Presiden keempat Indonesia, Gus Dur atau bernama lengkap Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang dikenal memiliki toleransi yang tinggi terhadap semua agama. Beliau juga dikenal sebagai sosok humoris dan terus terang. Dengan pembawaannya tersebut, tentunya cukup memberikan pengaruh terhadap hubungan luar negeri Indonesia di masa kepemimpinannya. Seperti apa hubungan luar negeri Indonesia di masa Gus Dur? Mari simak penjelasannya di bawah ini.
Arah Politik Luar Negeri Indonesia
Pada masa kepemimpinan Gus Dur, beliau berfokus pada tiga arah politik luar negeri. Pertama, Indonesia bersahabat dengan negara satu dan lainnya. Gus Dur ingin supaya Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan negara mana pun di dunia. Kedua, Indonesia hidup berdampingan baik dengan negara tetangga. Ketiga, Indonesia menjunjung tinggi kebajikan yang sifatnya umum atau universal.
Sama halnya dengan Soekarno, Gus Dur juga memiliki keinginan yang kuat untuk membuat poros kekuatan di kawasan Asia. Untuk mewujudkan hal tersebut, Gus Dur mengutarakan gagasannya untuk membentuk poros (axis) Indonesia-Cina-India. Setelah itu, Gus Dur juga mempelopori poros ekonomi Indonesia, Cina, Jepang, India, dan Singapura.
Tak hanya sampai disitu, Gus Dur juga sempat mencetuskan ide untuk membuat Forum Pasifik Barat. Dalam Forum tersebut terdiri dari Indonesia, Australia, Selandia Baru, Timur Timor, dan Papua Nugini. Kemudian, pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Singapura, Gus Dur juga mengajak Singapura untuk menyetujui pendirian Forum Pasifik Barat.
Namun sayangnya, ajakan tersebut ditolak oleh menteri senior, Lee Kuan Yew. Tentunya hal ini membuat Gus Dur naik darah dan menganggap Singapura merendahkan Melayu. Ambisi Gus Dur untuk membangkitkan Asia rupanya membuat beberapa sekutu kawasan Asia dan negara Barat merasa khawatir.
Akhirnya, Gus Dur meminta bantuan untuk dibentuknys organisasi Dewan Keamanan Nasional melalui Menteri Sekretaris Negara, Bondan Gunawan. Bahkan, setiap pagi Gus Dur meminta untuk diberi laporan mengenai perkembangan keamanan dan politik baik secara regional maupun internasional.
Hal-hal yang telah dilakukan Gus Dur merupakan upaya untuk meningkatkan kekuatan Indonesia dan mengembalikan nama Indonesia yang tercoreng akibat berbagai konflik, krisis ekonomi, dan perpecahan yang terjadi di Indonesia.
Kebijakan Ekonomi dan Perdamaian
Pada masa Gus Dur, perekonomian Indonesia masih berada dalam tahap pemulihan krisis ekonomi. Selain itu juga terdapat konflik internal seperti konflik di Ambon, Aceh, Sampit, Poso, dan Pontianak. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Gus Dur yang baru saja memulai pemerintahannya.
Bahkan bagi pengikut Gus Dur, banyak yang mengatakan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan krisis yang diwariskan oleh rezim orde baru. Oleh karena itu, bidang ekonomi menjadi perhatian yang penting dalam pemerintahan Gus Dur.
Untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, rencana kebijakan Gus Dur yang sangat kontroversial adalah keinginannya untuk membuka kerja sama ekonomi tanpa hubungan diplomatik dengan Israel. Menurutnya hubungan diplomatik masih belum diperlukan.
Sontak saja, hal ini membuat masyarakat Indonesia terutama kalangan islam menentang keras akan rencana kebijakan tersebut. Hal ini menjadi isu agama ketimbang isu kerja sama ekonomi antara kedua negara.
Rencana membuka kerja sama ekonomi dengan Israel yang dikemukakan oleh Gus Dur sangatlah beralasan. Dengan kerja sama ini, diharapkan dapat meningkatkan perekonomian Indonesia yang sedang terpuruk. Selain itu, Indonesia juga dapat meningkatkan bargaining power atau posisi tawar menawar di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan Israel memiliki jaringan ekonomi internasional yang luas, bahkan hampir di seluruh penjuru dunia.
Gus Dur mengatakan aspirasinya terkait kerja sama ekonomi dengan Israel. Hal ini beliau sampaikan kepada Daisaku Ikeda, Presiden Soka Gakkai Internasional. Berdasarkan ungkapan Gus Dur tersebut, beliau menginginkan Indonesia untuk dapat berhubungan dengan negara manapun yang ada di dunia terlepas dari latar belakang negara tersebut, tak terkecuali dengan Israel.
Baginya, Israel bukanlah negara yang tidak mengakui adanya agama seperti Korea Utara, Uni Soviet, Kuba, dan lainnya. Akan tetapi, Israel merupakan negara demokrasi yang menganut agama Yahudi sehingga hal ini tidaklah berlawanan dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Tidak hanya itu, Gus Dur juga memberikan persyaratan untuk rencana kerja sama ekonomi tersebut. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, Gus Dur mensyaratkan agar Indonesia dikutsertakan dalam proses perdamaian antara Israel dengan Palestina. Bahkan Gus Dur dan 16 duta besar negara-negara Timur Tengah sempat menghadiri pertemuan.
Dalam pertemuan tersebut, Gus Dur menyatakan bahwa sebelum negara Palestina mendapatkan kemerdekaan penuh, hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel tidak akan terwujud.
Kemerdekaan Palestina ini berarti negara Palestina berdiri dengan Jerussalem sebagai ibu kota negara. Selain itu, wilayah yang diduduki oleh Israel seperti Dataran Tinggi Golan harus dikembalikan, serta membebaskan para tawanan bangsa Palestina.
Nyatanya, Gus Dur tidak setengah-setengah dalam mewujudkan perdamaian antara Israel dengan Palestina. Beliau telah mendirikan Yayasan Shimon Peres yang bertujuan untuk mencapai dan menciptakan perdamaian di dunia.
Bahkan, Gus Dur telah menjadi pendiri dari yayasan tersebut sebelum menjadi presiden Indonesia. Oleh karena itu, konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina membuat Indonesia ingin ikut serta dalam proses perdamaian konflik.
Pada akhirnya rencana kebijakan Gus Dur untuk membuka kerja sama ekonomi dengan Israel membawa angin segar bagi ekonomi Indonesia. Sebelum kebijakan ini direalisasikan, George Soros yang merupakan investor asing mulai berinvestasi di Indonesia dalam bidang industri seperti membeli saham Astra (industri automotif).
Pada 28 Februari 2000, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger yang merupakan keturunan Yahudi datang ke Jakarta. Tentunya dengan kehadiran Kissinger diharapkan dapat memberikan dampak politik terhadap para pebisnis di Amerika Serikat. Kunjungan tersebut tidak dilewatkan begitu saja oleh Gus Dur, beliau mengangkat Kissinger menjadi penasehat umum kepresidenan.
Namun sayangnya, rencana kerja sama tersebut tidak dapat direalisasikan dan kegiatan yang telah disebutkan di atas tidak menghasilkan apa-apa. Hal ini disebabkan karena Gus Dur dipojokkan oleh berbagai elit politik Indonesia.
Bahkan, pada awal tiga bulan pemerintahannya, Amien Rais yang menganggap bahwa Gus Dur perlu “dijewer” telinganya karena dalam pemerintahannya tidak ada perubahan yang memuaskan. Hingga pada akhirnya Gus Dur lengser dari pemerintahannya yang tidak sampai satu periode, hanya sekitar 9 bulan saja.
Kesimpulan
Arah politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Gus Dur hampir sama dengan Soekarno, yaitu membangkitkan poros kekuatan di kawasan Asia. Selain itu, Gus Dur juga menginginkan Indonesia memiliki jarak yang sama antar negara satu dengan lainnya, berhubungan baik dengan negara-negara tetangga, dan menjunjung kebajikan universal.
Tak hanya itu, dalam bidang ekonomi Gus Dur merencanakan untuk membuka kerja sama ekonomi Indonesia dengan Israel berdasarkan pertimbangan peningkatan ekonomi Indonesia dan perdamaian di Timur Tengah.
Hal tersebut tentunya Gus Dur lakukan untuk mengembalikan nama Indonesia yang tercoreng oleh berbagai konflik, krisis ekonomi, dan perpecahan yang terjadi di Indonesia. Namun, Gus Dur banyak mendapat kritikan oleh elit politik Indonesia yang mengakibatkan beliau harus lengser dari pemerintahan.
Demikianlah sekilas penjelasan tentang bagaimana hubungan luar negeri pada masa Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dapat dikatakan jika Gus Dur memiliki misi yang baik dalam membangun hubungan luar negeri Indonesia. Sayangnya, memang Gus Dur harus menghadapi banyak kritikan sehingga beliau tidak mampu menjabat secara penuh dan harus lengser sebelum satu periode.
Sumber:
Bakhtiar, N. A. (2008). 99 Keistimewaan Gus Dur. Jakarta: Kultura, Gaung Persada Press Group.
Galih, B. (2016). Hubungan Indonesia-Israel, Polemik Menghangat di Awal Pemerintahan Gus Dur.
Ismail, F. (2002). Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Yogyakarta: LESFIYogya.