Ketahui Secara Lengkap Etika Media Massa

Apakah kamu pernah tidak sengaja mengklik berita dengan judul “5….Nomor 3 Bikin Tercengang!” atau “Seorang Banci Ditunggangi……”? Seringkali kita lihat banyak pemberitaan, terutama di media daring, dengan judul yang sensasional atau bahasa lainnya, “clickbait”.

Berita-berita ini tak jarang melanggar etika pemberitaan, baik dengan melebih-lebihkan fakta atau mengeksploitasi kelompok minoritas. Untuk menghindari hal tersebut, penting sekali bagi para praktisi media massa untuk menjaga teguh prinsip etika media.

Etika media merupakan salah satu hal yang harus dipegang teguh selama melakukan pemberitaan. Mengingat media saat ini hanya menjadi suatu bentuk industri yang bertujuan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memahaminya, kamu perlu paham dulu, apa sih maksud dari etika.

Pengertian Etika

pengertian etika
Sumber: photographyschoolhouse.com

Apa sih etika? Apa hubungan etika dengan media massa? Altschull berpendapat bahwa etika merupakan seperangkat nilai moral dan prinsip mengenai apa-apa yang dianggap benar atau salah (Shoemaker & Reese, 1996).

Hampir serupa dengan Altschull, dalam Dictionary of Mass Communication and Media Research (2005), etika didefinisikan sebagai sekumpulan peraturan atau prinsip sebagai pedoman perilaku baik atau buruk. Etika juga dapat dikatakan sebagai bentuk disiplin yang membedakan apa yang baik atau buruk serta apa yang benar atau salah. Dalam keterkaitannya dengan ilmu komunikasi, etika berperan sebagai prinsip dalam proses pengaplikasian ilmu.

Baca juga: Ekonomi Media Sebagai Industri

Mengapa Etika Media Massa itu Penting?

etika media massa
Matthew Guay on Unsplash

Pada dasarnya, etika berlaku bagi semua orang. Etika berlaku untuk semua tindakan manusia yang memengaruhi orang lain. Etika media mempelajari bagaimana pekerja media seperti misalnya jurnalis, harus mengambil tindakan dalam berbagai situasi. Terutama situasi di mana mereka perlu membedakan apakah berita yang dibuat merupakan fakta di lapangan atau memuat kepentingan tertentu (Syahri, 2017).

Nah, etika dalam praktik media massa itu berlaku karena praktik pemberitaan sudah pasti memiliki pengaruh terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Oleh sebab itu, untuk jurnalis, etika media massa dikemas dalam suatu kode etik jurnalistik.

Kode etik jurnalistik merupakan suatu pagar moral yang membentuk tanggung jawab etis dan integritas profesi jurnalis (Wibowo, 2009). Seorang jurnalis perlu menjunjung tinggi etos kebenaran bersamaan dengan kebebasan dan tanggung jawab etikanya. Di Indonesia sendiri, kode etik jurnalistik disusun oleh jurnalis dan untuk jurnalis.

Curd, May, dan Elliot (Ward, 2009:295) menjelaskan bahwa etika jurnalistik merupakan bentuk etika yang menyelidiki permasalahan mikro mengenai penentuan sikap jurnalis dalam kondisi tertentu, dan permasalahan makro mengenai apa peran organisasi media di tengah-tengah masyarakat.

Jurnalis sebagai bagian dari organisasi media memiliki hak dan kewajiban. Tetapi, peran jurnalis sebagai manusia juga membuatnya terikat pada prinsip etika secara umum. Sehingga dalam menjalankan perannya, jurnalis perlu memperhatikan aspek pertimbangan secara etis. Sebab bagaimanapun juga, kerja jurnalis memiliki pengaruh baik terhadap individu maupun kelompok yang diberitakan.

Etika dalam Media Baru

etika media baru
Sumber: dole777 on Unsplash

Apabila dalam media massa etika media hanya berlaku untuk praktisi media massa saja, maka dalam media baru, semua penggunanya perlu menanamkan etika dalam berinteraksi dan bersuara. Media baru, contohnya seperti media sosial, biasanya memiliki khalayak yang lebih bebas dan otonom (Rianto, 2016). Mengapa dikatakan demikian?

Pertama, siapa saja bisa menjadi khalayak media baru. Hanya dengan membuat akun, tiap orang, dengan identitas, profesi dan status sosial apapun, bisa menyuarakan dan berinteraksi di media baru.

Kedua, media baru memungkinkan khalayak untuk merespon suatu isu pada waktu yang dinginkan dan menyebarkannya. Seperti misalnya, fitur membuat status, fitur membagikan status, dan lain sebagainya.

Adanya kemungkinan tersebut berpeluang menciptakan konflik dan diskriminasi dalam proses produksi dan distribusi pesan di media baru. Untuk itu diperlukan etika dalam pemanfaatan media baru. Sebab tanpa disadari, penggunaan media baru dalam praktiknya dapat memengaruhi orang lain.

Louis Alvin Day (2003; Rianto, 2016) menawarkan suatu model pertimbangan moral yang dapat membantu pengguna media sosial sehari-hari. Model ini dimuat dalam bukunya yakni Ethics in Media Communications Cases and Controversies. Model ini digambarkan dalam tiga tahap yakni definisi situasi, analisis situasi, dan pengambilan keputusan.

Proses pertama, definisi situasi, mencakup proses pengguna media baru dalam mendeskripsikan fakta, mengidentifikasi prinsip dan nilai-nilai yang dimuat dalam suatu pesan, atau mempertanyakan masalah etis atau tidaknya suatu hal.

Proses kedua, analisis situasi, mencakup proses perhatian terhadap faktor eksternal dalam suatu situasi, validasi fakta dengan berbagai pihak, menentukan skala kepentingan berdasarkan prinsip dan nilai yang dianut, hingga membahas lebih lanjut pedoman etika yang dapat diterapkan dalam suatu tindakan produksi atau distribusi pesan di media baru.

Proses ketiga, pengambilan keputusan, mencakup proses pengambilan keputusan moral dan mempertahankan keputusan tersebut setelah melalui proses definisi situasi dan analisis situasi dengan memperhatikan etika.

Melalui model tersebut, pengguna media baru diajak untuk mempertimbangkan etika dalam berkomunikasi, sebab penggunaan media sosial tidak hanya menyoal menulis dan mengirim pesan, namun juga bersinggungan dengan pihak lain dan dilakukan demi kebaikan umat manusia.

Baca juga: Ketahui Efek Media Massa

Kebebasan Pers dan Independensi Media Massa

independensi media
Sumber: Fred Kearney on Unsplash

Menurut Edmund Burke, media massa pada hakikatnya berperan sebagai pilar demokrasi yang memiliki kedudukan sejajar dengan Tuhan, gereja, maupun majelis rendah (Darmanto, 2015). Pendapat tersebut didasari atas kekuatan media massa dalam menyampaikan informasi.

Dengan kekuatan yang dimilikinya, media massa mampu menciptakan kontrol terhadap pemerintah, majelis, atau kelompok lain dalam masyarakat, atas dasar prinsip kebebasan pers. Kontrol tersebut bertujuan untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan memajukan masyarakat (Darmanto, 2015).

McQuail (2005) secara lebih rinci menjelaskan peran dari kebebasan pers dalam perkembangan media massa di dunia. Kebebasan pers memungkinan adanya suatu pengawasan yang independen atas pemerintahan. Selain itu, kebebasan pers juga memberikan kesempatan bagi tiap kelompok untuk mengekspresikan pendapat, keyakinan dan pandangan untuk perbaikan hidup bermasyarakat.

Untuk mencapai kebebasan pers, sebuah institusi media harus menerapkan independensi dalam praktik medianya. Independensi mencakup kebebasan dari segala bentuk kontrol yang melarang dan menekan arah kebijakan redaksional. Secara normatif, media harus terbebas dari kelompok kepentingan dan kontrol penguasa agar dapat menyampaikan fakta sosial yang memenuhi kebutuhan masyarakat (Karman, 2014).

Manipulasi Media Massa dan Kekuasaan

Manipulasi media
Sumber: Sam McGhee on Unsplash

Melalui media massa, suatu kelompok dapat melanggengkan kekuasaannya, walaupun membutuhkan manipulasi informasi. Secara garis besar, ada empat cara yang dapat dilakukan media massa dalam memanipulasi masyarakat:

  • Teknik penyuntingan.
  • Penambahan efek khusus (untuk produk visual di media massa).
  • Dramatisasi baik secara tekstual maupun visual.
  • Manipulasi gambar melalui perangkat teknologi.

Melalui cara-cara tersebut, suatu kelompok dapat menjalankan kepentingannya dan melanggengkan kekuasaan di tengah-tengah masyarakat. Maka tak heran, jika pada akhirnya seringkali muncul berbagai jenis media alternatif yang bertujuan untuk mengakomodir suara kelompok-kelompok lain sebagai tandingan media massa.

Media Massa dan Kekerasan: Studi Kasus

media massa dan kekerasan
Sumber: Виктория Бородинова from Pixabay

Sudah sejak lama akademisi ilmu komunikasi menaruh perhatian pada kekerasan dalam media. Jika kamu ingat dalam teori komunikasi massa, George Gerbner, dkk, mencetuskan satu teori mengenai kekerasan dalam televisi, yakni Cultivation Theory.

Teori ini dikembangkan oleh George Gerbner, dkk, yang berpendapat bahwa televisi dapat menimbulkan pemahaman bersama (shared-views) yang diyakini oleh para penontonnya (Littlejohn, Foss & Oetzel, 2017). Seiring berjalannya waktu, teori kultivasi tidak hanya digunakan untuk meneliti dampak kekerasan dalam televisi saja, tetapi juga dalam media lainnya.

Orang-orang yang sering melihat kekerasan dalam media biasanya percaya pada realita bahwa dunia penuh kekerasan yang sering digambarkan dalam tayangan televisi merupakan kenyataan dalam hidup. Namun, tingkat kepercayaan tersebut bergantung pada masing-masing individu. Jadi, tidak bisa kamu menggeneralisirnya, ya!

Sering kali tayangan kekerasan ini dinormalisasikan sebagai suatu hal yang wajar, bahwasanya dalam kehidupan kekerasan tidak berdampak apa-apa. Kekerasan dijadikan sebagai tanda kejantanan, kekuatan, bahkan tak jarang disalahartikan dalam bentuk kasih sayang.

Mari kita ambil contoh dari film Fifty Shades of Grey, salah satu film Hollywood populer yang diangkat dari novel erotis berjudul sama. Banyak yang menganggap Fifty Shades of Grey merupakan film yang sangat romantis. Mengisahkan seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Universitas Vancouver, Ana (Dakota Johnson), yang diminta teman sekamarnya untuk menggantikannya mewawancarai tokoh paling sukses di Seattle, Christian (Jamie Dornan).

Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta. Ana dan Christian mulai menjalin hubungan. Ana yang selama ini hidup dalam koridor normalitas seperti orang-orang lainnya, pada akhirnya tenggelam dalam bentuk relasi yang di luar dugaan. Christian sangat cemburuan. Ia tidak segan-segan menunjukkan kecemburuannya dan menghukum Ana karena itu. Ia juga sangat posesif dan senang sekali mengatur (dominan). Meskipun begitu, Christian sangat royal terhadap Ana. Ia rela memberikan apapun untuknya.

Para peneliti dari Ohio State University berpendapat bahwa pola dalam cerita Fifty Shades of Grey menggambarkan kekerasan pada pasangan (Kompas.com, 15/02/2015). Kristen Wynss PhD, pendiri Wynns Family Psychology di Cary, North Carolina, berpendapat bahwa banyak perempuan yang tidak sadar bahwa Christian sangatlah manipulatif, dan manipulasi merupakan bentuk lain dan kekerasan.

Walaupun Christian senang memberikan Ana apapun, Ana secara tidak sadar harus mematuhi apapun perintah Christian. Christian bahkan menggunakan kekuatan finansialnya untuk menguntit Ana dan mengajaknya berkencan. Bentuk manipulasi kuasa seperti ini banyak dijumpai dalam relasi pacaran sehari-hari. Alih-alih menganggap itu kekerasan, banyak orang menganggap tindakan Christian romantis. Bahkan media massa pun masih mengglorifikasi hal tersebut.

berita fimela
Sumber: Fimela.com

Artikel yang ditayangkan oleh Fimela.com merupakan salah satunya. Artikel yang disadur dari thefashionspot.com ini berisi tentang tindakan romantis yang bisa dilakukan untuk pasangan berdasarkan Film Fifty Shades of Grey.

Menurut artikel ini, kebiasaan Christian yang sering memberi surprise patut dicontoh oleh pasangan di luar sana. Contoh yang diberikan ialah bagaimana Christian sering tiba-tiba mengirimkan supir untuk menjemput Ana, atau tiba-tiba muncul menemui Ana dan ibunya.

Padahal perlu disadari bahwa perilaku Christian dapat dikatakan sebagai suatu penguntitan, alih-alih sebuah surprise. Sebab Christian bisa tiba-tiba melakukan hal tersebut tanpa Ana ketahui sebelumnya. Christian memiliki power untuk mengetahui apapun mengenai Ana, dan sebaliknya terhadap Ana. Ana tidak memiliki power untuk melakukan hal-hal yang dilakukan Christian.

Tak heran pada akhirnya kekerasan dalam hubungan privat dinormalisasi dalam wujud romantisme. Kekerasan ini dipahami sebagai realitas yang normal dalam kehidupan. Padahal di tahun 2018 saja, Komnas Perempuan mencatat bahwa dari 13.384 kasus kekerasan yang tercatat, 71% didominasi dalam ranah privat. Dari jumlah tersebut, 1.873 kasus merupakan kekerasan dalam pacaran (Tirto.id, 16/02/2020).

Media massa memiliki peran besar dalam mempopulerkan pandangan ini. Padahal seharusnya, pekerja media perlu memiliki kesadaran untuk memutus rantai kekerasan di masyarakat. Alih-alih memenuhi minat pasar terhadap hal-hal romantis, media massa perlu menjalankan fungsinya untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat agar kasus-kasus kekerasan tidak lagi dinormalisasi sebagai suatu hal yang wajar.

Baca juga: Mengenal Jurnalisme Online

Media Massa, Gender, dan Minoritas: Studi Kasus

Media Massa, gender, dan minoritas
Sumber: Sharon McCutcheon from Pixabay

Sedari kecil, selain belajar melalui orang-orang di sekitar, kita juga banyak belajar melalui media massa. Media massa pada hakikatnya mencerminkan kultur dominan di masyarakat. Dalam teori Cultural Studies, media massa melalui tayangannya membentuk pemahaman bersama yang pada akhirnya menjadi persepsi umum dan dianggap benar (Littlejohn, Foss & Oetzel 2017).

Seperti misalnya, secara tidak disadari, pemahaman maskulin bahwa laki-laki harus menjadi ‘gentle’ terhadap perempuan terus menerus diglorifikasi melalui media massa. Selain itu, budaya heteronormatif yang ada di Indonesia sering kali memarginalkan kelompok-kelompok dengan orientasi seksual yang tidak heteroseksual. Misalnya, kelompok LGBT.

Pasangan heteroseksual.
Pasangan heteroseksual. Sumber: Wolipop

Jarang ada ruang untuk kelompok minoritas seperti LGBT di media massa. Jika kamu perhatikan dengan seksama, kebanyakan yang diproduksi di media hanya memampangkan kehidupan heteroseksual yang dianggap normal. Kelompok LGBT dikategorikan sebagai kelompok tidak normal. Oleh sebab itu, seandainya ada, pemberitaan mengenai kelompok minoritas gender ini pasti direpresentasikan dengan buruk.

Sering kali kita menemui berbagai berita yang menyudutkan kelompok minoritas tertentu hanya untuk mendapatkan traffic yang tinggi. Untuk lebih mempermudah, silahkan lihat contoh di bawah ini:

Pemberitaan kelompok LGBT.
Pemberitaan mengenai kelompok LGBT. Sumber: Detik.com.

Pada dasarnya, hal yang berusaha diberitakan Detik.com sederhana saja: pencidukan pengedar sabu-sabu. Pencidukan pengedar sabu-sabu merupakan hal biasa di Indonesia, mengingat sabu-sabu merupakan salah satu narkoba favorit orang Indonesia (Vice.com, 09/12/2019).

Jika sabu-sabu diedarkan oleh orang-orang dengan orientasi heteroseksual (penyuka lawan jenis yang umum di Indonesia), mungkin berita ini tidak akan menjadi menarik. Dengan menyematkan kata-kata “lesbian,” jurnalis berusaha menarik atensi audiens.

Jurnalis memanfaatkan status minoritas gender yang dimiliki pelaku untuk membuat beritanya menarik. Padahal, apa hubungannya orientasi seksual dengan pengedaran narkoba? Siapapun yang menjadi pelakunya, homoseksual atau heteroseksual, tetap harus mendapatkan ganjaran hukum yang sama.

Secara etika, tentu tidak pantas sekali memanfaatkan status minoritas gender untuk meraup traffic. Hal tersebut dapat melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Dengan mengimplementasikan etika dalam proses kerja jurnalistik, jurnalis pada akhirnya mampu mengangkat fakta sosial tanpa mengeksploitasi identitas untuk meraup keuntungan.

Baca juga: Mengenal Kode Etik Penyiaran

Pemahaman Akhir

Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk persepsi dan pemahaman bersama dalam masyarakat. Sayangnya, terdapat banyak praktik media massa yang melanggar etika pemberitaan, seperti menggunakan judul sensasional atau clickbait untuk menarik perhatian pembaca. Pemberitaan semacam ini sering kali melebih-lebihkan fakta atau mengeksploitasi kelompok minoritas.

Etika media massa menjadi hal yang sangat penting dalam industri media, karena media bukan hanya bentuk industri untuk meraih keuntungan semata. Etika media mengacu pada seperangkat nilai moral dan prinsip mengenai apa yang dianggap benar atau salah dalam pemberitaan. Para praktisi media massa, terutama jurnalis, harus memegang teguh etika media ini untuk menjalankan tanggung jawab mereka secara bertanggung jawab dan jujur.

Penerapan etika media dalam praktik jurnalistik tercermin dalam kode etik jurnalistik yang menjadi pagar moral untuk menjunjung tinggi etos kebenaran, kebebasan, dan tanggung jawab etika. Jurnalis memiliki peran besar dalam menyampaikan informasi yang berkualitas dan obyektif tanpa mengorbankan integritas dan martabat individu atau kelompok yang diberitakan.

Perkembangan media baru, khususnya media sosial, memperluas peran etika dalam berinteraksi dan bersuara di ruang publik. Pengguna media sosial perlu mempertimbangkan etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, karena tindakan di media sosial memiliki pengaruh dan dampak pada orang lain. Penerapan etika dalam media baru diperlukan untuk mencegah konflik, diskriminasi, dan penyebaran informasi yang salah atau merugikan.

Kebebasan pers dan independensi media massa adalah aspek penting lainnya dalam etika media. Kebebasan pers memungkinkan media untuk berfungsi sebagai pilar demokrasi dan kontrol terhadap pemerintahan. Media massa harus menjaga independensinya dari tekanan kelompok kepentingan atau penguasa agar dapat memberikan informasi yang objektif dan bermutu untuk kepentingan masyarakat.

Sayangnya, media massa juga dapat digunakan untuk manipulasi dan memanipulasi informasi untuk kepentingan kelompok tertentu atau melanggengkan kekuasaan. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran dan kepedulian para pekerja media untuk menghindari manipulasi informasi dan memenuhi tanggung jawab etis mereka.

Selain itu, media massa juga dapat mencerminkan dan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap gender dan kelompok minoritas. Beberapa pemberitaan yang tidak etis dapat menggambarkan kelompok minoritas dengan buruk atau melebih-lebihkan aspek-aspek tertentu dari kehidupan mereka. Etika media massa mengajarkan pentingnya menghormati martabat dan mengangkat fakta sosial tanpa memanfaatkan status minoritas untuk kepentingan pribadi atau perolehan traffic.

Dalam kesimpulannya, etika media massa adalah hal yang sangat penting untuk dipahami dan diterapkan oleh para praktisi media, terutama oleh jurnalis. Dengan memegang teguh etika media, kita dapat menyampaikan informasi yang berkualitas, obyektif, dan menghormati martabat individu atau kelompok yang diberitakan. Etika media membantu menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap media massa sebagai pilar informasi dan kontrol dalam demokrasi.

Demikianlah pembahasan mengenai etika media massa. Semoga penjelasan ini dapat menambah wawasanmu, ya.


Referensi :

Darmanto. 2015. “Urgensi Perubahan Kebijakan untuk Penegakkan Indendensi Media di Indonesia” dalam Jurnal Komunikasi. 1. 29-39.

Demers, David P. 2005. Dictionary of Mass Communication & Media Research: A Guide for Students, Scholars, and Professionals. USA: Marquette Books.

Detik. 2020. “Pasangan Lesbian di Blitar Terciduk Edarkan dan Konsumsi Sabu.” Diakses dari news.detik.com

Fimela. 2015. “7 Tips Cinta Romantis Inspirasi Film Fifty Shades of Grey” diakses dari fimela.com

Karman. 2014. “Monopoli Kepemilikan Media dan Lenyaplah Hak Publik” dalam Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi. 5. (1).

Kompas.com. 2015. “Studi Membuktikan bahwa “Fifty Shades of Grey” Sarat Kekerasan Emosional” diakses dari lifestyle.kompas.com

Littlejohn, Stephen W, Foss, Karen A., & Oetzel, John. G. 2017. Theories of Human Communication 11th Edition. Illinois: Waveland Press, Inc.

McQuail, D. 2005. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rianto, Puji. “Media Jejaring Sosial dan Persoalan Etika” dalam Media Baru dalam Prosiding Seminar Nasional Komunikasi 2016. Diakses dari jurnal.fisip. unila.ac.id

Shoemaker, Pamela J. & Reese, Stephen D. 1996. Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content 2nd Ed. USA: Longman.

Syahri, Moch. (2017). Kebebasan Pers dan Etika Media. Diakses dari researchgate.net  pada 19/7/20. DOI: 10.13140/RG.2.2.36819.48160.

Tirto. 2019. “Waspadai Pelaku Kekerasan dalam Pacaran” diakses dari tirto.id

Vice Indonesia. “Pengguna Narkoba di Indonesia Jadi 3,6 Juta, Kata BNN Karena Harga Tak kena Inflasi” diakses dari vice.coma

Ward, Stephen J.A. 2009. “Journalism Ethics.” Dalam The Handbook Journalism Studies. New York: Routledge.

Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, dan Politik di Era Mondial. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wolipop. 2017. “Pasangan Menikah 62 Tahun Meninggal Bergandengan Tangan” diakses dari wolipop.detik.com

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *