Daftar Isi
Di ranah sosiologi, etnisitas termasuk topik kajian baru. Beberapa pemikir awal Sosiologi seperti Max Weber, tidak pernah menggunakan istilah etnisitas dalam karya-karya mereka. Banyak yang lebih mengutip karya antropologi untuk melakukan kajian terkait etnisitas tersebut.
Nah, untuk itu, di bawah ini akan ada penjelasan mengenai etnisitas, mulai dari definisinya hingg pandangan teori sosiologi modern terhadap etnisitas.
Memahami Etnisitas
Antropolog Frederik Barth adalah salah satu tokoh kunci dalam pemahaman tentang etnisitas, yang memiliki dampak besar dalam ilmu sosiologi. Melalui bukunya yang berjudul “Ethnic Groups and Boundaries,” Barth mengajukan pandangan baru tentang etnisitas yang mengkritik pandangan tradisional.
Pandangan tradisional tentang etnisitas sering kali berfokus pada karakteristik budaya seperti bahasa, agama, pakaian adat, dan kebiasaan makan sebagai penentu utama identitas etnis. Namun, Barth berpendapat bahwa karakteristik budaya itu sendiri tidak cukup untuk menjadikan sebuah kelompok sebagai kelompok etnis yang unik.
Bagi Barth, hal yang lebih penting adalah interaksi antara kelompok etnis tersebut dengan kelompok lain di sekitarnya. Interaksi ini menciptakan batas-batas budaya yang membedakan mereka dari kelompok lain. Dengan kata lain, identitas etnis tidak hanya bergantung pada karakteristik budaya, tetapi juga pada bagaimana kelompok tersebut berinteraksi dengan kelompok lain.
Contohnya, dua kelompok yang memiliki karakteristik budaya yang serupa seperti bahasa dan agama mungkin tidak dianggap sebagai dua kelompok etnis yang berbeda jika mereka tidak berinteraksi satu sama lain. Kesamaan budaya tersebut hanya memiliki makna ketika ada perbandingan dengan kelompok lain yang memiliki perbedaan budaya.
Dengan pandangan ini, Barth mengubah fokus studi etnisitas dari kajian tentang konten etnisitas (karakteristik budaya) menjadi kajian tentang interaksi sosial dan bagaimana batas-batas budaya antar kelompok etnis terbentuk.
Konsep ini kemudian menjadi dasar bagi para sosiolog dalam memahami etnisitas. Richard Jenkins, misalnya, mengembangkan teori identitas yang menekankan bahwa kelompok etnis diikat bersama oleh persepsi bersama tentang kesamaan dan perbedaan dengan kelompok lain.
Kesamaan ini mencakup karakteristik budaya seperti bahasa, agama, leluhur, gaya hidup, dan sebagainya, tetapi tanpa adanya interaksi dengan kelompok lain, kesamaan ini tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang bermakna. Dengan demikian, pandangan Barth dan konsep identitas Jenkins membantu kita memahami kompleksitas etnisitas dan bagaimana interaksi sosial memainkan peran penting dalam pembentukan identitas etnis.
Etnisitas dalam Teori Sosiologi Klasik
Istilah etnisitas memang tidak pernah muncul dalam karya-karya sosiologi klasik, kecuali dalam tulisan Weber yang berjudul Economy and Society. Dalam Economy and Society, Weber mendefinisikan kelompok etnis sebagai kelompok-kelompok manusia yang secara subjektif percaya bahwa mereka memiliki kesamaan leluhur.
Kesamaan tersebut karena kemiripan fisik, kesamaan adat, atau keduanya, atau karena ingatan akan kolonialisasi dan migrasi, sebaliknya, ada atau tidaknya ikatan darah antara mereka bukanlah sesuatu yang penting.
Definisi dari Weber ini menunjukkan bahwa etnisitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial. Alih-alih diikat oleh kesamaan leluhur yang sifatnya aktual, sebuah kelompok etnis justru diikat oleh “kepercayaan subjektif” akan kesamaan leluhur, yang disepakati oleh anggota kelompok etnis tersebut.
Meskipun istilah etnisitas tidak pernah digunakan oleh sosiolog klasik selain Weber, hal ini bukan berarti etnisitas tidak pernah dibahas oleh sosiolog klasik lainnya. Sinisa Malesevic dalam The Sociology of Ethnicity menjelaskan bahwa Durkheim dan Marx pada dasarnya pernah membahas tentang etnisitas, namun dengan menggunakan terminologi yang berbeda.
Durkheim misalnya, membahas etnisitas melalui konsep solidaritas. Kelompok etnis dapat dilihat sebagai contoh dari solidaritas organik, atau masyarakat yang diikat oleh kesamaan. Lebih lanjut, Durkheim juga menyatakan bahwa solidaritas mekanik kelak akan berubah menjadi solidaritas organik. Artinya, Durkheim meramalkan bahwa etnisitas akan menghilang secara perlahan-lahan, seiring dengan spesifikasi lapangan kerja.
Di sisi lain, Marx membahas etnisitas melalui konsep kelas. Menurut Marx, kelompok etnis dan isu etnisitas kerap digunakan oleh para pemilik modal untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh, para pemilik modal dapat menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk memobilisasi kelompok etnis tertentu.
Contoh lain, pemilik modal dapat dengan sengaja menciptakan atau mempertahankan konflik antar etnis di lingkungan kerja. Hal tersebut dilakukan agar kelas pekerja tidak menyadari bahwa musuh mereka yang sebenarnya adalah para pemilik modal, bukan sesama pekerja.
Etnisitas dalam Teori Sosiologi Modern
Dalam ranah sosiologi modern, etnisitas dibahas melalui melalui berbagai teori. Beberapa diantaranya adalah teori sosial post-strukturalis, teori pilihan rasional, dan teori elit. Teori sosial post-strukturalis melihat etnisitas sebagai sesuatu yang terus berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Oleh karena itu, etnisitas tidak akan pernah bisa didefinisikan lewat penjelasan tunggal. Artinya, teori sosial post-strukturalis menolak teori, serta definisi etnisitas universal yang dikemukakan oleh Barth, Jenkins, Weber dan tokoh-tokoh lainnya.
Teori pilihan rasional melihat manusia sebagai makhluk yang rasional. Menurut teori ini, seluruh tindakan manusia dalam kesehariannya dimotivasi oleh kepentingan pribadi manusia tersebut. Bagi teori pilihan rasional, etnisitas merupakan sesuatu yang bersifat dinamis.
Artinya, identitas etnis seorang individu dapat berubah mengikuti kepentingan pribadi individu tersebut. Sebagai contoh, seorang individu dapat mengaku sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu agar terhindar dari konflik.
Teori elit melihat etnisitas sebagai sumber daya politik yang dapat digunakan untuk menggalang dukungan rakyat, dalam kompetisi antar elit politik. Menurut teori ini, etnisitas bukanlah sesuatu yang terberi, atau dibawa sejak lahir.
Etnisitas merupakan konstruksi sosial dan politik yang diciptakan oleh para elit, untuk melindungi diri dan mengejar tujuan pribadi mereka. Sebagai contoh, etnisitas kerap digunakan sebagai instrumen untuk menjegal lawan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Kesimpulan
Etnisitas merupakan topik kajian yang cukup baru dalam ranah sosiologi. Secara antropologis, etnisitas dibentuk melalui interaksi yang terjadi antara satu kelompok etnis, dengan kelompok lainnya.
Secara sosiologis, etnisitas melibatkan persepsi bersama terkait persamaan yang mengikat sebuah kelompok etnis dan perbedaan yang memisahkan kelompok tersebut dengan kelompok lain. Mengacu pada para sosiolog klasik, Weber memposisikan etnisitas sebagai sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial.
Di sisi lain, Durkheim menempatkan etnisitas sebagai peninggalan masa lampau, dan Marx menempatkan etnisitas sebagai instrumen yang kerap digunakan oleh pemilik modal. Dalam ranah sosiologi modern, etnisitas dibahas melalui berbagai teori, seperti teori post-strukturalis, pilihan rasional, dan teori elit.
Nah, itu dia penjelasan mengenai etnisitas dalam sosiologi. Kendati istilah ini banyak dibahas di antropologi dan cenderung baru di sosiologi, istilah ini tetap dikaji dengan baik dengan banyak sudut pandang yang beragam. Jadi, semoga penjelasan di atas cukup bermanfaat ya.
Sumber:
Malesevic, S. (2004). The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publications.
Ritzer, G. (2007). The Blackwell Encyclopedia of Sociology. Massachusetts: Blackwell Publishing.