Ekonomi Media Massa Sebagai Sebuah Industri

Apakah kamu pernah merasa jengkel ketika sedang asyik menonton acara televisi favorit, namun acara tersebut harus terjeda karena tayangan iklan? Hal tersebut tidak dapat dipungkiri sebab iklanlah yang mendukung media untuk dapat bertahan dan menayangkan berbagai macam acara dan berita.

Pada awal kemunculan media massa, media masih dianggap sebagai institusi sosial, atau jika konteksnya Indonesia merupakan salah satu pilar demokrasi. Artinya perusahaan media tidak dianggap sebagai perusahaan yang komersial atau lembaga yang mencari laba.

Karena media dianggap sebagai institusi sosial maka yang dicari perusahaan media saat itu adalah prestise, power, serta pengaruhnya karena banyak dibaca oleh khalayak (audience). Pada saat itu media sangat bergantung pada dana bantuan dan subsidi pemerintah atau partai politik.

Di Indonesia sendiri, pada zaman kolonial, sudah ada dua media dengan sokongan iklan dari dunia usaha yakni pers Belanda dan pers Tionghoa. Tetapi kedua media tersebut tergolong sebagai media yang melanggengkan status quo atau dalam artian mendukung pemerintah kolonial Belanda (Hasan, 2006).

Di lain pihak, kondisi pers nasionalis Indonesia saat itu sangat amat butuh kerja keras dalam proses operasionalnya. Hal ini dikarenakan pers nasionalis kurang mendapat dukungan dari dunia usaha pribumi yang memang jumlahnya sangat sedikit. Selain itu pers nasionalis seringkali dianggap sebagai corong propaganda untuk menyebar perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Pada zaman pemerintah kolonial, pers nasionalis memiliki karakter politis atau yang disebut jurnalisme politik (Dhakidae, 1991). Sehingga media nasionalis sering mengalami tindakan pembredelan dari penguasa. Tradisi jurnalisme politik tersebut berakhir seiring dengan perubahan-perubahan struktural yang terjadi pada institusi media. Perubahan-perubahan struktural tersebut seperti integrasi ke dalam ekonomi global

Berlanjut pasca-kemerdekaan terutama ketika Orde Baru. Saat itu kondisi perekonomian sudah stabil dan industri-industri penggerak perekonomian sudah kembali menghasilkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tentu saja industri tersebut perlu media promosi yang hanya bisa dilakukan melalui perusahaan media, baik itu media massa, radio, maupun televisi.

Untuk itu, Presiden Soeharto melalui pemerintahannya memberlakukan ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), bentuk hukum yang harus dipakai adalah PT atau Perseroan Terbatas di mana laba menjadi motivasi pendirian perusahaan media.

Konsep Ekonomi Media Massa dalam Industri Ekonomi

konglomerat media
Sumber: mmc.tirto.id

Perusahaan media tidak lagi hanya menerima pendapatan dari pelanggan tapi juga dari penerimaan iklan dunia usaha. Perusahaan media dalam perkembangannya memperoleh iklan jauh melebihi penerimaan dari langganan (contoh: langganan koran/majalah).

Media seperti surat kabar dapat memperoleh iklah sejumlah 70-80% dari total income, sedangkan media tanpa sistem berlangganan seperti televisi atau radio menjadikan pemasukan dari iklan sebagai satu-satunya income perusahaan.

Menurut Bakir Hasan (2005) ada tiga hal yang membedakan industri media dengan industri lainnya, (1) dalam industri media, peran iklan sangat dominan, (2) media massa bagi masyarakat (warga negara) merupakan sumber informasi penting, (3) industri media dilindungi oleh undang-undang dasar negara (kebebasan bersuara).

Industri media secara ekonomis juga memiliki ciri yakni (1) produk ganda (dual product); content product dan audience product, (2) pasar ganda (dual market); consumer market dan advertiser market, (3) industri media memiliki misi ganda (dual missions) yakni economic mission dan public mission.

Baca juga: Audit Komunikasi

Pasar Ganda dalam Industri Media Massa

Yang dimaksud dengan produk ganda adalah dalam hal ini industri media (1) menjual produknya kepada masyarakat langsung dan (2) media massa menyediakan ruang kepada produsen untuk memasang iklannya. Contoh untuk pasar media massa yang pertama adalah media cetak.

Manajemen media menjual surat kabar, majalah, dan tabloid. Sedangkan media elektronik menjual program acara hiburan baik itu film, talk show, dan program berita yang langsung disaksikan oleh masyarakat.

Lebih lanjut lagi, contoh untuk pasar yang kedua biasanya bagian pemasaran media massa akan mendatangi dan mengajak produsen untuk melakukan promosi dengan memasang iklan di media tersebut (Crotau dan Hoynest, 2006).

Intinya, pasar ganda dalam industri media di atas contohnya adalah bahwa media memiliki konsumen yang membeli produk jurnalistiknya sedangkan di sisi lain melalui produk jurnalistik itu juga memuat iklan yang turut dipasarkan kepada konsumen media massa.

Mengapa Industri Media memiliki Pasar Ganda?

Pertama, industri media memiliki tujuan ekonomis karena dalam hal operasional perusahaan media pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu orientasi profit adalah sebuah hal yang tidak dapat dihindari. Sedangkan tujuan publiknya adalah memberikan informasi dan berita kepada khalayak yang merupakan tujuan awal terbentuknya sebuah media massa.

Media massa sebagai sebuah konsep dalam industri ekonomi menjadikan praktik bisnis perusahaan media seperti industri lainnya di tengah-tengah pertarungan pasar bebas. Pasar industri media cukup ketat tingkat persaingannya serta dipengaruhi oleh faktor teknologi dan regulasi negara.

Seperti yang kita ketahui bersama, perubahan teknologi yang begitu cepat pada akhirnya menyebabkan persaingan semakin ketat. Saat ini siapapun bisa terjun dalam industri media selama mereka memiliki teknologi dan modal kapital yang mumpuni. Dalam menjaga eksistensi sebuah media massa di pasaran, perusahaan media terus berusaha untuk melakukan ekspansi guna menguasai pasar.

Pastinya kita sudah sedikit paham bukan mengapa ketika kita sedang menonton RCTI, Global TV, MNC TV ataupun yang terbaru I-News TV, selalu muncul logo MNC Group? Nah, itu adalah salah satu cara dari jenis ekspansi. Ekspansi dapat berarti penyampaian informasi kepada konsumen yang telah menghilangkan hambatan kelangkaan alat distribusi.

Strategi Bisnis Media

Menurut Gillian Doyle (2002;57) sampai saat ini ada tiga pilihan strategi bisnis media (ekspansi) yang umumnya digunakan yakni vertikal, horizontal, dan diagonal ekspansi.

Ekspansi vertikal, adalah sebuah langkah yang dilakukan media agar dapat meraih keuntungan dengan melakukan penguatan jaringan dari hulu ke hilir, mulai dari produksi sampai pada tahap konsumsi. Sehingga keuntungan tidak ada yang hilang pada tiap tahapan yang dilakukan.

Selain itu, ekspansi vertikal juga dapat memberikan peluang perusahaan untuk melakukan kontrol terhadap lingkungan operasi mereka dan dapat membantu mereka untuk menjaga akses pasar di tahap hulu sampai hilir.

Contoh yang dilakukan media massa dalam hal ini adalah memproduksi tayangan dokumenter dengan sentuhan kreatif dan hiburan, serta memastikan bahwa acara ini akan diterima baik oleh audiens. Ada proses brainstorm ide, tema, gagasan dan standar produksi yang sangat ketat untuk memastikan keberhasilan produk.

Ekspansi horizontal, adalah langkah media untuk memperbesar keuntungan mereka dengan melakukan ekspansi terhadap unit bisnis yang sama, misal akuisisi, merger, dan kerjasama dengan media lain.

Misalnya radio dengan radio, surat kabar dengan surat kabar, televisi dengan televisi, untuk menggabungkan kekuatan. Strategi ini ditujukan untuk memperluas pangsa pasar dan merasionalisasi sumber daya dan keuntungan skala ekonomi.

Sedangkan ekspansi diagonal adalah ekspansi yang terjadi ketika perusahaan melakukan diversifikasi ke bidang bisnis baru. Sebagai contoh, merger antara perusahaan penyedia layanan internet dengan perusahaan televisi.

Merger yang dilakukan dapat menghasilkan keuntungan serta efisiensi. Kedua jenis layanan audio-visual dan jaringan internet dapat didistribusikan bersama-sama di seluruh tempat yang sama. Saat ini kamu sering menemukan berbagai layanan penyedia internet yang digabungkan dengan TV kabel, bukan?

Mayoritas perusahaan media berskala besar di Indonesia melakukan strategi ekspansi ini. Salah satu contoh yang kita ketahui ialah MNC Group. MNC Group sendiri mempunyai 4 kanal televisi free-to-air, salah satu jumlah terbanyak yang dimiliki oleh grup media – juga 20 jaringan televisi lokal, dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan mereka, Sindo Radio, beserta media cetak dan media online mereka (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012).

Implikasi Ekonomi Media terhadap Media Massa

iklan televisi
Sumber: muvi.com

Ekspansi bisnis perusahaan media yang melibatkan komponen bisnis terutama dari investasi yang padat modal pada akhirnya tetap menuntut supaya dapat balik modal dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Akibatnya, para pengelola media akan mengabaikan pendekatan dengan tingkat risiko yang lebih tinggi dalam hal kemampuan menarik jumlah penonton dan pengiklan (Kunu, 2014).

Sederhananya, para pemilik modal ini tentu tidak akan membiarkan media yang mereka kuasai menjadi corong informasi yang mengancam kepentingan ekonomi mereka. Media tersebut akan meminggirkan setiap oposisi yang mengancam kepentingan ekonomi mereka.

Berdasarkan penjelasan tersebut, media massa mengandalkan pendapatannya pada pasar konsumen dan pasar iklan, yang menyebabkannya bergantung pada konsumen selaku pembeli produk dan produsen selaku pemasang iklan.

Dari hal tersebut dapat ketahui bahwa semakin tinggi ketergantungan iklan sebagai sumber pendapatan berpengaruh pula terhadap semakin rendahnya kebebasan media massa dalam menulis konten berita (Sucahya, 2013).

Kamu bisa melihat contoh sederhana dalam stasiun televisi komersial. Alih-alih menjadikan media sebagai corong yang mendidik, industri media membuatnya sebagai hiburan masyarakat. Media massa menjadi sarana untuk meracuni masyarakat agar mau mengonsumsi barang-barang yang ditawarkan melalui iklan.

Program-program acara yang ditayangkan hanyalah program yang banyak diminati masyarakat, yang sayangnya terkadang hanya hiburan tak mendidik. Tentu, semakin banyak penonton akan semakin tinggi rating, semakin tinggi rating akan semakin banyak iklan, semakin banyak iklan akan semakin banyak keuntungan. Pada akhirnya lingkaran setan tak berujung inilah yang menggerakkan industri media.

Baca juga: Perkembangan Teknologi Komunikasi

Perkembangan Teknologi dan Pengaruhnya dalam Industri Media Massa

perkembangan internet
Sumber: Myriam Jessier on Unsplash

Pasca Revolusi Industri di Inggris mendorong berbagai macam penemuan-penemuan teknologi yang membantu kehidupan manusia. Perkembangan awal industri modern ini pada akhirnya memengaruhi pola komunikasi masyarakat karena terciptanya media massa.

Pada awal kemunculannya, media massa diawali dalam bentuk surat kabar yang ditulis lalu kemudian dicetak setelah teknologi percetakan berkembang. Di masa ini, media massa atau industri pers merupakan satu-satunya penjaga gerbang informasi yang memonopoli akses ke masyarakat luas.

Hal di atas adalah sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri dan kita semua pasti mengamini bahwasanya teknologi komunikasi berkembang sangat pesat dari waktu ke waktu. Kemunculan surat kabar sebagai salah satu media informasi tertua di masyarakat mengalami kemunduran setelah hadirnya radio, film dan televisi. Saat ini, siapa sih yang benar-benar membaca surat kabar secara konsisten?

Pada kemunculannya, radio maupun televisi merupakan satu-satunya akses bagi para pengiklan dan pemangku kepentingan untuk menyuarakan kepentingannya. Monopoli akses terhadap media massa merupakan jualan utama industri ini. Tetapi, kondisi stagnan tersebut berubah setelah munculnya teknologi baru yakni internet.

Kemunculan Internet

Kemunculan internet semakin memengaruhi pola perkembangan media massa. Internet merupakan ruang yang membuat teknologi mampu mentransmisikan informasi dengan sangat cepat. Selain itu, internet juga menciptakan dunia baru dalam realitas kehidupan manusia yakni sebuah realitas materialistis yang tercipta dalam dunia maya (Bungin, 2006:137).

Konvergensi Media

Teknologi mampu menghadirkan perubahan bentuk media informasi dari media konvensional, seperti surat kabar, majalah, radio, film, dan televisi menjadi media yang serba digital, atau biasa disebut konvergensi media (Gemiharto, 2015). Konvergensi teknologi ini memungkinkan media untuk memproduksi dan mendistribusikan konten media yang lebih beragam sehingga hal tersebut mengubah struktur dan model bisnis media.

Konvergensi media secara struktural menurut Rulli Nasrullah (2014) bisa berarti integrasi atau penggabungan dari tiga aspek, yaitu telekomunikasi, data komunikasi, dan komunikasi massa dalam satu medium. Sedangkan dalam tataran praktis, konvergensi media bisa terjadi melalui beberapa level.

Pertama, level struktural, ialah kombinasi transmisi data maupun perangkat antara telepon dan komputer; Kedua, level transportasi seperti web TV yang menggunakan kabel atau satelit; Ketiga, level manajemen seperti perusahaan telepon yang juga memanfaatkan jaringan telepon untuk TV berlangganan; Keempat, level pelayanan (services): penyatuan layanan informasi dan komunikasi di internet; Kelima, level tipe data: menyatukan data, teks, suara, maupun gambar.

Konvergensi media ini menciptakan sistem media yang mampu menjangkau jarak-jarak yang jauh serta dipindahkan karena kemampuannya untuk tidak terikat dengan ruang dan waktu (mobile). Hal ini jelas merupakan ancaman bagi media lama (media cetak), meskipun media baru ini tidak benar-benar menghilangkan bentuk media lama.

Konvergensi media memberikan peluang bagi media yang sebelumnya tidak dapat menjangkau suatu daerah karena keterbatasan akses. Dengan mengubah bentuk surat kabar cetak ke bentuk elektronik, media tersebut dapat menjangkau daerah-daerah yang tidak bisa dijangkaunya. Tidak hanya itu, kemampuan media digital dapat memampatkan informasi dalam bentuk besar menjadi informasi dalam bentuk kecil, sehingga dapat didistribusikan lewat jaringan media digital.

Selain mengubah lingkungan industri media, kemajuan teknologi media dan komunikasi ini juga menjadikan akses ruang yang lebih luas bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam media melalui internet dan media sosial.

Penyebaran informasi melalui media sosial sangat luar biasa sehingga kemudian dirujuk oleh media mainstream. Salah satunya fenomena perkembangan blogger atau jurnalisme warga (citizen journalism) yang menjadi pemicu berkurangnya audiens media cetak karena dirasa tidak efisien.

Dampak dari penyebaran informasi yang sangat luar biasa ini menjadikan akses informasi  sudah tidak lagi didominasi oleh industri media. Dulu, aktor-aktor politik bergantung pada koran dan televisi untuk menjangkau publik. Kini, mayoritas figur publik dapat menebar citra lewat akun Twitter mereka sendiri. Di saat yang sama, industri kini dihidangkan dengan pilihan yang sangat luas untuk menjajakan brand mereka di internet dan media sosial.

Baca juga: Mengenal Jurnalisme Online

Ekonomi Media: Sebuah Ironi

ekonomi media
Sumber: Austin Distel on Unsplash

Di bawah tekanan persaingan, media pada akhirnya lebih senang menggenjot produksi. Perusahaan media memperebutkan pengiklan yang semakin langka karena pelaku industri saat ini mampu untuk langsung mempromosikan produknya di internet. Pada akhirnya, industri media hanya bisa mendorong kuantitas dengan berfokus pada serangkaian algoritma digital mengenai “optimalisasi” klik dan logika viral dibandingkan meningkatkan kualitas produknya.

Tulisan-tulisan di media massa terutama media online, saat ini tidak lagi bertujuan untuk menyajikan berita terkini, namun untuk memenangkan algoritma mesin pencari. Belum lagi penyematan judul-judul sensasional yang memancing atensi pembaca. Terkadang judul-judul tersebut lebih sering mengeksploitasi kelompok minoritas dan mencederai etika media.

Reportase mendalam dan berkualitas, yang sangat dibutuhkan publik, menjadi salah satu korban utama dari perubahan ini. Buat apa mempertaruhkan waktu dan tenaga yang semakin terbatas untuk membuat liputan investigatif yang mendalam, jika artikel tentang kehamilan Lucinta Luna yang disadur dari akun Instagram Lambe Turah lebih pasti menguntungkan?

Sejauh ini, strategi kuantitas dalam memproduksi konten berhasil menyambung nyawa industri media. Namun di saat yang sama, makna profesi jurnalisme semakin terkikis. Obsesi kuantitas ini bisa jadi malah melunturkan kekuatan jurnalisme sebagai “otoritas informasi.”

Kemajuan teknologi terutama internet telah membebaskan pasar informasi membuat industri media tidak bisa lagi memonopoli informasi. Industri media pada akhirnya hanyalah ladang untuk meraup keuntungan semata, tidak jauh berbeda dengan lini usaha lainnya.

Baca juga: Mengenal Teori Komunikasi Massa

Pemahaman Akhir

Pada awal kemunculan media massa, perusahaan media dianggap sebagai institusi sosial yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan memiliki pengaruh politik yang kuat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan kebutuhan akan pendanaan, perusahaan media berubah menjadi perusahaan komersial yang mengandalkan pendapatan dari iklan.

Di Indonesia, pers nasionalis pada masa kolonial menghadapi kendala dalam mendapatkan dukungan finansial karena minimnya dukungan dari dunia usaha pribumi. Selain itu, pers nasionalis juga sering dianggap sebagai corong propaganda oleh pemerintah kolonial, sehingga mengalami pembredelan.

Setelah kemerdekaan, terutama pada masa Orde Baru, perusahaan media bergantung pada iklan sebagai sumber pendapatan utama. Presiden Soeharto melalui pemerintahannya memberlakukan ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang mendorong perusahaan media menjadi perusahaan berorientasi laba.

Pasar media massa terdiri dari dua aspek, yaitu pasar konsumen yang membeli produk media dan pasar iklan yang memasang iklan di media. Perusahaan media mengandalkan pendapatan dari penjualan produk media serta pendapatan dari iklan untuk bertahan dan menghasilkan keuntungan. Hal ini membuat perusahaan media tergantung pada kebutuhan pengiklan dan dapat mempengaruhi independensi media.

Perkembangan teknologi, terutama internet, telah mengubah lanskap industri media massa. Internet memungkinkan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam media melalui platform media sosial. Konvergensi media juga terjadi, di mana teknologi menggabungkan berbagai bentuk media menjadi satu dalam bentuk digital.

Pengaruh teknologi dan konvergensi media ini memengaruhi struktur dan model bisnis media. Media tradisional, seperti surat kabar, menghadapi tantangan dengan munculnya media digital. Penyebaran informasi melalui media sosial juga telah mengubah cara akses informasi dan memungkinkan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam produksi media.

Namun, di tengah perkembangan teknologi dan persaingan pasar yang ketat, industri media sering mengabaikan kualitas konten demi meningkatkan jumlah penonton dan pendapatan. Banyak media massa yang lebih fokus pada klik dan algoritma viral daripada menyajikan konten berkualitas. Hal ini dapat mengancam integritas jurnalisme dan mengubah makna profesi jurnalis.

Secara keseluruhan, industri media massa telah mengalami transformasi yang signifikan dari institusi sosial menjadi industri komersial. Perubahan teknologi dan persaingan pasar telah memengaruhi model bisnis media dan memunculkan tantangan baru. Penting bagi masyarakat untuk menjadi konsumen yang kritis terhadap konten media dan melihat informasi dari berbagai sumber untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

Demikianlah pembahasan mengenai ekonomi media massa sebagai sebuah industri. Semoga penjelasan di atas dapat bermanfaat, ya.


Referensi :

Hasan, Bakir. 2006. “Ekonomi Media: Perlukah?” dalam Jurnal Komunikasi. Vol VII. 2. Mediator.

Cretau, David dan Hoynes William. 2006. The Business of Media: Corporate Media and The Public Interest. London: Pine Forge Press.

Doyle, Gillian. 2002. Understanding Media Economics. London: Sage Publications.

Nugroho, Y, Putri, DA, Laksmi,S. 2012. Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tata kelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Jakarta: CIPG dan HIVOS.

Sucahya, Media, 2013, “Ruang Publik dan Ekonomi Politik Media” dalam Jurnal Komunikasi, Volume II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya. Serang.

Kunu, Arifuddin, 2014, “Matinya Media (?)”,https://www.remotivi.or.id/kupas/64/matinya-media (Diakses pada 23 Juli 2020).

Dhakidae, Daniel. 1991. The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. Disertasi Doktoral, Amerika Serikat: Cornell University.

Gemiharto, Ilham. 2015. “Teknologi 4G-LT dan Tantangan Konvergensi Media di Indonesia”. Dalam Jurnal Kajian Komunikasi. Vol III, No 2.

Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber: Cybermedia. Cet I. Jakarta: Kencana.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *