Daftar Isi
Gender dan seksualitas kerap muncul dalam diskusi yang umum terjadi di masyarakat. Hanya saja, tidak banyak masyarakat yang mampu membedakan kedua istilah tersebut. Bahkan, kebanyakan masih menganggap jika seks dan gender adalah dua hal yang sama. Nah, untuk menghindari kesalahpahaman terhadap istilah gender dan seksualitas ini, mari simak penjelasannya berikut.
Pengertian Seks, Gender dan Orientasi Seksual
Pembahasan mengenai seksualitas dan gender sebenarnya juga tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan orientasi seksual. Supaya lebih mudah membedakan ketiga istilah ini, di bawah ini sudah ada penjelasan lengkapnya.
Seks
Seks merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, yang sering disebut sebagai jenis kelamin. Perbedaan ini dapat diamati melalui apa yang disebut sebagai “karakteristik primer,” yaitu organ reproduksi yang dimiliki oleh individu, seperti penis dan vagina. Selain itu, perbedaan jenis kelamin juga mencakup “karakteristik sekunder” seperti massa otot, bentuk tubuh, tinggi badan, dan banyak faktor lainnya.
Pentingnya jenis kelamin adalah bahwa ini adalah sesuatu yang ditentukan secara alami; artinya, seseorang tidak memiliki kendali atas jenis kelamin mereka saat lahir. Namun, dalam kenyataannya, ada kasus-kasus di mana seseorang bisa memiliki karakteristik fisik yang khas dari laki-laki dan perempuan sekaligus. Orang-orang yang memiliki karakteristik seperti ini, termasuk organ reproduksi dari kedua jenis kelamin, disebut sebagai individu interseksual.
Gender
Selanjutnya, gender mengacu pada sifat-sifat, serta posisi sosial yang dilekatkan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Jika jenis kelamin dibagi menjadi laki-laki dan perempuan, gender dibagi menjadi maskulin dan feminin.
Berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat alamiah, gender merupakan hasil konstruksi sosial. Tiap masyarakat memiliki standarnya masing-masing terkait hal-hal yang dianggap maskulin dan feminin. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia mungkin menganggap daster sebagai busana yang feminin.
Namun bagi masyarakat Afrika dan Timur Tengah, busana yang dianggap feminin tersebut justru dipakai oleh laki-laki dan dapat dianggap sebagai simbol maskulinitas. Pemahaman tentang gender akan berpengaruh terhadap identitas gender seseorang, atau sejauh mana seorang individu menganggap dirinya maskulin atau feminin.
Orientasi Seksual
Istilah lain yang sering kali dikaitkan dengan seks dan gender adalah orientasi seksual. Orientasi seksual mengacu pada ketertarikan, baik secara emosional maupun seksual, terhadap jenis kelamin tertentu.
Orientasi seksual umumnya dibagi ke dalam empat kategori berbeda yaitu heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (ketertarikan terhadap sesama jenis), biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis), dan aseksual (tidak tertarik terhadap lawan jenis maupun sesama jenis).
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di kalangan akademisi terkait faktor yang menentukan orientasi seksual seseorang. Perlu diingat bahwa orientasi seksual berbeda dengan hubungan seksual.
Seorang laki-laki homoseksual belum tentu pernah berhubungan seks dengan laki-laki lain. Sama halnya dengan perempuan aseksual yang memilih untuk menikah dan berhubungan seks, terlepas dari tidak adanya ketertarikan seksual.
Meluruskan Kesalahpahaman: Seks, Gender, dan Orientasi Seksual
Terdapat dua kesalahpahaman yang umumnya beredar di masyarakat terkait gender dan seksualitas. Kesalahpahaman pertama yaitu menganggap seks, gender, dan orientasi seksual sebagai sesuatu yang sejalan atau konsisten. Contohnya adalah pandangan bahwa seorang laki-laki (seks) pasti memiliki sifat-sifat yang maskulin (gender), dan menyukai lawan jenis (orientasi seksual).
Faktanya, seks, gender, dan orientasi seksual merupakan tiga hal yang berbeda. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak mungkin bagi seorang individu untuk memiliki jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang kadang dianggap tidak konsisten.
Sebagai contoh, seorang laki-laki bisa saja bersikap feminin dan tetap tertarik terhadap lawan jenisnya. Sebaliknya, seorang laki-laki juga bisa bersikap maskulin dan tertarik terhadap sesama laki-laki.
Kesalahpahaman kedua adalah menganggap orientasi seksual sebagai sesuatu yang murni disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktanya, hingga saat ini para akademisi masih terus melakukan penelitian terkait faktor utama yang menentukan orientasi seksual seseorang.
Michel Foucault, misalnya, percaya bahwa orientasi seksual merupakan hasil bentukan masyarakat, karena istilah heteroseksual, homoseksual, dan sebagainya baru muncul dalam satu abad terakhir ini. Menurut Foucault, orientasi seksual lahir dari istilah-istilah teknis yang diciptakan oleh peneliti, dan diadopsi oleh masyarakat luas.
Di sisi lain, Simon LeVay menganggap orientasi seksual memiliki kaitan yang erat dengan struktur otak seorang individu. LeVay menyatakan bahwa individu homoseksual memiliki ukuran hipotalamus (bagian otak yang mengatur hormon) yang lebih besar dibandingkan individu heteroseksual.
Gender dan Seksualitas dari Sudut Pandang Sosiologi
Sosiologi mengkaji gender dan seksualitas melalui tiga pendekatan yang berbeda, yaitu struktural fungsional, konflik, dan interaksionisme simbolik. Ketiganya akan dijelaskan dalam uraian berikut.
Pendekatan Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsional melihat gender sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi pendekatan ini, baik laki-laki maupun perempuan memiliki perannya masing-masing dalam menjaga kestabilan dan keharmonisan masyarakat.
Sebagai contoh, laki-laki berperan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak. Sama halnya dengan gender, seksualitas juga dianggap sebagai sesuatu yang bermanfaat oleh pendekatan struktural fungsional, karena tanpa hubungan seks, masyarakat tidak dapat bereproduksi.
Hal inilah yang menyebabkan banyaknya norma yang mengatur kehidupan seksual seseorang. Contohnya seperti larangan berselingkuh. Norma tersebut lahir karena perselingkuhan dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak, serta mengancam keberlangsungan keluarga tersebut.
Pendekatan Konflik
Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional, pendekatan konflik justru menganggap kehadiran gender sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak individu, dan menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya di rumah akan memiliki posisi tawar yang relatif lebih rendah daripada suaminya yang berkerja di kantor.
Mengapa? Karena saat bekerja, suami mempelajari berbagai hal baru, memperluas jaringan sosialnya, serta mendapatkan sumber daya ekonomi berupa gaji. Sebaliknya, perempuan yang tinggal dirumah akan terjebak dengan tugas-tugas yang sama setiap harinya.
Terkait dengan seksualitas, pendekatan konflik memandang seksualitas sebagai sumber ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat patriarkis, atau yang didominasi oleh laki-laki, cenderung memandang laki-laki sebagai jenis kelamin yang lebih superior dibandingkan perempuan.
Pandangan yang disebut sebagai seksisme ini tentu saja berbahaya, karena sebagai dampaknya, akses perempuan terhadap lapangan kerja, serta hak politik perempuan dapat sewaktu-waktu dicabut dengan alasan “perempuan tidak kompeten”. Menggunakan pendekatan konflik dalam mengkaji gender dan seksualitas berarti memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Pendekatan Interaksionisme Simbolik
Pendekatan interaksionisme simbolik melihat gender sebagai panduan interaksi antar individu dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, seorang laki-laki akan membatasi kontak fisik ketika berinteraksi dengan perempuan, serta menghindari penggunaan kata-kata yang dianggap tidak pantas.
Sebaliknya, perempuan cenderung mempertahankan kontak mata, lebih banyak tersenyum, dan aktif menggunakan bahasa tubuh ketika berinteraksi dengan laki-laki. Ketika membahas tentang seksualitas, pendekatan ini melihat seksualitas sebagai sesuatu yang cair dan terus berubah.
Pandangan tentang keperawanan misalnya, berubah sejak ditemukannya alat kontrasepsi. Masyarakat tradisional mengharuskan perempuan menjaga keperawanannya agar sang suami yakin, bahwa anak yang dikandung oleh perempuan tersebut kelak merupakan buah cinta dari hubungan mereka berdua.
Penemuan alat kontrasepsi memisahkan makna “reproduksi” dan “hubungan seksual,” sehingga dalam beberapa masyarakat, keperawanan tidak lagi dipandang sebagai indikator utama yang menentukan posisi perempuan di depan laki-laki.
Kesimpulan
Sosiolog harus paham bahwa gender, seks, dan orientasi seksual merupakan tiga hal yang berbeda. Selain itu, perlu diingat bahwa berbeda dengan seks yang bersifat alamiah dan gender yang dikonstruksikan secara sosial, hingga saat ini, akademisi masih belum memiliki jawaban terkait faktor utama yang membentuk orientasi seksual seseorang.
Sosiologi memiliki tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji gender dan seksualitas. Pendekatan pertama, struktural fungsional, melihat gender dan seksualitas sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi keberlangsungan masyarakat.
Pendekatan konflik, di sisi lain, melihat gender dan seksualitas sebagai sumber ketimpangan yang merugikan perempuan. Sedangkan pendekatan terakhir, interaksionisme simbolik, memandang gender dan seksualitas sebagai sesuatu yang cair dan terus berubah tergantung konteks ruang dan waktu.
Itulah penjabaran mengenai gender, seksualitas, dan orientasi seksual. Memahami perbedaan ketiganya dirasa sangat penting supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan istilah tersebut.
Sumber:
Little, W., Vyain, S., Scaramuzzo, G., Cody-Rydzewski, S., Griffiths, H., Strayer, E., & Keirns, N. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.
Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.