Daftar Isi
Dalam ilmu hubungan internasional, pemikiran-pemikiran dari barat menjadi pendekatan yang mendominasi. Ini kemudian memunculkan pertanyaan mengapa tidak ada pendekatan dengan pemikiran non-barat. Nah, di bawah ini akan dijelaskan mengapa sebenarnya belum ada pendekatan non-barat dalam hubungan internasional serta potensi apa yang dapat dikembangkan jika menggunakan pendekatan non-barat. Yuk simak!
Ketidakhadiran Pendekatan Non-Barat dalam Ilmu Hubungan Internasional
Dalam penjelasan Acharya dan Buzan (2010), ada konsentrasi baru yang muncul dalam perkembangan hubungan internasional kontemporer. Begitu juga dengan perbedaan pandangan mengenai sejarah hubungan internasional non-barat dan barat.
Hal ini bertujuan untuk mengenalkan pemikiran-pemikiran non-barat dan menjadi tantangan agar pemikiran-pemikiran non-barat dapat mengimbangi dominasi dari pendekatan hubungan internasional barat. Berikut ini beberapa penyebab ketidakhadiran pendekatan ilmu hubungan internasional dari beberapa negara-negara yang berada di Asia.
1. Cina
Di Tiongkok, perkembangan teori hubungan internasional telah mengalami tiga tahap yang diuraikan oleh Yaqinq Qin (dalam Acharya & Buzan, 2010). Pertama, tahap pra-teori adalah saat di mana para akademisi Tiongkok belum menyadari kebutuhan akan paradigma teori yang sistematis dan belum mengintegrasikan pemikiran mereka.
Kedua, tahap pembelajaran adalah ketika para akademisi Tiongkok mulai menyadari pentingnya paradigma teori dalam studi hubungan internasional. Ini terlihat dari peningkatan jumlah akademisi yang terlibat dalam analisis kritis. Mereka mulai mengembangkan kesadaran akan pentingnya paradigma teori ini.
Ketiga, tahap penciptaan teori adalah saat para akademisi Tiongkok mulai menciptakan teori sendiri, meskipun masih banyak dipengaruhi oleh pemikiran barat.
Namun, ada tiga faktor yang membuat teori hubungan internasional tidak tumbuh subur di Tiongkok. Pertama, selama 2000 tahun, Tiongkok memiliki sistem pusat pemerintahan di mana negara-negara lain dianggap kurang relevan, sehingga kesadaran akan konsep internasionalisme kurang berkembang.
Kedua, institusi-institusi pembelajaran hubungan internasional di Tiongkok sangat dipengaruhi oleh teori-teori barat. Mereka mengadopsi pemikiran barat dalam studi hubungan internasional.
Ketiga, konfusianisme, yang merupakan bagian integral dari pemikiran Tiongkok, memiliki perbedaan mendasar dengan pemikiran barat. Konsep Tianxia dalam konfusianisme mengakui keberadaan hierarki dalam hubungan, tetapi itu tidak berarti bahwa hubungan tersebut harus negatif. Ini seperti hubungan antara ayah dan anak, di mana hierarki tetap ada, tetapi hubungan bisa tetap harmonis.
2. Jepang
Takashi Inoguchi (dalam Acharya & Buzan, 2010) memaparkan bahwa terdapat pemikiran hubungan internasional “flying geece pattern” dari Jepang. Pemikiran ini berawal dari keinginan Jepang untuk menjadi yang terdepan sebagai pemimpin Asia. Dikatakan flying geece pattern karena memiliki kesamaan pola terbang angsa yang membentuk “V”.
Inoguchi (dalam Acharya & Buzan, 2010) membagi tiga kurun perkembangan pemikiran hubungan internasional di Jepang. Pertama, pada 1868-2005 merupakan masa perkembangan ilmu hubungan internasional di Jepang.
Kedua, sebelum tahun 1945, Jepang memfokuskan terhadap tiga penulis yaitu Nishida Kitaro, Tabata Shigejiro, dan Hirano Yoshitaro. Ketiga, dalam ilmu hubungan internasional di Jepang, pengamatan empiris adalah dasar penelitian sebagai pendekatan, orientasi, dan kontribusi dari ketiga tokoh tersebut.
Selain itu, Inoguichi (dalam Acharya & Buzan, 2010) juga mengungkapkan enam hal terkait perkembangan hubungan internasional di Jepang. Pertama, metodologi yang dikembangkan oleh para akademisi Jepang berbeda dengan metodologi barat. Kedua, tidak adanya penjajahan negara-negara barat di Jepang membuat para akademisi hubungan internasional Jepang tidak tersentuh oleh pemikiran barat.
Ketiga, metodologi yang biasa digunakan oleh para akademisi hubungan internasional Jepang lebih mengarah pada historis dan budaya. Keempat, Jepang memiliki perdaban yang tinggi mencakup agama, tulisan, senjata, dan institusi. Kelima, terdapat sentralisasi di Jepang dimana sistem lain cenderung ditinggalkan. Keenam, transportasi dan pasar sebagai fokus dari negara Jepang.
3. Korea
Menurut Chaesung Chun (dalam Acharya & Buzan, 2010), ketidakhadiran pemikiran-pemikiran hubungan internasional di Korea dikarenakan terdapat nilai moral yang kuat dalam diri para sarjana Korea sehingga memiliki pemikirannya sendiri dalam melakukan suatu penelitian.
Namun, para sarjana ini memiliki kesulitan dalam beradaptasi pada sistem internasional modern karena mereka tidak menguasai dengan baik terkait konsep ilmu sosial positif. Chun (dalam Acharya & Buzan, 2010) juga menjabarkan faktor apa saja yang mendorong perubahan politik di Korea.
Faktor pertama ditunjukkan dengan pengaruh dari Amerika Serikat sangat kuat sebelumnya, namun pada akhirnya mulai berkurang. Kedua, minimnya keinginan sarjana Korea dalam pengembangan teori hubungan internasional. Ketiga, Asosiasi akademik, institusi penelitian, dan kelompok pelajar semakin bertambah dan turut aktif dalam menyebarkan kritikan berbentuk tulisan dengan tema-tema hubungan internasional.
4. India
Di India, Navnita Chada Behera (dalam Acharya & Buzan, 2010) membagi dua bagian terkait perkembangan ilmu hubungan internasional, yaitu India klasik dan India kontemporer. Terdapat perbedaan fokus hubungan internasional antara India dan Barat, di mana tradisi sejarah dan filsafat politik di India termasuk kedalam silabus studi ilmu hubungan internasional.
Sedangkan, di Barat tidak memfokuskan terhadap budaya karena dianggap tidak rasional. Pada perkembangan ilmu hubungan internasional sendiri, di India banyak dipengaruhi oleh saran kritis dari gerakan sosial, kelompok pelajar, dan masyarakat adat.
Ashis Nandy adalah salah satu tokoh yang membuat konsep modernitas. Konsep ini mengandung sifat dasar sistem negara modern dan dampak psikologis yang kemudian menjadi salah satu fokus baru dari ilmu hubungan internasional di India.
Karakter perpolitikan di India telah mulai dibentuk pada 1947 oleh Nehru yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh India. Salah satunya adalah Kautilya yang pemikirannya dituangkan pada kitab Arthashastra, didalamnya terdapat ajaran-ajaran kepemimpinan yang berdasarkan kepentingan rakyat.
Pemikiran ini bahkan muncul sebelum adanya teori realis dalam ilmu hubungan internasional. Selain itu, perilaku pemimpin-pemimpin India seperti Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore, serta sejarah India memiliki potensi yang bagus untuk dikembangkan ke dalam ilmu hubungan internasional (Acharya & Buzan, 2010).
Pada akhirnya, selain faktor-faktor penyebab yang telah dijabarkan di atas, mengapa tidak ada teori hubungan internasional non-barat? Menurut Kamila Pieczara (2010), hal ini disebabkan oleh kompetisi yang berakhir pada semua ahli hubungan internasional di seluruh dunia bergabung dalam sistem yang sama. Peraturan-peraturan sistem yang ada dibuat oleh akademisi barat. Selain itu, para akademisi non barat menerima adanya dominasi dari teori hubungan internasional barat.
Kegagalan Teori Barat atau “Westfailure” dalam Teori Hubungan Internasional
Terdapat tiga kegagalan dalam disiplin ilmu hubungan internasional yang telah hadir sejak tahun 1919. Pertama, kesalahan dalam penggunaan disiplin ilmu ini atau yang bisa disebut dengan malfunction. Malfunction yang dimaksud disini yaitu performa disiplin ilmu yang kurang memuaskan dalam melihat urusan-urusan dunia yang sebenarnya, kebanyakan hanya menyangkut urusan perang dan perdamaian.
Kedua, ilmu hubungan internasional tidak dapat memprediksikan akhir dari perang dingin yang bisa dipahami sebagai refleksi self-blaming (menyalahkan diri sendiri) dengan tidak menawarkan penjelasan intelektual di akhir transisi 1980an. Ketiga, kegagalan terakhir yaitu terdapat pada objek dari hubungan internasional itu sendiri, yaitu sistem intenasional dalam masyarakat yang secara khas selalu disebutkan dalam banyak artikel.
Pada akhirnya, “westfailure” dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah civility gap yang membawa perbedaan antara budaya barat dan non-barat. Civility yang dimaksud disini mengenai pendidikan dan pengalaman duniawi dalam kebudayaan.
Kedua, conceptual gap (perbedaan konsep) yang membawa teori hubungan internasional yang ada sekarang hanya melihat pada konsep negara berdaulat atas dasar perjanjian westphalia, oleh sebab itu tidak mencakup secara menyeluruh tipe komunitas politik lainnya.
Ketiga, functional gap (perbedaan fungsional) dimana secara teori, hubungan internasional tidak cukup menyebutkan mengenai dunia non barat. Padahal sudah seharusnya sebuah disiplin ilmu hubungan internasional juga harus fokus terhadap negara-negara non barat.
Ketiga westfailure ini membuat ilmu hubungan internasional gagal untuk memberikan penyebab-penyebab yang lebih jelas dalam fenomena yang terjadi di luar negara non barat.
Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi ketidakhadiran pemikiran-pemikiran ilmu hubungan internasional non-barat, seperti budaya adat yang sangat lekat di masyarakat kawasan Asia. Selain itu, kondisi lokal Asia dianggap berbeda dengan cara menghasilkan pemikiran-pemikiran hubungan internasional padahal kondisi lokal tersebut sebenarnya dapat dikembangkan untuk teori hubungan internasional.
Kemudian, adanya dominasi teori hubungan internasional barat juga tidak dapat dilepaskan karena telah berlangsung lama. Teori hubungan internasional barat juga telah mengembangkan teori hubungan internasional atas dasar universal tanpa konteks yang tidak rasional seperti kebudayaan.
Adanya westfailure juga semakin membuat teori hubungan internasional barat semakin mendominasi. Tetapi sebenarnya, teori hubungan internasional non-barat sangat berpotensi untuk dikembangkan seperti Cina dengan konsep konfusianisme, Jepang dengan pemikiran flying geece pattern, dan India dengan kitab Arthashastra-nya.
Jadi, seperti itulah berbagai penjelasan mengenai alasan pendekatan non-barat tidak hadir dalam ilmu hubungan internasional. Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut dan semoga penjelasan di atas cukup menjawab pertanyaan terkait absennya pendekatan non-barat tersebut.
Sumber:
Buzan, B. (2009). Non-Western international relations theory. A. Acharya (Ed.). Taylor & Francis.