Selepas turunnya Soeharto dari jabatan presiden, B. J Habibie lantas menggantikan kepemimpinan dari Soeharto. Berbagai permasalahan yang ada pada pemerintahan sebelumnya pun menjadi tantangan besar bagi B. J Habibie, termasuk berkaitan dengan hubungan luar negeri Indonesia. Lalu, seperti apa hubungan luar negeri Indonesia di masa B. J Habibie? Mari simak selengkapnya berikut.
Indonesia Krisis Ekonomi
Arah politik luar negeri Indonesia yang sebelumnya lebih mendekati negara-negara Barat ternyata masih berlanjut pada masa pemerintahan Habibie. Hal ini terjadi meskipun Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang serius, dan Habibie juga masih mengandalkan bantuan finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengatasi krisis tersebut.
Untuk memulihkan kondisi ekonomi yang sedang terpuruk, Habibie mengambil langkah penting dengan memisahkan Bank Indonesia (BI) dari Pemerintah. Tujuannya adalah agar Presiden tidak lagi bertanggung jawab atas kebijakan moneter BI, karena kebijakan moneter memiliki implikasi politik yang signifikan.
Pemisahan ini penting agar BI dapat menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS, yang sangat krusial dalam menghadapi krisis ekonomi. Stabilitas mata uang rupiah perlu dijaga agar tidak terjadi penurunan nilai yang drastis terhadap dolar AS. Keputusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa profesionalisme dan objektivitas harus menjadi karakteristik utama dalam kebijakan moneter BI.
Langkah yang diambil oleh Habibie terkait pemisahan BI dari pemerintah dapat dianggap sebagai tindakan yang sangat rasional. Keberadaan BI yang independen dari campur tangan politik pemerintah menghindarkan potensi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang mungkin terjadi jika Gubernur BI masih memiliki kedudukan politik dalam kabinet reformasi pembangunan.
Langkah ini juga sejalan dengan dorongan dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang mendorong agar BI berfungsi sebagai bank sentral yang tidak terpengaruh oleh intervensi politik pemerintah.
Akhirnya, usaha-usaha yang dilakukan oleh Habibie membuahkan hasil yang positif. Nilai tukar rupiah Indonesia, yang sebelumnya mengalami penurunan drastis terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 15.000 per dolar AS pada Juni 1998, berhasil pulih menjadi sekitar Rp 6.700 per dolar AS pada Juni 1999.
Prestasi ini mengukuhkan bahwa Habibie berhasil membawa Indonesia keluar dari masa-masa krisis ekonomi yang parah dan mengembalikan stabilitas ekonomi. Bahkan, Presiden Singapura, Lee Kuan Yew, yang sebelumnya meragukan kemampuan Habibie dalam memimpin Indonesia, akhirnya mengakui bahwa pandangannya terhadap Habibie salah.
Indonesia-Timor Timur
Sebelum pemerintahan Habibie, Indonesia sudah menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan Australia. Selama tahun 1974, antara kedua negara sangat kooperatif terhadap usaha penyatuan Timor Timur ke dalam Indonesia dengan cara yang damai. Namun sayangnya, isu kembali memanas pada peristiwa Balibo tahun 1975.
Saat itu, Indonesia menduduki wilayah Timor Timur dengan agresif. Peristiwa ini mengakibatkan lima wartawan Australia tewas sehingga Indonesia semakin dikritisi oleh Australia. Isu ini mulai memudar saat Menteri Luar Negeri Australia, Anthony Street, mengajak masyarakat internasional untuk tidak lagi fokus terhadap isu tersebut.
Kemudian, pendekatan secara personal juga dilakukan oleh kedua negara yang diwakilkan oleh masing-masing Menteri Luar Negerinya, Ali Alatas (Indonesia) dengan Gareth Evans (Australia). Hal ini berujung baik dengan semakin memudarnya isu mengenai Timor Timur. Namun, isu kembali memanas ketika peristiwa Santa Cruz terjadi pada 1991.
Peristiwa ini berawal ketika terdapat demonstran yang ditembak oleh TNI di pemakaman Santa Cruz. Kasus ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang kemudian mencoreng nama Indonesia. Hal ini mengakibatkan Indonesia ditekan oleh masyarakat internasional, terutama Australia dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1998, Amerika Serikat dalam pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) mengeluarkan kritik terhadap peristiwa Timor Timur yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, pada 1998 dalam Kongres Amerika Serikat menegaskan untuk menunda bantuan pada Indonesia, bantuan tersebut berupa pelatihan pasukan dan peralatan militer.
Oleh sebab itu, pemerintah Habibie harus membuat kebijakan terkait isu pelanggaran HAM di Timor Timur agar bantuan dari Amerika Serikat tetap berjalan. Selain Amerika Serikat, pemerintah Australia juga menekan Indonesia mengenai isu Timor Timur. Pada Desember 1998, Perdana Menteri John Howard mengirim surat pribadi untuk Presiden Habibie. Dalam surat tersebut, Australia siap untuk mendukung kemerdekaan Timor Timur.
Hal ini membuat Habibie marah karena dalam surat tersebut Australia menyatakan ikut terlibat dan mendukung Timor Timur untuk pisah dari Indonesia. Padahal sebelumnya, Australia sangat kooperatif dalam membantu penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Berbagai tekanan tersebut, secara terus menerus mendorong Indonesia harus membuat kebijakan yang dapat memenuhi harapan dari Timor Timor. Akhirnya Indonesia sepakat untuk memberikan referendum atau jajak pendapat kepada Timor Timur. Jajak pendapat ini dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999.
Pada tanggal 4 September 1999, pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan hasil jajak pendapat di mana 78,5% rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia, sedangkan 21,5% lainnya memilih untuk otonomi luas atau status khusus. Akhirnya Timor Timur lepas dari bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesimpulan
Runtuhnya rezim Soeharto, membawa Habibie ke dalam puncak pemerintahan di Indonesia. Kondisi Indonesia yang tidak stabil saat itu menjadi tantangan yang besar bagi Habibie. Perekonomian Indonesia sangat terpuruk bahkan sempat terjadi free fall atau jatuh bebas hingga Rp 15.000 terhadap 1 dolar AS.
Kemudian, Habibie membuat kebijakan untuk memisahkan Bank Indonesia dari pemerintah agar profesionalitas dan objektivitas BI terjaga. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas nilai rupiah terhadap dolar AS. Kebijakan ini juga sejalan dengan keinginan IMF.
Selain krisis ekonomi, isu Timor Timur juga mewarnai pemerintahan Habibie. Bahkan, isu ini bukan sekedar isu politik namun menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia yang banyak dikecam oleh masyarakat internasional. Atas tekanan dari lingkungan internasional, Habibie memberikan jajak pendapat kepada rakyat Timor Timur yang akhirnya membuat Timor Timur lepas dari Indonesia.
Demikian penjelasan mengenai seperti apa hubungan luar negeri Indonesia di masa B. J Habibie. Diharapkan penjabaran di atas bisa memberikan informasi sekilas mengenai seperti apa B. J Habibie dalam menghadapi permasalahan yang ada pada masa kepemimpinannya.
Sumber:
Habibie, B. J. (2006). Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Luhulima, J. Hidupnya Didedikasikan bagi Singapura. Kompas, No. 259, 24 Maret 2015. Hlm. 15, Kol. 1-3.
McDonald, H., Ball, D., Dunn, J., Van Klinken, G., Bourchier, D., Kammen, D., & Tanter, R. (2002). Masters of Terror: Indonesia’s Military and Violence in East Timor in 1993. Maryland: Rowman & Littlefield Publisher.
Suryadinata, L. (1998). Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES.