Bali dan Nusa Tenggara adalah pulau kecil di Indonesia. Meski begitu, pulau – pulau ini menyimpan keindahan alam yang sangat memukau. Ditambah lagi keberagaman suku bangsa yang mendiami pulau – pulau tersebut.
Hingga saat ini, suku bangsa yang berbeda ini hidup berdampingan. Dengan adat dan kebudayaan yang masih tetap dilestarikan. Dan pada artikel kali ini, akan membahas mengenai suku yang ada di Bali dan Nusa Tenggara.
Yuk kenali 10 Suku di Bali dan Nusa Tenggara ini:
Daftar Isi
Suku Bali
Seperti nama pulaunya, Suku Bali adalah suku yang menjadi mayoritas penduduk Pulau Bali. Kurang lebih terdapat 3,9 juta Suku Bali di Indonesia. Dimana, Suku Bali juga menyebut diri mereka Wong Bali, Krama Bali, atau Anak Bali.
Suku Bali terkenal dengan budayanya yang beraneka ragam, diantaranya seni tari, pertunjukan, serta ukir. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Orang Bali semuanya adalah seniman. Karena, terlepas dari kegiatan sehari – hari, mereka tetap berkarya sebagai seniman, ada yang menari, melukis, menyanyi, memahat, dan tentu bermain lakon.
Selain itu, banyak sekali upacara – upacara adat yang kerap kali dilakukan oleh Suku Bali. Seperti piodalan, metatah, upacara pernikahan, ngaben, melasti, dan banyak lagi. Dimana, setiap acara ini selalu dihiasi dengan unsur budaya, salah satunya adalah gamelan. Yang menjadi alat musik vital bagi Suku Bali.
Orang Bali adalah penganut agama Hindu. Dimana, sebanyakan kurang lebih 3,2 juta umat Hindu di Indonesia tinggal di Bali. Dan sebagian besar menganut aliran Siwa – Buddha, jadi berbeda dengan ajaran Hindu di India. Sementara bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari – hari adalah Bahasa Bali.
Suku Nyama Selam
Suku asli yang mendiami Pulau Bali tidak hanya Suku Bali, tapi ada juga suku Nyama Selam. Suku Nyama Selam adalah suku yang menganut agama Islam, namun menjalankan tradisi kebudayaan Bali dalam kehidupan sehari – harinya. “Nyama” memiliki arti “saudara”, sementara “Selam” memiliki arti “Islam”.
Berdampingan dengan Suku Bali tidak membuat Suku Nyama Selam merasa berbeda. Bahkan, mereka hidup berdampingan dengan rukun meski berbeda kepercayaan. Antara Suku Nyama Selam dan Suku Bali pun memiliki tradisi unik bernama Ngejot. Ngejot adalah saling membantu dan berbagi makanan saat hari raya tiba. Suku Nyama Selam melakukan Ngejot saat Hari Raya Idul Fitri. Sementara Suku Bali melakukan Ngejot saat Nyepi, Galungan, dan Kuningan.
Tradisi Ngejot biasanya disusul dengan tradisi megibung. Yang mana, megibung adalah tradisi makan bergaya banjar, dimana orang – orang akan menikmati makanan dalam satu wadah secara bersama – sama. Di desa – desa muslim, megibung dilakukan di masjid. Selain digelar saat hari raya keagamaan, megibung juga digelar saat Ramadhan. Bahkan di Denpasar, megibung dilakuka selama tiga kali setiap 10 hari puasa. Dimana Suku Nyama Selam, umat Hindu Suku Bali, hingga pendatang, turut ikut dalam acara makan bersama ini.
Keberadaan Suku Nyama Selam dimulai di Desa Pagayaman yang ada di Kabupaten Buleleng. Di sini, sejak zaman dahulu telah dihuni oleh komunitas Muslim. Kebudayaan yang dimiliki menampilkan campuran budaya Bali, Jawa, dan Bugis. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari – hari pun menggunakan Bahasa Bali.
Budaya dan tradisi yang dilakukan oleh Suku Nyama Selam tidak banyak berbeda dari Suku Bali. Yang membedakan hanya rumah ibadah, bahkan kehidupan sehari – harinya pun sama seperti Suku Bali. Suku Nyama Selam pun melakukan sistem pemberian nama layaknya Suku Bali, dengan menyematkan nama lokal seperti Kadek, Putu, dan lainnya, yang dipadukan dengan nama bernuansa Islam.
Akulturasi budaya Hindu dan Islam juga tercermin dalam aspek kesenian Suku Nyama Selam. Salah satunya dalah Tari Rudat, yaitu tarian nuansa Bali dengan kombinasi budaya Timur Tengah. Dimana, tarian ini menggunakan alat musik rebana sebagai musik pengiringnya.
Suku Bayan
Suku Bayan termasuk bagian dari masyarakat Suku Sasak, yang dikenal sebagai pusat budaya Lombok tertua. Namun, Suku Bayan memiliki ciri khas yang membedakan dengan Suku Sasak. Yaitu adat istiadat dan sistem keyakinan Suku Bayan yang bernama Islam Wetu Telu (Islam Waktu Tiga). Sistem keyakinan ini berbeda dengan ajaran Islam murni yaitu “Islam Waktu Lima”.
Sistem kepercayaan Islam Wetu Telu ini semakin berkurang jumlahnya. Hal ini terjadi dimungkinkan karena Suku Bayan menjadi sasaran kegiatan dakwah dari kalangan Islam Waktu Lima. Ajaran Islam Wetu Telu percaya kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT, dan Al Qur’an sebagai kitab sucinya. Namun dalam pelaksanaannya, mereka melakukan upacara yang dilakukan oleh penganut Islam Waktu Lima. Seperti Syahadat, sholat, zakat, dan puasa. Namun mereka belum mengenal ibadah haji.
Dalam kesehariannya, Suku Bayan menggunakan bahasa Sasak untuk berkomunikasi. Sementara dalam sistem pemerintahan Suku Bayan dibagi menjadi dua, yaitu sistem kepemimpinan desa dinas dan sistem kepemimpinan desa adat. Sistem kepemimpinan desa dinas mencakup struktur pemerintahan desa. Sementara sistem kepemimpinan desa adat dipimpin oleh penghulu yang mengurus adat istiadat.
Suku Dompu
Suku Dompu berdomisili di Pulau Sumbawa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dimana, suku ini tersebar di empat kecamatan, yaitu Huu, Kempo, Kilo, dan Dompu. Dalam kesehariannya, Suku Dompu berkomunikasi dengan bahasa Mbojo atau dikenal dengan bahasa Bima Nggahi Mbojo. Tapi, ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan bahasa Bali, Sasak, dan Melayu.
Mayoritas Suku Dompu bermata pencaharian sebagai petani, peternak, pedagang, dan nelayan. Komoditas utama pertanian mereka adalah kacang kedelai, ubi kayu dan jalar, serta jagung. Sementara untuk komoditas perkebunan adalah asam, kemiri, pinang, tembakau, serta kapuk.
Dalam kepercayaan, sebanyak 98% masyarakat Suku Dompu memeluk agama Islam. Bagi mereka, ulama dipandang sebagai orang yang sangat baik, karena berpendidikan tinggi serta berkehidupan layak.
Tradisi yang dilestarikan oleh Suku Dompu hingga saat ini adalah upacara Peta Kapanca. Tradisi ini merupakan bagian dari tradisi pernikahan yang dilaksanakan sebelum akad nikah, di rumah calon mempelai wanita. Tradisi ini adalah melumatkan daun pacara atau inai yang berwarna merah di kuku calon pengantin. Secara bergantian, para perempuan yang hadir akan melumatkan daun pacar. Maksud dan tujuannya adalah pengharapan dari seorang ibu agar putrinya mengikuti jejaknya.
Suku Dompu memiliki rumah adat bernama Uma Jompa dan Uma Panggu. Uma Jompa digunakan untuk tempat menyimpan padi. Yang letaknya terpisah dari rumah tempat tinggal. Sementara Uma Panggo adalah rumah tempat tinggal Suku Dompu, yang terbuat dari kayu berbentuk panggung.
Pakaian adat Suku Dompu bagi perempuan terbagi menjadi dua, yang dibedakan berdasarkan fungsi serta status sosialnya. Diantaranya Rimpu Colo, adalah pakaian yang digunakan oleh perempuan yang sudah menikah. Bagian pakaian menutup seluruh tubuh, hanya wajah, telapak tangan, dan telapak kaki yang terlihat. Dan yang kedua adalah Rimpu Mpida, yaitu pakaian yang digunakan oleh gadis. Yang mana Rimpu adalah jilbab khas Suku Dompu, dan dibutuhkan dua kain sarung untuk membuat rimpu.
Sementara pakaian adat untuk laki – laki adalah katente tembe. Yang terdiri dari celana pendek dari kain. Namun, saat ini baju koko adalah pilihan kedua laki – laki Suku Dompu.
Suku Sasak
Suku Sasak adalah mayoritas suku yang mendiami Pulau Lombok. Sebagian besar masyarakat Suku Sasak beragama Islam. Kata Sasak berasal dari kata “sak sak”, yang artinya satu kata. Orang Sasak menggunakan bahasa Sasak dalam komunikasinya sehari – hari.
Keunikan tradisi dari Suku Sasak adalah saat tradisi perkawinan. Dimana, ketika perempuan akan dinikahkan dengan seorang laki – laki, maka perempuan tersebut harus dilarikan ke rumah calon mempelai laki – laki. Tradisi ini dikenal dengan nama merarik atau pelarian.
Baca juga: 12 Suku di Pulau Kalimantan
Dalam tradisi ini, sang gadis tidak perlu memberitahu orang tuanya. Namun tentu hal ini ada aturannya, dimana sebelumnya orang tua sang gadis sudah mengetahui bahwa anak mereka akan menikah. Dibawanya sang gadis ke rumah keluarga laki – laki pun diketahui oleh pihak keluarga.
Setelah sang gadis menginap satu hari di rumah kerabat calon mempelai laki – laki, kemudian kerabat dari calon mempelai laki – laki mengirim utusan ke pihak keluarga sang gadis. Untuk memberitahukan bahwa sang gadis dicuri dan kini berada di satu tempat. Tempat ini tidak boleh diketahui oleh keluarga pihak perempuan.
Tradisi ini masih dipertahankan oleh masyarakat Suku Sasak. Yang mana tujuannya adalah untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Seperti tidak disetujui oleh keluarga sang gadis, atau keterbatasan kemampuan dalam materi.
Suku Alor
Suku Alor adalah penduduk asli yang mendiami Pulau Pantara, Pura, dan Pulau Alor, di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Dearah yang dihuni oleh Suku Alor adalah daerah berupa perbukitan dan pegunungan dengan berbagai kemiringan. Inilah mengapa Suku Alor memiliki mata pencaharian sebagai petani ladang.
Dengan sistem tebang bakar, serta tanaman yang ditanam adalah jagung, padi, ubi kayu, sorgum, dan kacang – kacangan. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat Suku Alor yang bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan.
Suku Alor memiliki ciri fisik berupa rambut keriting, kulit hitam, bahu agak lebar, serta tubuh yang relatif pendek. Sebagian besar suku ini memeluk agama Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Tapi, ada juga masyarakat Suku Alor yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada yang menyembah Tuhan atau Allah yang disebut Nayaning Lhahatal, ada juga yang menyembah matahari, bulan, dewa air, dewa hutan, dan dewa laut.
Suku Ngada
Suku Ngada berdomisili di sebagian besar Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Mata pencaharian Suku Ngada adalah sebagai petani, berladang, atau beternak sapi, kerbau, dan kuda. Dalam kesehariannya, masyarakat menggunakan Bahasa Ngada untuk berkomunikasi.
Suku Ngada memiliki rumah adat yang dinamakan dengan Sa’o. Setiap Sa’o menghadap ke ngadhu atau bhaga sebagai poros. Bhaga berbentuk seperti rumah yang ukurannya kecil, dan merupakan lambang leluhur perempuan. Sementara ngadhu melambangkan leluhur laki – laki, berbentuk seperti payung dengan atap alang – alang atau ijuk hitam. Yang mana, ngadhu dan bhaga ini selalu berpasangan dan menjadi lambang banyaknya klan dalam satu permukiman.
Sa’o ditata dengan pola pemukiman persegi panjang atau bulat telur. Dimana, posisinya mengelilingi lapangan yang digunakan untuk berkumpul atau mengadakan upacara. Di tengah lapangan ini sebuah ture, yaitu panggung batu untuk melengkapi upacara. Dimana di atas ture ini terdapat altar yang disebut dengan watu lewa.
Baca juga: Suku di Pulau Sulawesi Serta Penjelasannya
Untuk kepercayaan sendiri, mayoritas Suku Ngada penganut agama Katolik. Sementara sebagian kecil beragama Islam. Dan sebagian lainnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Suku Lamaholot
Suku Lamaholot adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahasa yang digunakan oleh Suku Lamaholot adalah bahasa Lamaholot. Yang digolongkan ke dalam rumpun bahasa Ambon Timur. Dimana, bahasa ini terdiri atas bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Tengah, dan Lamaholot Timur.
Mata pencaharian Suku Lamaholot adalah bercocok tanam. Sistem yang digunakan adalah sistem tebang bakar. Dimana, tanah yang digunakan adalah tanah adat yang disebut tanah wungu. Setiap pekerjaan yang berhubungan dengan tanah wungu diatur oleh kepala adat, dan setiap awal pengerjaan harus diawali dengan upacara. Pembukaan lahan dilakukan oleh laki – laki, kemudian saat menanam dan panen dikerjakan oleh laki – laki dan perempuan.
Masyarakat Lamaholot menganut agama Katolik, Kristen, dan Islam. Yang mana, agama Islam diduga masuk dulu ke NTT.
Suku Sumba
Suku Sumba merupakan suku yang mendiami Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Pulau Sumba. Secara rasial, Suku Sumba merupakan campuran dari ras Melanesia, ras Melayu, ras Austronesia, ras Semit, ras Mongoloid, ras Kaukasoid, dan India. Dimana, mereka masih memiliki kepercayaan khas setengah leluhur setengah dewa, yang dikenal dengan Marapu.
Mayoritas Suku Sumba menganut agama Kristen Protestan, Katolik, dan Marapu. Sebagian kecil menganut agama Islam dan Yahudi.
Pakaian adat laki – laki Suku Sumba dibedakan pada hierarki status sosialnya. Dimana, busana laki – laki bangsawan terbuat dari kain dan aksesoris yang lebih halus daripada milik rakyat jelata. Sementara untuk rakyat jelata tidak. Baju adat ini biasa dikenakan ketika pesta, upacara adat, atau ketika ada peristiwa besar. Dimana, busana ini terdiri dari penutup kepala, penutup badan, serta perhiasan dan senjata tajam.
Sementara untuk pakaian adat wanita, Suku Sumba menggunakan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya. Seperti lau pahudu, lau kawuru, lau pahudu kiku, dan lau mutikau. Yang mana, kain ini digunakan setinggi dada, dengan bagian bahu tertutup taba huku dan sewarna dengan sarung. Di bagian kepala, terdapat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan tiduhai atau hai kara. Di dahi disematkan juga perhiasan logam, dan untuk telinga tergantung kalung.
Suku Rongga
Suku Rongga adalah suku asli dari Nusa Tenggara Timur. Dimana, umumnya suku ini berdomisili di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Manggarai Timur. Budaya yang terkenal dari Suku Rongga adalah Tari Vera, yang mana bahkan sudah terkenal hingga mancanegara.
Mayoritas Suku Rongga beragama Katolik, dan beberapa lainnya memeluk agama Islam. Sementara ada juga sebagian kecil yang memeluk agama Kristen Protestan. Mereka hidup berdampingan dalam keharmonisan. Bahkan, Suku Rongga di Kabupaten Manggarai Timur dijadikan kawasan yang menjaga toleransi beragama.
Sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai peternak dan petani. Banyak juga warga yang beternak kuda. Dan komoditas pertanian Suku Rongga sebagian besar adalah padi dan jagung.
Suku Mbojo
Mbojo merupakan suku awal yang tinggal di Pulau Sumbawa bagian Timur. Secara administratif, saat ini wilayah tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu. Dalam bahasa daerah Bima, “Mbojo” digunakan untuk menyebut kata “Bima”. Sebaliknya, dalam Bahasa Indonesia kata “Bima” digunakan untuk menyebut kata “Mbojo”. Mbojo juga dapat digunakan sebagai sebutan bagi suku asli Bima atau Dou Mbojo (Orang Bima).
Dalam sejarah, Dou Mbojo dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Dou Donggo yang menjadi kelompok penduduk asli dan Dou Mbojo yang menjadi kelompok orang Bima. Dou Donggo menghuni kawasan bagian barat teluk, yang tersebar di gunung dan lembah. Karakteristik Dou Donggo memiliki kesamaan dengan orang Bima di sebelah timur Teluk Bima. Pada masyarakat Bima yang lebih tua, cenderung memiliki karakteristik yang sama dengan Suku Sasak Bayan di Lombok. Dimana berciri rambut pendek bergelombang, keriting, serta warna kulit yang agak gelap.
Sementara Dou Mbojo, menghuni kawasan pesisir pantai. Yang mana, Dou Mbojo memiliki karakteristik ciri fisik rambut lurus, karena campuran dengan orang Bugis – Makassar. Uniknya, bahasa yang digunakan oleh Dou Mbojo adalah bahasa Donggo, bahasa Tarlawi, dan bahasa Kolo, yang memiliki persamaan dengan bahasa Jawa Kuno. Terkadang pengucapannya sudah berubah, atau pengucapannya sama namun memiliki arti yang berbeda. Hal ini dikarenakan terputusnya komunikasi dengan sumber bahasa, sehingga bahasa berkembang dalam corak yang berbeda.
Suku Samawa
Suku Samawa atau Tau Samawa adalah orang asli penduduk yang mendiami Pulau Sumbawa. Dilihat dari sisi etimologi, Tau Samawa berasal dari kata “Tau” yang berarti “Orang”, “Tana” yang berarti “Tanah”, serta “Samawa” yang berasal dari kata “Sammava” yang berarti berbagai penjuru. Biasanya, orang asli Sumbawa dikenal dengan Tau Samawa, sementara Pulau Sumbawa sendiri disebut sebagai Tana Samawa.
Jika dilihat dari tradisi, budaya, adat istiadat, senjata tradisional masyarakat, pakaian adat, dan lainnya, Tau Samawa memiliki kesamaan dengan Kerajaan Gowa. Hal inilah yang menimbulkan asumsi bahwa Tau Samawa sebenarnya adalah berasal dari Gowa yang dibuang oleh Kerajaan Gowa. Bahkan, sifat keras yang dimiliki oleh Tau Samawa juga mirip dengan orang – orang dari Gowa. Jadi, dapat disimpulkan jika penduduk asli Tau Samawa ini merupakan percampuran dari berbagai daerah, khususnya yang ada di Kepulauan Sunda Kecil.
Baca juga: Suku di Maluku Serta Penjelasannya
Pemahaman Akhir
Suku-suku di Bali dan Nusa Tenggara adalah bahwa pulau-pulau tersebut memiliki keindahan alam yang memukau serta keberagaman suku bangsa yang hidup berdampingan dengan adat dan kebudayaan yang masih dilestarikan.
Suku Bali merupakan mayoritas penduduk di Pulau Bali, terkenal dengan seni tari, pertunjukan, ukir, dan adat istiadat yang kaya. Mereka menganut agama Hindu dengan keberagaman aliran Siwa-Buddha. Suku Nyama Selam adalah suku Muslim yang menjalankan tradisi kebudayaan Bali dan hidup berdampingan dengan Suku Bali dengan saling berbagi upacara dan tradisi.
Suku Sasak mendiami Pulau Lombok dan memiliki tradisi unik seperti merarik, di mana perempuan akan dilarikan ke rumah calon mempelai laki-laki sebelum pernikahan. Suku Dompu di Pulau Sumbawa memiliki tradisi Peta Kapanca dalam pernikahan dan pakaian adat yang khas. Suku Alor, Ngada, Lamaholot, Rongga, Mbojo, Samawa, dan Sumba juga memiliki kekhasan budaya, adat istiadat, dan kepercayaan yang berbeda-beda.
Melalui keberagaman suku bangsa ini, kita dapat melihat bagaimana pulau-pulau kecil di Bali dan Nusa Tenggara menjadi tempat yang kaya akan keindahan alam dan kebudayaan yang unik. Penting bagi kita sebagai guru budaya untuk memahami dan menghargai keragaman ini, serta turut berperan dalam melestarikan adat dan kebudayaan yang menjadi identitas masing-masing suku.
Itulah suku – suku yang ada di Bali dan Nusa Tenggara. Tentu dengan artikel ini, kita semakin mengetahui berbagai suku yang ada di Indonesia.
Komentar