Sulawesi Tenggara sama halnya dengan provinsi lain di Indonesia, juga terdiri dari beberapa suku. Suku-suku yang ada di Sulawesi Tenggara ini masing-masing mendirikan kerajaan kecil yang ikut mewarnai sejarah provinsi ini. Selain itu, suku-suku tersebut juga mempunyai kebudayaannya masing-masing seperti dalam bentuk rumah adat.
Terdapat 4 macam rumah adat Sulawesi Tenggara yang memiliki sejarah khusus dan bentuk yang unik pula. Keempat rumah adat dari Sulawesi Tenggara dapat disimak lewat penjelasan di bawah ini.
Daftar Isi
Rumah Adat Banua Tada
Rumah adat Sulawesi Tenggara yang pertama ini disebut dengan rumah adat banua tada. Rumah adat ini dibangun dengan bahan kayu serta berbentuk panggung. Dalam proses pembangunannya biasanya dibangun tanpa menggunakan paku. Rumah adat banua tada bisa ditemukan di wilayah Pulau Buton dan umumnya ditinggali oleh masyarakat suku Wolio.
Baca juga: 9 Alat Musik Sulawesi Tenggara
Banua tada berasal dari bahasa Buton yang mana ‘banua’ diartikan sebagai rumah dan ‘tada’ diartikan sebagai siku. Menurut sejarah yang berkembang mengenai rumah adat banua tada, rumah ini pertama kali dibangun pada masa Raja Buton yang pertama yaitu Wa Kaa Kaa.
Pembuatan rumah adat ini sebagai wujud untuk menghormati raja mereka. Pada waktu itu, rumah yang mereka bangun masih sangat sederhana tanpa adanya hiasan satupun. Setelah Murhum menjadi sultan pertama di Kesultanan Buton sekitar tahun 1491, rumah adat banua tada mulai mengenal hiasan-hiasan yang membuat rumah semakin menarik.
Jenis dari rumah adat Sulawesi Tenggara ini sebenarnya ada beberapa macam yaitu banua tada kamali atau malige, banua tada tare pata pale, dan banua tada tare talu. Banua tada kamali atau malige merupakan tempat tinggal bagi raja dan keluarga kerajaan. Ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan jenis banua tada yang lain. Bahkan, rumah adat ini tersusun oleh dua lantai dan atapnya juga bersusun dua.
Lalu, banua tada tare pata pale merupakan tempat tinggal para pegawai kerajaan. Rumah adat ini kerap dijuluki dengan rumah siku bertiang empat dan dibagian sisi kanan dan kiri rumahnya dilengkapi dengan dua jendela.
Selanjutnya, banua tade taru pale adalah rumah adat untuk masyarakat biasa yang mempunyai ciri khas bertiang tiga dan atap yang simetris. Di rumah adat jenis ini hanya ada satu jendela di masing-masing sisi kanan dan kiri rumah.
Dalam hal material rumahnya, rumah adat Sulawesi Tenggara ini menggunakan kayu dengan kualitas yang unggul misalnya kayu nangka, jati, dan bayem. Khusus untuk kayu pohon nangka, biasanya akan dipakai sebagai rangka atap dikarenakan penggunaan bahan tersebut dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Sebagai penutup, bagian atapnya akan dibalut menggunakan daun rumbia atau nipah.
Lalu pada bagian lantainya, rumah adat banua tada menggunakan bambu yang sebelumnya telah direndam dengan air garam. Setelah zaman berkembang, terutama saat pengaruh penjajahan dari Portugis, rumah adat banua tada mengalami beberapa perubahan. Perubahan tersebut ada pada pondasi rumah yang sudah mulai menggunakan bata dan lantainya menggunakan papan kayu.
Rumah Adat Laika Taba
Rumah adat laika taba merupakan rumah adat Sulawesi Tenggara yang didiami oleh suku Tolaki. Suku ini umumnya bisa ditemkan di wilayah Kota Kendari, Konawe Selatan dan Utara, dan Kolaka Utara.
Pada masa lampau, raja yang memimpin wilayah ini bisa dikatakan cukup terkenal yaitu Haluoleo. Masyarakat Tolaki dulunya adalah masyarakat yang mempunyai kepercayaan animisme, tetapi setelah Islam masuk ke wilayah ini, mereka pun mulai beralih masuk ke agama Islam.
Rumah adat yang dimiliki oleh suku Tolaki ini pun sedikit banyak masih mendapat pengaruh dari kepercayaan masyarakat sebelumnya dan menggunakan analogi tubuh. Dimulai dari bagian depan rumah yang mana melambangkan kedua tangan dan dagu.
Lalu, di bagian tengah rumah diibaratkan dua lutut serta pusat bagian tengah diibaratkan sebagai tali pusar. Untuk bagian belakang diumpamaka sebagai kaki kanan dan kiri, dan pusat bagian belakang melambangkan alat vital.
Bagian rumah adat laika toba dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kolong, bagian atas, dan bagian tengah. Bagian kolong dipakai untuk memelihara hewan ternak, tempat penyimpanan alat-alat pertanian, dan tempat untuk rehat. Selain difungsikan demikian, bagian kolong dibangun dengan tujuan untuk menghindari banjir, menghindari hewan buas, serta membuat rumah lebih dingin.
Bagian kedua adalah bagian atas yang juga difungsikan untuk melakukan berbagai kegiatan. Kemudian, bagian ketiga atau bagian tengah menyimbolkan perwujudan alam semesta.
Terdapat pula bagian depan rumah laika taba yang berbentuk simetris. Di bagian depan terdapat ruangan yang besar yang dipakai untuk menerima tamu. Tangga di rumah ini cukup unik karena dilengkapi dengan atap, tidak seperti tangga di rumah adat lainnya.
Arsitektur dari rumah adat Sulawesi Tenggara ini konon dipengaruhi oleh beberapa suku lain yaitu suku Bugis, Luwu, dan Makassar. Sehingga, rumah adat ini punya ornamen yang cukup beragam.
Dalam pembuatan rumah adat laika taba, masyarakat suku Tolaki sangat menjunjung semangat gotong royong. Ketika akan ada masyarakat yang membangun rumah, masyarakat satu dan lainnya akan turut membantu dengan suka rela. Hal ini menjadi hal yang baik untuk senantiasa menjaga kerukunan masyarakat.
Rumah Adat Mekongga
Mekongga dalam sejarah merupakan satu daerah yang dulunya juga berbentuk kerajaan. Kerajaan Mekongga dapat dikatakan cukup unik karena banyak yang mempercayai kalau kerajaan tersebut berhubungan dengan titisan dewa atau semacamnya. Terlepas dari kepercayaan tersebut, ada satu raja yaitu Raja Latambaga yang mampu membawa perubahan untuk Mekongga.
Selama masa pemerintahannya, Raja Latambaga berhasil menyatukan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Mekongga. Salah satu nilai yang diajarkan raja ini adalah gotong royong dalam segala hal seperti saat membangun rumah. Bentuk rumah adat yang ada di wilayah ini juga membuktikan kalau rumah tersebut adalah wujud kejayaan Raja Latambaga.
Rumah adat Mekongga dibangun oleh Raja Latambaga sebagai tempat untuk pertemuan para pemangku adat. Bentuknya berupa rumah panggung tanpa sekat. Di masa ini, konon alat pertukangan untuk membangun rumah sudah cukup maju karena pengaruh para pedagang yang berasal dari Luwu. Sesuai dengan nilai yang diajarkan raja, rumah adat Sulawesi Tenggara ini dikerjakan secara gotong royong dari pemilihan bahan hingga proses mendirikan rumah.
Namun, sayangnya seiring berjalannya waktu, rumah adat Mekongga lama kelamaan menjadi lapuk dan tidak terurus. Bahkan, sempat mengalami kepunahan dan hanya tersisa dokumentasinya saja pada masa penjajahan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, wilayah Mekongga dimekarkan dan dijadikan kabupaten dengan nama Kolaka. Pada masa ini, masyarakat Mekongga kembali membangun rumah adat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai keaslian rumah. Namun, memberikan sedikit modifikasi di beberapa bagian dengan ornament-ornamen khas.
Ciri khas yang tidak dihilangkan dari rumah adat Sulawesi Tenggara tersebut diantaranya bentuk panggung dan tiang penyangga yang jumlahnya ada 12 buah. Jumlah tiang tersebut melambangkan 12 pemimpin yang berpengaruh di Mekongga. Kemudian, ciri khas lainnya adalah jumlah anak tangga yang berjumlah 30 di mana melambangkan 30 helai bulu sayap burung Kongga.
Di dalam rumah adat ini akan ada 4 bilik atau ruang yaitu (1) ruang rapat atau pertemuan adat; (2) ruang untuk menyimpan benda pusaka, dan barang berharga lainnya; (3) ruang kerja raja; dan (4) ruang untuk para abdi raja. Gambar burung Kongga sebagai burung khas dari Mekongga turut diletakkan pada beberapa bagian rumah yaitu di bagian depan, samping kiri, dan samping kanan rumah.
Rumah Adat Bharugano Wuna
Rumah adat Sulawesi Selatan satu ini tergolong sebagai rumah adat yang ditinggali oleh suku Muna. Suku Muna diketahui mempunyai hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Buton dari silsilah Raja Waa Kaa Kaa. Mengenai rumah adatnya, dapat dikatakan kalau rumah adat suku Muna yang bernama bharugano wuna ini sangat sederhana mencerminkan masyarakat Muna itu sendiri.
Tiang-tiang rumah terbuat dari kayu kecil, dindingnya terbuat dari kulit kayu, serta lantainya terbuat dari bambu. Pada rumah adat bharugano wuna tidaklah menggunakan paku sama sekali, hanya menggunakan sistem ikat mengandalkan kulit rotan maupun kulit kayu waru. Mengingat rumah adat ini berbentuk panggung, di bagian kolong rumahnya dipakai untuk menyimpan alat dan hasil pertanian.
Pemerintah Kabupaten Muna di tahun 2017 berinisiatif untuk kembali membangun rumah adat suku Muna tersebut dan secara resmi memberinya nama bharugo wuna yang artinya kita sebagai manusia. Keunikan dari rumah adat Muna setelah direkonstruksi ada pada jumlah tiangnya yang berjumlah 99 tiang.
Jumlah tiang itu menyimbolkan nama-nama Allah (asmaul husna). Kemudian, terdapat ruangan lain di samping kanan yang disebut tambi, dan di depan tambi terdapat bagian lain yang difungsikan sebagai teras.
Baca juga: 10 Alat Musik Sulawesi Tengah
Pemahaman Akhir
Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang kaya akan budaya dan sejarah, terdiri dari beberapa suku yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil dan mempunyai kebudayaan unik, salah satunya dalam bentuk rumah adat. Keempat rumah adat yang ada di Sulawesi Tenggara memiliki sejarah dan bentuk yang khas.
Rumah Adat Banua Tada: Rumah adat ini berasal dari suku Wolio di wilayah Pulau Buton. Dibangun dari kayu dengan bentuk panggung dan tanpa menggunakan paku. Terdiri dari beberapa jenis, seperti banua tada kamali, tare pata pale, dan tare talu. Mengalami perubahan seiring waktu, namun tetap mempertahankan karakteristik uniknya.
Rumah Adat Laika Taba: Dimiliki oleh suku Tolaki, rumah adat ini terletak di wilayah Kota Kendari, Konawe Selatan dan Utara, dan Kolaka Utara. Arsitektur rumah ini dipengaruhi oleh kepercayaan animisme sebelum masuknya agama Islam. Memiliki tiga bagian, kolong, atas, dan tengah, yang melambangkan analogi tubuh manusia.
Rumah Adat Mekongga: Dulunya merupakan wilayah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Latambaga. Rumah adat ini dibangun sebagai tempat pertemuan pemangku adat dan memegang nilai gotong royong. Meskipun mengalami kepunahan, rumah adat Mekongga kembali dibangun setelah Indonesia merdeka dengan tetap mempertahankan nilai-nilai aslinya.
Rumah Adat Bharugano Wuna: Ditempati oleh suku Muna, rumah adat ini mencerminkan kesederhanaan masyarakat Muna. Terbuat dari kayu kecil, kulit kayu, dan lantai bambu dengan sistem ikat menggunakan kulit rotan atau kayu waru. Setelah direkonstruksi, rumah adat ini memiliki 99 tiang yang menyimbolkan nama-nama Allah.
Keberagaman rumah adat di Sulawesi Tenggara merupakan warisan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Rumah adat tidak hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan identitas, nilai-nilai, dan kearifan lokal dari masyarakat suku-suku yang ada di daerah ini. Mereka menjadi bukti nyata kekayaan budaya Indonesia dan perlu dihargai serta dipelihara agar tetap ada untuk generasi mendatang.
Itulah keseluruhan penjelasan untuk rumah adat Sulawesi Tenggara mulai dari rumah adat banua tada hingga bharugo wuna. Kebanyakan dari rumah adat tersebut sudah direkonstruksi kembali, sehingga sudah sedikit banyak dimodifikasi. Hanya saja, nilai-nilai keaslian dari rumah adat beberapa masih tetap dipertahankan.
Referensi:
Kasdar. 2018. Arsitektur Benteng dan Rumah Adat Sulawesi Utara. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.