Dalam masyarakat kapitalis modern, media massa sangatlah terbantu oleh periklanan komersial. Etika periklanan telah menjadi kontroversi sejak awal munculnya periklanan. Meskipun tujuan periklanan berbeda dari media lain yang memiliki tujuan memberi informasi, hiburan, dan berita, para praktisi periklanan tetap harus mengikuti standar etika yang pantas.
Jawaban dari pertanyaan mengenai apakah media periklanan berjalan sesuai etika harus dicari dalam konteks tujuan iklan dan perannya dalam sistem media & masyarakat. Periklanan memang benar-benar berbeda dari media berita dan hiburan, dan etikanya harus dievaluasi dengan memperhatikan perbedaan itu.
Periklanan tetap memiliki tanggung jawab sosial mengenai pesan yang disampaikan dan cara menyampaikannya. Tapi, tetap perlu diperhatikan perbedaan penerimaan iklan dan sensor iklan secara langsung. Dalam pembahasan ini, iklan yang dimaksud tidak hanya iklan produk atau jasa tetapi juga iklan sosial seperti iklan mengenai ide dan kandidat politik yang sering menimbulkan isu-isu etika.
Daftar Isi
Konsep Dasar Etika
Etika dalam media berfokus kepada aksi yang benar-salah serta buruk-baik yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di media, dalam kasus ini adalah periklanan. Media tidak bisa menjadi etik atau tidak etis, tetapi staf dan pekerjanya dapat melakukan aksi yang etis-tidak etis. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, etika berarti studi mengenai apa yang seharusnya kita lakukan sebagai pekerja media periklanan.
Dalam arti sebenarnya, etika bersangkutan dengan kewajiban—kewajiban bagi diri sendiri dan kewajiban bagi orang lain. Bagi pekerja media dan industri periklanan, kualitas etika ini akan terlihat dalam aksi-aksi yang kamu lakukan.
Hal-hal yang dikomunikasikan oleh pekerja media adalah hasil dari pikiran dan kepribadian mereka, menunjukkan diri mereka yang sebenarnya. Nah, hal-hal yang dikomunikasikan itu nantinya akan menjadi hal-hal yang dikonsumsi oleh orang lain. Pilihan yang dipilih oleh para pekerja media dalam membuat konten akan memperlihatkan pilihan etis mereka. Dari aksi-aksi yang mereka lakukan, mereka membangun diri yang etis dan membantu media untuk beraktivitas sesuai dengan etika.
Baca juga: Perencanaan Media Periklanan
Etika dalam Iklan
Pembahasan kali ini akan membahas perspektif etika periklanan menurut Carol Reuss dan David Gordon. Gordon, yang melihat dari posisi teleologis, berpendapat bahwa nilai kebenaran (truth) bukanlah etika yang harus diaplikasikan oleh periklanan. Semua orang memahami bahwa fungsi dari iklan adalah untuk menciptakan gambar yang menjual produk dan jasa, dan pada akhirnya tidak ada kebutuhan untuk iklan memenuhi standar etika. Kebenaran adalah konsep yang penting untuk diaplikasikan oleh media berita, tetapi nilai tersebut tidak relevan dan tidak mungkin digunakan dalam periklanan.
Meskipun begitu, periklanan tidak boleh menampilkan penipuan—penipuan dalam iklan ini tidak hanya berkaitan dengan etika tetapi juga bagian legal/hukum. Maksudnya tidak perlu ‘kebenaran’ adalah iklan tidak perlu ‘benar’ seperti berita yang akurat, adil, dan pasti benar. Praktisi periklanan memiliki kewajiban untuk mempersuasi konsumen potensial mengenai nilai dari sebuah produk atau jasa. Persuasi seperti ini biasanya membutuhkan pengiklan untuk menampilkan USP(Unique Selling Proposition) atau nilai-nilai yang membuat produk jadi menarik, dan menyembunyikan kekurangan-kekurangannya. Iklan tidak bertujuan menampilkan gambaran yang adil.
Masyarakat publik sebaiknya juga memiliki rasa bertanggung jawab terhadap persuasi yang dilakukan oleh iklan dengan tidak langsung mempercayai iklan tanpa pikir panjang. Di sini, masyarakat publik dapat juga memberikan feedback yang bisa menentukan konten seperti apa yang akan berlanjut dalam tren periklanan. Publik bisa mengatur periklanan yang tidak etis dengan menyampaikan ketidakpuasannya terhadap perusahaan atau agensi iklan yang terkait. Cara menyampaikannya bisa secara langsung, melalui e-mail, media sosial, dan sebagainya, atau bisa menolak/memboikot penjualan produk di pasar.
Peneliti juga banyak yang memperhatikan mengenai isu etis dari periklanan untuk produk yang berbahaya bagi penggunanya. Beberapa aturan hukum memang sudah ada, seperti regulasi iklan rokok di TV dan billboard. Namun, aturan ini dapat secara tajam membatasi kebebasan untuk beriklan. Untuk mengatasinya, iklan produk berbahaya ini tidak serta merta dilarang untuk ditampilkan, tetapi diberikan informasi tambahan terkait bahaya penggunaan produk ini. Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa membuat keputusan sendiri ketika menggunakan produk yang berbahaya tersebut.
Sebaliknya, Carol Reuss, yang berpegang pada posisi etika deontologis, berpendapat bahwa periklanan, seperti layaknya berita dan PR, harus memiliki standar kejujuran dan prinsip etis lainnya. Reuss melihat bahwa isu etika periklanan tidak bisa hanya dilihat melalui dua perspektif—pengiklan dan media massa, tetapi juga harus memperhatikan perspektif audiens. Audiens yang mungkin masih di bawah umur akan lebih mudah terpengaruh oleh iklan minuman keras, atau orang-orang umur berapapun yang stress karena tidak mampu membeli barang-barang yang ada di iklan.
Edmund Lambeth (1992) menentukan framework etika media yang terdiri dari lima prinsip. Prinsip tersebut adalah kemanusiaan, kebenaran (yang sudah dibahas di atas,) kebebasan, keadilan, dan stewardship—peraturan pelayanan iklan. Prinsip kemanusiaan meliputi; menghindari eksploitasi, tidak merendahkan individu atau suatu kelompok, tidak melakukan hal yang merugikan orang lain. Sebenarnya hal-hal tersebut adalah prinsip etika manusia universal, tidak spesifik ke pengiklan. Namun, jika prinsip ini tidak diikuti, maka akan berdampak buruk bagi audiensnya.
Baca juga: Etika Media Massa
Isu dalam Periklanan
Iklan diciptakan untuk satu tujuan: mengajak audiens untuk melakukan sesuatu—membeli produk, menyukai/membenci suatu konsep, mendukung suatu kegiatan. Faktor yang menarik dari produk/konsep/jasa/kegiatan sangatlah beragam—media, ukuran iklan, desain, copywriting, ilustrasi. Untuk memenuhi tujuan melalui faktor tersebut, pengiklan memiliki kesempatan untuk melakukan ketidak jujuran, penipuan, dan duplikat.
Iklan yang tidak jujur biasanya menyatakan kebenaran yang setengah-setengah. Contohnya adalah iklan yang mengajak audiens untuk menjadi member kelompoknya, namun ternyata nanti individu tidak mendapat keuntungan apa-apa dan membayar lebih.
Penipuan iklan yang tidak etis bisa terjadi dalam berbagai bentuk, contohnya iklan dengan copywriting yang click-bait; tulisannya menggaet perhatian audiens, tetapi ketika ditanya tentang produknya, audiens akan digiring untuk membeli produk yang lebih mahal. Ilustrasi dan testimoni yang berlebihan juga dapat menjadi potensi penipuan iklan.
Etika Pariwara Indonesia
Di industri periklanan Indonesia, regulasi terkait etika yang digunakan dalam iklan diatur oleh Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia). Etika Pariwara Indonesia ini dikeluarkan oleh Dewan Periklanan Indonesia. Regulasi ini berisi sekumpulan nilai dan pola laku moralitas yang menjadi arahan pengiklan dalam proses penyusunan iklan. Tujuan dari peraturan mengenai etika periklanan di Indonesia ini adalah mendorong praktisi periklanan untuk berperilaku dengan baik dan sesuai etika.
Dalam Etika Pariwara Indonesia, terdapat ketentuan terhadap bidang terkait periklanan; tata krama isi iklan, ragam iklan, pemeran iklan, media iklan, dan produksi periklanan. Etika Pariwara Indonesia berfokus kepada isi pesan iklan dan metode penyebarluasan pesan periklanan kepada masyarakat. Edisi terbaru dari Etika Pariwara Indonesia ini sudah disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam industri periklanan saat ini, seperti perkembangan teknologi komunikasi, konvergensi media, serta pemasaran terpadu.
Etika Pariwara Indonesia disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia, dan mendapat bantuan dari asosiasi atau lembaga terkait industri periklanan. Lembaga/asosiasi yang terlibat adalah; APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia), AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia).
Selain dari lembaga/asosiasi tersebut, Etika Pariwara Indonesia juga mendapat bantuan dari Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, International Advertising Association, dan beberapa sumber terkait lainnya. Bisa dilihat bahwa Etika Pariwara Indonesia, dan etika dalam industri periklanan, adalah suatu hal yang penting dan dipedulikan oleh banyak pihak.
Prinsip Etika Pariwara Indonesia sejalan dengan prinsip self-regulation yang dianut oleh industri periklanan secara umum. Maksudnya, suatu etika periklanan akan dianggap lebih efektif ketika aturan-aturannya disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh praktisi periklanan sendiri.
Ketika praktisi periklanan melanggar peraturan yang telah disepakati di Etika Pariwara Indonesia, mereka akan mendapatkan sanksi-sanksi tertentu. Praktisi periklanan akan mendapat peringatan jika melakukan pelanggaran hingga 2 kali. Jika sudah melanggar secara berlebihan, praktisi periklanan akan mendapat hukuman untuk menghentikan penyiaran. Sanksi ini diberikan ke semua pihak yang terlibat dalam proses penyusunan iklannya; agensi iklan, brand, asosiasi/lembaga terkait, serta media yang bersangkutan.
Etika Pariwara Indonesia dapat diakses oleh umum, sehingga kamu bisa langsung melihatnya setelah membaca artikel ini. Sebagai calon praktisi periklanan, pemahaman kamu terhadap Etika Periklanan sangat dibutuhkan supaya pekerjaan kamu bisa menguntungkan berbagai pihak dan tidak melanggar norma dan etika yang berlaku.
Baca juga: Perencanaan Kreatif Periklanan
Pemahaman Akhir
Periklanan memegang peran yang signifikan dalam membantu media massa, namun juga menimbulkan isu-isu etika. Tujuan periklanan adalah untuk mempengaruhi audiens agar melakukan tindakan tertentu, seperti membeli produk atau mendukung suatu ide. Dalam menjalankan perannya, para praktisi periklanan harus tetap mematuhi standar etika yang pantas.
Periklanan memiliki tanggung jawab sosial dalam menyampaikan pesan dan mempengaruhi audiens. Meskipun tujuan periklanan berbeda dari media berita dan hiburan, etika dalam periklanan tetap menjadi aspek yang penting dan harus dievaluasi dengan memperhatikan perbedaan tersebut.
Isu etika dalam periklanan mencakup berbagai hal, seperti penggunaan penipuan, ketidakjujuran, atau persuasi yang tidak etis untuk mempengaruhi konsumen. Etika periklanan mencakup pilihan dan tindakan yang diambil oleh para praktisi periklanan dalam menciptakan dan menyampaikan pesan iklan.
Dalam upaya memastikan periklanan berjalan sesuai dengan etika, regulasi dan standar etika seperti Etika Pariwara Indonesia diperlukan. Etika Pariwara Indonesia menjadi panduan bagi para praktisi periklanan dalam menyusun iklan agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.
Sebagai praktisi periklanan, penting untuk memahami dan mematuhi prinsip etika dalam pekerjaan mereka. Etika dalam periklanan melibatkan kewajiban terhadap diri sendiri, kewajiban terhadap orang lain, dan kewajiban terhadap audiens. Dalam menghadapi isu-isu etika, para praktisi periklanan perlu mempertimbangkan implikasi moral dari tindakan dan keputusan mereka, serta mematuhi standar etika yang telah ditetapkan.
Sekian penjelasan mengenai etika periklanan. Semoga berguna!
Sumber:
David A. Gordon, John Michael Kittross, John C. Merrill, Carol Reuss (1998) Controversies in Media Ethics (2nd Edition). New York: Longman
Dewan Periklanan Indonesia (2007) Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) Edisi Ketiga