Daftar Isi
Selamat datang, teman-teman! Siapkan dirimu untuk menyelami kisah gadis cerdas yang penuh warna dan penuh makna. Yuk, ikuti cerita serunya!
Cerpen Livia, Gadis Gaul dan Stylish
Pagi itu, seperti biasanya, aku bangun dengan semangat. Matahari sudah cukup tinggi, sinarnya menembus jendela kamarku yang dipenuhi dengan poster-poster selebriti dan warna-warni cerah. Aku berdiri, menatap diriku di cermin, dan tersenyum. Livia. Gadis gaul yang selalu ceria, selalu punya teman, selalu punya cerita. Itulah aku.
Aku mengenakan gaun mini berwarna peach yang cocok dengan kulitku, sepatu hak tinggi yang membuatku merasa lebih tinggi dan lebih percaya diri. Aku tahu aku bukan gadis cantik dalam arti tradisional, tapi aku tahu bagaimana membuat diri tampak menarik. Senyumanku sudah cukup menjadi senjata, dan caraku berbicara, cara aku tertawa, selalu membuat orang-orang di sekitarku merasa nyaman. Aku tak pernah kekurangan teman, selalu ada yang ingin aku ajak berbicara, dan hampir setiap hari aku diajak pergi ke kafe atau acara-acara sosial.
Tapi pagi itu berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada sesuatu yang belum terpenuhi dalam hidupku, meskipun aku dikelilingi oleh teman-teman yang selalu ada. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang aku rasakan—atau mungkin aku hanya terlalu lelah untuk melihat ke dalam diri sendiri.
Ketika aku tiba di sekolah, aku seperti biasa disambut oleh teman-teman. Beberapa dari mereka sudah tahu rencana untuk makan siang bersama di kafe baru yang buka di dekat kampus. Suasana selalu ramai, riuh, dan penuh tawa, tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah: aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang.
Hari itu, saat aku berjalan menuju kantin dengan teman-teman, mataku tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Dia duduk sendirian di pojok, dengan buku tebal di depannya, fokus membaca seolah dunia di sekitarnya tak pernah ada. Rambutnya panjang, sedikit bergelombang, dan ia mengenakan pakaian yang sederhana—kaos putih dan celana jeans yang usang. Mungkin dia bukan tipe yang menarik perhatian banyak orang, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena dia tidak seperti yang lainnya.
Aku memperhatikan sejenak, dan saat dia menyadari tatapanku, ia tersenyum. Senyum yang tidak terburu-buru, tidak seperti senyum yang biasa aku lihat—senyum yang tulus dan sedikit canggung, seakan dia merasa tidak cocok berada di tengah-tengah keramaian ini.
Tanpa sadar, aku melangkah mendekat. “Hai!” sapaku dengan senyuman lebar.
Dia sedikit terkejut, lalu menatapku, mencoba mengenali siapa aku. Aku yakin dia bukan teman sekelas, bukan juga orang yang biasa ada di lingkaran sosialku.
“Hai…” jawabnya ragu. “Kamu… baru di sini?”
Aku tertawa kecil. “Iya, aku Livia. Biasanya sih, aku nggak nyapa orang asing, tapi kamu kelihatan berbeda, jadi aku penasaran,” kataku sambil duduk di kursi kosong di depannya.
Dia sedikit terdiam, kemudian mengangguk pelan. “Aku namanya Zara.”
Zara. Nama yang sederhana, namun begitu berbeda dari kesan pertama yang aku tangkap tentang dirinya. Tidak seperti yang lain yang selalu bersemangat dan banyak bicara, Zara lebih pendiam, dan ada aura misterius yang mengelilinginya.
Aku merasa terkesima, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkan rasa penasaran yang berlebihan. “Kamu baru pindah ke sini?” tanyaku, meskipun aku bisa menebak jawabannya.
Zara mengangguk lagi. “Iya, baru sekitar seminggu yang lalu. Aku baru pindah dari kota kecil, jadi semuanya terasa asing.”
Aku bisa merasakan ketegangan di suaranya. Dia sepertinya tidak nyaman berada di keramaian, seperti ada dinding yang tak tampak yang membatasi dirinya dengan dunia luar. Aku tahu persis bagaimana rasanya merasa asing di tempat baru, tetapi aku juga tahu, jika ada yang bisa membuat orang merasa diterima, itu adalah aku.
“Aku bisa ajak kamu jalan-jalan kalau mau. Pasti lebih seru kalau ada teman baru di sini, kan?” tawarku dengan semangat.
Zara memandangku sejenak, dan aku bisa melihat kilatan ketidakpastian di matanya. Kemudian, dia tersenyum malu. “Terima kasih. Aku cuma… nggak begitu suka keramaian.”
Aku terdiam. Ada sesuatu yang berbeda pada Zara. Dia bukan tipe orang yang bisa dengan mudah masuk ke dalam dunia pergaulanku yang penuh tawa dan pesta. Namun entah kenapa, aku merasa tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Ada ketulusan yang jarang kulihat di antara teman-teman sekelilingku yang cenderung lebih fokus pada penampilan dan status sosial.
Beberapa hari berikutnya, aku mulai lebih sering berinteraksi dengan Zara. Tidak ada yang luar biasa—hanya sekadar berbicara tentang buku yang dia baca atau hal-hal kecil yang menyenangkan. Namun entah bagaimana, aku merasa ada kedekatan yang tumbuh perlahan, meskipun tanpa kata-kata yang terlalu banyak.
Hari itu, saat aku duduk bersamanya di taman kampus, Zara membuka sedikit tentang dirinya. “Aku sering merasa sendirian,” katanya pelan, tatapannya kosong, seperti sedang mencari jawabannya sendiri. “Aku tidak pernah benar-benar merasa seperti bagian dari tempat ini.”
Kata-kata itu menembus hatiku dengan cara yang tak terduga. Mungkin dia tidak tahu, tetapi aku merasakan kesedihan yang dalam dalam suaranya. Aku yang selalu dikelilingi teman, yang selalu tampak bahagia, bahkan merasa ada yang hilang. Lalu ada Zara, yang mungkin jauh lebih banyak merasa terasing daripada aku.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih tangannya. “Zara, kamu nggak sendirian. Aku bisa jadi temanmu. Aku janji.”
Dia terdiam, lalu perlahan menggenggam tanganku. Untuk pertama kalinya, aku merasakan koneksi yang lebih dalam dengan seseorang. Tidak hanya sekadar teman yang datang dan pergi, tapi seseorang yang mungkin bisa mengisi ruang kosong yang aku rasakan selama ini.
Aku tersenyum, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kami. Saat itu aku tahu, hidupku akan berubah—karena pertemuan dengan Zara membuka mataku pada banyak hal yang selama ini aku abaikan. Dan aku pun tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh emosi, harapan, dan mungkin juga… cinta.
Cerpen Mira, Si Ratu Gaul Kampus
Aku Mira, seorang gadis yang selalu berada di tengah keramaian. Dari mana pun aku melangkah, selalu ada yang menyapa, selalu ada yang tersenyum. Tak heran, jika orang-orang sering menyebutku “Si Ratu Gaul Kampus.” Itu bukanlah gelar yang aku minta, tapi lebih kepada peran yang secara alami aku jalani. Aku bisa bersahabat dengan siapa saja, membuka obrolan dengan mudah, dan membuat setiap orang merasa nyaman di sekitarku. Tapi, kadang aku merasa ada yang kurang. Ya, meski banyak teman, aku selalu merasa sepi di dalam hati.
Sore itu, di bawah langit biru yang mulai memudar menjadi jingga, aku duduk di bangku taman kampus, menikmati secangkir kopi hangat. Tangan kananku sibuk scrolling media sosial, sementara mata kiri sesekali melirik ke arah teman-teman yang tampak sedang berkumpul di sisi lain taman. Mereka tertawa, berbincang, seolah dunia hanya milik mereka. Semua tampak begitu sempurna, dan aku merasa—meskipun aku selalu di tengah mereka—tetap ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh tawa atau obrolan yang tak pernah berhenti.
Namun, di antara keramaian itu, aku melihat sosok yang berbeda. Seorang gadis, yang mungkin usianya seumuran denganku, sedang duduk sendiri di sudut taman. Tidak ada teman di sekitarnya. Dia hanya duduk, memandangi buku catatan yang terbuka di depannya, seolah mencari jawaban di setiap lembar halaman yang tertulis.
Dia tidak seperti yang lain. Dia tidak mengenakan pakaian yang mencolok, tidak ada tas mahal yang menggantung di pundaknya, dan tidak ada senyum manis yang ia tampilkan seperti yang biasa aku lihat di wajah-wajah teman kampus yang lainnya. Tapi ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, seperti magnet yang menarik perhatian tanpa bisa ditahan.
Aku mengedarkan pandangan, berusaha tak terlalu mencolok, tapi mataku selalu kembali tertuju padanya. Entah apa yang membuatku merasa begitu tertarik untuk mendekatinya, padahal selama ini aku lebih sering dikelilingi oleh teman-teman yang riang, yang selalu membuat suasana menjadi ceria. Aku tidak tahu siapa dia, tapi sesuatu dalam diri gadis itu membuatku penasaran.
Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari bangku dan melangkah mendekat. Pikiranku seolah terputus oleh suara lembut yang memanggil namaku.
“Mira.”
Aku menoleh, dan menemukan wajah Tania, teman dekatku, sedang berjalan menghampiriku. Tania selalu tahu kapan aku sedang tidak fokus, bahkan ketika aku merasa kesepian di tengah keramaian. Dia tersenyum lebar, seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Kau ingin mendekati gadis itu, kan?” tanya Tania, tanpa ragu. Aku terkejut, dan refleks menatap wajahnya dengan canggung.
“Apa? Aku… tidak,” jawabku, berusaha terdengar santai meski aku tahu itu tidak meyakinkan.
Tania hanya tertawa ringan. “Mira, aku tahu betul kalau kamu itu penasaran. Gadis itu… dia agak aneh, ya, memang, tapi bukan berarti dia tak pantas dikenali.”
Aku terdiam, merasakan gelombang emosi yang sulit kutafsirkan. Bagaimana Tania bisa tahu? Padahal, aku bahkan belum membuka mulut dan hanya melihat ke arah gadis itu dalam diam. Tapi entah mengapa, aku merasa ada yang berbeda kali ini. Ada dorongan kuat yang membuatku ingin mendekat, untuk mengenalnya lebih jauh.
“Kenapa dia duduk sendirian, ya?” aku bertanya, tanpa sadar. Tania menatapku dengan mata yang penuh arti.
“Namanya Asha. Dia bukan tipe yang suka bergabung dengan kelompok-kelompok besar. Mungkin dia merasa asing di sini,” jawab Tania pelan. “Tapi, jika kau ingin tahu lebih banyak, kenalilah dia sendiri. Kalau tidak, kalian berdua akan terus berada di dunia yang berbeda.”
Aku mengangguk, merasa sedikit tertekan oleh kata-kata Tania. Ternyata, Asha bukanlah sosok yang bisa dianggap remeh. Ada sesuatu di balik sikapnya yang terlihat pendiam, dan entah mengapa, aku merasa harus tahu lebih banyak. Sesuatu dalam diriku berkata bahwa dia bukanlah gadis yang hanya akan melewatkan hidupnya begitu saja.
Tanpa banyak berpikir lagi, aku melangkah menuju tempat di mana Asha duduk. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, perasaan aneh muncul dalam hatiku. Aku tidak tahu kenapa aku merasa cemas. Seharusnya ini mudah, kan? Aku kan sudah terbiasa berkenalan dengan siapa saja. Tapi, entah kenapa, aku merasa berbeda kali ini.
“Asha?” panggilku pelan, suara suaraku sedikit bergetar, meski aku berusaha terlihat santai. Asha menoleh, dan aku melihat matanya yang tajam namun sepi, seolah menyimpan cerita yang tak terungkapkan.
Dia tersenyum tipis, senyum yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak keberatan aku datang menghampirinya. “Mira, kan? Kamu sering duduk di taman ini.”
Aku terkejut, dia tahu namaku. Padahal, kami belum pernah berbicara sebelumnya. “Iya, itu aku,” jawabku, mencoba tersenyum, meski hatiku mulai terasa berat.
Asha kembali menundukkan kepalanya ke buku catatannya, namun tidak langsung melanjutkan membaca. Dia menatapku sejenak, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Apa yang membuatmu ingin datang ke sini?” tanya Asha pelan.
Aku bingung, pertanyaan itu terlalu langsung. Namun, aku tidak ingin menyerah begitu saja. “Aku hanya penasaran,” jawabku singkat. “Aku lihat kamu sering duduk sendirian. Kenapa? Kenapa tidak bergabung dengan teman-teman lain?”
Asha terdiam sejenak. Wajahnya tampak berpikir, lalu dia mengangkat bahu. “Kadang, lebih mudah untuk menyendiri. Dunia luar terlalu ramai,” jawabnya pelan.
Aku terkejut dengan jawabannya. Dunia luar terlalu ramai? Itu seperti sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Aku yang selalu hidup dalam keramaian, di tengah tawa dan kebahagiaan, tak pernah merasakan dunia yang “terlalu ramai” itu.
“Kenapa tidak mencoba berbagi dengan orang lain?” tanyaku, meskipun aku tahu bahwa aku mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia rasakan.
Asha memandangku dengan mata yang penuh makna. “Karena aku takut, Mira,” jawabnya singkat. “Aku takut untuk membuka diri dan kecewa lagi.”
Aku merasakan getaran dalam hati. Ada kesedihan dalam suaranya, sebuah kesedihan yang tersembunyi jauh di dalam dirinya. Mungkin aku tidak tahu seluruh cerita hidupnya, tapi aku tahu satu hal: Asha membutuhkan seseorang untuk mendengarnya.
Saat itu, aku memutuskan. Kami berdua mungkin berasal dari dunia yang berbeda, tetapi aku ingin ada di sana untuknya. Karena terkadang, pertemuan yang tak terduga, dengan orang yang tak terduga, bisa mengubah segalanya.
Cerpen Natasha, Gadis Paling Hits
Aku Natasha, seorang gadis yang selalu ceria. Mungkin kalian mengenalku sebagai gadis paling hits di kampus, yang selalu dikelilingi teman-teman, selalu tertawa, selalu ada di pusat perhatian. Rasanya hidupku sempurna. Aku punya segalanya: banyak teman, banyak tawaran kegiatan, dan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang membuatku merasa diterima dan dihargai. Hidupku seperti sebuah panggung, dan aku adalah bintangnya.
Tapi aku tahu, di balik tawa itu, ada kesepian yang tak terlihat. Aku sadar, meskipun aku punya banyak teman, tak ada seorang pun yang benar-benar mengenal siapa aku. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan, atau siapa aku di luar perananku sebagai gadis hits yang selalu terlihat bahagia.
Itulah mengapa hari itu terasa begitu berbeda. Sebuah kejadian kecil yang kemudian mengubah segalanya.
Saat itu adalah hari yang biasa. Kampus terasa ramai, suara langkah kaki mahasiswa terdengar di koridor, bisik-bisik perbincangan terdengar di mana-mana. Seperti biasa, aku berjalan dengan langkah penuh percaya diri menuju kantin, diiringi oleh dua sahabatku yang selalu menemani: Mira dan Fani. Kami tertawa, berbincang, dan tidak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitar kami.
Namun, di sudut koridor, ada sosok yang tidak biasa. Seorang gadis dengan pakaian sederhana, rambut hitam panjang yang tergerai tanpa banyak perawatan, duduk di lantai, memegang buku besar di tangannya. Dia tampak berbeda dari kebanyakan mahasiswa di sini. Tidak ada senyuman cerah, tidak ada keramaian di sekitarnya. Hanya kesunyian yang mengelilinginya.
“Nat, kamu lihat nggak sih dia?” Mira bertanya, sambil menunjuk ke arah gadis itu.
Aku menoleh. “Iya, kenapa?”
“Kayaknya dia baru deh, gak pernah liat sebelumnya.”
Aku mengernyitkan dahi. Sementara teman-temanku sibuk membicarakan gadis itu, aku merasa sedikit penasaran. Biasanya, aku cukup cepat mengenali semua orang di kampus ini. Tapi kali ini, gadis itu benar-benar asing. Seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan.
“Ayo deh, kita ajak ngobrol,” kata Fani, dengan nada penuh semangat. Fani memang selalu berani mendekati siapa saja.
Kami berjalan mendekat, dan aku merasa sedikit canggung. Apa yang harus aku katakan? Aku bukan tipe orang yang suka mendekati orang asing, apalagi orang yang tidak tampak tertarik pada keramaian. Namun, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menarik perhatianku.
Saat kami berdiri di depannya, dia menoleh dan memberikan senyum kecil yang hampir tidak terlihat. “Hai,” sapa Mira, dengan nada ramah.
Gadis itu hanya mengangguk. Sepertinya dia tidak terlalu tertarik untuk berbicara. Ada kesan bahwa dia lebih suka menyendiri, lebih suka berada di dunianya sendiri.
Aku mencoba membuka pembicaraan, meskipun terasa canggung. “Kamu baru di sini, ya?” tanyaku, mencoba berbicara lebih santai.
Dia mengangguk lagi, kali ini sedikit lebih lama. “Iya,” jawabnya pelan. “Aku baru pindah dari Jakarta.”
“Aku Natasha,” kataku, memperkenalkan diri dengan senyum. “Ini Mira dan Fani.”
Dia menatap kami sebentar, lalu kembali fokus pada bukunya. Ada sesuatu yang membuatku merasa aneh, seperti ada tembok tak terlihat antara kami.
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa perlu tahu lebih banyak tentang gadis ini. Sesuatu di dalam diriku terasa tertarik, seolah ada ikatan tak terucapkan. Bukan karena dia terlihat menarik atau berbeda, tetapi lebih karena ada kesedihan yang tersirat dalam tatapannya. Sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih dalam.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” tanyaku, mencoba membuka percakapan lebih jauh. “Maksudku, gak ada teman?”
Dia mengangkat bahunya, matanya masih terfokus pada buku tebal yang dibacanya. “Tidak ada yang ingin berteman denganku.”
Kata-kata itu menyentak hatiku. Tidak ada yang ingin berteman dengannya? Aku hampir tidak percaya. Seorang gadis yang terlihat begitu pendiam dan misterius, memang bisa jadi sulit untuk didekati. Tapi seharusnya ada orang yang peduli padanya, kan?
Aku mencoba untuk tersenyum, berusaha mencairkan suasana. “Aku tidak percaya itu. Kamu hanya perlu memberi kesempatan pada orang-orang untuk mengenalmu,” kataku dengan optimis.
Dia menatapku sejenak, kemudian tersenyum, meskipun senyum itu tampak sedikit canggung. “Mungkin,” jawabnya pelan.
Kami pun akhirnya duduk di sampingnya. Kami tidak tahu harus membicarakan apa, tetapi kehadiranku membuat suasana sedikit lebih nyaman, meskipun dia tetap lebih banyak diam. Tak lama kemudian, waktu berlalu, dan akhirnya aku harus kembali ke kelas.
Namun, aku merasa ada sesuatu yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Gadis itu, yang sekarang aku tahu bernama Sarah, telah menarik perhatian hatiku lebih dalam daripada yang aku kira. Meskipun aku dikelilingi banyak teman, aku merasa seolah-olah aku baru pertama kali merasa benar-benar terhubung dengan seseorang.
Setelah pertemuan itu, aku merasa sebuah dorongan untuk lebih mengenalnya. Tidak tahu mengapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang harus kulakukan. Sesuatu yang tidak boleh aku lewatkan begitu saja. Entah itu karena rasa ingin tahu, atau mungkin… karena hati ini merasa terpanggil.
Namun, siapa yang bisa tahu bahwa pertemuan singkat itu akan menuntunku pada perjalanan yang jauh lebih rumit dari yang aku bayangkan? Sebuah perjalanan yang akan menguji persahabatan, perasaan, dan pengertian tentang diri kita sendiri. Sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupku selamanya.