Daftar Isi
Arah politik luar negeri dalam suatu negara biasanya memuat berbagai kepentingan luar negeri. Politik luar negeri tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan secara regional maupun internasional. Perkembangan tersebut juga terjadi dari masa ke masa, tidak terkecuali di Indonesia. Nah, dalam penjelasan berikut ini, mari melihat seperti apa hubungan dan politik luar negeri khususnya pada masa presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
Politik Luar Negeri Indonesia
Pada masa pemerintahan Ir. Soekarno, dunia sedang dilanda perang dingin yang memengaruhi dinamika politik internasional, dan Indonesia tidak luput dari dampaknya. Saat itu, dua blok utama yang mendominasi politik internasional adalah Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dan Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Situasi ini membuat Indonesia dihadapkan pada tantangan sulit dalam menentukan arah politik luar negerinya.
Pada bulan September 1948, Bung Hatta mengemukakan konsep “bebas aktif” dalam pidatonya. Dalam konsep ini, “bebas” berarti Indonesia tidak akan tunduk pada pengaruh pihak manapun dan akan menentukan jalannya sendiri, sementara “aktif” berarti Indonesia akan menjalin hubungan persahabatan dengan semua negara dalam upaya menuju perdamaian dunia.
Konsep politik luar negeri ini kemudian diimplementasikan dalam pembentukan Gerakan Non Blok (GNB). Melalui GNB, Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dengan aliansi apapun, baik Blok Barat maupun Blok Timur. Bagi Indonesia yang baru merdeka, pengakuan dan dukungan internasional sangat penting, terutama dalam menjaga prinsip konstitutif di mana negara-negara lain harus mengakui keberadaan Indonesia sebagai negara merdeka.
Namun, perjalanan politik luar negeri bebas aktif tidak berjalan tanpa hambatan. Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia cenderung mendukung Blok Timur, khususnya Uni Soviet yang menganut ideologi komunis. Soekarno bahkan menetapkan poros Jakarta-Peking-Pyongyang, yang menandakan hubungan erat Indonesia dengan negara-negara Blok Timur.
Selain itu, Soekarno juga membagi dunia menjadi dua kelompok, yaitu Old Established Forces (Oldefos) dan New Established Forces (Nefos). Oldefos mencakup negara-negara Barat yang menganut paham liberal, sementara Nefos mencakup negara-negara baru di Asia dan Afrika. Hal ini mencerminkan sikap anti-Barat dalam politik luar negeri Indonesia pada masa itu.
Amerika Serikat berupaya untuk menjalin aliansi dengan Indonesia sebagai bagian dari strategi mereka, namun upaya tersebut ditolak oleh Soekarno. Hal ini mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara Indonesia dan Amerika Serikat pada masa tersebut.
Hubungan Luar Negeri Indonesia–Cina Pada Masa Soekarno
Pada masa Soekarno, Indonesia terlihat lebih akrab dengan negara-negara Blok Timur dibanding dengan negara-negara Blok Barat. Meskipun begitu, rupaya hubungan Indonesia dengan Cina tidaklah berjalan mulus. Saat itu, Indonesia membuat kebijakan berupa etnis Tionghoa dilarang untuk ikut dalam kegiatan perdagangan.
Hal ini mengakibatkan banyak rakyat etnis Tionghoa yang kembali ke negara Cina. Kemudian, muncul kelompok yang memperparah hubungan kedua negara tersebut, kelompok yang dipimpin oleh militer ini bertujuan untuk lebih mendekatkan Indonesia dengan Uni Soviet.
Dalam menanggapi hal tersebut, pemerintah Cina berupaya untuk mengabaikan isu etnis Cina di Indonesia dan mempererat hubungan kedua negara, semata-mata agar Indonesia tidak lebih dekat dengan Uni Soviet. Hal tersebut kemudian disambut baik oleh Soekarno melalui penghentian atas kampanye mengenai Anti-Cina.
Walaupun isu etnis sempat muncul, namun tidak membuat hubungan Indonesia–Cina menjadi buruk. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh tujuan yang sama antara kedua negara, yaitu memiliki pandangan yang anti-barat.
Seperti yang telah disinggung di atas, terdapat pihak yang tidak senang dengan hubungan antara kedua negara tersebut, yaitu pihak militer. Saat itu, pihak militer khawatir atas berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempengaruhi pemilu tambahan pada 1957, serta membuat Soekarno menjalankan politik luar negeri yang lebih cenderung ke arah kiri (komunis).
Pada akhirnya, terjadi persaingan yang panas antara pihak militer dan PKI. Kemudian, PKI mengeluarkan gagasan untuk membangun Angkatan Kelima yang mencakup buruh dan petani. Gagasan ini mendapat dukungan dari Soekarno, yang kemudian mengirimkan Omar Dhani untuk melakukan perundingan dengan Cina.
Melalui perundingan tersebut, diharapkan Angkatan Kelima akan mendapatkan bantuan seperti senjata ringan. Pada realitanya, Soekarno menggabungkan PKI dengan Angkatan Udara agar terjadi perimbangan kekuatan militer.
Namun hal ini hanya bertahan hingga 30 Sepember 1965 akibat adanya kudeta. Hasil kudeta tersebut yaitu PKI dihapuskan dan Soekarno jatuh. Secara otomatis, militer Indonesia menjadi semakin kuat dan diambil alih oleh Soeharto.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, menarik simpati dan pengakuan dari dunia internasional merupakan fokus dari politik luar negeri Indonesia yang saat itu baru saja merdeka. Hal tersebut dibutuhkan sebagai benteng pertahanan secara konstitutif, terutama di saat lahirnya sebuah negara baru.
Selain itu, Bung Hatta dalam pidatonya mengatakan bahwa arah politik luar negeri Indonesia adalah “bebas aktif”. Hal ini berarti Indonesia bebas menentukan jalannya sendiri tanpa pengaruh pihak manapun dan aktif bersahabat dengan bangsa manapun.
Namun “bebas aktif” yang telah disuarakan tidaklah berjalan mulus karena pada akhirnya Indonesia cenderung lebih dekat dengan negara-negara Blok Timur seperti Uni Soviet dan Cina.
Jadi, begitulah gambaran hubungan luar negeri Indonesia di masa kepemimpinan Soekarno. Dalam masa tersebut, Indonesia yang baru merdeka harus menghadapi pilihan sulit akibat adanya aliansi. Inilah yang membuat Indonesia kemudian harus mengambil sikap politik yang bijak sebagai negara yang baru.
Sumber
Mauna, B. (2011). Hukum Internasional: Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Penerbit Alumni.
Suryadinata, L. (1998). Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Wuryandari, G. (2008). Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Domestik. Jakarta: P2P LIPI, Pustaka Pelajar.