Cerpen Singkat Tentang Sahabat Penghianat

Selamat datang, teman-teman! Di sini, kamu akan menemukan cerita-cerita seru tentang gadis-gadis yang penuh semangat dan petualangan. Jangan lewatkan keseruan di setiap halaman!

Cerpen Zila, Sang Ratu Gaul

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hidupku dulu terasa sempurna. Nama aku Zila, gadis yang tak pernah kekurangan teman, yang selalu dihormati di mana-mana, dan yang seolah tak pernah merasa kesepian. Dari luar, hidupku bagaikan cerita dongeng—semua orang mengira aku punya segalanya. Namun, hanya sedikit yang tahu, di balik senyum cerah itu, aku sering merasa kosong, seakan ada ruang besar yang tak pernah bisa diisi oleh semua tawa dan keceriaan itu.

Hari itu, di tengah hiruk-pikuk sekolah, aku melihat seorang gadis baru di sudut kantin. Dia duduk sendirian, terlihat agak canggung, memainkan ujung rambutnya dengan jari-jari yang gemetar. Matanya tampak ragu-ragu, seolah sedang mencari tempat untuk masuk ke dunia yang baru. Aku mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. Aku bukan tipe yang mudah mengulurkan tangan kepada orang baru—terlebih kepada gadis yang tampak berbeda, dengan penampilan sederhana dan aura kesendirian yang begitu kuat.

Namun, entah mengapa, aku merasa sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena aku sendiri terkadang merasa kesepian meski dikelilingi banyak orang, atau mungkin karena ada sesuatu dalam diri gadis itu yang memanggil perhatianku. Aku memutuskan untuk mendekatinya, meskipun awalnya aku ragu.

“Hei,” sapaku dengan nada ceria, mencoba untuk memecah kebisuan di antara kami. “Kamu baru ya?”

Gadis itu menoleh, sedikit terkejut, dan aku bisa melihat bagaimana matanya yang besar dan bulat itu menunjukkan kebingungan. Namun, setelah beberapa detik, senyum kecil mulai terbentuk di bibirnya. “Iya, baru. Namaku Dira.”

Aku duduk di meja yang sama dengannya. Rasanya aneh, karena biasanya aku tidak pernah duduk dengan orang yang tak kukenal, apalagi yang terlihat seintrovert itu. Tapi ada sesuatu yang membuatku ingin berbicara lebih banyak. Kami mulai berbincang, dari hal-hal kecil tentang sekolah, hingga kepercayaan-kepercayaan kami yang pribadi.

Dira, ternyata, sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan. Dia bukan gadis yang hanya tertarik dengan gosip atau tren terbaru. Dia lebih suka berbicara tentang buku, film, dan musik. Kami segera menemukan kesamaan dalam banyak hal, dan tanpa sadar, aku merasa nyaman di dekatnya. Di tengah kesibukan dan hebohnya dunia sosialita sekolahku, Dira menjadi tempat pelarian yang aman, tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri tanpa merasa harus menjaga citra.

Hari demi hari, kami semakin dekat. Kami mulai menghabiskan waktu berdua, berjalan pulang bersama, dan saling bercerita tentang segala hal—tentang keluarga, tentang mimpi-mimpi kami yang kadang terasa mustahil. Dira, yang dulu tampak seperti gadis pendiam yang tidak punya teman, kini menjadi salah satu orang yang paling penting dalam hidupku. Dia bukan hanya sahabat, tapi juga seperti saudara yang telah lama hilang.

Aku masih ingat malam pertama kami duduk berdua di balkon rumahku, menatap langit malam yang penuh bintang. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma segar dari taman di sekitar rumahku. Aku memandangi wajah Dira yang tampak tenang, dan aku merasa seolah-olah dunia ini hanya milik kami berdua.

“Zila,” Dira berkata pelan, matanya yang penuh pertanyaan menatapku. “Kenapa kamu mau berteman denganku? Aku bukan seperti teman-temanmu yang lain.”

Aku terdiam sesaat. Apa yang membuatku berteman dengannya? Jawaban yang terlintas di benakku adalah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. Rasanya, meski dunia ini penuh dengan orang-orang yang memujaku, hanya Dira yang bisa melihat sisi lain dari diriku—sisi yang tak terlihat oleh mereka. Aku merasa hidupku lebih hidup saat bersamanya.

“Karena kamu berbeda, Dira,” jawabku akhirnya, suara serak, namun tegas. “Kamu nggak seperti mereka. Kamu… kamu bisa membuatku merasa nyaman jadi diriku sendiri.”

Dira tersenyum. Senyum itu, yang selalu membuat hatiku merasa tenang, begitu tulus dan hangat. Aku merasakan ada sesuatu yang kuat terjalin di antara kami. Tanpa sadar, aku mulai berharap hubungan ini takkan pernah berubah, dan kami akan selalu bersama—selamanya.

Namun, seperti halnya setiap cerita yang terasa terlalu indah, aku tak pernah tahu bahwa kebahagiaan yang kurasakan akan menjadi sebuah awal dari sebuah tragedi. Sebuah pengkhianatan yang tak akan pernah kuingat tanpa perasaan sakit yang menusuk hati.

Tapi itu belum terjadi saat itu. Saat itu, aku hanya merasa bahwa hidupku semakin sempurna. Aku punya segalanya—teman yang setia, hidup yang penuh warna, dan cinta yang mengalir begitu tulus antara aku dan Dira. Aku belum tahu bahwa semuanya itu hanya bayangan belaka, yang nantinya akan dihancurkan oleh sebuah kebenaran yang akan mengguncang seluruh dunia yang kubangun.

Satu hal yang aku tahu, saat itu aku bahagia. Sangat bahagia. Dan aku berharap kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir. Tapi hidup, tak pernah berjalan seperti yang kita inginkan, kan?

Cerpen Ayu, Gadis Trendsetter Muda

Saat pertama kali bertemu dengannya, aku tak menyangka bahwa pertemuan itu akan menjadi awal dari sebuah cerita yang begitu membekas dalam hidupku. Sebuah cerita tentang persahabatan yang indah, namun akhirnya berubah menjadi kisah penuh luka.

Aku adalah Ayu, seorang gadis berusia 17 tahun yang dikenal sebagai seorang trendsetter muda di sekolahku. Bukan karena aku ingin mencuri perhatian, tapi karena aku percaya bahwa setiap orang punya caranya sendiri untuk bersinar. Aku sering kali jadi sorotan di sekolah—dengan gaya rambut yang selalu berubah-ubah, pakaian yang selalu ter-update, dan cara berbicara yang kadang membuat orang merasa nyaman. Aku merasa hidupku sempurna, atau setidaknya, itulah yang aku yakini saat itu.

Aku punya banyak teman, dan aku sangat mencintai mereka. Setiap hari aku dikelilingi oleh tawa dan kebahagiaan. Namun, tak ada yang bisa menggantikan tempat sahabat terbaikku, Lila. Pertemuan pertama kami terjadi beberapa bulan yang lalu, namun saat itu aku tak tahu bahwa dia akan menjadi bagian penting dalam hidupku.

Lila masuk ke sekolah kami ketika aku duduk di kelas 10. Dia adalah siswi baru yang agak pendiam dan introvert. Di awal-awal, aku melihatnya hanya sebagai gadis yang tidak begitu menonjol. Namun entah kenapa, ada sesuatu yang menarik perhatian aku saat pertama kali melihatnya. Mungkin karena senyumannya yang selalu terlihat tulus meskipun dia tak banyak bicara.

Suatu hari, saat kami duduk di kantin, aku mendekatinya. Aku sedang duduk dengan beberapa teman, dan Lila duduk sendiri di meja sebelah. Aku perhatikan dia mengaduk-aduk minuman coklatnya dengan sendok sambil menundukkan kepala. Aku merasa kasihan, mungkin dia merasa kesepian.

“Aku Ayu,” kataku sambil tersenyum dan duduk di meja Lila. “Kenapa kamu makan sendirian? Ayo bergabung dengan kami!”

Lila terlihat sedikit terkejut, namun kemudian dia mengangkat wajahnya dan membalas senyumanku. “Oh, iya, aku Lila,” katanya pelan. “Terima kasih sudah mengajak.”

Kami berbicara sebentar, dan meskipun awalnya canggung, Lila mulai membuka diri. Ternyata, dia baru pindah ke kota ini karena orang tuanya yang harus sering berpindah tempat karena pekerjaan. Itulah alasan mengapa dia merasa sulit untuk beradaptasi dengan teman-teman baru. Di tengah percakapan kami, aku merasa ada kedekatan yang aneh, seolah kami sudah saling mengenal lama. Dan dari hari itu, kami mulai menghabiskan waktu bersama.

Setiap hari, aku mengajaknya makan siang bersama, berbicara tentang berbagai hal—mulai dari sekolah, keluarga, hingga impian-impian masa depan. Aku merasa sangat nyaman bersamanya. Lila bukan hanya sahabat, dia seperti saudara yang aku cari selama ini. Aku merasa dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti aku, yang selalu ada untuk mendengarkan segala curhatanku, bahkan ketika aku merasa dunia ini tak adil.

Aku tahu, dia memang berbeda dari teman-teman lainnya. Sementara teman-teman lain sering menganggapku hanya sebagai gadis populer yang selalu di pusat perhatian, Lila tidak pernah melihatku seperti itu. Bagi Lila, aku adalah Ayu—seorang gadis yang punya impian dan cita-cita, dan dia mendukung semua itu dengan penuh tulus. Kami mulai sering berdua, berjalan beriringan di sekolah, berbagi tawa dan cerita, bahkan terkadang dia memberiku nasihat yang lebih bijaksana daripada yang bisa diberikan orang dewasa.

Ada saat-saat di mana kami berdua berbicara panjang lebar tentang masa depan. Lila selalu berkata, “Aku ingin menjadi seseorang yang tidak hanya dilihat dari penampilannya, Ayu. Aku ingin dunia mengenalku karena siapa aku, bukan karena aku mengikuti tren atau gaya hidup orang lain.”

Aku terkadang merasa sedikit tertampar dengan kata-kata Lila. Mungkin dia benar. Namun, aku merasa kalau aku bisa mendapatkan semuanya—kecantikan, popularitas, dan tentunya impian untuk membawa orang lain melihat bahwa aku adalah gadis yang istimewa.

Tapi saat itu, aku tak sadar bahwa dalam kebahagiaan yang aku rasakan, ada benih-benih yang tumbuh tanpa aku ketahui. Benih yang akan membuat tanah persahabatan kami berubah menjadi tanah yang penuh duri.

Terkadang, aku berharap aku bisa kembali ke waktu itu—ke waktu di mana segala sesuatunya terasa begitu sederhana, penuh kebahagiaan tanpa ada beban. Aku dan Lila masih berjalan berdampingan tanpa ada keraguan di hati. Tapi, hidup tak selalu sesederhana itu. Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan datang.


Aku menatap langit sore itu. Udara dingin mulai berhembus di sekitar sekolah, seolah-olah menandakan sesuatu yang tak terduga akan terjadi. Lila sedang duduk di sebelahku, memandang langit yang mulai memerah, seperti yang biasa kami lakukan setelah pelajaran selesai. Kami duduk diam untuk beberapa lama, hanya menikmati kebersamaan kami.

Lila menoleh padaku, matanya terlihat lebih serius dari biasanya. “Ayu,” katanya, suara lembut namun penuh arti. “Aku ingin berbicara tentang sesuatu.”

Aku mengangguk, merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam cara Lila berbicara. Aku menatap wajahnya, yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini terlihat sedikit tertekan.

“Ada apa, Lila?” tanyaku, mencoba membaca ekspresinya.

Dia menarik napas panjang, seakan-akan sedang memikirkan kata-kata yang tepat. “Ayu… aku ingin kamu tahu kalau aku selalu ada untuk kamu. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”

Aku hanya bisa diam, tidak mengerti apa yang dimaksud Lila. Dan saat itu, aku tak tahu bahwa kata-katanya akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidup kami.

Cerpen Billa, Si Penggila Fashion Terbaru

Billa adalah gadis yang selalu percaya pada kebahagiaan. Dunia fashion adalah dunia yang ia cintai, dan itu membuatnya merasa hidup. Terlahir dengan tubuh yang tinggi ramping dan wajah cantik, Billa memang menjadi pusat perhatian di kalangan teman-temannya. Tapi yang paling penting baginya bukan penampilan, melainkan bagaimana ia merasa setiap kali mengenakan pakaian baru. Fashion adalah ekspresi dirinya, lebih dari sekadar tren atau gaya. Itu adalah cara dia merayakan siapa dirinya.

Di sekolah, Billa dikenal sebagai gadis ceria yang selalu membawa kegembiraan. Namun, ada satu hal yang tidak pernah ia percayai: bahwa kepercayaan bisa disalahgunakan. Namun, semuanya berubah saat ia bertemu dengan Rania.


Hari pertama pertemuan mereka terasa seperti takdir. Itu adalah hari pertama semester baru, dan Billa baru saja melangkah masuk ke kelas XII. Pagi itu, cuaca cerah, dengan sinar matahari yang menyinari seluruh kelas. Billa baru saja keluar dari kelas fashion desain—tempat ia merasa paling hidup—dan berjalan menuju ruang kelas yang baru, ketika matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat yang menatapnya dengan tajam dari kejauhan.

Rania. Nama itu seperti mantra yang langsung tertanam di pikirannya.

Gadis itu duduk di pojok belakang kelas, mengenakan gaun hitam sederhana yang kontras dengan penampilan cerah Billa. Namun ada sesuatu yang membuat Billa tertarik. Rania tidak tampak seperti gadis-gadis lain yang hanya sibuk dengan makeup dan tren mode terbaru. Ada sesuatu yang misterius, sesuatu yang sulit dijelaskan. Mungkin itu yang membuat Billa ingin mengenalnya lebih jauh.

Pulang dari sekolah, Billa merasa aneh. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan Rania, gadis yang tidak seperti yang lain. Jadi, di minggu-minggu berikutnya, tanpa ragu Billa mulai mendekati Rania. Tidak ada alasan khusus selain rasa ingin tahu.

Awalnya, Rania terkesan malu-malu. Ia tidak banyak bicara dan lebih suka duduk sendirian di saat istirahat. Billa, yang selalu dikelilingi teman-temannya, merasa ada daya tarik tersendiri untuk bisa mengundang Rania ke dalam kelompok mereka.

“Bukan kamu yang biasanya jadi pusat perhatian, ya?” ujar Billa dengan senyum ceria di tengah-tengah istirahat di kantin.

Rania menatap Billa sejenak, lalu membalas dengan senyum tipis. “Aku lebih suka menyendiri.”

Billa tertawa kecil. “Kadang, menyendiri itu membosankan, lho. Kalau kamu mau, aku bisa kenalkan kamu sama teman-temanku. Mereka keren, kok. Kamu pasti suka.”

Tanpa disangka, Rania mengangguk pelan. “Boleh juga,” jawabnya singkat, namun terdengar seperti sebuah keputusan yang besar bagi Rania.

Mereka mulai duduk bersama, mulai berbincang ringan tentang apa saja. Rania yang dulu tertutup perlahan membuka diri. Ternyata, ia bukan hanya pemalu, tetapi juga sangat berbakat. Rania pintar menggambar, dan bisa memadupadankan pakaian dengan cara yang unik meski tidak mengikuti tren. Hal itu membuat Billa kagum.

“Rania, kamu harus tahu, kamu punya bakat besar! Kenapa nggak coba ikut fashion show atau apalah yang bisa nunjukin karya-karya kamu?” Billa berkata penuh semangat, entah mengapa ia merasa perlu mendorong Rania untuk menunjukkan kemampuannya.

Rania hanya tertawa canggung. “Aku nggak terlalu suka perhatian,” jawabnya pelan. Namun, seiring waktu, Billa semakin yakin bahwa Rania punya potensi yang luar biasa.


Minggu demi minggu, persahabatan mereka semakin erat. Billa selalu mengajak Rania untuk mencoba gaya berpakaian baru, mengenalkan Rania pada dunia mode yang penuh dengan glamor dan tren. Billa sering membawa Rania ke pusat perbelanjaan atau toko-toko fashion terkemuka, dan Rania pun mulai merasakan bagaimana rasanya mengenakan pakaian yang lebih berwarna, lebih hidup. Mereka berbagi banyak momen, tertawa bersama, hingga akhirnya mereka menjadi tak terpisahkan.

Billa merasa bahwa ia telah menemukan sahabat sejatinya. Sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang atau popularitas. Ia dan Rania tampak seperti dua sisi koin yang tak terpisahkan—mereka saling melengkapi.

Namun, seperti biasa, tak ada yang pernah tahu bagaimana takdir akan membalikkan keadaan.

Suatu hari, saat Billa tengah sibuk mempersiapkan sebuah acara fashion show di sekolah—sebuah acara yang sangat ia tunggu-tunggu—Billa merasa cemas. Ia ingin semuanya sempurna, dan itu melibatkan banyak orang. Teman-temannya mendukung penuh, namun Rania tampak berbeda. Rania tampak tertekan, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya.

“Kenapa kamu nggak ikut bantuin aku, Rani?” tanya Billa dengan tatapan penuh harap.

Rania menunduk, matanya tak seterang biasanya. “Aku… aku nggak bisa, Billa. Aku nggak sanggup.”

Billa terkejut, mencoba meyakinkan Rania. “Tapi, kamu bisa! Kita bisa kerja bareng. Aku butuh kamu, Rani. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Rania hanya terdiam. Sebuah keraguan melintas di matanya. Dan itu adalah pertama kalinya Billa merasakan jarak di antara mereka. Sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Tapi ia tidak tahu, saat itu, bahwa apa yang dirasakan Rania bukanlah keraguan akan persahabatan mereka, melainkan sebuah keputusan besar yang belum Billa pahami.

Dan itulah awal dari segalanya—sebuah perubahan yang tak terhindarkan, sebuah awal dari kehancuran yang belum bisa Billa sadari.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *