Daftar Isi
Halo pembaca yang luar biasa! Siap-siap menyaksikan kisah yang seru dan penuh kejutan. Gadis ini bakal bikin kamu terkejut dengan cara dia menjalani hari-hari.
Cerpen Nia, Gadis Gaul dan Modis
Hari itu adalah hari yang cerah, dengan matahari yang memancarkan sinarnya begitu terang, seakan seluruh dunia sedang tersenyum padaku. Aku, Nia, berjalan ke sekolah dengan langkah yang ringan. Gaya modisku yang selalu jadi perhatian—paduan jaket kulit hitam, celana jeans ketat, dan sneakers putih yang baru—membuat aku merasa percaya diri. Aku tahu, tidak ada yang bisa menandinginya. Aku sudah terbiasa dengan sorotan mata teman-teman sekelas yang selalu tertuju padaku. Mungkin, mereka memandangku sebagai anak gaul, yang selalu tahu apa yang sedang tren, atau mungkin mereka merasa terinspirasi oleh penampilanku. Aku tidak tahu pasti. Yang pasti, aku merasa menjadi pusat perhatian, dan aku suka itu.
Aku berjalan melewati koridor, mengobrol dengan beberapa teman yang kebetulan lewat. Tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Entah kenapa, rasanya dunia seperti bergerak lebih lambat dari biasanya. Aku terhenti sejenak, menatap sekeliling, dan tiba-tiba mataku bertemu dengan seorang gadis baru yang sedang berdiri di pojok kelas. Namanya Lia.
Lia… gadis itu tampak berbeda. Tidak seperti yang lainnya. Meskipun dia memakai seragam yang sama dengan semua orang, ada sesuatu yang membuatku merasa dia bukan bagian dari dunia ini. Rambutnya panjang dan sedikit kusut, matanya terlihat sayu, seakan dia baru saja bangun dari tidur panjang. Dia tidak berbicara dengan siapa pun, hanya duduk di bangku kosong di sudut kelas, memandangi jendela dengan tatapan kosong.
Aku merasa sedikit tergerak. Di satu sisi, aku ingin mendekatkan diri padanya, tapi di sisi lain, aku tahu dia bukan tipe orang yang biasanya aku dekati. Kami seperti dua dunia yang berbeda. Aku adalah Nia—gadis gaul yang selalu dikelilingi teman-teman, sementara dia adalah Lia—gadis yang tampak jauh dan asing, seolah dunia tidak peduli padanya.
Namun, sesuatu dalam hatiku mengatakan untuk memberi kesempatan. Aku bukan tipe orang yang membiarkan orang merasa terasing, meskipun aku tahu tak semua orang ingin diterima. Akhirnya, aku berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum yang sudah biasa aku gunakan untuk menyapa teman-teman.
“Hei,” sapaku, mencoba membuka percakapan. “Kamu yang baru ya? Aku Nia.”
Lia menoleh ke arahku dengan ragu. Mata merahnya yang sedikit sembab memberi kesan bahwa dia baru saja menangis, tapi dia berusaha menutupi itu dengan senyum yang dipaksakan. “Iya, aku Lia. Baru pindah,” jawabnya pelan, hampir tidak terdengar.
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun aku tidak ingin membuatnya merasa lebih buruk. Aku tidak suka melihat orang lain merasa kesepian, apalagi di sekolah. “Kalau begitu, kamu pasti butuh teman. Aku bisa bantu, kok. Kamu duduk di sini saja ya?”
Dia mengangguk perlahan, dan aku duduk di sampingnya. Sejak saat itu, aku merasa sebuah ikatan terbentuk, meski tidak jelas apa itu. Lia bukan tipe orang yang terbuka dengan mudah, tapi entah kenapa, aku merasa harus membuatnya merasa lebih nyaman.
Hari pertama aku duduk bersama Lia terasa aneh. Tidak seperti biasanya, aku merasa tidak ada yang benar-benar bisa aku bicarakan. Teman-temanku yang selalu ramai dan penuh canda tawa seakan menghilang, dan aku hanya bisa berbicara pelan dengan Lia. Kami duduk di kelas dengan diam, namun aku tetap merasa ada yang tersambung di antara kami.
Ketika bel sekolah berdering, Lia berdiri tanpa berkata apa-apa dan pergi begitu saja. Aku sempat bingung, mengapa dia tidak seperti teman-teman lain yang saling mengobrol dan tertawa setelah pelajaran selesai. Aku mengikutinya dengan tatapan, merasa ada yang tidak beres, namun aku tidak tahu harus bagaimana.
Sejak pertemuan pertama itu, kami semakin sering bertemu. Meskipun Lia tetap pendiam, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentangnya. Dia tidak seperti teman-temanku yang penuh semangat dan selalu bersenang-senang, Lia adalah gadis yang lebih tertutup, penuh luka yang tak pernah dia ceritakan.
Aku tidak tahu mengapa, tapi entah kenapa aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dia. Seperti ada sebuah kekuatan yang menarikku untuk terus mendekat, untuk melindunginya dari kesedihannya yang tersembunyi. Namun, semakin aku mencoba membuka hati, semakin banyak dinding yang dia bangun. Lia seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan.
Hingga suatu hari, ketika kami berdua duduk bersama di taman sekolah, dia membuka sedikit tentang dirinya. “Aku… baru saja kehilangan orang yang sangat berarti buatku,” kata Lia dengan suara yang hampir berbisik. “Dan sejak itu, rasanya sulit untuk merasa bahagia lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Mendengar itu, hatiku seperti tercabik-cabik. Aku merasa begitu tersentuh, tetapi juga merasa tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku hanya menggenggam tangannya dengan lembut, berusaha memberikan rasa nyaman meskipun aku sendiri tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mengubah perasaannya.
“Aku di sini, Lia. Kamu tidak sendirian,” kataku pelan.
Lia menoleh padaku dengan mata yang penuh air mata. Aku merasa hatinya terluka begitu dalam, dan mungkin aku tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami rasa sakit itu. Tapi satu hal yang pasti, aku akan selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.
Momen itu adalah awal dari perjalanan kami berdua, perjalanan yang tidak hanya penuh dengan tawa dan kebahagiaan, tetapi juga penuh dengan air mata dan perasaan yang tak terungkapkan. Aku, Nia, seorang gadis yang selalu ceria dan penuh dengan dunia, mulai belajar bahwa persahabatan sejati tidak hanya tentang berbagi tawa, tetapi juga tentang berbagi rasa sakit.
Dan sejak saat itu, aku tahu bahwa pertemuan dengan Lia adalah awal dari sebuah kisah yang tidak hanya akan mengubah hidupku, tapi juga hidupnya.
Cerpen Ovi, Sang Ratu Sosial Media
Aku selalu ingat bagaimana aku pertama kali bertemu dengan Ovi. Dia adalah gadis yang begitu dikenal di sekolah. Bisa dibilang, dia adalah “Ratu” di dunia media sosial kami, dengan pengikut yang banyak sekali, dan setiap gerak-geriknya selalu menjadi perhatian. Semua orang mengaguminya, dan aku, seorang gadis biasa dengan sedikit teman, selalu merasa sedikit tersisih di antara keramaian.
Namun, pertemuan kami tidak dimulai seperti yang mungkin kalian bayangkan. Bukan di ruang kelas, bukan juga di kantin yang penuh dengan obrolan tak penting. Aku pertama kali melihat Ovi di ruang perpustakaan. Saat itu, suasana sedang tenang, hanya ada suara desahan napas orang-orang yang sibuk membaca dan menulis.
Aku datang ke perpustakaan seperti biasa, untuk mencari ketenangan, mengerjakan tugas yang tak kunjung selesai. Dan di sanalah, di sudut ruang perpustakaan yang agak tersembunyi, aku melihat Ovi duduk sendiri. Tidak ada kerumunan teman yang biasanya mengelilinginya. Hanya dirinya, buku-buku terbuka di meja, dan ponsel yang tergeletak di sampingnya.
Aku agak terkejut. Sejujurnya, aku belum pernah melihat Ovi begitu jauh dari keramaian yang selalu menyertai dirinya. Dia tampak sangat berbeda—lebih manusiawi, lebih lemah, lebih sepi. Aku mengamati dia dari kejauhan. Matanya, yang biasa tampak cerah di dunia maya, tampak sendu. Rambut hitamnya yang biasanya tergerai rapi kini agak berantakan, seolah baru saja selesai mengusap wajahnya dengan tangan. Ovi tidak tampak seperti gadis yang selalu ceria dan penuh percaya diri di Instagram. Di sana, di ruang sunyi itu, dia tampak seperti gadis yang sedang berjuang untuk mencari kedamaian.
Keingintahuan mendorongku untuk mendekat. Aku mengumpulkan keberanian untuk berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Sekarang, aku merasa seperti gadis kecil yang mencoba bertanya sesuatu kepada orang yang sangat dia kagumi, namun tak tahu bagaimana cara membuka percakapan.
“A… ada tempat kosong di sini?” tanyaku, merasa sedikit canggung.
Ovi mengangkat wajahnya, matanya yang tampak lelah kini fokus padaku. Dia tersenyum, namun senyum itu terasa berbeda—seperti senyum yang dipaksakan, bukan senyum yang datang dari hati. “Tentu,” jawabnya singkat, lalu kembali menatap layar ponselnya.
Aku duduk di hadapannya. Aku mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi. Ada komentar baru, like baru, pesan pribadi. Dunia yang begitu jauh dariku, dunia yang selalu terlihat sempurna.
Beberapa saat kami duduk dalam keheningan yang memadai, saling membiarkan suasana terasa sedikit canggung. Aku, gadis yang biasa-biasa saja dengan teman-teman yang bisa dihitung dengan jari, dan dia, Ovi, yang memiliki ribuan teman maya namun entah berapa banyak yang benar-benar mengenalnya.
Hingga akhirnya, Ovi membuka mulut, memecah keheningan. “Kamu sering ke sini?” tanyanya, suara lembut tapi penuh keingintahuan. Tentu saja aku terkejut, tak menyangka dia akan memulai percakapan.
“Iya, kalau ada tugas,” jawabku, sedikit lebih santai. “Aku suka suasana di sini. Tenang.”
Ovi mengangguk, meski tak ada banyak ekspresi di wajahnya. “Aku juga suka tempat ini. Tapi kadang, aku merasa aneh… orang-orang mengira aku selalu bahagia, padahal kadang aku merasa capek banget.”
Aku terdiam. Aku belum tahu apa yang membuat Ovi merasa seperti itu, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa dia berbicara lebih dalam daripada sekadar kata-kata biasa. Aku teringat tentang kehidupannya yang begitu gemerlap di dunia maya—setiap pose foto yang sempurna, setiap perjalanan yang diabadikan dengan rapi, setiap kebahagiaan yang seolah tak pernah berakhir.
Tapi sekarang, aku melihat sisi lain dari Ovi. Dia bukan hanya gadis yang sempurna dengan seribu teman dan ribuan like. Di balik layar ponselnya, ada sisi yang lebih manusiawi. Sisi yang juga merasakan lelah, juga merindukan kedamaian, juga mencari arti dari semua kebahagiaan yang dipajang di dunia maya.
“Boleh aku tanya sesuatu?” kataku pelan.
Ovi mengangkat alisnya, memberi isyarat bahwa aku boleh bertanya.
“Kenapa kamu sering terlihat begitu ceria di media sosial? Padahal… sekarang aku melihat kamu sepertinya agak… lelah?”
Ovi menarik napas panjang, lalu meletakkan ponselnya ke meja. Dia menatapku, lalu tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih lembut. “Kadang, aku merasa kalau aku tidak bisa menunjukkan sisi lelahku di depan orang lain. Mereka hanya ingin melihat sisi terbaikku. Dan aku… entah kenapa merasa itu satu-satunya cara aku bisa tetap dihargai. Tapi di sini, di antara buku-buku ini… aku merasa bisa sedikit lebih jujur.”
Aku terdiam, merasakan berat kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Ada ketulusan di balik setiap kalimatnya, meski dia mencoba untuk menyembunyikannya dengan senyum. Aku menyadari, Ovi juga manusia, bukan hanya “Ratu Sosial Media” yang sering aku lihat di layar ponsel.
Sejak hari itu, kami mulai sering berbicara. Percakapan kami tidak lagi hanya tentang tugas sekolah atau tentang hal-hal biasa. Kami mulai saling berbagi cerita—tentang hidup, tentang harapan, tentang rasa lelah yang kadang tak bisa diceritakan ke siapa pun.
Ovi, yang dulu aku lihat sebagai sosok yang jauh, ternyata memiliki sisi yang bisa aku mengerti. Dan aku, gadis biasa yang hanya ada di sudut kelas, mulai merasa sedikit lebih dekat dengan dunia yang Ovi jalani.
Namun, aku juga tahu… ada banyak hal yang belum aku pahami. Dunia media sosialnya yang penuh dengan pengikut dan komentar itu, mungkin adalah dinding yang tidak mudah ditembus. Tapi aku berharap, di antara kedekatan yang mulai kami jalin, ada sebuah jembatan yang bisa menghubungkan dunia kami yang berbeda.
Mungkin, pertemuan ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang kami, yang akan dipenuhi dengan tawa, air mata, dan hal-hal yang tak terduga.
Cerpen Priska, Gadis Paling Stylish
Hari itu langit cerah, dengan angin semilir yang menggoyangkan daun-daun di pepohonan. Di tengah keramaian siswa-siswi yang berlarian menuju kelas, aku hanya berjalan pelan dengan tas ransel bergaya oversized yang kini sudah terasa sedikit berat di pundakku. Mungkin karena aku terlalu sering membawa buku-buku yang sebenarnya jarang kubaca, atau mungkin karena terlalu banyak pikiran yang mengganggu. Aku tak tahu. Semua terasa seolah kabur dalam pikiranku. Namun ada satu hal yang jelas di hatiku: aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu di sekolah, bertemu teman-teman, dan—terutama—melihatnya lagi.
Ya, dia. Priska.
Namanya sudah menjadi legenda di sekolah kami, meski tak banyak yang tahu kisah sebenarnya. Dia bukan hanya seorang gadis yang selalu terlihat sempurna—dengan rambut panjang terurai, penampilan yang selalu stylish, dan senyumnya yang selalu memikat—tetapi juga memiliki kepribadian yang membuat banyak orang nyaman berada di dekatnya. Bahkan, jika ada yang merasa minder karena penampilannya, Priska selalu tahu bagaimana mengangkat mereka kembali dengan kata-kata yang manis dan penuh empati. Itulah mengapa dia memiliki begitu banyak teman, dan aku adalah salah satunya, meski aku tidak yakin kami benar-benar “teman”.
Priska selalu tahu bagaimana menonjol, tetapi aku, aku selalu merasa terabaikan di tengah keramaian. Aku bukanlah gadis dengan penampilan mencolok, atau mereka yang selalu mendapat perhatian di sekolah. Aku hanyalah gadis biasa, dengan rambut sebahu yang sering aku ikat sembarangan, dan pakaian yang jarang diperhatikan orang lain. Terkadang, aku bertanya-tanya mengapa dia mau berteman denganku.
Namun, kami bertemu pertama kali di hari yang biasa, saat aku masuk kelas dan duduk di bangku yang sudah sejak lama aku pilih. Aku mengeluarkan buku-buku yang kupunya, mencoba untuk fokus, meski perasaanku begitu penuh dengan kegelisahan.
“Kamu Priska, kan?” Tiba-tiba, sebuah suara lembut dan ceria mengganggu lamunanku. Aku menoleh, dan melihat seorang gadis dengan penampilan yang sangat mencolok berdiri di depanku. Rambutnya tergerai indah, dan dia mengenakan gaun floral yang terlihat sangat modis untuk ukuran sekolah. Dia tidak terlihat seperti orang biasa. Dia terlihat seperti seseorang yang selalu tahu apa yang diinginkan hidupnya.
Aku mengangguk ragu. “Iya, aku Priska. Kenapa?”
“Wah, aku cuma mau bilang kalau kamu itu stylish banget,” katanya dengan senyum yang tulus, mengagumi penampilanku. “Aku suka banget gaya kamu. Bisa kasih tips buat aku, nggak?”
Aku terkejut. Biasanya, orang-orang di sekitarku hanya menganggapku sebagai gadis yang aneh. Tidak ada yang pernah memujiku, atau bahkan berbicara kepadaku tentang penampilanku, apalagi bertanya tentang bagaimana cara aku berdandan. Aku hanya mengangguk, merasa bingung. “Oh, ya… terima kasih. Tapi, aku cuma pakai apa yang aku suka saja.”
“Tapi, kamu kelihatan beda dari yang lain. Aku suka itu,” katanya sambil duduk di sebelahku, lalu membuka buku catatannya dengan penuh semangat. “Namaku Lala, by the way.”
Lala. Nama yang mudah diingat. Semenjak pertemuan itu, kami sering berbicara—tentang banyak hal. Kami bertukar cerita tentang segala sesuatu, mulai dari film yang kami suka, hingga hal-hal kecil seperti makanan favorit. Aku mulai merasa nyaman berada di dekatnya. Mungkin itu karena Lala tidak memaksaku untuk berubah menjadi seseorang yang berbeda. Dia hanya menghargai diriku apa adanya. Seperti sebuah angin segar di tengah panasnya sekolah yang penuh persaingan.
Hari demi hari berlalu, dan aku semakin merasa bahwa persahabatanku dengan Lala mulai tumbuh dengan cara yang tak terduga. Namun, di balik semua itu, ada sebuah perasaan yang perlahan-lahan muncul dalam hatiku—perasaan yang tak bisa kuungkapkan, bahkan kepada diriku sendiri. Aku mulai merasa cemas setiap kali Lala berada di dekatku, bukan karena dia mengganggu, tapi karena aku takut kehilangan momen-momen kebersamaan itu. Aku mulai menyadari bahwa aku menginginkan lebih dari sekadar teman.
Tetapi, aku terlalu takut untuk mengakui itu. Takut kehilangan apa yang sudah ada. Aku merasa bahwa persahabatan kami sudah cukup. Tak perlu ada yang lebih. Tapi semakin lama, semakin sulit rasanya untuk memendam perasaan itu.
Suatu hari, saat kami berjalan pulang bersama setelah kegiatan ekstrakurikuler, hujan tiba-tiba turun dengan deras. Kami berlari mencari tempat berteduh, tertawa dengan riang meski tubuh kami basah kuyup. Lala tampak lebih ceria dari biasanya, senyumannya begitu menular.
“Gimana kalau kita ngopi di kafe dekat sini?” ajaknya, masih dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Boleh juga,” jawabku sambil mengangguk, meskipun di dalam hatiku ada sedikit rasa cemas yang entah mengapa mengganggu. Kami berjalan ke kafe itu, duduk di sudut yang nyaman, sambil menikmati secangkir cokelat panas yang hangat.
Tiba-tiba, Lala mengangkat wajahnya, matanya berbinar. “Priska, kamu tahu nggak sih? Aku merasa nyaman banget punya teman seperti kamu. Aku nggak pernah merasa sendirian, karena kamu selalu ada.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata-katanya. Perasaan itu begitu dalam, namun aku hanya bisa berkata, “Aku juga merasa begitu, Lala.”
Namun, ada sesuatu yang tak bisa kuungkapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Sebuah perasaan yang mulai tumbuh dengan perlahan, tapi pasti. Tapi aku tahu, aku harus belajar untuk tetap menyimpannya. Karena aku tak yakin apakah Lala akan melihatku lebih dari sekadar teman.
Dan di saat itu, aku pun menyadari satu hal yang begitu penting: persahabatan, sekalipun terasa indah dan penuh makna, tidak selalu bisa menghindarkan kita dari perasaan yang lebih besar dari sekadar teman.