Daftar Isi
Selamat datang, pembaca setia! Inilah cerpen yang akan membawa kamu berkenalan dengan gadis-gadis asik yang punya dunia mereka sendiri. Yuk, ikuti keseruan mereka!
Cerpen Rara, Gadis Gaul Kekinian
Namaku Rara, dan mungkin seperti gadis kekinian lainnya, hidupku penuh warna. Aku selalu dikelilingi teman-teman, hobi, dan dunia yang seakan tak ada habisnya. Ada sesuatu dalam hidupku yang membuat segalanya terasa ringan, mudah, dan menyenangkan. Orang-orang di sekitarku sering memujiku sebagai gadis yang selalu ceria, dan bisa dibilang, aku adalah “si populer” di sekolah. Setiap hari, aku bergaul dengan banyak orang, dari yang seumuran sampai yang lebih tua, dan semuanya sepertinya menyukaiku.
Namun, tak semua hal dalam hidupku seperti yang terlihat di permukaan. Ada satu kenangan yang tak bisa hilang dari ingatanku, sebuah pertemuan yang mengubah banyak hal, yang dimulai pada suatu sore yang biasa.
Saat itu, aku sedang duduk di bangku taman dekat sekolah, memeriksa ponselku. Seperti biasa, aku sedang membalas pesan dari teman-temanku. Di antara mereka, ada Dika, teman masa kecilku. Kami dulu sangat dekat. Saking dekatnya, kami bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk bercerita tentang dunia imajinasi kami sendiri—tentang rencana masa depan, tentang apa yang ingin kami capai, dan bahkan tentang perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi itu dulu. Sekarang, Dika sudah menjadi sosok yang jauh berbeda. Aku tahu dia pindah sekolah dan kami jarang bertemu lagi. Namun, entah kenapa, hatiku selalu merasa kosong setiap kali memikirkan dia.
Pada sore itu, angin berhembus pelan. Matahari mulai merunduk, menggulirkan sinar jingga yang hangat. Aku duduk sendiri di bangku taman, menikmati suasana sepi itu. Hingga tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dengan lembut.
“Rara…”
Aku menoleh, dan di sana, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang yang tergerai, mengenakan jaket oversized dan celana jeans robek. Wajahnya familiar, tapi aku tidak bisa langsung mengingat siapa dia. Aku hanya bisa memandangi wajah itu dengan bingung, sampai akhirnya dia mengulang kata-katanya.
“Rara, ini aku, Dika.”
Jantungku berhenti sejenak. Dika? Tapi, bukankah dia sudah lama pindah? Kenapa dia bisa ada di sini sekarang? Dan dia… seperti bukan Dika yang aku kenal.
Aku bangkit perlahan, masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Dika—gadis yang dulu selalu ada untukku, yang dulu selalu menjadi sahabat kecilku—sekarang tampak sangat berbeda. Rambutnya yang dulunya pendek, sekarang tumbuh panjang dan dibiarkan terurai. Wajahnya lebih dewasa, lebih serius, dan ada sesuatu yang tampak terluka di matanya. Bukan mata ceria yang dulu selalu penuh semangat itu.
“Aku… nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi, Di,” kataku terbata-bata.
Dika tersenyum tipis, lalu duduk di sampingku tanpa berkata apa-apa. Suasana menjadi hening, meskipun angin sore itu seolah berbicara dengan lembut. Aku merasa canggung, karena begitu banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi aku bingung harus memulai dari mana.
“Udah lama ya… kita nggak ngobrol kayak gini,” katanya akhirnya, suaranya lebih berat daripada yang kukenal. “Maaf, aku nggak pernah kabar-kabar. Aku… cuma nggak tahu harus gimana.”
Aku menunduk, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Dika dan aku dulu tidak pernah seperti ini. Kami selalu bisa berbicara tanpa beban, tanpa ada jarak yang memisahkan. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.
“Kenapa kamu tiba-tiba pergi, Di? Kenapa kita jadi jauh gini?” tanyaku, suaraku hampir berbisik.
Dika menarik napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh beban. “Aku… ada banyak hal yang harus aku selesaikan, Rara. Dan… aku pikir, aku harus jauh dulu dari kamu. Aku nggak mau kamu terpengaruh sama masalahku.”
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang dia katakan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Dika? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan dariku? Di balik senyumnya yang terkesan biasa, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengusik perasaan ini.
“Jadi, kamu meninggalkan aku begitu saja?” tanyaku dengan suara serak, meskipun aku berusaha keras untuk tetap tenang.
Dika menatapku dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku nggak bermaksud ninggalin kamu. Aku cuma… nggak ingin masalahku ikut ngaruh ke kamu. Aku tahu kamu bahagia dengan dunia kamu sekarang, dan aku nggak ingin ada yang merusak itu.”
Aku terdiam, menatapnya. Sebuah perasaan asing mulai merayapi hatiku. Ada rasa kehilangan yang mendalam, rasa kecewa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tapi di sisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang tidak bisa aku lepaskan—sesuatu yang berasal dari masa lalu kami.
Lalu, tanpa aku sadari, aku berkata dengan lembut, “Dika, kamu nggak perlu khawatir tentang aku. Kita kan sahabat, nggak ada yang bisa ngerusak itu.”
Dika menghela napas dan meletakkan tangannya di atas tangan ku. “Aku tahu, Rara. Tapi hidup kita kan udah berbeda. Aku nggak bisa balik lagi ke masa lalu.”
Senyum Dika yang tipis itu semakin membuat hatiku teriris. Rasanya seperti ada jarak yang semakin lebar di antara kami, meskipun kami sedang duduk berdampingan. Aku ingin meraih tangannya, menariknya kembali ke masa lalu, tapi aku tahu itu mustahil. Kami sudah berbeda, dan mungkin—entah kenapa—aku yang lebih banyak berubah.
Suasana kembali sunyi, hanya angin sore yang membisikkan kesunyian di antara kami. Aku ingin mengajaknya berbicara lebih banyak, ingin menghapus segala keraguan yang ada. Tapi aku tahu, mungkin sekarang bukan waktunya. Mungkin, kami memang harus berpisah.
Dan di tengah kebingunganku itu, Dika tiba-tiba bertanya, “Rara, boleh nggak kalau kita jadi sahabat lagi? Aku nggak tahu gimana caranya, tapi aku cuma mau bilang… aku kangen sama kamu.”
Aku mengangguk, meskipun hati ini terasa begitu berat. “Aku juga kangen, Di.”
Namun, kami berdua tahu, pertemuan ini—meski begitu emosional dan penuh kenangan—akan menjadi titik awal bagi sebuah perjalanan yang baru. Entah bagaimana kelanjutannya, entah di mana jalan kami akan berpisah atau bertemu lagi. Tapi di sore itu, kami kembali berbicara, mengingat masa lalu yang penuh tawa, dan merasakan kembali kehangatan yang pernah ada.
Hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan, dan pertemuan ini adalah pengingat bahwa terkadang, kita harus belajar menerima perubahan—termasuk perubahan dalam diri orang yang kita sayangi.
Cerpen Sarah, Gadis Trendy dan Gaul
Hari itu adalah hari yang sangat cerah. Matahari yang terik menyinari sepanjang jalan di kota kecil tempat aku tinggal. Aku, Sarah, gadis berusia dua puluh tiga tahun dengan gaya yang selalu up-to-date, selalu merasa dunia ini adalah milikku. Aku dikenal sebagai gadis yang gaul dan selalu punya banyak teman. Tapi, meskipun aku dikelilingi banyak orang, kadang ada saat-saat aku merasa kesepian. Seperti ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun—meski aku berusaha menutupinya dengan tawa dan kebahagiaan.
Pagi itu, aku berjalan menuju kafe favoritku. Tempat itu selalu penuh dengan teman-teman, dari yang sudah lama kenal hingga yang baru aku temui semalam. Aku mengenakan jaket denim, celana jeans robek di bagian lutut, dan sepatu sneakers putih yang baru saja kubeli. Rambutku tergerai panjang dengan poni yang sedikit menutupi mata kiriku. Aku selalu percaya bahwa penampilan adalah cara untuk mengekspresikan siapa diriku.
Begitu aku masuk ke dalam kafe, suara musik yang riang menyapa telingaku. Tidak ada yang lebih aku sukai selain suasana seperti ini—nyaman, ramai, dan penuh energi. Aku menyapa beberapa teman yang duduk di sudut, lalu melangkah menuju barista untuk memesan kopi. Aku duduk di meja dekat jendela, yang menghadap ke jalan. Di luar, orang-orang berlalu lalang dengan langkah cepat, sibuk dengan kehidupan mereka sendiri.
Di tengah kegembiraanku, mataku menangkap sosok seseorang yang tidak aku kenal. Seorang pria duduk di meja yang agak jauh, tampak sedikit terasing. Rambutnya hitam, pendek, dan rapi. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi. Sesekali dia menundukkan kepala, seperti sedang membaca atau menulis sesuatu di sebuah buku catatan kecil. Pakaian yang dikenakannya sederhana, hanya kaos hitam dan jaket bomber, tapi ada sesuatu yang menarik tentangnya. Sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak.
Aku menarik napas panjang dan mengalihkan pandanganku, tetapi entah kenapa, hatiku terasa sedikit berdebar. Mungkin hanya perasaan aneh semata. Sejak pagi tadi, aku merasa seperti ada yang aneh dengan diriku. Seperti ada sebuah kekosongan yang sulit dijelaskan.
Ketika aku sedang asyik menunggu kopiku, tiba-tiba teleponku berbunyi. Aku mengangkatnya dengan senyum lebar.
“Hey, Sarah! Aku di luar, ayo keluar!” suara teman baikku, Rina, terdengar riang di ujung telepon.
Aku tertawa kecil. “Oke, aku keluar sekarang!” Aku menutup telepon dan melangkah menuju pintu.
Begitu keluar, aku melihat Rina sedang berdiri di luar kafe, tertawa sambil memegang es krim coklat besar. “Ayo! Kita pergi ke taman,” katanya sambil menyerahkan es krim kepadaku. Kami berjalan menuju taman yang terletak tidak jauh dari kafe. Rina selalu punya ide-ide spontan yang seru, dan hari itu tidak terkecuali.
Kami duduk di bangku taman, berbicara tentang banyak hal—tentang teman-teman kami, tentang rencana akhir pekan, tentang segala macam topik ringan yang tidak pernah ada habisnya. Tetapi, entah kenapa, perasaan aneh yang tadi kurasakan tak kunjung hilang. Aku terus saja teringat pada sosok pria yang ada di dalam kafe tadi.
Hari sudah menjelang sore ketika aku kembali ke kafe itu untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal. Ketika aku masuk, kafe sudah mulai sedikit sepi. Aku berjalan menuju meja tempatku tadi duduk dan mengambil tas kecilku yang tertinggal di atas meja. Namun, saat itu mataku kembali bertemu dengan matanya.
Dia—pria itu—masih duduk di tempat yang sama, tetapi sekarang dia menatapku dengan sorot mata yang berbeda. Ada sesuatu yang intens di sana. Sesuatu yang membuat aku terhenti sejenak.
Aku terkejut. Kenapa dia menatapku begitu?
Dengan sedikit ragu, aku memutuskan untuk mendekatinya. “Hei, kamu di sini lagi?” kataku dengan senyum ramah, mencoba menghilangkan kecanggungan di antara kami.
Dia tampak sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. “Iya, aku suka tempat ini,” jawabnya pelan. “Aku sering datang ke sini.”
Aku duduk di kursi sebelahnya. Aku merasa aneh, namun juga tertarik. Ada ketenangan yang mengalir dalam diri pria ini, yang sangat berbeda dengan dunia di luar sana yang selalu sibuk. Aku memutuskan untuk berbicara lebih banyak.
“Aku Sarah,” kataku memperkenalkan diri. “Kamu siapa?”
“Ah, maaf, aku belum kenalan,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Aku Reza.”
Kami berbincang-bincang ringan tentang banyak hal. Tentang tempat ini, tentang hobi-hobi kami, tentang bagaimana hidup kami berbeda, meski sebenarnya kami tidak begitu berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu alami, seperti sudah lama kami saling mengenal. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Sebelum kami berpisah, aku merasa ada yang berbeda dalam hatiku. Perasaan yang sulit dijelaskan—sedikit gugup, tapi juga ingin tahu lebih banyak. Ketika aku melangkah pergi, aku menoleh sekali lagi ke arah Reza, dan dia tersenyum kecil. Aku merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak.
Hari itu adalah awal dari sebuah cerita yang tak terduga. Sebuah pertemuan yang mungkin akan mengubah banyak hal dalam hidupku.
Aku merasa seperti menemukan sebuah bagian dari diriku yang hilang, hanya melalui tatapan singkat itu. Tapi, aku juga tahu—ini baru permulaan. Apa yang akan terjadi selanjutnya, aku belum tahu pasti. Tapi satu hal yang aku yakin: aku ingin tahu lebih banyak tentang Reza.
Cerpen Tina, Gadis Modis dan Stylish
Aku masih ingat dengan jelas bagaimana pertama kali aku bertemu dengan Arya. Waktu itu, aku baru saja memasuki tahun kedua di SMA, dan dunia di sekitarku terasa seperti panggung besar yang penuh dengan drama dan tawa. Saat itu, aku adalah Tina, gadis modis dengan gaya rambut yang selalu tertata rapi dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahku. Aku bukan gadis yang canggung, bukan pula yang pendiam. Teman-temanku banyak, mereka semua menyukai keberadaanku—karena aku selalu tahu apa yang harus dipakai, bagaimana melangkah, dan bagaimana membuat dunia sekelilingku berputar di sekitarku.
Namun, saat itu, aku merasa ada yang berbeda. Aku merasa ada ruang kosong yang mulai mengganggu hatiku. Aku belum tahu apa itu, tapi entah mengapa, perasaan itu datang begitu saja.
Hari itu dimulai seperti biasa. Aku mengenakan blazer hitam yang pas di tubuhku, memadukannya dengan celana jeans yang sangat trendi. Seperti biasa, semua mata tertuju padaku, terutama para cowok yang selalu suka memuji penampilanku. Aku merasa percaya diri, meski ada sedikit rasa gelisah yang tak bisa kuhindari.
Saat aku memasuki kelas, mataku langsung mencari-cari teman-teman terdekatku—Rina, Sarah, dan Dina. Kami adalah tiga gadis yang hampir tidak terpisahkan. Tapi hari itu, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Di pojok kelas, di dekat jendela, duduk seorang pemuda yang baru aku lihat. Mata kami bertemu sebentar, dan aku bisa merasakan sedikit kegugupan di sana. Dia terlihat berbeda—tidak seperti cowok-cowok lain di kelas. Penampilannya sederhana, bahkan cenderung kalem dibandingkan dengan kebanyakan teman sekelasku yang suka memamerkan gaya mereka.
“Dia siapa?” aku berbisik pada Dina yang duduk di sebelahku.
“Oh, itu Arya,” jawab Dina sambil mengalihkan pandangannya ke arah cowok baru itu. “Baru pindah dari Jakarta.”
Arya. Nama itu terdengar seperti lagu yang asing, dan aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang menarik tentangnya. Mungkin karena dia berbeda. Mungkin juga karena dia tidak mengagumi penampilanku seperti kebanyakan cowok lain.
Hari itu berjalan begitu saja, dan seperti biasa, aku menjadi pusat perhatian. Namun, ada perasaan yang terus mengganggu pikiranku setiap kali aku mencuri pandang ke arahnya. Arya tidak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum kecil jika ada yang menyapanya. Tidak ada kesan terlalu keren atau terlalu aneh—hanya ada ketenangan yang memancar dari dirinya, yang terasa begitu kontras dengan hiruk-pikuk di sekelilingnya.
Beberapa minggu berlalu sejak pertama kali aku melihat Arya. Dia masih menjadi sosok yang misterius di mataku. Kadang, aku merasa seperti dia sengaja menghindar dariku, atau lebih tepatnya, dia tidak terlalu peduli dengan keberadaanku. Itu membuatku semakin penasaran.
Suatu hari, saat istirahat, aku duduk bersama teman-temanku di kantin seperti biasa. Namun, hari itu aku merasa sedikit terasing. Rina dan Sarah sibuk dengan pacar mereka, Dina sedang asyik membicarakan acara yang akan dihadiri akhir pekan ini, sementara aku hanya mendengarkan percakapan mereka dengan setengah hati. Entah kenapa, hatiku sedang kosong. Aku merasa terjebak dalam rutinitasku yang sering kali terasa monoton. Aku ingin sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih.
Tiba-tiba, tanpa kusadari, aku berjalan melewati meja Arya. Aku hanya ingin mengambil minuman di kantin, tapi langkahku berhenti sejenak di depan mejanya. Arya sedang membaca buku, dan entah kenapa aku merasa seperti aku perlu mengucapkan sesuatu. Mungkin hanya sekadar berbasa-basi, atau mungkin ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.
“Hei,” aku berkata, suaraku sedikit ragu. “Buku apa yang kamu baca?”
Arya menatapku dengan tatapan yang tenang. Dia menurunkan bukunya pelan-pelan, seolah memberiku waktu untuk menenangkan diri. Ada keheningan yang canggung, tapi anehnya, aku merasa nyaman. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan kami meski hanya sekejap.
“Ini,” jawabnya sambil menunjukkan sampul buku yang sedikit pudar. “Tentang filosofi hidup.”
Aku mengangguk, meskipun aku sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud dengan filosofi hidup. Namun, ada hal dalam diri Arya yang membuatku ingin lebih tahu. Ada kedalaman di matanya yang tidak pernah aku lihat di kebanyakan orang. Kami berbicara sebentar tentang buku itu, dan aku merasa seolah-olah aku mulai mengenal sisi dirinya yang selama ini tersembunyi.
“Apa kamu suka membaca?” tanyanya setelah beberapa menit berbincang.
Aku sedikit terkejut. Biasanya, orang-orang hanya tertarik pada penampilanku, bukan pada minat atau kepribadianku. “Iya, sih,” jawabku dengan senyum kecil. “Tapi lebih ke novel-novel ringan. Buku-buku seperti itu biasanya agak berat buatku.”
Arya tersenyum, senyum yang sangat lembut. “Mungkin kamu perlu mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam. Kadang, itu bisa mengubah cara pandangmu tentang dunia.”
Aku mengangguk pelan, merasa kata-katanya mengena di hati. “Mungkin,” jawabku dengan nada yang lebih serius, “aku akan coba.”
Itulah pertama kalinya aku berbicara dengan Arya. Perbincangan kecil itu tidak hanya meninggalkan kesan, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar dalam diriku. Sejak saat itu, aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang dirinya. Tidak hanya melalui percakapan di sekolah, tetapi juga melalui teman-teman yang lebih dekat dengannya.
Namun, meskipun aku mulai mengenal Arya lebih dalam, hatiku tetap terombang-ambing. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan, sebuah rasa yang mulai berkembang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak aku rasakan sebelumnya. Aku mulai jatuh hati, meskipun aku tahu, perasaan itu sangat rumit.
Tapi, pada saat yang sama, aku juga tahu bahwa perasaan ini bukan hanya tentang penampilannya yang sederhana, atau ketenangannya yang memikat. Ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah koneksi yang terasa begitu alami. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupku, dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.
Namun satu hal yang aku tahu pasti—pertama kali bertemu Arya adalah awal dari perjalanan panjang yang tak akan pernah sama lagi.