Mengenal Perilaku Kolektif

Perilaku kolektif bisa jadi merupakan istilah yang asing di telinga sebagian orang. Tetapi, istilah ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari keseharian. Dalam ilmu sosiologi, perilaku kolektif adalah aktivitas yang melibatkan sejumlah besar orang dan cenderung berbahaya atau kontroversial. Supaya mendapat gambaran yang lebih jelas, di bawah ini akan dibahas mengenai apa itu perilaku kolektif dan bentuk-bentuknya. Yuk simak!

Apa itu Perilaku Kolektif?

Apa itu Perilaku Kolektif
Sumber: Freepik.com

Seperti yang dijelaskan secara sekilas di atas mengenai perilaku kolektif, terdapat empat indikator yang menentukan apakah sebuah fenomena dapat dikategorikan sebagai perilaku kolektif atau tidak. Indikator pertama menunjukkan jika perilaku kolektif melibatkan orang dalam jumlah besar.

Kedua, perilaku kolektif sering kali tidak direncanakan. Ketiga, perilaku kolektif cenderung kontroversial. Keempat, perilaku kolektif cenderung berbahaya. Dalam praktiknya, mengidentifikasi perilaku kolektif tidaklah mudah. Ada beberapa hal yang harus diketahui mengenai perilaku kolektif yang akan dijelaskan berikut.

  • Perilaku Kolektif Sangat Beragam

Perilaku kolektif memiliki banyak bentuk, mulai dari kerumunan, kerusuhan, protes, mob dan lain-lain. Untuk menentukan apakah sebuah fenomena dikategorikan sebagai kerumunan atau kerusuhan misalnya, memerlukan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tersebut.

  • Dampak dari Perilaku Kolektif Berbeda-Beda

Pada umumnya, kerusuhan hanya akan berdampak pada kerusakan materil semata. Namun dalam beberapa kasus, kerusuhan juga dapat menelan korban jiwa. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi para sosiolog karena ternyata satu bentuk perilaku sosial dapat menghasilkan dampak yang berbeda-beda.

  • Perilaku Kolektif Umumnya Bersifat Sementara

Perilaku kolektif umumnya hanya berlangsung sementara dan terjadi secara spontan. Hal ini membuat para sosiolog sedikit kesulitan dalam melakukan kajian terkait perilaku kolektif.

Selain itu, dalam mengkaji perilaku kolektif, seseorang sosiolog juga harus bisa membedakan antara perilaku kolektif dan kolektivitas. Jika perilaku kolektif mengacu pada aktivitas yang dilakukan oleh sejumlah besar orang, kolektivitas mengacu pada sejumlah besar orang yang terlibat dalam perilaku kolektif tersebut.

Sementara itu, kolektivitas didefinisikan sebagai sejumlah besar orang yang diikat oleh norma-norma yang kurang jelas, dan saling berinteraksi secara minim. Kolektivitas berbeda dengan kelompok sosial, karena selain interaksi antar anggota yang minim (atau bahkan tidak ada sama sekali), mereka juga tidak memiliki perasaan saling memiliki antara satu dengan yang lainnya.

Bentuk Perilaku Kolektif

Bentuk Perilaku Kolektif
Sumber: mario_luengo on Freepik

Kerumunan merupakan bentuk perilaku kolektif yang paling banyak ditemui di masyarakat. Kerumunan mengacu pada kumpulan orang yang bersifat sementara, memiliki fokus yang sama, dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

Macam-Macam Kerumunan

Herbert Blumer membagi kerumunan ke dalam empat kategori, yaitu casual crowd, conventional crowd, expressive crowd, dan acting crowd.

1. Casual Crowd

Kumpulan orang yang saling berinteraksi secara minim, atau tidak berinteraksi sama sekali. Contohnya adalah orang-orang yang menyaksikan kecelakaan lalu lintas, atau orang-orang yang sedang berjemur di pantai.

2. Conventional Crowd

Kumpulan orang yang direncanakan, seperti kelas perkuliahan, lelang, atau seminar. Orang-orang yang terlibat dalam conventional crowd diikat oleh seperangkat norma yang jelas.

3. Expressive Crowd

Kumpulan orang yang terbentuk di sekitar peristiwa-peristiwa emosional, seperti konser musik atau perayaan tahun baru. Orang-orang yang terlibat dalam expressive crowd diikat oleh emosi yang muncul dari peristiwa-peristiwa tersebut.

4. Acting Crowd

Kumpulan orang dengan tujuan yang sama, seperti orang-orang yang saling mendorong untuk masuk ke dalam bis, atau mereka yang berlari ke luar ruangan ketika merasakan gempa bumi. Kerumunan jenis ini diikat oleh emosi yang kuat, dan terkadang dapat melibatkan kekerasan.

Acting crowd dapat berubah menjadi mob, yaitu kerumunan emosional yang bertujuan untuk melakukan tindak kekerasan atau perusakan. Terlepas dari luapan emosi yang mengikat kerumunan tersebut, umumnya sebuah mob hanya akan bertahan selama beberapa saat sebelum akhirnya bubar.

Warga yang memukuli pelaku begal hingga babak belur merupakan contoh dari mob. Selain mob, terdapat istilah lain yaitu riot yang mengacu pada perilaku meledak-ledak yang bersifat emosional, sarat akan kekerasan, namun tidak memiliki tujuan yang jelas.

Berbeda dengan mob, riot atau kerusuhan tidak memiliki tujuan yang jelas. Kerusuhan Mei 1998 misalnya, melibatkan penjarahan, pembakaran toko-toko, hingga pemerkosaan tanpa tujuan yang jelas.

Teori Mengenai Perilaku Kolektif

Teori Mengenai Perilaku Kolektif
Sumber: Drazen Zigic on Freepik

Selain bentuk-bentuk kerumunan, sosiologi juga membahas perilaku orang-orang yang tergabung dalam sebuah kerumunan. Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku orang-orang tersebut yaitu contagion theory, convergence theory, dan emergent-norm theory. Berikut penjelasannya.

1. Contagion Theory

Menurut contagion theory, kerumunan memiliki efek hipnotis bagi para anggotanya. Hal ini dikarenakan kerumunan terdiri dari banyak orang, anggotanya dapat berlindung di balik anonimitas kelompok dan melakukan tindak kekerasan tanpa rasa takut.

Kerumunan membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya lupa akan kewajiban mereka dan menularkan hal tersebut kepada anggota kerumunan yang lain. Teori ini memandang kerumunan sebagai “makhluk hidup” yang memanfaatkan emosi kelompok untuk membuat anggotanya melakukan tindakan-tindakan yang irasional.

2. Convergence Theory

Berbeda dengan contagion theory yang menyatakan bahwa kerumunan menentukan perilaku individu yang tergabung di dalamnya, convergence theory menyatakan bahwa perilaku individu dalam sebuah kerumunan ditentukan oleh individu itu sendiri. Bagi teori ini, kerumunan merupakan tempat bertemu bagi orang-orang yang sepaham.

Kerumunan orang yang berteriak dan bernyanyi dalam sebuah konser misalnya, terdiri dari penggemar band yang tampil dalam konser tersebut. Mereka yang bukan penggemar tidak mungkin bergabung dalam kerumunan, apalagi ikut berteriak dan bernyanyi bersama penggemar yang lain.

3. Emergent-norm Theory

Bagi Emergent-norm theory, sebuah kerumunan terdiri dari individu dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Pada awalnya, perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang yang terlibat dalam sebuah kerumunan mencerminkan kepentingan mereka masing-masing. Kerumunan orang yang berlari ketika gempa misalnya, bergerak berdasarkan insting untuk menyelamatkan diri.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, nilai dan norma baru akan muncul dan memengaruhi perilaku anggota kerumunan. Sebagai contoh, anggota kerumunan yang tadinya berlarian akan bergerak untuk membantu korban gempa setelah gempa tersebut berhenti. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kerumunan dapat berubah seiring berjalannya waktu.

Kesimpulan

Terlepas dari definisinya yang mudah dipahami, setiap perilaku kolektif memiliki ciri yang unik mulai dari jenis, dampak, hingga umur dari perilaku kolektif tersebut. Salah satu bentuk perilaku kolektif yang paling umum adalah kerumunan, atau kumpulan orang yang bersifat sementara, memiliki fokus yang sama, dan saling memengaruhi satu sama lain.

Dalam sebuah kerumunan, tindakan individu dapat dibentuk oleh kerumunan tersebut (contagion theory), mencerminkan hasrat anggota kerumunan tersebut (convergence theory), atau berubah seiring berjalannya waktu (emergent-norm theory). Memahami apa itu perilaku kolektif, kerumunan, serta bagaimana perilaku anggota kerumunan ditentukan merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang sosiolog.

Demikianlah pengenalan singkat mengenai perilaku kolektif yang sebenarnya sudah cukup sering terjadi di masyarakat, namun mungkin belum banyak yang mengenal istilah tersebut. Perilaku kolektif di satu sisi bisa jadi tidak berbahaya, namun di sisi lain justru bisa memberi dampak yang buruk dan bersifat kontroversial.


Sumber:

Griffiths, H., Keirns, N., Strayer, E., Sadler, T., Cody-Rydzewski, S., Scaramuzzo, G., & Jones, F. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.

Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Wasila

Lulusan Sastra Inggris, UIN Sunan Ampel Surabaya yang saat ini berkecimpung di dunia penerjemahan. Disela-sela kesibukan menerjemah, juga menulis artikel dengan berbagai topik terutama berhubungan dengan kebudayaan.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *