Hai semua! Mari kita mulai petualangan seru bersama gadis-gadis yang penuh semangat dan keberanian. Mereka tak hanya bermimpi, tapi juga mewujudkannya!
Cerpen Hana, Gadis Paling Hits di Kota
Aku tidak pernah tahu bahwa satu pertemuan bisa mengubah segalanya. Hari itu adalah hari biasa, yang menurutku tidak akan berbeda dengan hari-hari lainnya. Aku, Hana, gadis yang paling dikenal di kota ini, dengan segala kelebihan yang mungkin bisa membuat orang menganggapku sempurna—setidaknya menurut pandangan orang luar. Aku punya teman yang banyak, selalu berada di pusat perhatian, dan hidupku tampaknya penuh dengan kebahagiaan. Semua orang tahu namaku, dan aku selalu dikelilingi oleh mereka yang ingin berteman denganku. Tapi, ternyata kebahagiaan itu tidak seindah yang orang pikirkan.
Hari itu, saat matahari bersinar cerah dan langit tampak lebih biru dari biasanya, aku sedang duduk di sebuah kafe favorit bersama beberapa teman sekelasku. Kafe itu adalah tempat yang selalu ramai, penuh tawa, obrolan yang tak ada habisnya, dan tentu saja, foto-foto Instagram yang tak pernah berhenti diambil. Aku suka berada di tempat itu, karena di sana aku bisa merasa seolah-olah dunia adalah milikku, dan semua mata tertuju padaku. Tapi hari itu, ada seseorang yang membuatku merasa sedikit berbeda.
Dia duduk di meja pojok, dengan tubuh tegapnya yang tampak lebih serius dari kebanyakan orang yang ada di kafe itu. Namanya Arga. Nama yang sebelumnya tak pernah aku dengar, meskipun kafe ini adalah tempat yang cukup populer di kalangan teman-temanku. Aku tahu dia bukan orang yang suka mencari perhatian, bahkan di tengah keramaian seperti ini, dia tetap terlihat begitu tenang, bahkan bisa dibilang, terasingkan. Tidak ada satu pun orang yang berbicara dengannya, dan aku juga tidak tahu kenapa, namun entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya.
Biasanya, kalau aku berada di sini, aku adalah pusat perhatian. Teman-temanku selalu memanjakan aku dengan obrolan dan tawa. Namun, pada saat itu, mataku justru tidak bisa berhenti tertuju pada Arga. Ada sesuatu dalam cara dia duduk, cara dia menatap layar ponselnya, dan bahkan cara dia menyendiri yang membuatku penasaran.
Tanpa sadar, aku meninggalkan teman-temanku, berjalan ke arah meja pojok itu. Langkah kakiku terasa lebih berat dari biasanya, seolah ada dorongan yang tidak bisa kujelaskan. Sampai akhirnya, aku berdiri tepat di hadapannya.
“Hei, kamu Arga, kan?” tanyaku, berusaha membuka percakapan.
Dia mengangkat wajahnya dari layar ponselnya dan menatapku dengan mata cokelat yang dalam. Sekilas aku melihat ada sedikit keheranan di sana, mungkin dia bertanya-tanya mengapa aku datang kepadanya, tetapi dia tetap tersenyum kecil.
“Iya, betul,” jawabnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Aku merasa sedikit canggung, karena aku tak biasa mendekati orang tanpa ada tujuan jelas. “Kamu sendirian ya?” tanyaku, mencoba mencari topik percakapan.
Dia mengangguk. “Iya. Ada apa?” Suaranya terdengar tidak terburu-buru, tenang, hampir seperti dia sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Aku merasa ada sesuatu yang aneh, semacam ketenangan yang sangat kontras dengan suasana kafe yang riuh ini. Aku tidak bisa menjelaskan perasaan itu, namun aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dia.
Aku duduk di seberangnya tanpa diundang. Biasanya, aku akan sangat memperhatikan siapa yang ada di sekitarku, tapi kali ini, aku malah merasa ingin menikmati keheningan yang terasa berbeda bersama Arga. Ada kenyamanan dalam diam, yang membuatku heran. Aku yang biasanya ceria dan riang, merasa tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun dan masih merasa nyaman.
“Kamu baru di sini ya?” tanyaku setelah beberapa saat.
Dia mengangguk. “Baru pindah ke kota ini beberapa minggu lalu. Masih belajar menyesuaikan diri.”
Aku menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang membuatku merasa seperti tidak ada yang perlu aku sembunyikan darinya. Tanpa sadar, aku mulai bercerita tentang diriku, tentang bagaimana hidupku yang selalu penuh keramaian dan betapa orang-orang selalu memperhatikanku, padahal aku merasa kadang itu sangat melelahkan.
“Aku merasa seperti hidup dalam sebuah panggung,” kataku dengan nada lelah. “Orang-orang selalu ingin melihatku bahagia, padahal kadang aku cuma ingin menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura.”
Dia hanya mendengarkan, tanpa ada interupsi, tanpa ada komentar. Hanya dengan mendengarkan saja, dia memberi rasa nyaman yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Aku seperti menemukan tempat untuk meletakkan semua beban yang ada di pundakku.
“Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu nyaman berbicara denganmu,” ujarku akhirnya, tanpa bisa menahan perasaan itu.
Arga tersenyum tipis. “Mungkin karena aku bukan orang yang datang untuk menilai,” katanya dengan suara tenang. “Aku cuma di sini untuk mendengarkan.”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Rasanya, ada sesuatu yang berbeda tentang Arga. Aku bisa merasakannya, meski baru pertama kali berbicara dengannya. Dia tidak seperti orang lain yang selalu terkesan ingin mencari perhatian. Tidak ada yang perlu dia buktikan kepada orang lain. Dan, dalam dunia yang serba tampak ini, itu adalah sesuatu yang sangat langka.
Hari itu berakhir begitu cepat, tapi aku tahu, sesuatu yang baru telah dimulai. Di dalam diriku, ada perasaan yang baru muncul—perasaan yang lebih dari sekadar keingintahuan. Aku merasa seperti telah menemukan seseorang yang bisa memahami bagian diriku yang selama ini terabaikan.
Tapi, entah kenapa, ada sesuatu dalam hatiku yang merasa takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi, takut akan apa yang aku rasakan. Karena aku tahu, perasaan ini bisa jadi lebih rumit daripada yang aku bayangkan.
Aku kembali ke teman-temanku, namun perasaanku tak sama lagi. Aku seperti membawa pulang sebuah rahasia kecil dalam hati, rahasia tentang seseorang yang mungkin bisa mengubah segala yang aku tahu tentang cinta, tentang persahabatan, dan tentang siapa aku sebenarnya.
Cerpen Indri, Gadis Pecinta Popularitas
Aku masih ingat, jelas seperti baru kemarin, bagaimana semuanya dimulai. Hari itu cerah, angin berhembus ringan, dan matahari menyinari setiap sudut di sekolahku. Pagi yang biasa, penuh dengan hiruk-pikuk suara teman-teman yang berlalu-lalang, sesekali terdengar gelak tawa yang menghiasi lorong-lorong panjang di sekolah. Aku, Indri, adalah gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, setidaknya itu yang aku pikirkan.
Setiap langkahku selalu disertai pandangan. Aku suka itu. Rasanya seperti aku mengendalikan dunia kecil di sekitarku, semua mata tertuju padaku, dan setiap orang ingin menjadi bagian dari hidupku. Teman-temanku, yang tak terhitung jumlahnya, memuji segala hal tentang diriku: penampilan, cara berbicara, dan tentu saja, rasa percaya diri yang membuatku bersinar. Popularitas adalah milikku. Dan aku menyukainya—sungguh.
Namun, di antara keramaian itu, ada satu orang yang selalu tampak berbeda. Dia bukan seperti yang lain. Dia bukan bagian dari lingkaran pertemananku. Namanya Kiran, seorang lelaki yang lebih sering duduk sendiri di sudut taman sekolah, membaca buku-buku yang jauh lebih serius daripada apa yang aku pelajari di kelas. Rambutnya hitam legam, sedikit panjang, dan matanya yang kelabu selalu tampak merenung, seperti sedang mencari sesuatu yang tak bisa ditemukan.
Pada awalnya, aku tidak terlalu peduli padanya. Aku terlalu sibuk dengan dunia yang penuh dengan tepuk tangan dan pujian. Namun, ada satu hari yang mengubah semuanya.
Itu adalah saat ketika aku berada di aula sekolah, duduk bersama teman-temanku yang ramai, saat aku mendengar suara riuh di luar. Ada sesuatu yang berbeda kali itu. Aku melihatnya—Kiran—berjalan menuju meja pendaftaran untuk kompetisi debat antar sekolah. Dia terlihat sangat serius, dengan tatapan mata yang tajam dan penuh tekad. Aku pun tertarik, meski sedikit heran, karena biasanya aku tidak tertarik pada orang-orang seperti dia.
Sejak itu, aku mulai memperhatikannya lebih sering. Kiran tidak pernah terlihat seperti orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Di antara seluruh keramaian yang memujiku, dia adalah satu-satunya yang tak pernah menunjukkan sedikit pun ketertarikan pada popularitas. Itu aneh, tapi juga menarik.
Suatu sore, setelah kelas selesai, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman, berharap menemukan sedikit kedamaian. Dan di sana, di bangku kayu yang sedikit terpisah dari kerumunan, aku melihat Kiran lagi. Tanpa berpikir panjang, aku mendekatinya. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya, atau setidaknya, mengetahui apa yang membuatnya begitu berbeda dari yang lain.
“Hei,” sapaku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahku. “Kau di sini lagi, ya? Aku Indri, teman sekelas kita.”
Dia mengangkat wajahnya perlahan, mata kelabunya menatapku dengan sedikit kebingungan. Kemudian, senyum tipis terukir di bibirnya, meski tidak sebanyak yang kutunggu. “Ya, aku tahu siapa kamu,” jawabnya, suara datar tapi tidak kasar.
Aku sedikit terkejut. Biasanya, orang-orang akan berusaha berbicara lebih banyak jika aku menyapa mereka. Tapi tidak dengan Kiran. Ada sesuatu yang membuatku merasa, entah kenapa, dia seperti tidak tertarik pada apa pun yang aku lakukan atau katakan. Namun, entah kenapa, itu malah membuatku semakin penasaran.
“Kenapa kamu selalu duduk sendirian?” tanyaku, mencoba membuka percakapan lebih dalam. Aku tahu, tidak banyak orang yang akan memilih kesendirian seperti dia. Semua orang ingin menjadi bagian dari keramaian, ingin dikenali, ingin dihargai. Tapi dia? Dia tampak tidak peduli.
Kiran menghela napas, matanya kembali terfokus pada buku yang dia pegang. “Kadang, ada kalanya kita perlu waktu untuk diri sendiri,” jawabnya, dengan nada yang tenang.
Aku tersenyum, meski aku merasa sedikit bingung. Itu adalah hal yang tidak biasa bagiku. Aku selalu dikelilingi teman-teman, selalu ada orang yang ingin berbicara atau mengajakku tertawa. Tapi di hadapannya, aku merasa seolah-olah dunia tidak berputar sebagaimana mestinya. Ada ketenangan dalam sikapnya, yang membuatku merasa tidak nyaman, namun juga penasaran.
“Apakah kamu tidak merasa kesepian?” tanyaku, sedikit melanggar aturan yang biasanya aku pegang. Aku selalu tahu bagaimana cara memancing percakapan, namun dengan Kiran, semuanya terasa berbeda.
Dia menatapku sejenak, seolah sedang mengukur kata-kataku. Kemudian, dengan lembut, dia menjawab, “Kesepian itu bukan soal berapa banyak orang yang ada di sekitarmu. Kadang, ada banyak orang, tapi tetap merasa sendiri.”
Aku terdiam, kata-katanya seperti menusuk hati, meskipun aku tidak sepenuhnya memahaminya. Apa maksudnya? Aku merasa bingung. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin lebih banyak tahu. Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, seperti sebuah misteri yang menunggu untuk dipecahkan.
“Aku tidak tahu. Aku selalu merasa lebih baik dikelilingi orang-orang yang menyukaiku,” kataku, sedikit menghindari kenyataan bahwa sebenarnya aku tidak tahu apa yang dia maksudkan dengan ‘kesepian’ yang sebenarnya.
Kiran hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada bukunya. Tanpa berkata lebih lanjut. Itu adalah percakapan pertama kami yang terasa aneh, tetapi aku tahu, itu bukan akhir dari semuanya.
Aku meninggalkan taman itu dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan. Mengapa aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku meskipun aku selalu dikelilingi oleh banyak orang? Mengapa aku merasa terikat pada sosok Kiran yang tampaknya tidak peduli dengan hal-hal yang selama ini menjadi tujuanku?
Saat itu, aku tidak tahu jawabannya. Namun, aku tahu satu hal: aku akan bertemu dengannya lagi. Dan itu adalah awal dari perjalanan yang tidak akan pernah aku lupakan.
Aku tidak tahu bahwa hari itu, pertemuan pertama kami, akan menjadi titik awal dari perjalanan yang mengubah segalanya dalam hidupku.