Membahas mengenai kebudayaan yang dimiliki Indonesia barangkali tidak akan pernah ada habisnya. Akan selalu ada keunikan yang membuat masyarakat Indonesia semakin mencintai berbagai ragam yang ada di Indonesia. Diantaranya adalah kebudayaan berupa rumah adat milik Nusa Tenggara Timur atau NTT.
Terdapat setidaknya 4 rumah adat NTT yang sampai saat ini masih jadi tempat tinggal tradisional bagi masyarakat setempat. Nah, apa sajakah nama-nama rumah adat NTT tersebut? Berikut penjelasan lengkapnya.
Daftar Isi
Rumah Musalaki
Rumah adat NTT yang patut diketahui pertama ini telah dijadikan sebagai ikon rumah adat bagi wilayah NTT. Mengingat rumah musalaki menunjukkan identitas NTT, tidak heran kalau beberapa bangunan kantor pemerintahan NTT juga mengadopsi bentuk rumah musalaki. Asal mula rumah musalaki sebenarnya adalah milik suku Ende Lio, terbukti dari nama musalaki yang diambil dari bahasa suku tersebut.
‘Mosa’ di sini diartikan sebagai ketua dan ‘laki’ diartikan sebagai adat. Sehingga, bila digabungkan menjadi rumah ketua adat. Secara fungsi, rumah adat musalaki memang sesuai dengan namanya, yaitu digunakan untuk tempat tinggal para ketua adat. Namun, rumah adat ini juga kerap dijadikan sebagai tempat melaksanakan berbagai upacara adat dan musyawarah dengan masyarakat suku Ende Lio.
Dari segi bentuk, rumah adat NTT ini mempunyai bentuk persegi, berupa rumah panggung dengan atap menjulang tinggi mirip dengan layar perahu. Atap yang menjulang tersebut diyakini menyimbolkan kesatuan. Sementara itu, bentuk yang berupa perahu terbalik menyimbolkan kebiasaan nenek moyang mereka sebagai nelayan.
Secara arsitektur, rumah musalaki dibagi ke dalam dua struktur yaitu struktur bagian bawah dan struktur bagian atas. Struktur bagian bawah terbagi menjadi dua yaitu struktur pondasi dan struktur lantai. Struktur pondasi di rumah musalaki menggunakan batu lonjong yang dipasang secara vertikal. Sistem pondasi ini disebut dengan leke lewu yang berfungsi untuk menghindari keretakan bila terjadi bencana tak terduga.
Kemudian, dalam hal struktur maga atau struktur lantai terbagi menjadi 2 bagian yaitu tenda teo (teras gantung) dan koja ndawa (ruang dalam). Kedua struktur lantai itu berbeda dalam hal tingkat ketinggiannya. Namun, dari segi bahan sama-sama dari papan kayu yang disusun secara sejajar.
Berlanjut ke struktur bagian atas yang mana juga terdiri dari dua struktur yaitu struktur atas lantai dan struktur atap. Dalam bahasa Ende Lio, struktur lantai atas disebut dengan wisu yang terdiri dari 4 buah.
Wisu tersebut ditopang oleh balok kayu atas (isi ine wawo) dan balok kayu bawah (isi mbasi). Sedangkan, pada struktur atapnya terdiri dari kuda-kuda (jara), kayu palang yang menghubungkan tiang mangu dan tiang wisu.
Sao Ata Mosa Lakitana
Rumah adat NTT berikutnya mempunyai nama yang cukup unik yaitu sao ata mosa lakitana. Nama dari rumah adat NTT ini sering kali disamakan dengan rumah musalaki dikarenakan kata-katanya mempunyai kemiripan yaitu pada kata mosa dan laki dalam lakitana.
Padahal dari asal mula dan bentuknya pun jauh berbeda. Sao ata mosa lakitana berasal dari Timor dengan bentuk bulat telur tanpa adanya tiang. Kemudian, dalam hal model rumah adat ini dibedakan menjadi tiga macam sesuai dengan bentuk atapnya.
Pertama, model atap joglo yang menunjukkan khas milik suku Sumba. Kedua, model atap kerucut bulat yang menunjukkan khas milik suku Timor. Ketiga, bentuk atap yang berupa perahu terbalik yang menunjukkan ciri khas suku Rote dan suku Sabu. Dalam rumah adat sao ata mosa lakitana, terdapat tempat yang disucikan untuk arwah nenek moyang mereka. Di tempat tersebut juga diberikan sesaji dalam kurun waktu tertentu.
Sao Ria Tenda Bewa Moni
Tak kalah unik dari sao ata mosa lakitana, rumah adat NTT selanjutnya ini juga mempunyai nama sama uniknya yaitu sao ria tenda bewa moni. Rumah adat tersebut masih dapat ditemukan di wilayah desa Koanara, Kelimutu, NTT.
Selain namanya, sao ria tenda bewa moni juga punya keunikan dari segi bentuk atapnya yang hampir menyelimuti seluruh bagian rumah. Bahan yang digunakan untuk pembuatan atap tersebut adalah ilalang yang dikeringkan.
Terdapat 3 jenis sao ria tenda bewa moni yaitu rumah baku, lumbung padi, dan rumah tinggal. Rumah baku difungsikan untuk menyimpan tulang belulang para leluhur.
Lalu, lumbung padi tentunya difungsikan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian terutama padi. Terakhir, untuk rumah tinggal juga sesuai namanya digunakan untuk tempat tinggal, ditandai dengan adanya kepala kerbau di bagian depan pintu rumah.
Mbaru Niang
Salah satu rumah adat NTT lainnya yang masih terjaga nilai khasnya, bahkan masih bisa ditemukan di wilayah NTT adalah mbaru niang. Tepatnya, mbaru niang bisa ditemukan di kampung adat Wae Rebo yang ada di Flores, NTT. Kampung ini memang cukup terpencil dan berada di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.117 mdpl.
Meskipun cukup terpencil, tetapi kampung Wae Rebo ini sebenarnya berbatasan dengan Taman Nasional Komodo. Bentuk atap dari mbaru niang juga sangat unik berupa kerucut yang menjulang tinggi hingga menjulur ke tanah. Atap itu terbuat dari lontar yang ditutup dengan ijuk, sehingga masih sangat terasa nilai tradisionalnya.
Atap yang berbentuk kerucut pada rumah adat NTT ini ternyata mempunyai nilai filosofisnya tersendiri. Bentuk kerucut melambangkan simbol perlindungan serta simbol persatuan antar masyarakat Wae Rebo. Kemudian, dari segi lantai yang berbentuk membundar melambangkan harmonisasi serta keadilan dalam keluarga dan masyarakat Wae Rebo.
Lantai mbaru niang sendiri ternyata jumlahnya mencapai lima lantai atau lima ruangan berbeda dengan fungsi yang berbeda pula. Di lantai pertama, terdapat ruang lutur yang berfungsi sebagai tempat berkumpul para keluarga. Kemudian, di Lantai kedua terdapat loteng atau lobo yang mempunyai fungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan dan perkakas sehari-hari.
Berikutnya, di lantai ketiga, terdapat ruang lentar yang mempunyai fungsi sebagai tempat menyimpan benih-benih tanaman. Lantai keempat diisi dengan ruangan lempa rae yang berguna untuk menyimpan stok makanan. Untuk lantai yang kelima, difungsikan sebagai tempat menaruh sesaji bagi leluhur yang mana disebut dengan hekang kode.
Bahan yang dipakai untuk membangun mbaru niang juga masih sangat sederhana. Umumnya berasal dari kayu worok. Dalam proses pembangunannya juga menggunakan cara yang masih tradisional tanpa menggunakan paku sedikit pun dan hanya mengandalkan sistem ikat tali rotan. Untuk satu rumah mbaru niang, biasanya akan dihuni sejumlah 6-8 anggota keluarga.
Sebelum abad 18, rumah mbaru niang telah dihuni oleh warga Wae Rebo dan diturunkan dari generasi ke generasi. Jumlah rumah mbaru niang di kampung Wae Rebo sampai sekarang hanya berupa 7 rumah.
Jumlah tersebut ditetapkan karena sebagai penghormatan kepada 7 arah gunung yang ada di sekitar kampung Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo percaya kalau gunung-gunung tersebut adalah pelindung kampung mereka.
Ketujuh rumah mbaru niang itu dibangun dengan mengelilingi altar yang disebut dengan compang. Compang digunakan oleh masyarakat Wae Rebo sebagai tempat menyembah Tuhan serta roh leluhur.
Dikarenakan eksistensi dari mbaru niang yang hingga kini tetap lestari, pada tahun 2012, rumah adat mbaru niang mendapatkan penghargaan dari UNESCO Asia-Pasifik kategori konservasi warisan budaya. Selain itu, juga pernah menjadi kandidat penghargaan Aga Khan kategori arsitektur di tahun 2013.
Pemahaman Akhir
Terdapat empat rumah adat di NTT yang masih menjadi tempat tinggal tradisional bagi masyarakat setempat, yaitu Rumah Musalaki, Sao Ata Mosa Lakitana, Sao Ria Tenda Bewa Moni, dan Mbaru Niang.
Rumah Musalaki, yang merupakan ikon rumah adat NTT, berasal dari suku Ende Lio. Rumah ini memiliki bentuk persegi dengan atap menjulang tinggi mirip layar perahu. Struktur bangunannya terbagi menjadi bagian bawah dan bagian atas, dengan pondasi yang menggunakan batu lonjong dan lantai yang terbuat dari papan kayu yang disusun sejajar.
Sao Ata Mosa Lakitana, meskipun sering disamakan dengan Rumah Musalaki, sebenarnya memiliki asal mula dan bentuk yang berbeda. Rumah ini berasal dari Timor dengan bentuk bulat telur tanpa tiang. Terdapat tiga macam model atap yang menggambarkan kekhasan suku Sumba, suku Timor, suku Rote, dan suku Sabu.
Sao Ria Tenda Bewa Moni juga memiliki bentuk atap yang unik, hampir menyelimuti seluruh bagian rumah, dan terbuat dari ilalang kering. Rumah ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu rumah baku untuk menyimpan tulang belulang leluhur, lumbung padi untuk menyimpan hasil pertanian, dan rumah tinggal dengan tanda kepala kerbau di depan pintu.
Mbaru Niang, rumah adat yang terletak di kampung adat Wae Rebo di Flores, NTT, memiliki bentuk atap kerucut yang tinggi. Atap ini terbuat dari lontar yang ditutup dengan ijuk. Rumah ini memiliki lima lantai dengan fungsi yang berbeda, seperti tempat berkumpul keluarga, menyimpan makanan, dan menyimpan stok padi. Mbaru Niang dibangun dengan bahan sederhana seperti kayu worok dan menggunakan sistem ikat tali rotan.
Keunikan rumah adat NTT ini mencerminkan keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia. Rumah adat tersebut merupakan warisan berharga yang perlu dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa. Melalui pemahaman dan apresiasi terhadap rumah adat, masyarakat Indonesia semakin mencintai dan menjaga keberagaman budaya yang ada di NTT serta memperkaya identitas budaya bangsa secara keseluruhan.
Itulah 4 macam rumah adat NTT yang hingga saat ini masih tetap ada dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Dengan segala keunikan yang dimiliki oleh rumah-rumah adat tersebut, tak heran jika salah satu dari rumah adat NTT telah mendapatkan penghargaan Internasional.
Referensi: