7 Cerpen Kehidupan Sehari-hari tentang Pelajar

Satu titik yang pernah kita lewati ialah menjadi seorang pelajar. Pergi bersekolah, berkumpul bersama teman-teman, dan mengambil pelajaran hidup di masa remaja. Makanya  cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar cukup digemari oleh kebanyakan orang. Apakah kamu salah satunya?

Membaca cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar bisa menjadi cara kita untuk mengenang masa tersebut yang tak akan terulang kembali. Kamu juga pengen kan kembali ke masa itu? Coba nih baca cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar yang bisa menggali ingatan tentang masa sekolah.

Pukul Sebelas Di Ruang Kelas

Pukul Sebelas Di Ruang Kelas
Sumber: Kohji Asakawa dari Pixabay

Cuaca siang yang terik ini membuat suasana kelas sangat penat. Apalagi dengan AC yang freon nya sudah habis menambah suhu ruangan panas. Sementara pelajaran selanjutnya adalah Fisika. Bukankah otak akan semakin meledak?

Baca juga: Cerpen Tentang Sekolah

Aku yang duduk di paling depan pun merasakan malas belajar juga. Bagaimana tidak, seharusnya saat kondisi seperti ini adalah pergi keluar, membeli es serut, sambil mencari angin tanpa memikirkan pelajaran. Namun, hal itu cuma jadi angan karena Bu Witri sudah memasuki kelas. Terpaksa, kondisi kelas yang tidak kondusif harus tetap dijalani dengan belajar Fisika. 

“Selamat siang anak-anak, kita melanjutkan materi tentang Hukum Pascal yaa,” Bu Witri memulai pelajaran seperti biasa.

Sepuluh menit pertama masih baik-baik saja, tapi menit berikutnya mulai muncul bibit-bibit kegaduhan. Hasan dan Ridwan yang duduk dua bangku di belakangku mulai berbincang sambil mengibas-ngibaskan bukunya. Lalu satu persatu murid lain mulai bolak-balik WC dan kelas. Hal tersebut ternyata disadari oleh Bu Witri.

“Kalian ini nggak siap belajar, ya?”

Sontak semua orang di kelas pun diam. Tiara dan Ria yang tadinya mau izin ke WC pun tidak jadi keluar kelas. 

“Materi kita masih banyak, Ibu ngajar bukan buat kepentingan ibu. Tapi buat kalian,” 

“Tapi kita lagi nggak fokus belajar, Bu. AC nya mati panas banget.” Hasan yang ceplas ceplos berani menimpali omongan Bu Witri. 

“Oke kalo gitu, Ibu nggak akan ngajar kalian. Ternyata kalian memang nggak butuh pelajaran Ibu dan malah mementingkan AC” terlihat jelas wajah Bu Witri yang memerah dan menahan tangis.

Ia pun membereskan buku-buku di mejanya dan bergegas keluar ruangan kelas. Tanpa menoleh ke belakang lagi meninggalkan aku dan teman-temanku yang kebingungan dan merasa bersalah.

“Putri, gimana dong?” Hasan sangat merasa bersalah dan meminta pendapatku. 

“Hmm.. Yaudah habis pulang sekolah kita semua minta maaf aja. Sekarang biarin Bu Witri tenang dulu”

Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku dan teman-teman sekelas pun menuju ruangan guru. Bu Witri pun masih berada di mejanya. Kami dengan tulus meminta maaf karena bukan kemauan kami membuat Bu Witri marah. Bu Witri pun meminta maaf juga karena tersulut emosi. 

Tragedi Handphone Baru

Kelas 9 SMP Internasional digegerkan dengan kehilangan handphone Yasmin. Handphone tersebut merupakan handphone model terbaru yang dibelikan orangtuanya di Singapura. Dengan cemas, Yasmin menyuruh teman-teman sekelasnya untuk membuka tas mereka. 

Baca juga: Cerpen Tentang Pendidikan

“Pasti ada yang iseng kan? Coba buka tas kalian dong!” paksa Yasmin.

Satu persatu Yasmin melihat tas-tas temen sekelasnya, namun tidak membuahkan hasil. Handphone-nya masih belum ditemukan.

“Tuhkan, orang nggak ada yang ngambil handphone kamu Yasmin! Lagian kita juga punya kali” Nicole merasa tidak diterima kalau ia pun dituduh oleh Yasmin. 

“Sorry guys, tapi aku curiga ke Fitri. Dia kan HP nya masih jadul. Mungkin nggak sih dia yang ngambil?” seolah belum terima handphone-nya hilang, ia menuduh Fitri yang merupakan murid beasiswa di sekolah internasional tersebut. 

“Nggak tau deh, coba tanya aja.” Nicole menjawab seperti acuh tak acuh lalu pergi meninggalkan Yasmin. 

Yasmin pun menemui Fitri yang sedang asik membaca buku di mejanya. Yasmin yakin bahwa handphone-nya diambil Fitri. Betapa kaget Fitri ketika dituduh seperti itu. 

“Untuk apa aku ngambil punya orang, Yasmin? Yang ada bikin aku kena peringatan dari sekolah dan malah dikeluarkan,” bantah Fitri

“Udah ngaku aja deh!”

Tiba-tiba Miss Wirna memasuki kelas. Di tangannya tergenggam handphone berwarna hitam yang mengkilat, yang tidak lain tidak bukan adalah milik Yasmin.

“Yasmin, ini handphone kamu ya? Tadi ketinggalan di ruang guru pas kamu nganterin tugas,”

Sontak Yasmin menciut karena malu. Ia pun langsung mengambil handphone dari tangan Miss Wirna dan meminta maaf kepada teman-temannya, secara khusus kepada Fitri yang sudah ia tuduh. 

Dilema Rani

Dilema Rani
Sumber: Jess Foami dari Pixabay

Rani bukan anak SMA biasa. Sejak pertama kali menginjakan kaki di SMAN Satu, dia tahu harus berbuat apa. Ia paham harus menjadi yang terbaik agar ia tetap bisa bersekolah di SMA terfavorit di kota itu, Kalau tidak, beasiswanya akan dicabut. Akhirnya ia hanya fokus belajar tanpa memedulikan apapun, termasuk pertemanan. 

‘Rani si Ambis’ ‘Rani si Kutu Buku’, ia selalu mendengar julukan tersebut selama dua semester. Ia pun tak memikirkan omongan orang lain karena sedari dulu ia selalu cuek terhadap sekitar. Tapi, hal itu mulai berubah ketika ia naik kelas XI. 

Ia memasuki kelas baru yang orang-orangnya berbeda dengan kelas X. Saat pertama masuk kelas, seperti biasa Rani duduk di bangku paling depan. Namun, tak ada yang memintanya untuk duduk bersama. Sampai ketika bel masuk sudah berbunyi, munculah seorang murid perempuan dengan rambut sebahu itul menghampiri meja Rani.

“Masih kosong kan? Aku duduk di sini ya..” 

Belum sempat Rani menjawab, perempuan berambut sebahu itu langsung duduk. Rani pun hanya mengangguk tipis. Setidaknya ia tidak akan duduk sendirian selama kelas XI ini. 

“Aku Tia,” Perempuan itu memperkenalkan diri. “Eh bentar, kayaknya aku tau, kamu Rani ya? Kamu yang meraih juara umum kelas X kan?” Tia mencecar Rani dengan pertanyaan tambahan.

“Hmm iyaa” jawab Rani pelan ia tidak mau terkesan sombong di hari pertamanya masuk kelas XI.

“Wahh wahh” Tia bertepuk takjub “Kamu tau siapa aku?” 

“Nggak” jawab Rani polos.

“Haduu.. Belajar mulu ya Bun,” Tia bercanda “Aku Tia kapten tim basket,”

Begitulah mereka saling memperkenalkan diri. Tia yang ceriwis dan ramah berbanding terbalik dengan Rani yang cuek dan pemalu. Mereka pun saling melengkapi, ketika Rani tidak tau shooting ke ring saat pelajaran olahraga diajari oleh Tia. Begitu juga sebaliknya, ketika Tia kebingungan soal Fisika, Rani mencoba mengajarinya. 

Bersama Tia, Rani jadi cukup mudah bergaul. Seringkali dia diajak berkumpul di kantin atau sekadar mengobrol di depan kelas bersama teman-teman yang lain. Namun, saat pengumuman rapot Semester 1, sesuatu terjadi mengguncang Rini. Nilai-nilainya tidak sesempurna waktu kelas X. Tidak ada angka sembilan di rapotnya dan hanya ada angka 7 dan 8. 

Rani pun mulai berjarak dengan Tia. Ia menyangka bahwa nilai-nilainya turun karena terlalu banyak main dan bercanda. Tia yang menyadari dijauhi oleh Rani pun kebingungan. Sewaktu pulang bagi rapot, Tia pun menemui Rani.

“Kamu kenapa sih Rani?” tak ada jawaban dari Rani dan malah terus berjalan. Sementara Tia terus mengikutinya dari belakang.

 “Salah aku nilai kamu turun?” lanjut Tia dan Rani menghentingkan langkahnya.

Rani membalikan badan dengan mata berkaca-kaca “Aku cuma takut beasiswaku dicabut, Tia. Satu semester ini aku sepertinya terlalu bermain-main.” tubuh Rani berguncang, terlihat air mata menetes di pipinya.

Tia menghambur memeluk Rani “Kita usahakan hal itu nggak terjadi. Kamu masih juara satu di kelas kita Rani. Kehidupan SMA nggak selalu tentang belajar aja, aku cuma nggak mau kamu punya pengalaman yang membosankan”  penjelasan Tia membuat tangisan Rani pecah.

Di lubuk hatinya paling dalam, Rani juga ingin menjadi seperti anak SMA kebanyakan. Hanya saja ia memang kesulitan karena harus mempertahankan nilainya. 

Lantunan XI IPA 3

Acara classmeeting memang sangat ditunggu-tunggu. Setelah menghadapi ujian semester, kegiatan yang tepat adalah mengadakan beragam lomba antarkelas untuk mengisi kekosongan sebelum bagi rapot. Lomba yang paling banyak peminatnya adalah lomba band. Banyak kelas yang sudah mempersiapkan lomba tersebut, tak terkecuali kelas XI IPA 3. 

Yuda, Dana, Teguh, dan Novri sangat bersemangat dengan lomba tersebut. Mereka sudah berlatih bahkan sebelum ujian semester berlangsung. Mereka juga yakin bisa memenangkan hadiah dan membuat kelas XI IPA 3 bangga.

Hingga hari H tiba, mereka berempat menaiki panggung dan menyanyikan lagu Ceria-Jrocks. Tanpa diduga-duga, banyak penonton yang menyukai pertunjukan mereka bahkan sampai maju dan menari di bawah panggung. Mereka pun sangat puas dan tersenyum bahagia. Namun hal itu memudar ketika pengumuman pemenang. 

Tak disangka, juara 1 lomba band dimenangkan oleh XI IPA 1. Sontak mereka tidak terima, karena menurut penonton lainnya pun penampilan XI IPA 1 terkesan biasa saja. Apalagi ditambah desas-desus bahwa salah satu juri band adalah Pak Cipto yang merupakan wali kelas XI IPA 1. Sejak saat itu lah hubungan XI IPA 1 dan XI IPA 3 mulai memanas.

“Dapet piala dari wali kelas sendiri aja bangga, yaa,” ujar Dana ketika rombongan XI IPA 1 melewati lorong kelas.

“Iya nih padahal penonton tau mana yang bagus dan yang nggak,” Novri menimpali.

“Kan ada juri, ya suportif aja sih,” Jaka ketua band XI IPA 1 membela diri.

Adu mulut tersebut terus terjadi beberapa menit. Bahkan mereka hampir mau saling serang satu sama lain. Untungnya Bu Tari selaku guru BK melihat mereka dan langsung membubarkan gerombolan tersebut. Bu Tari pun menyuruh mereka untuk saling bermaafan. Dengan terpaksa, Yuda dkk meminta maaf terlebih dahulu daripada memperpanjang masalah. 

Di pojok kelas XI IPA 3, Yuda dkk betekad untuk memenangkan kompetisi band di semester depan. Terlebih lagi jika saingannya adalah grup dari XI IPA 1. 

Baca juga: Cerpen Remaja

Cinta di Tengah Ekstrakurikuler

I was enchanted to meet you…

Lagu itu terus aku senandungkan berkali-kali, berhari-hari. Karena 99,9% aku merasakan hal yang sama dengan Taylor Swift yang menyanyikan lagu tersebut. Kurasa, 99,9% orang di dunia juga pernah merasakan hal yang sama;  menyukai orang sampai terpesona setiap kali ketemu, tapi sayangnya tidak bisa dimiliki.

Hal itu terjadi ketika aku memasuki sebuah ekstrakurikuler atau ekskul jurnalistik. Di sanalah aku mengenal Kak Nando. Ia salah satu anggota senior jurnalistik dalam bidang fotografi. Pertama kali bertemu dengannya, aku sudah tau bahwa aku jatuh cinta kepadanya. 

Lalu, kedua kalinya aku memang merasakan perasaan itu. Di tambah saat masa orientasi anggota baru, ia terus mengajariku memotret menggunakan DSLR dengan sabar. 

“Objeknya di tengah ya Dira, habis gitu baru jepret,” Ia mengarahkan kameraku yang tadinya condong ke kiri. 

Sejak saat itu, selalu ada percakapan hangat lewat WhatsApp. Aku membagikan duniaku, dan dia pula tak ragu membagikan dunianya kepadaku. Namun, entah mengapa aku selalu menghindar dan kikuk jika berhadapan dengannya secara langsung. Sebisa mungkin aku akan bersikap biasa saja jika harus seruangan dengannya, apalagi ketika harus kumpul ekskul. 

Hanya saja, memang selalu tak ada yang jelas dengannya. Sementara aku pun tak berani mengungkapkan perasaanku sesungguhnya. Kak Nando tak tahu bahwa seringkali aku diam-diam melewati kelasnya dan menengok ke bangkunya. Ia tak tahu bahwa alasanku bertahan di ekskul jurnalistik tersebut adalah dirinya. Ia tak tahu juga bahwa keberadaannya sudah cukup bagiku.

Hingga akhirnya aku mengetahui bahwa ia kembali bersama mantan kekasihnya, yang selalu ia ceritakan. 

Tugas dan Kenangan

Tugas dan kenangan
Sumber: 周 康 dari Pexels

Tugas TIK ini cukup membingungkan. Pasalnya Pak Haris selaku guru TIK menyuruh kami membuat video berdurasi 10 menit yang menggambarkan kehidupan kelas. Tugas tersebut menurutnya bisa menjadi cerita kehidupan sehari-hari tentang pelajar di tahun 2022. 

Dari 40 orang murid, Pak Haris membaginya empat kelompok. Aku dinobatkan menjadi ketua kelompok satu yang beranggotakan Via, Guntur, Dini, Kiara, Joni, Ridwan, Bakti, Winda, dan Tasya. Padahal, keterampilan mengedit video sangat mengkhawatirkan.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami membagi tugas dan menemukan tema video. Untungnya ada Guntur dan Winda yang bisa mengedit video, maka tugas tersebut kuserahkan pada mereka. Teman-teman yang lain membantuku untuk membuat konsep, menyiapkan properti, dan pengambilan video nantinya. 

“Kata Pak Haris dikumpulin dua minggu lagi. Tapi, kita mulai besok ya bikin videonya. Biar cepet beres.” ajakanku tersebut disepakati oleh yang lain. 

Kami pun memulai shooting video di hari berikutnya. Tema yang diambil untuk tugas tersebut berkonsep ‘A day in my life’ dan yang menjadi talent-nya adalah Kiara. Kami pun merekam kegiatan Kiara dimulai dari bangun tidur, pergi ke sekolah, belajar, sampai kembali lagi ke rumah. 

Setelah selesai merekam video, tahap berikutnya adalah editing. Namun ternyata, file rekaman ketika Kiara berada di sekolah terhapus. 

“Kamu sih nggak hati-hati Joni. file-nya ilang kan,” ujar Via menyalahkan kecerobohan Joni.

“Ya ku kira udah dimasukin ke laptop, Via. Makanya kuapus, memori kameranya penuh tau,” Joni membela diri.

“Udah-udah. Mau nggak mau kita rekam ulang,” Aku menengahi perdebatan mereka. Untungnya, waktu pengumpulan masih lama. Akhirnya kami pun merekam ulang bagian yang hilang tersebut. 

Dua minggu berlalu dengan cepat, proses editing pun cuma menghabiskan waktu sekitar lima hari. Di hari H tugas video kami pun dikumpulkan. Satu persatu, video dari setiap kelompok ditayangkan. Ada video yang mewawancarai murid serta wali kelas, ada juga yang membuat video tentang hal-hal konyol di dalam kelas. Hingga tiba lah penampilan video dari kelompok kami.

Dari video-video yang ditampilkan, aku menjadi mengerti mengapa Pak Haris menyuruh kami membuat tugas video yang cukup rumit. Walaupun banyak rintangan dalam membuatnya, ternyata kami sangat senang melakukannya. Beragam video tersebut juga bisa menjadi kenang-kenangan ketika kamI sudah tidak bersekolah. 

Pelajar di Pelosok Desa

Murid baru itu bernama Clara. Dia pindahan dari kota Jakarta yang kini terpaksa harus tinggal di pedalaman Bogor karena mengikuti dinas ayahnya. Sejak pertama kedatangannya, ia sangat syok dengan kondisi sekolah dan kegiatan belajar mengajar. 

Karena terbiasa tinggal di kota, Clara merasa bahwa semuanya akan sama saja seperti di sekolah yang dulu. Ternyata, ketika di masuk di kelas 8B, ekspektasinya menurun. Kalo dulu, ruangan belajar sangat nyaman dan kondusif dengan menggunakan AC. Tapi, ketika di sekolah baru ia tercengang karena fasilitasnya jauh dari bagus.

Clara berusaha beradaptasi dan tetap belajar semaksimal mungkin. Dia pun mulai mendapatkan teman yang bernama Indah. Baginya, Indah sangat membantu supaya bisa cepat beradaptasi. 

“Di sini penyampaian materi pelajarannya jauh lebih lambat ya Indah,” Clara mengajak bicara saat jam istirahat sambil meminum es kelapa di plastik.

“Oh, iya, mungkin karena waktu itu, buku paket yang dikasih pemerintah telat dateng. Ajarin aku dong Clara materi yang belum disampein bu guru tapi di sekolah kamu yang dulu udah pernah diajarin,” pinta Indah.

“Wahh boleh banget.”

“Sepulang sekolah kali ya, di saung belakang rumahku. Kan enak tuh belajar sambil liat pemandangan,” ajak Indah sambil menawarkan fasilitas rumahnya.

Clara langsung mengangguk setuju tawaran Indah. Indah adalah anak kepala desa yang cukup beruntung di desa tersebut. 

Sepulang sekolah, Clara tidak langsung pulang ke rumahnya. Tapi membagikan materi yang belum disampaikan di kelas. Tidak cuma Indah, ada beberapa teman lainnya yang ikut bergabung di kelompok belajar tersebut. 

Clara jadi menyadari, bahwa walaupun jauh dari kota, teman-teman barunya di desa tetap menjadi pelajar yang semangat untuk menimba ilmu. Clara sudah bertekad, kalo ada tugas tentang menulis cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar, ia akan menceritakan tentang teman-teman barunya di desa.

Penutup

Cerpen tersebut menggambarkan beberapa situasi dan peristiwa yang mungkin terjadi dalam kehidupan seorang pelajar. Cerpen-cerpen tersebut mencerminkan realitas kehidupan di sekolah dan menggali berbagai aspek seperti suasana di kelas, persahabatan, konflik, dan dilema yang dialami oleh para pelajar.

Macem-macem kan cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar? Mana nih yang pernah kamu alamin waktu sekolah? Rasanya nggak semua bisa diceritakan di artikel ini. Karena, di benak masing-masing kita punya pengalaman sebagai pelajar yang mengesankan.

Semoga 7 cerpen kehidupan sehari-hari seorang pelajar ini bisa menginspirasi dan menghiburmu, ya.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Zia

Bekerja sebagai buruh tulis dalam bidang pendidikan, penulisan kreatif, dan teknologi

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *