Daftar Isi
Hai, teman-teman! Mari kita selami dunia yang penuh kejutan, di mana tak ada yang mustahil bagi mereka yang berani bermimpi.
Cerpen Ulya, Si Pecinta Popularitas Sosial
Aku tidak pernah merasa kesulitan untuk bergaul. Sejak kecil, aku selalu dikelilingi oleh teman-teman yang membuatku merasa hidupku penuh warna. Nama aku Ulya, dan siapa yang tidak kenal aku di sekolah? Aku tahu banyak orang menyebutku dengan berbagai sebutan: Gadis populer, Anak gaul, atau bahkan Pecinta perhatian. Mungkin mereka benar, atau mungkin mereka hanya tidak mengerti apa yang aku inginkan.
Bagi aku, dunia ini adalah panggung besar, dan aku adalah pemeran utamanya. Sejak aku duduk di bangku SMP, aku sudah belajar untuk memainkan perananku dengan sangat baik. Aku tahu bagaimana cara tersenyum lebar, berbicara dengan percaya diri, dan selalu ada untuk mereka yang aku rasa bisa memberi aku kepopuleran lebih. Semua hal itu membuatku merasa dihargai, diinginkan, dan dicintai. Aku tak pernah merasa sendiri. Hidupku penuh tawa, cerita, dan tentunya, orang-orang yang menyukai aku.
Namun, semua itu berubah ketika aku bertemu dengannya.
Dia bukan siapa-siapa yang bisa membuatku merasa seperti bintang. Bahkan, aku merasa dia seperti sebuah bayangan yang lebih suka bersembunyi di sudut-sudut gelap. Namanya Lintang. Dia bukan tipe orang yang mudah masuk dalam lingkaran sosial yang aku kenal. Di hari pertama aku melihatnya, dia hanya duduk di pojok kelas, dengan buku besar di depannya, dan jarang sekali berbicara. Tidak ada senyum, tidak ada gelak tawa. Hanya wajah datar yang bisa aku baca sebatas “aku tidak tertarik dengan dunia luar”.
Aku ingat sekali hari itu. Saat bel pertama berbunyi, aku melangkah masuk ke kelas dengan percaya diri. Rambut panjangku yang terurai dengan sempurna, dipadu dengan baju trendi yang kupilih dengan hati-hati, seakan sudah menjadi bagian dari diriku. Semua mata mengarah padaku, dan aku menyukainya. Mereka melihatku—beberapa dengan senyuman, beberapa dengan kekaguman, dan sisanya dengan rasa iri. Ini adalah dunia yang kupahami.
Namun, entah kenapa, mataku tertarik pada satu sosok yang duduk jauh di belakang, jauh dari keramaian, jauh dari sorotan lampu. Lintang. Dia tidak seperti yang lain. Tidak ada senyuman untukku, tidak ada tatapan kagum. Hanya tatapan kosong yang, jujur saja, sedikit membuatku penasaran.
Hari pertama berlalu begitu saja, dan aku terus sibuk bergaul dengan teman-teman baru, bercanda, tertawa, dan memamerkan update-status terbaru di media sosial. Aku tahu aku bisa menjadi bintang di dunia maya. Namun, meskipun hari-hariku penuh dengan kebahagiaan semu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku seringkali melirik Lintang, yang masih berada di pojok kelas, tetap dengan wajahnya yang dingin. Mungkinkah dia tidak tertarik dengan siapa aku?
Akhirnya, entah kenapa, aku merasa ada dorongan dalam hatiku untuk lebih mendekatinya. Mungkin itu rasa penasaran, atau mungkin karena aku merasa sedikit tertantang. Kalau dia bisa membuatku merasa tidak diperhatikan, mungkin aku bisa membuatnya melihatku.
Suatu pagi, aku duduk di sebelahnya. Aku tahu pasti dia tidak akan menyapaku duluan. Jadi, aku membuka pembicaraan.
“Hai, Lintang,” ucapku sambil tersenyum lebar. “Kamu nggak bergabung dengan kami hari ini? Ada acara karaoke nanti loh.”
Dia hanya menoleh sejenak, matanya yang tajam menatapku dengan cara yang tidak bisa kupahami. “Aku nggak suka karaoke,” jawabnya singkat, sebelum kembali menunduk pada bukunya.
Aku tersenyum tipis, mencoba untuk tidak merasa tersinggung. “Oh, ya sudah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, aku pasti akan ada di sana.” Aku berharap bisa melihat sedikit reaksi dari wajahnya, setidaknya selembar senyum kecil. Tapi tidak ada.
Selama beberapa hari berikutnya, aku terus mencoba mendekatinya. Aku duduk lebih dekat dengan Lintang di kelas, mengajaknya berbicara meski dia tidak pernah tampak antusias. Kadang-kadang, aku membawa makanan yang kutemui di kantin dan menawarkannya. Tetapi dia selalu menolak dengan cara yang sopan, meski dalam hatiku aku bisa merasakan ada sedikit ketegangan di udara.
Suatu hari, saat hujan turun sangat deras, aku terjebak di kelas sendirian. Aku baru saja selesai latihan ekstrakurikuler dan tidak ada yang menunggu untuk menjemputku. Semua teman-teman aku sudah pulang, sementara hujan masih turun begitu deras. Aku duduk di salah satu bangku, menatap keluar jendela. Di luar, langit tampak suram, sama seperti perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan sosok yang sudah beberapa hari ini aku amati—Lintang—masuk ke dalam. Dia memakai jaket tebal dan celana panjang, serta sepatu boots. Seperti biasa, wajahnya terlihat datar, tidak ada ekspresi, hanya mata yang tajam.
“Ada apa?” Tanyanya dengan nada rendah, yang cukup membuatku terkejut. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa dia sedang mencoba mengerti aku.
“Aku cuma… nggak tahu harus ke mana,” jawabku dengan jujur. Aku tertawa canggung, namun suara tawaku terasa hampa di telinga. “Hujannya nggak berhenti, dan nggak ada yang bisa aku ajak ngobrol.”
Dia terdiam beberapa detik, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, kamu bisa duduk di sini. Aku juga nggak ada yang menunggu.”
Aku terkejut. Lintang mengajakku duduk bersamanya? Itu tidak seperti dia yang selama ini hanya melamun sendiri. Aku duduk dengan hati-hati, dan entah mengapa, suasana menjadi terasa lebih tenang. Tidak ada percakapan yang berlebihan, hanya suara hujan yang memecah kesunyian. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa nyaman di sampingnya.
Akhirnya, saat hujan mulai reda, dia berdiri dan berkata, “Jangan terlalu banyak berharap pada sesuatu yang tidak pasti, Ulya.” Suaranya rendah, hampir seperti sebuah peringatan. “Popularitas itu hanya akan membuatmu merasa kosong.”
Aku terdiam, kalimat itu menghantam hatiku dengan cara yang aneh. Sejenak aku merasa bingung. Lintang, gadis yang selalu diam dan tak banyak bicara, memberi nasihat yang terasa sangat dalam. Apa yang dia maksud?
Namun, sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, dia sudah berjalan menuju pintu kelas. “Sampai nanti,” katanya pelan.
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Ada sesuatu dalam diriku yang mulai mempertanyakan segala yang sudah aku percayai selama ini. Dan itu dimulai di saat aku duduk bersamanya—dalam kesunyian yang aneh dan penuh dengan perasaan yang sulit kutangkap.
Aku hanya berharap, dalam hati, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Tapi aku tahu, pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang tidak akan pernah sama lagi.
Cerpen Viona, Gadis Paling Hits di Sekolah
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana semuanya bermula. Waktu itu, suasana di sekolahku begitu cerah, bahkan mungkin lebih cerah daripada biasanya. Angin sore berhembus lembut, dan matahari sedikit miring di atas kepala, seolah-olah dunia sedang menyambut kehadiranku. Nama aku Viona, dan kalau kalian mendengar nama itu, kalian pasti tahu siapa aku—gadis paling hits di sekolah ini. Di luar sana, aku dikenal sebagai sosok yang ceria, selalu tersenyum, dan punya banyak teman. Semua orang tampaknya mengenalku. Tapi, apakah mereka benar-benar tahu siapa aku sebenarnya?
Hari itu, aku sedang duduk di bangku taman sekolah, bersama teman-teman dekatku. Rina, Angga, dan Fira, sahabat-sahabat yang selalu ada di sekitar aku. Mereka adalah dunia kecilku, dunia yang selalu riang dan penuh warna. Di antara mereka, aku merasa aman dan nyaman. Kami tertawa, berbicara tentang segala hal—mulai dari tugas matematika yang sulit, hingga gosip terbaru tentang pacar siapa yang baru putus. Seperti biasa, aku menjadi pusat perhatian, menjadi yang paling cerewet, paling banyak bicara. Itu adalah dunia yang aku bangun, dunia yang aku nikmati.
Tapi, hari itu… semuanya berubah.
Seseorang baru masuk ke kelas kami. Namanya Dito. Aku tidak tahu banyak tentang dia, selain dari rumor-rumor yang beredar. Dito bukan tipe orang yang suka bersosialisasi, bahkan katanya dia lebih suka menyendiri. Ia baru pindah ke sekolah ini dari luar kota, dan kabarnya dia bukan anak yang mudah bergaul. Aku tidak tahu kenapa, tapi rumor itu membuatku tertarik.
Saat itu, bel istirahat baru saja berbunyi. Aku dan teman-teman berjalan keluar dari kelas menuju taman, seperti biasa. Ketika aku sedang asyik berbicara dengan Rina tentang acara ulang tahun Fira yang akan datang, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh dan—entah kenapa—memandang pria itu. Dito. Di tengah keramaian, dia terlihat begitu berbeda. Bukan karena penampilannya—dia tampak biasa saja dengan kaos dan celana jeansnya yang sederhana. Tapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang membuat aku merasa seakan-akan dia sedang berada di dunia yang berbeda dari kami semua. Dunia yang lebih sunyi. Dunia yang tidak butuh tawa, tidak butuh kata-kata.
Dito hanya berjalan melewati kami tanpa menyapa. Aku merasa sedikit aneh, karena biasanya, orang-orang pasti akan menyapa, apalagi anak baru. Tapi dia tidak. Bahkan matanya pun tak pernah menoleh sedikit pun ke arah kami. Tiba-tiba, ada perasaan asing yang muncul di dalam diriku. Sesuatu yang membuatku merasa… penasaran.
Hari berikutnya, aku melihat Dito lagi di kantin. Dia duduk sendirian di pojok, dengan buku tebal yang sepertinya tidak pernah dia buka. Teman-teman sekelas yang lain sibuk berkelompok, bercanda tawa, sementara Dito hanya duduk diam, menatap piringnya yang kosong dengan tatapan kosong pula. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya ada magnet yang menarikku untuk mendekatinya. Mungkin karena dia berbeda. Atau mungkin karena aku ingin tahu lebih banyak tentang orang yang bisa begitu tenang, sementara aku selalu berada di tengah keramaian.
Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekat. “Hai, Dito, kan?” tanyaku dengan nada ceria, mencoba menunjukkan bahwa aku tidak menakutkan. “Kamu kenapa? Sendirian aja?”
Dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan datar. “Iya, sendiri. Ada masalah?” jawabnya singkat, tanpa ekspresi.
Aku tersenyum, sedikit canggung. “Enggak kok, cuma pengen tahu aja. Semua orang di sini kayaknya gak ada yang nyapa kamu.” Aku tersenyum lagi, berusaha memecahkan suasana canggung.
Dito hanya mengangkat bahu, lalu kembali menunduk. “Saya gak butuh teman,” jawabnya pelan, seperti berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut.
Mungkin aku tidak tahu, tapi saat itu aku merasa sedikit terluka. Kata-kata itu, meski terdengar datar, seolah menorehkan sebuah luka di hati kecilku. Aku, yang biasa dikelilingi banyak teman, tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya duduk sendirian seperti itu. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang datang untuk berbicara, hanya keheningan yang menyesakkan. Tentu saja, aku ingin sekali mengajak Dito berbicara lebih banyak, tetapi ada sesuatu dalam diri Dito yang membuatku ragu. Ada dinding yang tinggi, seolah dia tidak ingin ada yang mendekat.
Namun, aku tak bisa mengabaikannya begitu saja. Aku masih merasa ada sesuatu yang perlu aku ketahui tentang Dito. Sesuatu yang membuatnya sepi di tengah keramaian. Apakah dia sama sepertiku? Apakah dia merasa kesepian, namun tidak bisa menemukan cara untuk keluar dari kepompong itu?
Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, aku melanjutkan. “Oke, kalau begitu. Tapi ingat ya, kalau kamu butuh teman, aku di sini.” Aku memberikan senyuman hangat, berharap sedikit saja bisa mengurangi kesendiriannya.
Dito hanya diam. Tak ada senyuman, tak ada balasan. Namun, entah kenapa, aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku sudah mencoba.
Sejak hari itu, aku sering melihat Dito di berbagai tempat. Terkadang aku hanya sekadar menyapa, namun dia selalu memberikan jawaban singkat, bahkan kadang terkesan menghindar. Tetapi, entah kenapa, aku merasa semakin ingin tahu lebih dalam tentang dia. Ada sesuatu di balik sikap dinginnya yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Lama kelamaan, aku menyadari bahwa hubungan kami mulai berkembang, meski tak banyak kata yang keluar dari mulut Dito. Setiap kali aku menyapanya, aku merasa seperti ada percikan kecil yang tumbuh dalam hatiku. Sesuatu yang aneh dan membingungkan, yang aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Tapi, di dalam hatiku, aku tahu satu hal—ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Sesuatu yang akan mengajari aku bahwa tidak semua orang bisa dilihat dari luar, dan bahwa kadang, persahabatan dimulai dari percakapan yang paling sederhana.
Cerpen Wina, Gadis Super Modis dan Gaul
Wina tidak pernah menyangka bahwa pertemuan pertama itu akan mengubah banyak hal dalam hidupnya. Saat itu, cuaca di Jakarta sedang cerah, dengan sinar matahari yang menyelinap lembut lewat jendela besar kelas 10 IPA 3. Kelas baru, teman-teman baru, dan tentu saja—sosok-sosok baru yang membuat dunia sekolah terasa lebih berwarna.
Seperti biasa, Wina melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Pakaian yang dia kenakan—kaos crop-top berwarna peach dan jeans robek di lutut—pasti mencuri perhatian. Sepatu sneakers putih yang sedikit kotor, aksesori simpel berupa kalung emas kecil dan cincin besar di jari, semuanya seolah sengaja dia pilih untuk menunjukkan siapa dirinya: seorang gadis yang gaul dan selalu up-to-date dengan tren terbaru. Rambutnya yang panjang, hitam berkilau, ia biarkan tergerai bebas. Hari itu, dia merasa jadi pusat perhatian, dan itu membuatnya bahagia.
Namun, meski dia dikelilingi banyak teman, ada sesuatu yang berbeda hari itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa cemas, sedikit gelisah—namun dia tidak tahu apa itu.
Pagi itu, guru kelas—Bu Ani—masuk dengan wajah serius. “Selamat pagi, anak-anak! Hari ini ada teman baru yang akan bergabung dengan kita. Perkenalkan, ini adalah Dimas, siswa baru dari sekolah di luar kota.”
Wina melihat ke depan, dan matanya langsung tertuju pada seorang laki-laki yang baru saja masuk. Dimas. Tubuhnya tinggi, dengan rambut pendek yang disisir rapi. Wajahnya terlihat tenang, hampir tidak ada ekspresi. Pakaian yang dikenakan juga simpel, kemeja kotak-kotak yang seolah tidak memperhatikan mode, dipadukan dengan celana hitam dan sepatu hitam biasa. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang mencolok. Tetapi, ada sesuatu yang membuat Wina tertarik.
“Dimas, silakan duduk di samping Wina,” Bu Ani menunjuk ke arah kursi kosong di samping meja Wina, yang terletak di sebelah jendela.
Wina hanya bisa tersenyum tipis, meski hatinya berdebar sedikit lebih cepat. “Iya, Bu,” jawab Dimas, suara lembutnya menembus ke dalam kesunyian kelas. Tanpa banyak kata, Dimas melangkah menuju kursi yang dimaksud dan duduk dengan tenang.
Pemandangan ini membuat Wina merasa sedikit aneh. Biasanya, di kelas barunya, dia akan langsung dikerumuni teman-teman yang ingin berbicara, bertanya tentang hobinya, atau bahkan memberikan pujian. Tetapi Dimas, lelaki yang tidak dikenal ini, tampaknya tidak membutuhkan perhatian. Dia justru lebih memilih diam dan membenamkan pandangannya ke buku tulisnya.
Selama pelajaran berlangsung, Wina tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Dimas. Ada sesuatu yang misterius pada dirinya—sebuah aura tenang yang membuat Wina merasa seperti seorang gadis yang sedang terjebak dalam dunia yang berputar cepat, namun Dimas seolah menjadi titik yang menenangkan di tengah-tengah itu.
Saat bel tanda istirahat berbunyi, Wina mengambil kesempatan untuk berbicara dengannya. Teman-temannya yang biasanya sudah menyerbu saat bel istirahat justru tampak memilih untuk berkumpul dengan kelompok mereka masing-masing. Wina berjalan mendekati Dimas yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya.
“Hei, Dimas, kan?” Wina memulai percakapan dengan suara ceria.
Dimas mengangkat wajahnya dan tersenyum sekilas, “Iya, benar. Wina kan?”
“Iya. Aku Wina. Tadi, kamu datang sendirian, ya?” Wina mencoba membuka obrolan, matanya tidak bisa lepas dari wajahnya yang tenang.
Dimas mengangguk, “Iya, baru pertama kali masuk sekolah di sini. Jadi, ya… cuma bawa diri aja.”
Wina tertawa kecil. “Sama aja, kok. Aku juga baru aja masuk kelas ini. Kalau kamu butuh bantuan, tanya aja ya. Aku bisa bantu.”
Dimas hanya mengangguk lagi. Wina merasakan ada jarak di antara mereka, sebuah keheningan yang aneh. Gadis super modis dan gaul seperti Wina merasa sedikit bingung dengan sikap Dimas yang tampak cuek dan terkesan lebih memilih untuk menyendiri.
Hari pertama itu berlalu, dan Wina kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Teman-temannya berbicara banyak tentang hal-hal menyenangkan, seperti acara mall, konser, atau pacar teman-teman yang baru saja putus. Tapi, Wina merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dimas.
Wina menceritakan pertemuan pertamanya dengan Dimas pada ibunya saat makan malam. Ibunya, seorang wanita yang sangat hangat dan selalu memberikan nasihat bijak, hanya tersenyum mendengar cerita putrinya.
“Wina, kamu tahu, kadang orang yang terlihat paling tenang itu justru yang paling memerlukan perhatian. Cobalah untuk tidak terburu-buru menilai orang hanya dari luar. Mungkin Dimas punya cerita yang belum dia bagikan.”
Wina mendengarkan, berpikir sejenak. Entah kenapa, kata-kata ibunya terasa seperti sesuatu yang lebih dalam, seperti petunjuk untuk menavigasi sesuatu yang lebih besar dari sekedar pertemuan pertama dengan seseorang.
Keesokan harinya, Wina kembali ke sekolah dengan perasaan yang lebih tenang. Dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksakan hubungan, apalagi dengan seseorang yang sepertinya tidak terlalu terbuka untuk berteman. Tapi ada sesuatu tentang Dimas yang membuatnya ingin mengetahui lebih jauh. Sesuatu yang lebih dari sekedar tampilan luar yang biasa saja, yang tampaknya menyimpan cerita lebih dalam.
Di pelajaran bahasa Indonesia, tiba-tiba Dimas berbalik dan berbicara dengan Wina. “Wina,” dia memulai dengan suara pelan. “Terima kasih sudah mau berbicara dengan aku kemarin.”
Wina merasa jantungnya berdegup kencang. Dimas tersenyum tipis, dan Wina merasa ada kehangatan dalam senyum itu, sesuatu yang sangat berbeda dari kesan pertama yang dia dapatkan.
“Gak masalah,” Wina menjawab, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku suka kalau kita bisa saling ngobrol.”
Dimas mengangguk. “Aku baru pindah, jadi banyak yang aku belum tahu. Mungkin bisa… bareng-bareng, belajar sama-sama.”
Mata Wina berbinar. “Tentu, kita bisa mulai dari belajar bareng. Aku senang kalau bisa bantu.”
Seiring berjalannya waktu, mereka mulai lebih sering berbicara. Wina mulai menyadari bahwa Dimas bukanlah orang yang sulit diajak bicara, hanya saja dia lebih pendiam dan memilih untuk mendengarkan daripada berbicara. Lama kelamaan, Wina merasa seperti ada ikatan yang tumbuh antara mereka. Sesuatu yang mungkin lebih dari sekedar pertemanan biasa.
Malam itu, Wina menatap langit lewat jendela kamarnya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setelah bertemu Dimas. Perasaan itu masih mengendap dalam hatinya, perlahan meresap. Bisa jadi, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah pertemuan biasa.
Dan saat itu, Wina tahu—pertemuan itu adalah awal dari cerita yang akan membentuk banyak kenangan. Sebuah cerita tentang persahabatan yang mungkin, suatu hari nanti, akan berubah menjadi sesuatu yang lebih.