Daftar Isi
Dalam displin ilmu sosiologi, gerakan sosial umumnya dikaji dengan kerangka material. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul bentuk gerakan sosial yang tidak dapat dikaji dengan menggunakan kerangka material. Contohnya, gerakan anti-nuklir, gerakan kesetaraan gender, dan lainnya. Gerakan tersebut yang termasuk dalam gerakan sosial baru yang akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
Gerakan Sosial Baru
Teori mengenai gerakan sosial baru, diketahui muncul sebagai kritik terhadap teori gerakan sosial lama yang dipandang terlalu materialistis. Menurut pendapat dalam teori sosial baru, tujuan dari sebuah gerakan sosial tidak harus selalu bersifat materialistis, seperti halnya pengaruh politik atau uang. Berikut ini adalah lima ciri utama dari gerakan sosial baru yang perlu kamu ketahui.
- Pertama, teori gerakan sosial baru umumnya membahas tentang aksi-aksi simbolik yang digagas oleh masyarakat sipil. Seperti, Gerakan Koin untuk Prita dan Gerakan 1000 Lilin untuk Ahok.
- Kedua, teori gerakan sosial baru fokus pada berbagai jenis gerakan yang mendorong individu untuk “menentukan nasibnya sendiri” (self determination), alih-alih memperluas pengaruh politik, atau merebut kekuasaan.
Gerakan feminisme misalnya, mendorong perempuan untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, lewat berbagai tuntutan seperti kebebasan reproduksi, dan penghapusan diskriminasi di lingkungan kerja.
- Ketiga, teori gerakan sosial baru memposisikan hal-hal yang bersifat non-material, seperti nilai dan norma, sebagai elemen penting yang mendukung lahirnya sebuah gerakan.
Sebagai contoh, gerakan anti hukuman mati berangkat dari gagasan non-material tentang konsep hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup (right to life).
- Keempat, teori gerakan sosial baru kerap membahas tentang proses pembentukan identitas kelompok, serta proses identifikasi tujuan kolektif dari gerakan tersebut.
- Kelima, teori gerakan sosial baru menyadari pentingnya kemampuan berjejaring, dan keberadaan jaringan-jaringan sosial yang tidak terlihat dalam mendukung keberhasilan sebuah gerakan.
Gerakan pendukung hak-hak LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual) misalnya, aktif membangun jaringan dengan gerakan-gerakan lain seperti gerakan feminisme, gerakan buruh, gerakan lingkungan, dan bahkan gerakan keagamaan demi mencapai tujuan utama mereka, yaitu kesetaraan.
Tokoh-tokoh Teori Gerakan Sosial Baru
Terdapat beberapa tokoh yang karyanya kerap menjadi acuan bagi para akademisi yang membahas gerakan sosial baru. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Manuel Castells, Alan Touraine, dan Jurgen Habermas.
Manuel Castells (1942)
Fokus utama dari teori Castells adalah memahami gerakan-gerakan sosial yang terjadi di lingkungan perkotaan, yang dikenal sebagai gerakan sosial perkotaan (urban social movement). Dalam perspektif Castells, kota menjadi tempat di mana berbagai kepentingan dari pasar, negara, dan masyarakat bertemu dan berinteraksi.
Kepentingan pasar mencoba mengubah kota menjadi lingkungan yang mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi para pemilik modal. Di sisi lain, kepentingan negara berusaha untuk mengendalikan kota dengan menggunakan peraturan-peraturan birokratis yang ketat. Sementara itu, masyarakat berusaha untuk memperjuangkan kepentingan mereka melalui gerakan sosial perkotaan.
Gerakan sosial perkotaan ini umumnya memiliki tiga tujuan utama menurut Castells:
Melindungi kepentingan publik: Masyarakat berusaha untuk memastikan bahwa kepentingan publik, seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan yang terjangkau, dijaga dan dipenuhi.
Menegakkan otonomi politik: Gerakan sosial ini berusaha untuk mendapatkan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik yang memengaruhi perkotaan. Mereka ingin memiliki suara dan peran dalam menentukan arah perkembangan kota.
Mempertahankan identitas budaya: Gerakan sosial perkotaan juga berjuang untuk memelihara dan memperkuat identitas budaya mereka dalam menghadapi tekanan globalisasi dan homogenisasi budaya.
Dengan demikian, teori Castells menyoroti pentingnya dinamika dan konflik antara berbagai kepentingan di kota, serta peran gerakan sosial perkotaan dalam membela dan memajukan kepentingan masyarakat.
Alain Touraine (1925)
Bagi Touraine, masyarakat pasca-industri terbagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas populer (popular class) dan kelas dominan (dominant class). Kelas populer terdiri dari para konsumen atau client, sedangkan kelas dominan diisi oleh para manajer dan teknokrat (elit yang memiliki pengetahuan tentang teknologi).
Gerakan sosial baru, menurut Touraine, hadir dalam bentuk konflik antara kelas populer dan kelas dominan. Alih-alih memperebutkan sumber daya ekonomi, konflik antara kelas populer dan dominan terjadi karena masing-masing pihak memperebutkan sesuatu yang disebut Touraine sebagai historicity, atau kemampuan aktor untuk menciptakan, dan mengontrol “pengetahuan.”
Jurgen Habermas (1929)
Habermas membagi dunia sosial modern ke dalam dua ranah yang berbeda. Ranah pertama mengacu pada sistem ekonomi dan politik, yang diatur oleh konsep kekuasaan dan kepemilikan material (uang). Sedangkan, ranah kedua mengacu pada dunia sehari-hari (lifeworld) yang diatur oleh kesepakatan bersama atas norma-norma yang berlaku.
Menurut Habermas, permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat modern adalah upaya-upaya yang secara aktif dilakukan oleh ranah pertama, untuk mengontrol ranah kedua. Akibatnya, kekuasaan dan uang, yang harusnya hanya mengatur transaksi ekonomi dan politik di ranah pertama, turut mengatur proses pembentukan identitas individu.
Lalu, aturan-aturan normatif umumnya diasosiasikan dengan ranah kedua. Gerakan sosial baru, menurut Habermas, hadir sebagai respon defensif masyarakat untuk melindungi ranah kedua mereka dari campur tangan ranah pertama.
Perdebatan Terkait Geakan Sosial Baru
Terlepas dari perspektif “baru” yang ditawarkan oleh teori gerakan sosial baru, terdapat beberapa perdebatan mendasar terkait teori gerakan sosial baru, yaitu:
Apa yang Baru dari Gerakan Sosial Baru?
Beberapa ahli seperti Tarrow (1991) dan Brand (1990) menganggap bahwa gerakan sosial baru merupakan kelanjutan dari gerakan sosial yang telah ada sebelumnya. Gerakan feminisme misalnya, diawali dengan tuntutan-tuntutan yang sifatnya material seperti hak politik (feminisme gelombang pertama).
Lalu, dilanjutkan dengan tuntutan-tuntutan yang sifatnya simbolik, seperti kebebasan reproduksi, ekspresi gender, dan seksualitas (feminisme gelombang ketiga).
Apakah Gerakan Sosial Baru Bersifat Politis atau Kultural?
Gerakan sosial baru cenderung dianggap apolitis. Artinya, gerakan sosial baru dianggap tidak lagi berurusan dengan kontestasi kekuasaan, layaknya gerakan sosial lama. Namun dalam prakteknya, McAdam (1994) menjelaskan bahwa seluruh gerakan sosial pada dasarnya bersifat politis dan kultural di waktu yang sama.
Setiap gerakan sosial pasti melibatkan serangkaian simbol, seperti warna merah dan gambar roda gigi yang umumnya hadir dalam lambang-lambang serikat buruh. Selain itu, setiap gerakan sosial juga memiliki sikap politiknya masing-masing, termasuk gerakan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki sikap politik (karena tidak memiliki sikap politik merupakan bentuk sikap politik).
Apakah Basis dari Gerakan Sosial Baru
Basis dari gerakan sosial lama adalah kelas. Kelas pekerja yang kerap disebut sebagai proletariat, berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka lewat tuntutan-tuntutan yang bersifat material, seperti kenaikan upah, atau perubahan kebijakan politik. Basis dari gerakan sosial baru, di sisi lain, adalah identitas; seperti identitas suku, bangsa, gender, dan sebagainya.
Dalton, Kuechler, dan Burklin (1990) menyatakan bahwa basis dari gerakan sosial baru berasal dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, alih-alih terfokus pada satu kelas tertentu.
Pendapat Dalton, Kuechler, dan Burkin ini lantas dikritik oleh Buechler (1995), yang menyatakan bahwa dengan mengesampingkan variabel kelas sebagai basis dari sebuah gerakan sosial, para akademisi seakan “menutup mata,” dan mengabaikan peran faktor-faktor ekonomi dalam lahirnya sebuah gerakan sosial.
Kesimpulan
Teori gerakan sosial baru percaya bahwa tujuan dari sebuah gerakan sosial tidak selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya materialistis. Teori ini menawarkan sudut pandang baru dalam melihat gerakan sosial yang hadir di era modern ini, seperti Gerakan Pendukung Hak Asasi Manusia, Gerakan Vegetarian, Gerakan Anti Narkoba, Gerakan Rajin Membaca, dan sebagainya.
Gerakan sosial baru umumnya lahir dari seperangkat nilai atau norma yang bersifat non-material, memanfaatkan simbol-simbol budaya dalam gerakannya, serta didukung oleh masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Terlepas dari sudut pandang teori gerakan sosial baru yang diklaim sebagai sesuatu “yang baru” para ahli masih terus berdebat tentang “kebaruan” apa yang sebenarnya ditawarkan oleh teori gerakan sosial baru.
Demikianlah penjelasan tentang gerakan sosial baru yang berbeda dari gerakan sosial lama. Terkait dengan gerakan ini, terdapat beberapa teori yang mengkaji gerakan tersebut. Disamping itu, masih ada beberapa perdebatan terkait dengan gerakan sosial baru.
Sumber:
Buechler, S. (1995). New Social Movement Theories. Sociological Quarterly, Vol. 36(3), hlm. 411-464.
Castells, M. (1997). The Power of Identity. United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Little, W., Vyain, S., Scaramuzzo, G., Cody-Rydzewski, S., Griffiths, H., Strayer, E., & Keirns, N. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.
Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.
Touraine, A. (1985). An Introduction to the Study of Social Movements. Social Research, Vol. 52(4), hlm. 749-787.