran serta kerja keras, dan motif su’i melambangkan jika segala sesuatu itu ada batasnya.
Baca juga: 12 Alat Musik NTT
Pemahaman Akhir
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi yang kaya akan kebudayaan dengan keberagaman suku-suku yang tinggal di wilayahnya. Terdapat tujuh suku yang mendiami NTT, yaitu suku Sumba, suku Sabu, suku Helong, suku Rote, suku Dawan, suku Lio, dan suku Manggarai. Kehadiran ketujuh suku ini memberikan kekayaan budaya yang khas bagi NTT, tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya.
Setiap suku di NTT memiliki pakaian adat yang berbeda-beda, yang merupakan simbol dari identitas dan tradisi mereka. Pakaian adat ini juga sering dihiasi dengan aksesori dan perhiasan yang memiliki makna filosofis dan sosial yang dalam.
Misalnya, pakaian adat suku Dawan dengan baju amarisi, pakaian adat suku Helong dengan selendang dan bula molik, pakaian adat suku Rote dengan ti’i langga dan hinggi, pakaian adat suku Sumba dengan hinggi dan aksesori seperti kabiala, pakaian adat suku Sabu dengan kalung habas dan tiara patang pada pakaian suku Lio, serta kain songke pada pakaian adat suku Manggarai.
Pakaian adat ini tidak hanya menjadi bagian penting dari identitas budaya setiap suku, tetapi juga memiliki nilai-nilai simbolis dan sakral yang turun-temurun. Kelestarian dan pelestariannya menjadi penting untuk menjaga warisan budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Sebagai provinsi yang memiliki kekayaan budaya seperti ini, NTT juga menjadi destinasi wisata budaya yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Keberagaman budaya ini menjadi aset berharga bagi NTT dalam memperkuat identitas daerah dan meningkatkan potensi pariwisata serta pelestarian warisan budaya NTT untuk generasi mendatang.
Dari 7 suku adat NTT yang masing-masing mempunyai pakaian adat masing-masing, menunjukkan kalau NTT merupakan provinsi yang kaya akan kebudayaan dan bukan hanya kaya akan keindahan alam saja. Bahkan, di setiap pakaian adat suku tersebut juga menyimpan keunikan yang membuatnya semakin layak untuk dijaga kelestariannya.