Cerpen Sunda Persahabatan

Selamat datang, teman-teman! Cerpen kali ini menghadirkan cerita yang tak kalah menarik, penuh warna dan misteri. Jangan lewatkan setiap detiknya, ya!

Cerpen Lola, Gadis Berjiwa Trendsetter

Kehidupan Lola selalu penuh warna, seperti palet cat yang terbuka lebar dan siap menyentuh kanvas kosong. Setiap langkahnya penuh percaya diri, setiap senyumnya mencerminkan kebahagiaan yang tulus. Dalam dunia yang penuh kebingungan ini, ia adalah sosok yang mampu menenangkan. Penuh gaya, penuh semangat, dan penuh energi yang menular ke siapa saja yang berdekatan dengannya. Dia bukan sekadar gadis biasa; Lola adalah trendsetter.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa di balik sorotan mata yang selalu ceria itu, ada sisi lain yang jarang terlihat—sebuah luka kecil yang tak pernah tampak oleh orang lain. Mungkin karena dia terlalu kuat, atau terlalu takut untuk menunjukkan kelemahan. Entah, Lola sendiri tak tahu. Yang jelas, selama ini dia selalu dikelilingi oleh teman-teman yang menyukai dirinya, yang mengagumi karisma dan gaya hidupnya yang selalu up-to-date.

Semua orang tahu bahwa Lola adalah bintang dalam pergaulan. Namun, satu hal yang sering kali dia pertanyakan adalah: Apakah teman-temannya benar-benar mengenalnya? Apakah mereka akan tetap berada di sisinya ketika dunia tidak lagi secerah matahari yang selalu dia janjikan?


Pagi itu, udara di Bandung terasa agak sejuk, meskipun matahari sudah mulai memancar dengan terik. Lola sedang berjalan menuju sekolah, berjalan dengan langkah yang mantap seperti biasa. Di tangannya, sebuah tas trendy yang selalu menjadi pusat perhatian. Tidak ada yang lebih ia sukai selain melihat teman-temannya melirik tas barunya yang ia beli minggu lalu. Itu sudah menjadi kebiasaannya—menjadi pusat perhatian, dan dia menikmati itu.

Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu. Saat dia melangkah masuk ke area sekolah, matanya menangkap sesosok gadis baru yang sedang berdiri di sudut lapangan. Gadis itu tampak sendirian, dengan rambut panjang yang tergerai indah, dan pakaian sederhana namun elegan, jauh berbeda dengan kebanyakan teman-teman di sekolah. Ia memegang buku catatan di tangan kiri, seakan dunia ini hanya miliknya dan buku itu.

Lola tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup ke hatinya. Gadis itu, yang tampaknya baru saja pindah ke sekolah, terlihat begitu berbeda dari yang lain. Ada aura kesendirian yang terpancar jelas dari dirinya. Tidak ada senyum manis, tidak ada gerakan ceria yang mengundang perhatian seperti biasanya. Tidak ada yang mencuri perhatian sepertinya.

Lola, yang selalu merasa dirinya sebagai pusat perhatian, merasa sedikit tersingkirkan oleh gadis itu—perasaan yang jarang ia alami. Dia merasa ada sesuatu yang menarik tentang gadis itu, meskipun ia tampak begitu jauh dan tidak peduli dengan keramaian sekitarnya. Tanpa berpikir panjang, Lola memutuskan untuk mendekatinya.

“Hey, kamu baru di sini ya?” sapa Lola dengan gaya santainya.

Gadis itu menoleh dengan tatapan dingin, hampir tak terlihat. “Iya,” jawabnya singkat.

“Aku Lola. Kalau kamu butuh teman, aku bisa bantu kok. Aku kenal banyak orang di sini.” Lola menyodorkan senyum terbaiknya, senyum yang biasa membuat orang lain merasa nyaman. Tapi gadis itu hanya menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke buku di tangan.

Lola merasa sedikit bingung. Biasanya, tidak ada orang yang bisa menolak senyumnya. Orang-orang selalu ingin dekat dengannya, selalu ingin berbicara dengannya. Tapi gadis itu berbeda.

“Maaf, aku ganggu ya,” kata Lola pelan, meski masih dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. “Aku cuma berpikir kalau kamu pasti butuh teman di sini.”

Gadis itu akhirnya mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu dengan mata Lola. Ada kekosongan yang dalam di sana, namun ada juga sesuatu yang membuat Lola merasa terhubung—meski dia tak tahu mengapa.

“Aku nggak butuh teman,” jawabnya datar.

Ada sedikit kecewa di hati Lola, namun dia berusaha tidak menunjukkan perasaan itu. “Oke, kalau kamu butuh apa-apa, aku di sini. Jangan sungkan-sungkan,” ucapnya, sebelum melangkah pergi dengan langkah yang agak ragu.

Selama sepanjang hari itu, Lola tak bisa menghapus bayangan gadis itu dari pikirannya. Seolah ada sesuatu yang menarik hatinya, meskipun gadis itu jelas-jelas menolak kehadirannya. Ada sesuatu di dalam diri gadis itu yang membuat Lola penasaran. Kenapa gadis itu tampak begitu tertutup? Kenapa ia tidak peduli dengan pergaulan? Apa yang membuatnya berbeda?

Pulang sekolah, Lola merasa cemas. Ada perasaan ganjil yang menggantung di hatinya. Dia sudah terbiasa menjadi sosok yang selalu bisa mendekati siapa saja, menjalin hubungan dengan mudah. Tapi gadis itu, dia seperti sebuah misteri yang sulit dipecahkan.

Sejak hari itu, Lola tidak bisa berhenti berpikir tentang gadis itu. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, gadis itu selalu menghindari percakapan lebih jauh. Tapi Lola tidak menyerah. Walau hatinya sedikit terluka, dia tetap mencoba untuk mendekatinya. Dia merasa, entah mengapa, dia ingin mengenal gadis itu lebih dekat.

Tapi pada suatu sore, ketika Lola sedang duduk di bangku taman sekolah, ia melihat gadis itu duduk di bawah pohon, sendirian. Hatinya berkata, inilah kesempatan yang ia tunggu.

Dengan langkah pelan, Lola menghampirinya. Gadis itu tidak menoleh, tapi Lola tahu dia melihatnya.

“Kenapa kamu selalu sendiri?” tanya Lola dengan suara lembut, lebih lembut dari biasanya.

Gadis itu menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, ada kedalaman dalam matanya. “Kadang,” jawabnya pelan, “lebih baik sendiri daripada bersama orang-orang yang tidak mengerti.”

Lola terdiam. Kata-kata itu menghujam jantungnya. Seperti ada sesuatu yang dalam dan menyakitkan yang terkandung dalam kalimat singkat itu. Gadis itu tidak hanya tertutup, dia terluka. Dan entah kenapa, perasaan itu membuat Lola ingin melindunginya. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Sebuah persahabatan yang bisa lebih dalam, atau bahkan lebih dari itu. Tetapi, dia tahu, perjalanannya untuk mengenal gadis itu, yang ternyata bernama Rani, akan penuh dengan tantangan.

Di saat yang sama, Lola juga menyadari satu hal. Di balik sosok yang selalu ceria dan penuh semangat, mungkin dia pun membutuhkan seseorang yang bisa memahami dirinya, sama seperti Rani.

Cerpen Marsha, Si Gadis Berkelas Internasional

Marsha berjalan perlahan di koridor sekolah, mengenakan jas biru muda yang selalu membuatnya terlihat anggun. Sejak kecil, ia terbiasa tampil dengan penuh percaya diri, karena ia tahu bahwa dirinya berbeda. Bukan hanya karena status sosialnya yang membuatnya menjadi anak perempuan berkelas internasional, tetapi juga karena hatinya yang lapang, yang selalu ingin bersahabat dengan siapa saja, apapun latar belakang mereka.

Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Suasana di sekolah terasa lebih sepi dari biasanya, dan Marsha, yang biasanya dikelilingi oleh tawa teman-teman sekelasnya, merasa agak terasing. Mungkin ini karena datangnya siswa baru, yang kabarnya adalah anak dari seorang diplomat yang dipindahkan dari luar negeri. Marsha tahu, meski tak ada yang mengatakannya, kehadiran siswa baru itu pasti akan menjadi sorotan banyak orang, seperti dirinya.

Pikirannya berkelana kembali ke kenangan-kenangan di masa lalu, saat ia masih kecil di luar negeri, sekolah internasional yang penuh dengan keberagaman, teman-teman yang datang dari berbagai negara, dan bagaimana ia tumbuh dalam dunia yang serba glamor. Dunia yang tak pernah bisa ia tinggalkan, dunia yang memberinya akses ke segalanya, tetapi juga dunia yang kadang mengurungnya dalam kesendirian yang hening. Dunia yang tak selalu memberinya kesempatan untuk merasakan persahabatan yang tulus.

Saat Marsha melangkah ke aula, ia melihat kelompok siswa berkumpul, berbisik-bisik dengan penasaran. Di tengah mereka berdiri seorang gadis yang tampak bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Gadis itu mengenakan seragam sekolah yang sedikit kusut, rambutnya yang panjang tergerai namun tidak rapi, dan ekspresinya… ekspresi itu membuat Marsha merasa ada sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang mengingatkannya pada masa-masa sulitnya sendiri. Gadis itu berbeda. Dan itu membuat Marsha penasaran.

“Hei, dia pasti yang baru datang,” bisik seseorang di dekatnya.

Marsha mendekat. Gadis itu masih berdiri sendiri, seakan tidak tahu harus berbuat apa. Matanya yang besar terlihat sedikit ragu, namun ada sedikit kilauan yang tak bisa disembunyikan—mungkin karena cemas, atau mungkin karena berusaha untuk terlihat kuat di hadapan orang-orang baru. Marsha merasa tergerak untuk mendekatinya, walaupun ia tahu bahwa langkah itu mungkin akan membuatnya terlibat dalam sesuatu yang lebih rumit.

“Hei,” Marsha menyapanya dengan lembut, sambil tersenyum.

Gadis itu menoleh, dan untuk sejenak, tatapan mereka bertemu. Ada keraguan dalam mata gadis itu, namun ada juga ketulusan yang membuat Marsha merasa seperti mengenalnya sudah lama.

“Hallo,” jawab gadis itu pelan, sedikit gugup. “Aku… aku baru di sini.”

“Nama kamu siapa?” tanya Marsha, memancing percakapan.

“Amara,” jawab gadis itu dengan suara yang lebih pelan dari biasanya.

“Amara, ya? Aku Marsha,” Marsha menjawab dengan senyum yang lebih lebar. “Kamu dari luar kota, ya?”

Amara mengangguk perlahan. “Iya, aku baru pindah ke sini. Sepertinya aku… agak kesulitan beradaptasi.”

Marsha bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Gadis ini jelas merasa canggung, mungkin karena merasa asing di lingkungan baru. Di sisi lain, Marsha merasa sepertinya Amara membutuhkan seseorang untuk membuka dirinya. Dan Marsha tahu, mungkin ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa persahabatan itu lebih dari sekadar status atau kelas sosial.

“Kamu nggak perlu khawatir, kok. Di sini pasti banyak yang mau berteman dengan kamu,” ujar Marsha, mencoba meyakinkan.

Amara tersenyum kecil, namun ada keheningan yang lebih dalam di antara mereka. Marsha bisa merasakan bahwa ada sebuah dinding emosional yang dibangun Amara, seolah ia enggan menunjukkan sisi rapuhnya. Marsha tahu, ia harus berhati-hati dengan gadis itu. Sepertinya Amara bukan tipe orang yang mudah untuk percaya pada orang lain. Mungkin ini karena pengalamannya di masa lalu.

“Sini, aku kenalin kamu sama teman-teman,” ajak Marsha, sambil merangkul bahu Amara dengan lembut, walau gadis itu sempat sedikit terkejut.

Mereka berjalan menuju kelompok teman-teman Marsha, yang sudah mulai mengobrol tentang berbagai hal. Beberapa dari mereka melihat Marsha dan Amara dengan tatapan penasaran, namun Marsha tak terlalu mempedulikannya. Ia lebih fokus pada Amara yang tampaknya masih merasa canggung, seperti seseorang yang tidak tahu di mana harus meletakkan kakinya.

“Ayo, kita mulai dengan kalian berdua dulu,” ujar Marsha, sambil menarik Amara lebih dekat.

“Aku rasa aku nggak cocok sama mereka,” Amara berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka terlalu… berbeda.”

Marsha terdiam. Ia bisa memahami perasaan itu. Terkadang, meskipun kita ingin berbaur, ada bagian dari diri kita yang merasa lebih nyaman di dunia kita sendiri, dunia yang kita kenal dan pahami. Dunia yang, meskipun terasa aman, kadang-kadang membuat kita terisolasi.

“Tapi, siapa bilang kamu harus jadi seperti mereka? Kamu jadi diri kamu sendiri aja,” kata Marsha dengan lembut. “Aku tahu rasanya jadi orang baru di tempat yang asing. Aku juga pernah merasa seperti itu.”

Amara menoleh, tatapan matanya mulai lebih lembut. “Kamu pernah merasa sendiri juga?”

Marsha mengangguk. “Iya. Saat aku pindah ke luar negeri dulu, semuanya terasa asing. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, dunia yang tak ada tempat untukku. Tapi aku belajar untuk membuka hati. Dan akhirnya, aku punya teman-teman yang menyayangiku karena siapa diriku, bukan karena siapa yang aku kenal.”

Amara terdiam, sepertinya memikirkan kata-kata Marsha. Beberapa detik kemudian, ia tersenyum sedikit. “Terima kasih,” ucapnya pelan. “Mungkin… mungkin aku bisa mencoba.”

Marsha tersenyum, merasa ada ikatan yang mulai terbentuk. Mungkin, di balik ketegangan dan kesulitan yang mereka rasakan, ada potensi persahabatan yang menunggu untuk berkembang. Marsha tahu, meskipun jalan mereka berbeda, ada satu hal yang bisa menyatukan mereka: keinginan untuk saling memahami dan mendukung.

Saat mereka berdiri di sana, dikelilingi oleh teman-teman baru, Marsha merasa ada sesuatu yang indah yang mulai tumbuh di antara mereka berdua. Namun, ia juga menyadari, di balik senyum dan obrolan ringan itu, ada perasaan yang lebih dalam yang mulai tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang sulit dijelaskan. Sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar persahabatan.

Tapi itu cerita yang belum selesai. Dan untuk saat ini, Marsha hanya ingin menikmati momen ini—momen awal pertemuan, di mana segala sesuatu terasa penuh dengan kemungkinan.

Cerpen Nessa, Gadis Super Gaul

Bagi Nessa, hidup adalah tentang tawa dan tawa. Gadis berusia 18 tahun ini adalah pusat perhatian di mana pun ia berada. Rambutnya yang hitam legam berkilau, dipadu dengan gaya fashion kekinian, menjadikannya idol di kalangan teman-temannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bergaul dengan banyak orang, berbagi cerita, dan menikmati waktu bersama sahabat-sahabatnya. Nessa adalah tipe orang yang selalu mencari cara untuk membuat setiap momen terasa hidup.

Namun, kehidupan yang terlihat sempurna dari luar itu tak selalu seratus persen bahagia. Ada bagian dari dirinya yang tak banyak orang tahu, bagian yang terkubur dalam-dalam di balik senyumnya yang ceria. Dulu, Nessa sempat merasakan kepahitan, kesedihan yang mengubahnya. Tetapi itu adalah cerita lain, cerita yang hanya ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.

Aku pertama kali melihat Nessa saat acara perpisahan sekolah, waktu itu aku hanya seorang gadis biasa. Di tengah keramaian, mataku tertuju pada sosoknya yang tampak sangat percaya diri, seperti pusat magnet yang menarik perhatian semua orang. Semua orang ingin berfoto bersama Nessa, tertawa bersama Nessa, seolah dunia ini milik Nessa. Dan aku hanya berdiri di sudut, melihatnya dengan rasa kagum.

Aku tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang muncul. Siapa dia? Apa yang membuatnya begitu istimewa?

“Aku Nessa,” katanya tiba-tiba, ketika aku tanpa sengaja menatapnya terlalu lama.

Aku tersentak. “Eh, maaf. Aku… aku hanya—”

“Santai aja,” jawabnya sambil tertawa ringan, memotong kalimatku yang terbata-bata. “Jangan kayak orang aneh. Kamu… baru ya? Aku lihat kamu jarang ikut acara-acara gitu.”

Aku merasa sedikit canggung. Aku memang lebih suka menyendiri, tidak seperti teman-temannya yang selalu mengisi waktu dengan keceriaan. Tapi Nessa malah tersenyum dan mendekat, seolah ingin tahu lebih banyak.

“Nama kamu siapa?” tanya Nessa dengan suara riangnya, seolah sudah mengenal aku sejak lama.

“Fia,” jawabku singkat. Ada rasa aneh di dadaku, entah kenapa aku merasa nyaman berbicara dengannya meski baru saja bertemu.

“Fia? Asik! Kalau gitu, kamu wajib ikut ke acara selanjutnya,” katanya dengan semangat yang tampaknya tak pernah pudar.

Aku terkejut. “Acara selanjutnya?”

“Yah, siapa tahu bisa jadi seru. Teman-temanku pada ngumpul malam ini, kamu gabung dong.”

Aku hanya diam sejenak, ragu. Aku bukan tipe orang yang mudah masuk dalam kelompok besar seperti itu. Tapi entah kenapa, aku merasa Nessa tidak seperti yang lainnya. Ada sesuatu dalam diri gadis ini yang membuatku ingin tahu lebih banyak.

“Mungkin lain kali aja,” jawabku pelan, masih belum yakin.

Nessa tidak memaksaku. Sebaliknya, dia hanya tersenyum dan berkata, “Kapan-kapan aja, Fia. Aku tunggu ya!”

Malam itu, setelah pulang dari acara perpisahan, aku masih terbayang-bayang dengan senyum cerahnya. Kenapa gadis sepopuler itu begitu ramah padaku? Kenapa dia bersikap seperti sudah mengenal aku bertahun-tahun? Aku merasa seperti ada yang aneh, tapi juga ada rasa hangat yang datang dari pertemuan itu.

Esok harinya, tanpa aku duga, Nessa datang menghampiriku. Saat aku sedang duduk di kantin, dia tiba-tiba datang dengan langkah cepat, wajahnya penuh semangat. “Fia!” teriaknya.

Aku terkejut. “Kenapa, Nessa?”

“Yuk, ikut aku!” katanya tanpa memberi kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti Nessa yang sudah menarik tanganku ke luar. Ternyata, dia sudah merencanakan sesuatu—membawa aku ke tempat nongkrong favorit mereka, tempat di mana semua orang yang dekat dengan Nessa berkumpul.

Teman-teman Nessa langsung menyambut kami dengan sorakan riang. Aku masih merasa sedikit canggung, tetapi Nessa selalu ada di sampingku, mengajakku tertawa dan berbicara, seakan-akan kami sudah berteman lama. Aku merasa dunia itu terasa berbeda di sampingnya. Tempat yang semula asing kini terasa sedikit lebih nyaman, karena Nessa mampu membuat semuanya terasa ringan.

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar bahwa di balik setiap senyum cerah Nessa, ada sesuatu yang tersembunyi—sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun. Sesuatu yang ia simpan rapat-rapat, mungkin jauh lebih dalam daripada luka apapun yang pernah ku alami. Aku merasa seperti dia sedang berjuang dengan dirinya sendiri, tapi tidak pernah menunjukkan itu kepada orang lain. Bahkan aku, yang mulai dekat dengannya, tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang dia rasakan.

Suatu malam, setelah acara kumpul-kumpul, aku memutuskan untuk mengajak Nessa bicara serius. Kami duduk di bangku taman, tempat yang biasa kami gunakan untuk berbincang-bincang ringan.

“Nessa,” aku mulai dengan hati-hati. “Aku tahu kamu selalu ceria, selalu terlihat bahagia, tapi… ada yang berbeda di dirimu. Apakah kamu baik-baik saja?”

Nessa menundukkan kepalanya. Wajahnya yang selama ini tampak cerah kini terlihat sedikit lebih murung, seolah ada beban berat yang sedang ia pikirkan. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

“Fia, kadang aku merasa seperti ada yang hilang dari hidupku. Aku tertawa, aku senang, aku punya banyak teman… tapi rasanya semuanya tidak berarti tanpa orang yang bisa mengerti aku. Tanpa seseorang yang bisa melihatku lebih dari sekadar gadis super gaul yang selalu ceria.”

Aku terdiam, hatiku berdegup kencang mendengar kata-katanya. Ternyata, aku tidak salah. Nessa juga punya sisi lain yang selama ini dia sembunyikan.

“Nessa, kamu tidak perlu jadi ‘super gaul’ kalau itu membuatmu merasa kesepian,” aku berkata perlahan. “Aku ada di sini. Kamu tidak sendirian.”

Nessa tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sepenuhnya menghilangkan kesedihannya. “Terima kasih, Fia,” katanya, dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya menangis. Sebuah tangisan yang penuh kelegaan, seakan-akan dia bisa melepaskan beban berat yang sudah lama ia bawa.

Hari itu menjadi titik awal bagi kami, titik awal persahabatan yang lebih dalam dari sekadar tawa dan kebahagiaan. Kami berdua mulai belajar untuk saling mengisi kekosongan, untuk saling mengerti dalam keheningan yang tak terucapkan. Bagi Nessa, dunia yang penuh sorotan itu tak selalu mudah, dan bagi aku, dia adalah sahabat yang tidak pernah aku bayangkan bisa aku temui.

Senyumnya yang dulu terasa seperti ilusi kini terasa lebih tulus, lebih nyata—dan aku tahu, pertemuan kami bukan hanya kebetulan.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *