Daftar Isi
Membahas mengenai kemiskinan sebagai kajian dari ilmu sosiologi barangkali tidak ada habisnya. Hal ini karena kajian tentang kemiskinan masih relevan dengan kondisi masyarakat global.
Fakta mengenai kemiskinan yang selalu hadir di masyarakat, memicu banyak pertanyaan mulai dari apa itu kemiskinan hingga mengapa kemiskinan itu bisa terjadi di masyarakat. Bagi kamu yang penasaran dengan topik ini, mari simak penjelasannya berikut.
Teori Kemiskinan
Pada tahun 2013, data dari World Bank menunjukkan bahwa sekitar 10,68% dari total penduduk dunia hidup dalam kondisi kemiskinan. Di sisi lain, pada tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyatakan bahwa sekitar 10,7% atau sekitar 27,76 juta orang dari keseluruhan penduduk Indonesia termasuk dalam kategori masyarakat miskin.
Baik World Bank maupun BPS menggunakan alat ukur yang disebut garis kemiskinan untuk menentukan status kemiskinan ini. Dalam definisi sederhana, garis kemiskinan adalah tingkat pendapatan minimum yang dianggap cukup dalam suatu negara.
Garis kemiskinan versi World Bank yang berlaku secara internasional menyatakan bahwa seseorang dianggap miskin jika pendapatan mereka kurang dari US$1.90 per hari, yang setara dengan sekitar Rp25.321 per hari.
Sementara menurut BPS, seseorang dianggap miskin jika pendapatan mereka kurang dari Rp11.680 per hari. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran minimum yang diperlukan oleh individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk makanan, perumahan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan.
Memahami kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti yang digunakan oleh World Bank dan BPS, adalah contoh dari teori kemiskinan absolut. Dalam perspektif ini, seseorang dianggap miskin jika pendapatannya rata-rata berada di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan.
Selain pendekatan absolut, kemiskinan juga dapat diinterpretasikan sebagai fenomena yang relatif, sesuai dengan teori kemiskinan relatif. Pendekatan ini mengatakan bahwa seseorang dianggap miskin jika pendapatannya berada di bawah standar hidup rata-rata yang ditetapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, bahkan jika seseorang memiliki pendapatan di atas garis kemiskinan, ia masih dapat dianggap miskin jika tidak dapat mengejar gaya hidup yang umumnya diterima dalam masyarakat.
Pendekatan Blame the Poor VS Pendekatan Blame the Society
Secara garis besar, terdapat dua pendekatan berbeda yang dapat digunakan untuk menjelaskan asal-muasal kemiskinan, yaitu pendekatan blame the poor dan pendekatan blame the society.
Blame the Poor
Pendekatan pertama, blame the poor, menjelaskan bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas kemiskinan seseorang adalah orang itu sendiri. Pendekatan ini melihat bahwa mereka yang miskin adalah orang-orang yang malas dan tidak mau berusaha.
Dalam pendekatan ini, terdapat istilah “budaya kemiskinan,” yang mengacu pada nilai-nilai budaya kelas bawah, yang menghancurkan ambisi orang-orang tersebut untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Sebagai contoh, seorang anak yang terlahir di keluarga miskin cenderung hidup dalam lingkungan yang miskin pula.
Pergaulan anak hanya terbatas pada orang yang sama-sama miskin, mulai dari orangtua, tetangga, hingga teman sebaya. Dampaknya, anak akan terbiasa hidup dalam kemiskinan, dan relatif pasrah terhadap kondisinya tersebut. Hal ini kemudian direproduksi ke generasi-generasi selanjutnya, dan menciptakan rantai kemiskinan yang tidak berujung.
Blame the Society
Pendekatan kedua, blame the society, menjelaskan bahwa pihak yang paling bertanggung jawab atas kemiskinan seseorang adalah masyarakat. Pendekatan ini melihat kemiskinan sebagai produk dari distribusi kekayaan yang timpang, serta minimnya lapangan pekerjaan.
Bagi pendekatan ini, usaha yang dilakukan oleh orang-orang miskin tidak akan berarti, karena pada praktiknya, sistem yang berlaku di masyarakat hanya menguntungkan mereka yang mampu. Biaya pendidikan yang mahal, harga obat yang tidak masuk di akal, hingga terbatasnya lapangan pekerjaan merupakan alasan utama mengapa orang menjadi miskin, bukan semata-mata karena mereka malas.
Berbeda dari pendekatan blame the poor yang menganggap solusi dari kemiskinan adalah mendidik orang-orang miskin agar tidak malas, pendekatan blame the system menganggap solusi kemiskinan terletak pada perbaikan infrastruktur, serta fasilitas kesejahteraan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan yang dapat diakses oleh semua orang.
Eksklusi Sosial
Eksklusi sosial merupakan konsep yang relatif baru dalam kajian ilmu sosial. United Nations (UN) mendefinisikan eksklusi sosial sebagai sebuah keadaan ketika seorang individu tidak dapat berpartisipasi di ranah ekonomi, sosial, politik, dan budaya; serta proses-proses yang mendorong, dan mempertahankan keadaan tersebut.
Ketidakmampuan seorang individu untuk berpartisipasi dalam ranah-ranah di atas umumnya disebabkan oleh dua hal, yaitu keterbatasan akses, serta tidak dihormatinya hak-hak individu yang bersangkutan. Inti dari konsep eksklusi sosial adalah ketidakmampuan individu untuk berpartisipasi.
Sebagai contoh, seorang pengangguran dapat dikatakan tereksklusi secara sosial, karena ia tidak dapat berpartisipasi di ranah ekonomi (berkerja) layaknya masyarakat pada umumnya. Contoh lain, kelompok minoritas yang kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum juga merupakan korban eksklusi, karena mereka tidak dapat berpartisipasi di ranah politik layaknya warga negara pada umumnya.
Jika dikaitkan dengan kemiskinan, eksklusi sosial dapat berperan sebagai penyebab, sekaligus akibat dari kemiskinan. Amartya Sen menjelaskan hal ini melalui konsep relational deprivation.
Menurut Sen, eksklusi sosial yang terjadi di satu salah satu bidang memiliki hubungan dengan eksklusi sosial yang terjadi di bidang lainnya. Sebagai contoh, eksklusi di bidang ekonomi, berupa pembatasan akses ke lapangan kerja, membuat individu masuk ke dalam kategori miskin.
Kondisi individu yang miskin membuat keluarga dan kerabatnya menjauh. Akibatnya, individu tidak lagi dilibatkan dalam aktivitas kekeluargaan, atau dengan kata lain, tereksklusi secara sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa eksklusi sosial merupakan konsep yang cukup rumit, karena selain melibatkan berbagai aspek (multidimensional), eksklusi sosial di satu bidang juga dapat menyebabkan eksklusi di bidang lainnya (relational).
Kesimpulan
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang hadir di seluruh masyarakat. Kemiskinan dapat dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (absolut), atau ketidakmampuan seseorang untuk hidup sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh masyarakat (relatif).
Dalam perkembangannya, ilmu sosial memiliki dua pandangan berbeda terkait penyebab kemiskinan. Pandangan pertama, blame the poor, memposisikan orang miskin sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kemiskinan dirinya. Sedangkan pandangan kedua, blame the society memposisikan masyarakat sebagai pihak yang bertanggungjawab atas lahirnya orang-orang miskin.
Kemiskinan juga memiliki kaitan dengan konsep eksklusi, atau ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi di ranah sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Eksklusi yang terjadi di satu bidang dapat memancing terjadinya eksklusi di bidang lain. Hal ini menempatkan kemiskinan sebagai akibat, sekaligus faktor penyebab eksklusi sosial.
Jadi, itulah penjabaran mengenai kemiskinan dan eksklusi sosial yang saling berkaitan satu sama lain. Kemiskinan dan ekslusi sosial pada dasarnya menjadi kajian yang tidak ada habisnya dalam ilmu sosiologi. Apalagi keduanya memang menjadi isu yang masih relevan di lingkungan nasional dan global.
Sumber:
Little, W., Vyain, S., Scaramuzzo, G., Cody-Rydzewski, S., Griffiths, H., Strayer, E., & Keirns, N. (2012). Introduction to Sociology. Houston: OpenStax College.
Macionis, J. (2012). Sociology (14th ed.). New York: Pearson.
Ravallion, M. (1992). Poverty Comparison: A Guide to Concepts and Metods. Washington: The World Bank.
Sen, A. (2000). Social Exclusion: Concept, Application, and Scrutiny. Manila: Asian Development Bank.
United Nations. (2016). Leaving No One Behind: The Imperative of Inclusive Development.