Daftar Isi
Halo, sahabat cerpen! Jika kamu suka cerita yang penuh makna dan perjalanan seru, kamu berada di tempat yang tepat. Yuk, ikuti kisah ini sampai habis!
Cerpen Desi, Gadis Pecinta Gaul Kekinian
Aku selalu menganggap dunia ini cerah, penuh warna dan tawa. Siapa yang tidak suka dengan hal-hal kekinian? Aku yang selalu mengikuti tren terbaru, mulai dari fashion, musik, hingga aplikasi media sosial. Nama aku Desi, seorang gadis yang selalu ceria, penuh energi, dan selalu dikelilingi teman-teman. Aku nggak pernah kesepian, selalu ada saja orang yang ingin ngobrol, bercanda, atau hangout bareng. Dunia sosial adalah rumahku, dan aku merasa sangat hidup di dalamnya. Mungkin, aku terlihat seperti gadis yang hidup dalam kebahagiaan tanpa beban.
Namun, di balik semua itu, ada satu sosok yang sangat penting dalam hidupku. Dia bukan hanya sekadar teman dekat—dia adalah sahabat sejatiku. Namanya Fina. Aku mengenalnya sejak SMP, tapi hubungan kami baru benar-benar dekat ketika SMA. Fina bukan tipe orang yang bisa dengan mudah bergaul dengan banyak orang, apalagi dia sedikit tertutup dan cenderung introvert. Aku ingat bagaimana pertama kali aku duduk di sampingnya di kelas dua SMA. Saat itu, aku masih jadi anak yang gila banget sama grup-grup media sosial dan ngehits di Instagram, sementara Fina selalu memilih diam di pojok kelas, membaca buku, atau mendengarkan musik tanpa pernah banyak bicara dengan siapapun.
Entah kenapa, aku merasa penasaran. Aku tidak bisa membiarkan seseorang yang punya dunia sendiri seperti Fina terjebak dalam kesendirian. Jadi, suatu hari, saat istirahat, aku mendekatinya.
“Fina, lo kenapa sih diem mulu? Bosen gak sih di kelas?” tanyaku dengan semangat, langsung duduk di sampingnya.
Fina yang biasanya hanya memberikan senyum kecil dan mengalihkan pandangannya dari siapa pun yang datang menghampirinya, kali ini sedikit tersenyum lebar, walau dengan cara yang sangat canggung.
“Enggak sih,” jawabnya singkat, seolah ingin menghindar dari percakapan lebih lanjut. Tapi aku tak menyerah.
“Lo suka baca buku ya? Nggak pengen gabung sama yang lain kadang?” tanyaku lagi, terus berusaha membuka percakapan.
Fina mengangguk pelan. “Suka, tapi… kadang, lebih nyaman sendiri.”
Aku nggak tahu kenapa, tapi kata-kata itu langsung menghentak hatiku. Aku merasa seolah ada jarak yang terlalu lebar antara dunia kita, dan aku ingin meruntuhkannya. Saat itu, aku memutuskan untuk sedikit ‘memaksakan’ diri agar dia merasa nyaman.
Hari-hari berikutnya, aku terus mendekatinya dengan cara yang tidak mengganggu. Terkadang aku duduk di sampingnya, hanya diam, atau bicara tentang hal-hal ringan—mulai dari lagu yang sedang hits, hingga drama Korea terbaru. Dan perlahan, Fina mulai terbuka. Dia mulai berbicara lebih banyak, dan aku bisa merasakan bahwa dia sebenarnya bukan orang yang membosankan. Fina sangat pintar, dan dia punya cara berpikir yang berbeda. Aku tertarik pada cara pandangnya yang tenang, jauh berbeda dari kehidupanku yang selalu penuh dengan kegembiraan dan keramaian.
Aku dan Fina mulai jadi dekat, bukan cuma sekadar teman sekelas. Kami menjadi sahabat. Setiap hari di sekolah, kami selalu berbicara tentang berbagai hal—tentang rencana masa depan, tentang hal-hal yang kami sukai, dan tentu saja, tentang perasaan kami masing-masing. Aku jadi tahu banyak hal tentang Fina yang sebelumnya tak kuketahui. Ternyata, dia punya hobi menulis puisi dan melukis. Di balik sikapnya yang pendiam, ada dunia yang sangat dalam, penuh dengan ekspresi yang ingin dia ungkapkan.
Kami saling melengkapi. Aku yang selalu suka berbicara dan bergaul dengan orang banyak, dan Fina yang lebih suka merenung dan berkarya dalam kesendirian. Kami sering menghabiskan waktu bersama, mulai dari makan di kafe setelah sekolah, hingga pergi ke taman untuk berbicara tentang segala hal, atau hanya duduk diam dan menikmati suasana.
Suatu hari, saat kami sedang duduk di bangku taman yang sepi, aku memandanginya dengan senyum lebar. Fina sedang sibuk menggambar sesuatu di buku sketsanya, dengan wajah serius dan penuh konsentrasi. Aku memandangnya dengan kagum, seolah melihat seorang seniman yang sedang berusaha menciptakan sesuatu yang indah.
“Lo pernah kepikiran nggak, Fin, kalau kita harus terus bareng-bareng kayak gini sampai nanti?” tanyaku dengan nada penuh harapan.
Fina menatapku sebentar, lalu tersenyum lembut. “Maksud lo gimana?”
“Ya, kita selalu bersama kan, Fin? Selalu ketawa, selalu ngobrol, dan selalu ada buat satu sama lain,” jawabku, sedikit cemas.
Fina meletakkan pensilnya dan menatapku dengan mata yang seolah menyimpan sejuta cerita. “Aku nggak tahu, Desi. Tapi yang aku tahu, aku nggak mau kehilangan kamu.”
Saat itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Ada getaran yang halus tapi kuat di dalam hatiku. Mungkin aku sudah tahu, meski saat itu aku belum sepenuhnya menyadarinya, bahwa aku punya perasaan yang lebih dari sekadar sahabat terhadap Fina. Aku tidak tahu apakah Fina merasa hal yang sama, tapi yang jelas, perasaan itu mulai tumbuh di antara kami—perlahan, tapi pasti.
Dan aku tahu, pertemuan pertama kami adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh warna dan kenangan. Tapi tak ada yang tahu bahwa perjalanan itu akan menemui akhir yang begitu menyakitkan.
Cerpen Erika, Gadis Super Gaul di Lingkungan
Aku tak tahu persis kapan itu dimulai, tapi aku tahu betul bagaimana rasanya. Rasanya seperti sebuah pertemuan yang tak sengaja, namun pada akhirnya menjadi bagian dari setiap hariku.
Erika. Nama itu pasti sudah tak asing lagi di telingamu. Ya, itu aku. Gadis yang selalu penuh semangat, selalu dikelilingi teman-teman, selalu punya cerita seru yang siap dibagi. Di lingkungan kami, aku seperti pusat perhatian. Bukan karena sombong atau merasa lebih, tapi karena aku selalu membuat orang merasa nyaman. Aku tahu caranya menghidupkan suasana. Dari mulai kumpul-kumpul di kafe, jalan-jalan keliling mall, sampai sekadar bercanda ringan di taman. Rasanya, hidupku sempurna, tanpa ada kekosongan. Aku punya segalanya. Teman, tawa, dan hari-hari yang penuh warna. Hingga akhirnya, dia datang.
Seperti halnya semua cerita, tak ada yang pernah tahu kapan cinta itu akan datang. Begitu juga dengan persahabatan. Aku tidak pernah merencanakannya, tidak pernah tahu bahwa ada seorang gadis yang akan mengubah segala sesuatu dalam hidupku. Dia bernama Amara.
Amara datang ke sekolah kami di tengah tahun ajaran. Seperti gadis baru lainnya, dia tampak ragu dan canggung, dengan tas punggung besar dan mata yang selalu menatap ke bawah, seolah takut bertemu pandang dengan siapapun. Sebagai seorang gadis super gaul yang sudah terkenal di kalangan teman-teman, aku merasa sepertinya tak ada yang lebih menyenangkan selain menyambut gadis baru dengan cara yang menyenangkan. Tentu saja, aku langsung mendekatinya.
Hari itu, aku sedang duduk di kantin bersama teman-temanku, menikmati waktu istirahat setelah pelajaran yang membosankan. Aku melihat Amara duduk sendirian di meja pojok, mencoba menghindari keramaian. Aku bisa merasakannya—dia merasa terasing. Aku tidak suka melihat orang merasa seperti itu, jadi aku memutuskan untuk mengajak Amara bergabung.
“Hei, kamu sendirian ya?” tanyaku, duduk di meja yang sama tanpa menunggu persetujuan.
Dia menatapku dengan mata sedikit terkejut, tapi aku hanya memberikan senyum terbaikku. “Aku Erika, kalau kamu butuh teman, aku di sini. Kamu gak harus duduk sendiri.”
Amara tidak langsung menjawab, hanya menatapku sejenak. Aku bisa merasakan ketidakpastian yang ada dalam dirinya, tapi aku tahu, setiap orang punya alasan mengapa mereka merasa asing di tempat baru. Aku hanya ingin dia tahu bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan di sini. Aku mungkin bukan orang yang akan membuatnya merasa seperti di rumah, tapi aku bisa membuatnya merasa diterima.
“A-aku Amara,” jawabnya pelan, akhirnya memberikan senyuman yang sangat tipis.
Itu adalah awal mula. Terkadang, pertemuan yang paling sederhana bisa mengubah banyak hal.
Hari-hari setelahnya, aku mulai sering mengajaknya bicara. Awalnya hanya percakapan ringan, seperti tentang buku yang kami baca, tentang teman-teman yang kami punya, atau tentang hal-hal sepele lainnya. Tapi lama-kelamaan, aku mulai menyadari bahwa Amara bukanlah gadis yang bisa ditemui di setiap sudut sekolah. Dia bukan tipe orang yang suka bersosialisasi, apalagi ikut dalam keramaian yang sering aku buat. Amara lebih suka meluangkan waktu untuk diri sendiri. Tapi ada satu hal yang membuatku terkesan: dia selalu mendengarkan dengan serius, apapun yang aku ceritakan. Bahkan, lebih sering daripada aku mendengar cerita darinya.
Suatu sore, setelah beberapa minggu aku dan Amara semakin dekat, kami duduk di taman belakang sekolah, menikmati sore yang cerah. Tidak ada suara kecuali desiran angin dan tawa dari anak-anak yang bermain di sekitar.
“Aku gak ngerti kenapa kamu mau berteman sama aku, Erika,” kata Amara tiba-tiba, suara lembutnya memecah keheningan.
Aku menatapnya bingung, mencoba membaca ekspresinya. “Kenapa emangnya? Kamu asyik kok.” Aku tersenyum, mengusap rambutnya yang sedikit berantakan.
Amara memandang tanah, lalu menghela napas. “Aku gak seperti teman-teman kamu yang selalu bisa bercanda, bisa ketawa-ketawa. Aku… kadang merasa asing di sini. Semua orang sepertinya jauh lebih bahagia.”
Aku merasakan ada yang lebih dalam dalam kata-katanya, sesuatu yang lebih daripada sekadar kata-kata kosong. Aku tahu dia tidak hanya berbicara tentang perasaan asing di sekolah, tetapi juga tentang perasaan yang lebih pribadi, yang mungkin belum bisa dia ungkapkan.
“Amara,” kataku dengan suara yang lebih serius. “Gak masalah kok kalau kamu gak seperti mereka. Gak perlu jadi seperti orang lain supaya bisa diterima. Aku berteman sama kamu karena kamu Amara. Gak ada yang lebih dari itu.”
Dia terdiam sejenak, lalu akhirnya memberikan senyum yang lebih lebar daripada sebelumnya. “Kamu… beneran baik,” katanya, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Dan sejak hari itu, semuanya berubah. Kami menjadi sahabat, lebih dari sekadar teman. Aku mulai melihat sisi Amara yang tak banyak orang tahu. Sisi yang penuh dengan kekuatan dan kelembutan, dengan tawa yang tak banyak terekspresikan di luar. Dia bukan hanya menjadi teman dekatku, tetapi juga seseorang yang aku percayai dengan segala cerita dalam hidupku. Tanpa aku sadari, dia sudah menjadi bagian dari hidupku, lebih dari yang aku kira.
Namun, aku tidak tahu saat itu, bahwa persahabatan kami akan diuji oleh waktu. Aku tidak tahu bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari sebuah kisah yang tak pernah aku duga akan berakhir begitu cepat.
Cerpen Fiona, Gadis Berjiwa Sosialita Kekinian
Fiona. Nama itu selalu terngiang-ngiang di kepala setiap kali aku memikirkan masa lalu. Aku ingat betul bagaimana semuanya dimulai, bagaimana aku dan Fiona bertemu. Di antara hiruk-pikuk kehidupan sosialita kekinian yang kami jalani, aku tidak pernah menyangka, pertemuan itu akan menjadi awal dari hubungan yang takkan pernah aku lupakan—hubungan yang begitu indah sekaligus penuh dengan kenangan pahit.
Semua dimulai saat aku memasuki bangku kuliah di Universitas Cendana. Aku adalah gadis dari keluarga mapan, memiliki segalanya—kemewahan, popularitas, dan tentunya, banyak teman. Kehidupan sosial di kampus menjadi dunia kedua bagiku. Pesta, acara, hangout di kafe-kafe mewah, hingga senam pagi di pusat kebugaran, semuanya menjadi bagian dari rutinitasku. Aku tak pernah merasa sendirian, karena selalu ada yang menemani, dan aku selalu berada di tengah keramaian.
Namun, entah kenapa, saat itu, aku merasa ada yang kurang. Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang lebih dalam, yang tidak bisa diisi dengan segala keglamoran yang aku jalani. Kehidupan yang tampaknya sempurna ini, terkadang terasa hampa.
Dan saat aku pertama kali melihat Fiona, aku tahu jawabannya.
Dia duduk di pojok ruang perpustakaan kampus, dengan buku-buku tebal yang tersusun rapi di meja, mengenakan kacamata besar, dan rambut panjang yang tergerai begitu alami. Tidak ada yang istimewa tentang penampilannya—tidak ada makeup tebal, tidak ada pakaian merek ternama yang menempel di tubuhnya—semuanya tampak sangat sederhana. Tapi ada sesuatu yang memikat dalam dirinya, sesuatu yang membuatku terhenti sejenak dan menatapnya lebih lama dari yang seharusnya.
Fiona, ternyata, bukan tipe orang yang sering berada di keramaian. Dia lebih suka menyendiri, menikmati dunia dengan cara yang berbeda. Ketika aku mendekat, aku terkejut melihat senyum kecil yang muncul di wajahnya. Bukan senyum biasa, tapi senyum yang penuh arti. Seperti ada banyak cerita yang tersembunyi di baliknya.
“Aku tahu kamu sedang mengamatiku,” katanya, dengan suara rendah yang lembut.
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku terbiasa menjadi pusat perhatian, yang selalu mendapat perhatian orang lain. Tetapi Fiona berbeda. Dia tidak pernah tertarik untuk mencari perhatian, bahkan dari orang-orang yang paling populer sekalipun.
“Apa kamu sedang membaca buku yang sama?” aku mencoba membuka percakapan, meski ada sedikit rasa canggung di dalam diriku.
Dia mengangguk dan mengalihkan pandangannya pada buku yang terbuka di depannya. “Ya, ini buku tentang psikologi. Aku suka menganalisis perilaku orang.”
Tiba-tiba aku merasa tertarik pada percakapan ini. Mungkin karena aku selalu dikelilingi orang-orang yang hanya peduli tentang apa yang ada di luar, yang berfokus pada tren, dan bukan pada apa yang ada di dalam diri mereka sendiri. Fiona, dengan cara yang sederhana, membuatku merasa bahwa ada lebih dari sekadar permukaan kehidupan ini.
“Kamu suka membaca buku-buku seperti itu?” tanya Fiona, matanya yang besar memandangku penuh rasa ingin tahu.
Aku mengangguk pelan, sedikit merasa konyol. Sebagai seorang gadis yang terobsesi dengan dunia luar, aku sering kali meremehkan dunia bacaan seperti ini. Tapi Fiona membuatnya tampak menarik, membuat aku ingin tahu lebih banyak.
Hari itu, kami mulai berbicara lebih banyak. Tentang buku, tentang kehidupan, tentang bagaimana dia bisa menjadi pribadi yang sangat berbeda dari kebanyakan orang di kampus ini. Ada sesuatu yang menenangkan dalam setiap kata-katanya, dalam cara dia melihat dunia dengan begitu tulus dan tanpa pamrih. Dia tidak peduli apakah orang lain menganggapnya aneh atau tidak, dia hanya ingin hidup sesuai dengan kata hatinya.
Itulah yang membuatku tertarik padanya. Fiona tidak hanya seorang teman baru—dia adalah dunia baru yang ingin aku jelajahi. Ada banyak hal yang ingin aku pelajari darinya. Dia mengajarkan aku untuk lebih berhati-hati dalam menilai orang, untuk tidak cepat menilai seseorang hanya berdasarkan penampilannya.
Hari-hari kami mulai terjalin dengan penuh cerita. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Kami tak lagi hanya bertemu di perpustakaan, tapi mulai sering menghabiskan waktu bersama—di kafe kecil di sudut kota, di taman yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kampus, bahkan di rumahnya yang sederhana, tempat kami sering berbagi tawa dan obrolan panjang. Fiona dengan segala keunikan dan kesederhanaannya membuat aku merasa lebih hidup.
Seiring berjalannya waktu, kami menjadi semakin dekat. Fiona yang dulu tampak begitu terpisah dari dunia sosialita yang aku jalani, kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Aku bahkan mulai mengajaknya untuk datang ke acara-acara kampus, memperkenalkannya pada teman-temanku yang selalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tapi Fiona tetaplah Fiona—ia tidak pernah berubah. Dia tidak ingin menjadi bagian dari dunia yang aku jalani, meski aku terus berusaha membawanya masuk ke dalamnya.
Ada kalanya aku merasa cemas, merasa bahwa dunia yang aku jalani ini tidak cukup untuk menahan Fiona. Dia adalah gadis dengan jiwa yang lebih luas, yang tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat kehidupan sosial yang aku kenal. Meski begitu, aku tetap ingin dia berada di sampingku, ingin menjadikannya bagian dari hidupku, meski aku tahu, dia mungkin lebih membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri.
Tapi, seperti halnya semua yang indah, pertemuan kami itu hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku. Aku tidak tahu saat itu, bahwa persahabatan kami akan menguji seberapa besar cinta yang aku miliki—bukan hanya cinta untuknya, tetapi juga untuk diriku sendiri, untuk kehidupan yang penuh dengan pilihan-pilihan sulit.
Fiona, sahabatku yang pertama kali datang dengan senyum tulus di wajahnya, akan segera mengajarkan aku bahwa hidup tidak selalu bisa dijalani dengan cara yang kita inginkan, bahwa tak semua orang yang kita cintai akan selalu berada di samping kita.
Dan aku, Fiona, tidak pernah tahu bahwa pertemuan ini akan membawa kita pada suatu perjalanan yang akan meninggalkan luka di hati, sebuah kenangan yang tak akan pernah terlupakan, bahkan setelah semua perpisahan datang menghampiri.