Daftar Isi
Selamat datang di dunia yang penuh warna! Di sini, kita akan mengikuti perjalanan seorang gadis yang berani mengejar impian, meski banyak rintangan menghadang.
Cerpen Bella, Si Penggila Fashion
Bella sedang berdiri di depan pintu masuk butik kecil yang ada di pusat kota. Pintu kaca yang separuh terbuka itu memantulkan siluetnya yang terlihat begitu energik. Rambutnya yang panjang tergerai dengan indah, berkilau hitam di bawah sinar matahari sore yang hangat. Dia mengenakan gaun merah muda dengan aksen pita di pinggang, sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak begitu sempurna. Bagi Bella, dunia adalah panggung mode tempat dia bisa berekspresi sepuasnya. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk menampilkan dirinya—dan fashion adalah bahagia bagi dirinya.
Dia adalah gadis yang selalu terlihat ceria, penuh dengan kepercayaan diri dan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Bella punya banyak teman. Ke mana pun dia pergi, ada saja yang menyapa. Dia bukan hanya populer, tetapi juga dicintai oleh banyak orang karena kehangatannya. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang selalu mengusik hatinya—kesendirian di malam hari.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Bella datang ke butik langganannya setelah sekolah untuk mencari koleksi pakaian terbaru. Dia suka menghabiskan waktu di sana, berkeliling, mencium aroma kain yang baru, mencoba baju-baju yang menggiurkan, dan terkadang, berimajinasi tentang bagaimana orang lain akan melihatnya saat dia mengenakan pakaian tersebut. Butik kecil ini sudah seperti rumah kedua baginya. Tempat ini memberinya kebahagiaan yang tak ternilai.
Namun hari itu sedikit berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya merasa agak aneh. Saat sedang memilih beberapa gaun cantik di pojok butik, matanya tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Gadis itu tidak sedang berbelanja seperti Bella. Dia duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, menyilangkan tangan di dada, wajahnya menunduk. Rambutnya yang panjang tergerai acak, tidak terurus. Gaun yang dikenakannya sederhana—bukan gaun mewah seperti yang sering dipilih Bella. Gaun itu tampak kusam dan tidak dipadukan dengan aksesori apapun.
Bella merasa aneh, ada sesuatu yang membuatnya tertarik untuk mendekati gadis itu. Mungkin karena sikapnya yang tampak canggung di tengah kemeriahan butik yang penuh warna dan kehidupan. Bella merasa ada sebuah kesedihan yang tak terlihat jelas, namun kuat, yang mengalir dari dirinya. Tanpa sadar, Bella melangkah mendekat. Hatinya bertanya-tanya, siapa dia? Apa yang sedang dia pikirkan?
Namun, sesaat sebelum dia sampai, gadis itu berdiri dan berjalan menuju pintu butik. Kakinya melangkah pelan, dan Bella melihat bagaimana dia dengan cepat menyembunyikan wajahnya dengan tangan, seolah tidak ingin terlihat oleh siapa pun. Bella merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ada rasa ingin tahu yang mendalam. Tetapi, Bella juga merasa ragu. Gadis itu tampaknya bukan tipe orang yang ingin berbicara dengan orang lain. Namun, Bella tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Dalam beberapa detik, gadis itu menghilang di balik pintu butik, meninggalkan Bella yang hanya bisa menatap kepergiannya. Perasaan Bella campur aduk. Ada rasa ingin tahu, ada rasa penasaran yang membuncah, namun juga ada rasa tidak nyaman yang mendalam. Kenapa gadis itu tampak begitu berbeda? Apa yang membuatnya begitu… terasing?
Keesokan harinya, Bella kembali ke butik, masih dengan perasaan yang sedikit mengganjal. Ketika dia baru saja melangkah masuk, matanya menangkap sosok gadis itu lagi. Kali ini, dia duduk di kursi yang sama. Namun, gadis itu tidak terlihat sama. Tidak ada lagi wajah muram itu. Kini, gadis itu sedang melihat ke cermin butik dengan tatapan kosong. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi apapun. Hanya hening.
Bella merasakan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk berbicara, tetapi entah kenapa mulutnya seakan terkatup rapat. Waktu seakan berjalan lebih lambat ketika dia terus memperhatikan gadis itu. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuat Bella merasa terhubung, meskipun mereka tidak saling mengenal. Bella ingin tahu lebih banyak, ingin tahu apa yang membuat gadis itu sepi seperti itu, meski di tengah keramaian butik yang selalu ramai.
Hari-hari berlalu, dan setiap kali Bella datang ke butik, dia akan menemukan gadis itu duduk di kursi yang sama. Entah apa yang membuatnya begitu rutin datang, tetapi Bella mulai merasa ada ikatan yang tak terucapkan di antara mereka. Gadis itu tetap tidak pernah berbicara, tidak pernah menunjukkan ekspresi yang berarti. Bella bahkan mulai mengenali ciri-cirinya—betapa kusutnya rambut gadis itu, betapa tak terurusnya pakaiannya, meski semuanya seharusnya indah.
Pada suatu sore yang mendung, Bella tiba di butik lebih awal dari biasanya. Hujan mulai turun dengan deras. Langit yang gelap dan angin yang menggulung terasa seakan meresap dalam setiap sudut ruangan butik. Bella masuk, dan matanya langsung tertuju pada sosok gadis itu, yang kali ini berdiri di dekat jendela, menatap hujan dengan tatapan kosong. Tidak ada rasa kebahagiaan di matanya, hanya kehampaan.
Tanpa pikir panjang, Bella berjalan mendekat. Langkahnya mantap, dan kali ini, dia tidak merasa ragu. Ketika sudah cukup dekat, Bella berdiri di samping gadis itu dan menatap hujan bersama. Hening. Suasana itu terasa aneh, namun tidak membuat Bella merasa canggung. Hujan yang turun dengan deras membuat dunia di sekitar mereka terasa lebih sepi, lebih dalam, dan lebih nyata.
Gadis itu tidak melihat Bella, dan Bella tidak memaksakan untuk berbicara. Hanya ada mereka berdua, hujan, dan keheningan yang memeluk semuanya. Bella merasa seakan bisa merasakan kelelahan di tubuh gadis itu, dan hatinya tiba-tiba tergerak.
Keheningan itu panjang, dan meski tidak ada kata-kata, Bella merasa perasaan mereka terhubung dalam cara yang berbeda. Mereka berdua adalah dua dunia yang berbeda, namun di tengah hujan itu, Bella merasa mereka saling memahami tanpa perlu saling berbicara.
Hari itu, Bella memutuskan untuk tidak meninggalkan butik lebih awal. Dia tetap duduk di sebelah gadis itu, menikmati hujan, meski dia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ada perasaan yang kuat tumbuh di dalam dirinya—keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang gadis itu, untuk mengerti kenapa dia terlihat seperti dia.
Cerpen Cindy, Gadis Berkelas
Cindy melangkah perlahan di trotoar yang diselimuti daun kering. Udara pagi itu sejuk, namun di balik kesejukan yang menyelimuti tubuh, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Pagi ini berbeda. Segalanya terasa lebih sepi, lebih hening, meskipun ribuan orang berlalu-lalang di sekitarnya. Terik matahari belum begitu menyengat, tetapi sinarnya yang lembut menyoroti jalanan yang berkilau, memberi kesan semesta sedang memperhatikan setiap langkahnya.
Cindy, gadis dengan wajah cerah yang selalu diikuti oleh senyuman di setiap kesempatan, tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang entah mengapa mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Dia, yang selalu dikelilingi teman-teman dan dikenal oleh banyak orang, tiba-tiba merasa sangat kesepian. Seperti ada yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa dia gapai, meski semuanya tampak sempurna.
Pagi itu, di tengah keramaian yang sudah mulai terasa padat, pandangannya tertumbuk pada seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman, jauh dari keramaian. Gadis itu berbeda. Dengan rambut hitam panjang yang terurai, matanya yang menatap kosong ke depan seolah sedang mencari sesuatu, dan tubuhnya yang terbungkus dalam jaket coklat tua, yang bahkan tak tampak sesuai dengan cuaca cerah hari itu.
Tidak ada yang mencolok dari penampilannya. Namun, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuat Cindy tertarik. Gadis itu tampak seperti seseorang yang sedang menyembunyikan cerita sedih di balik mata yang tak pernah benar-benar tersenyum. Dan Cindy, yang sudah terbiasa hidup dalam dunia penuh warna, merasa seperti tersedot ke dalam dunia abu-abu yang baru. Ada perasaan aneh, rasa ingin tahu yang mendorongnya untuk mendekat.
Cindy berjalan mendekat, tidak tahu mengapa, tetapi langkahnya seolah mengikuti dorongan yang tak terlihat. Langkahnya tenang, meski di dalam hatinya, ada kegelisahan. Ia berhenti beberapa meter dari gadis itu dan memandangi sosoknya dengan diam-diam. Gadis itu tidak sadar, bahkan tidak ada sedikit pun respons dari gerakannya. Hanya ada keheningan.
Lalu, ketika Cindy melangkah maju sedikit lagi, tiba-tiba mata gadis itu terangkat dan bertemu dengan mata Cindy. Seketika dunia terasa terhenti. Tatapan itu, meskipun singkat, penuh dengan sesuatu yang sulit diungkapkan. Seolah ada komunikasi tak terucap di antara mereka, sebuah koneksi yang tiba-tiba muncul begitu saja, meskipun Cindy tahu mereka tidak mengenal satu sama lain.
Gadis itu tersenyum tipis, namun senyum itu tidak membawa kebahagiaan, hanya keheningan. Cindy merasa ada luka dalam senyuman itu, meski ia tak tahu apa yang menyakitkan di baliknya.
Cindy menghela napas, mencoba menghilangkan rasa ingin tahunya yang semakin mendalam. Namun, sebelum ia berbalik, gadis itu berbicara dalam bisikan pelan, hampir tak terdengar.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?”
Cindy terkejut mendengar suara itu. Suara yang begitu lembut, namun penuh beban. Gadis itu masih menatapnya, dan kini ada sedikit keheranan dalam tatapannya. Seolah Cindy adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang berbeda.
“Aku… hanya penasaran,” jawab Cindy, suaranya nyaris berbisik. “Kamu tampak berbeda. Apa kamu baik-baik saja?”
Gadis itu terdiam. Waktu seolah berhenti, dan bagi Cindy, dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua di tengah taman itu. Angin yang berhembus lembut hanya memperkuat keheningan yang ada.
Tiba-tiba, gadis itu berdiri, perlahan. Pandangannya masih tertuju pada Cindy, namun kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di mata itu—sesuatu yang lebih manusiawi, lebih nyata. “Aku baik-baik saja,” jawabnya, meski kata-katanya terdengar seperti sebuah kebohongan yang tak sempurna.
Cindy hanya mengangguk pelan. Ada keinginan yang mendalam untuk berbicara lebih banyak, untuk mengenal gadis ini lebih dekat. Tapi, tanpa tahu harus mulai dari mana, Cindy hanya berdiri di sana, tidak mampu melanjutkan percakapan lebih jauh.
“Kenapa kamu sendirian?” tanya gadis itu akhirnya, mengubah arah pembicaraan. Matanya tetap menatap Cindy dengan tatapan penuh misteri.
Cindy tersenyum sedikit, meski hatinya merasa berat. “Aku selalu dikelilingi orang, tapi terkadang rasanya… tidak ada yang benar-benar tahu siapa aku.” Cindy berkata perlahan, seolah mengungkapkan kebenaran yang jarang ia izinkan untuk keluar. Ada ketulusan dalam kata-katanya, sesuatu yang jarang ia bagikan kepada orang lain.
Gadis itu mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Hanya ada keheningan, seolah dunia kembali berputar tanpa mereka sadari.
Cindy berdiri di sana, merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Ada rasa kesepian yang bisa mereka saling pahami. Tanpa sadar, mereka sudah saling membagikan luka yang tak terucap, meski hanya dalam sekejap pandangan mata.
Ketika gadis itu berbalik dan mulai berjalan menjauh, Cindy merasa sebuah dorongan kuat untuk ikut bersamanya, berjalan di sampingnya, dan menjadi seseorang yang bisa membantunya mengatasi kesedihan yang tak terlihat. Namun, seolah perasaan itu tidak diterima, Cindy hanya bisa melihat gadis itu pergi dengan langkah-langkah yang semakin jauh.
Di tengah keramaian itu, Cindy merasa sebuah kesepian yang tak terucapkan. Gadis yang baru saja ia temui, yang tak pernah ia kenal sebelumnya, membuatnya merasa seperti ada ikatan yang tak terlihat di antara mereka. Ikatan yang kuat, meskipun mereka hanya bertemu sesaat.
Hari itu berlanjut, dan Cindy merasa ada sesuatu yang hilang. Namun, di dalam hatinya, ia tahu, pertemuan singkat itu adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Sejak saat itu, Cindy tak pernah bisa melupakan gadis itu. Meskipun mereka tidak pernah berbicara lebih banyak, dan meskipun gadis itu pergi begitu cepat, pertemuan itu meninggalkan kesan yang dalam, mengingatkan Cindy bahwa kadang-kadang, ada kesepian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan oleh hati.
Cerpen Dinda, Gadis Populer Sekolah
Pagi itu, seperti biasa, aku bangun dengan semangat tinggi. Matahari masih malu-malu menampakkan cahayanya di balik awan, namun di dalam hati, ada rasa yang tak pernah hilang. Aku merasa senang, bahagia, dan percaya diri, seperti setiap pagi yang kujalani selama ini. Aku Dinda, gadis populer di sekolah kami. Hampir semua orang mengenalku. Bukan hanya karena penampilanku yang selalu rapi atau cara bicaraku yang selalu ceria, tapi juga karena aku selalu ada untuk teman-teman. Keluarga, teman, dan kebahagiaan adalah dunia kecil yang kubangun dengan hati yang lapang. Tak ada yang tahu, namun aku selalu merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Di sekolah, semua orang berlalu-lalang seolah aku adalah pusat perhatian. Aku tahu itu, dan entah kenapa, perasaan itu sudah sangat biasa. Namun, di tengah ramainya kehidupan sosial yang kujalani, ada satu hal yang tak bisa aku hindari. Aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah pertemuan yang tak pernah terbayangkan.
Hari itu adalah hari pertama di semester baru, dan sekolah kami dipenuhi oleh wajah-wajah baru. Namun, ada satu gadis yang tiba-tiba menarik perhatianku. Namanya Lisa. Lisa bukanlah tipe orang yang biasanya aku dekati, dan dia bukan bagian dari dunia popularitas yang selama ini kutinggali. Lisa lebih sering terlihat sendirian, dengan ransel besar yang selalu tampak sedikit kusut. Tubuhnya ramping dan pendiam, dengan rambut panjang yang tak pernah ia rapikan. Meskipun wajahnya cantik, ada sesuatu dalam matanya yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Aku tahu banyak teman-temanku yang mungkin tak peduli dengan keberadaan Lisa, tetapi entah mengapa, aku merasa tertarik.
Satu pelajaran pertama dimulai. Aku duduk di bangku dekat pintu, sementara Lisa duduk di ujung ruangan yang agak jauh. Saat guru memasuki kelas dan memulai pelajaran, aku sesekali mencuri pandang ke arah Lisa. Ada kesendirian yang terpancar dari wajahnya yang menatap ke luar jendela. Aku tahu dia tidak berbicara dengan siapapun. Aku bisa merasakannya, bahwa dia sedang mencoba menghindari sorotan mata orang lain, seperti aku yang selalu ingin terlihat sempurna. Ada sesuatu yang tidak terucap antara kami berdua, dan anehnya, itu membuatku merasa tertarik.
Setelah jam pelajaran selesai, aku memutuskan untuk keluar dan mengambil napas sejenak di luar kelas. Saat aku berjalan menuju kantin, aku melihat Lisa duduk sendiri di bawah pohon besar yang terletak di halaman belakang sekolah. Ia tak peduli dengan suara riuh teman-teman yang berlarian. Matanya terfokus pada buku yang ia pegang. Entah mengapa, kaki ini melangkah tanpa ragu ke arahnya.
Aku berhenti beberapa langkah dari tempat Lisa duduk, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat betapa ia begitu tenggelam dalam dunianya sendiri, tidak mempedulikan kehadiran orang lain. Aku merasa bingung, namun juga penasaran. Aku berjalan mendekat dan duduk di bangku kosong di sampingnya.
Dia tidak melihatku, dan aku merasa sedikit canggung. Entah mengapa, dalam pertemuan pertama ini, aku merasa tidak perlu berbicara. Tidak ada kata yang perlu diucapkan. Kami hanya duduk di sana, berdua, dalam kesunyian yang begitu nyaman.
Waktu berjalan perlahan, dan sepertinya Lisa masih tenggelam dalam buku yang dibacanya. Aku mengamati ekspresinya, dan entah bagaimana, hatiku terasa lebih ringan. Seolah ada pemahaman yang tumbuh tanpa perlu kata-kata. Aku ingin sekali bertanya kepadanya tentang apa yang sedang dibacanya, atau kenapa ia selalu terlihat sendirian, namun rasanya aku takut. Aku takut jika aku membuka percakapan itu, aku justru akan membuatnya merasa canggung.
Namun, dalam keheningan itu, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tidak seperti pertemuan-pertemuan lain yang selalu diwarnai dengan suara gelak tawa atau obrolan yang riuh, momen itu terasa begitu damai. Ada rasa yang datang begitu tiba-tiba, rasa yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasa seolah aku sedang duduk bersama seseorang yang benar-benar mengerti keheningan.
Tak lama setelah itu, bel masuk sekolah berbunyi, mengakhiri waktu istirahat kami. Lisa bangkit dengan tenang, menyimpan bukunya dalam tas dan melangkah pergi. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin jauh.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus berputar tentang pertemuan itu. Ada sebuah perasaan yang menggelitik hatiku, perasaan yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Aku merasa seolah aku telah menemukan seseorang yang bisa melihat diriku, meskipun kami tidak berbicara sepatah kata pun.
Esok harinya, aku melihat Lisa lagi, kali ini di aula sekolah saat kami semua berkumpul untuk upacara bendera. Aku tidak tahu mengapa, namun ada dorongan kuat di dalam diriku untuk menghampirinya, meskipun aku masih ragu apakah itu hal yang tepat untuk dilakukan.
Aku masih belum tahu, apakah ini adalah awal dari sebuah persahabatan, ataukah ini hanya momen singkat yang akan terlupakan. Namun, aku tahu satu hal pasti: sesuatu telah berubah dalam diriku, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang Lisa. Ada rasa yang lebih dalam, lebih tulus, yang membuatku ingin menjaga jarak dari dunia populer yang selama ini kujalani. Aku ingin menemukan arti persahabatan yang sejati, yang tak diukur dengan jumlah teman, atau seberapa terkenal seseorang. Aku ingin mengenal Lisa, meskipun tanpa kata-kata.
Kehadiran Lisa dalam hidupku, meski tak ada percakapan antara kami, sudah cukup membuatku merasa bahwa hidup ini bisa lebih dari sekadar kebahagiaan yang penuh dengan keramaian.
Cerpen Erika, Si Fashionable
Erika selalu percaya bahwa persahabatan itu seperti sebuah kain yang dilukis dengan warna-warna cerah—warnanya tak selalu stabil, terkadang pudar, terkadang bersinar terang. Sejak kecil, dia adalah seorang gadis yang hidupnya penuh dengan tawa, penuh dengan teman-teman yang hadir dan pergi, tetapi selalu ada rasa bahwa dia tidak pernah benar-benar sendiri. Keceriaannya menyebar ke mana-mana, seperti bunga yang mekar di musim semi. Orang-orang selalu mendekat, karena siapa yang tidak ingin bersahabat dengan gadis secerah Erika?
Namun, pertemuan itu… tak seperti yang dia harapkan.
Pagi itu cerah, seperti biasa. Erika melangkah dengan ringan di sepanjang trotoar kota, tangan kirinya memegang secangkir kopi panas yang baru saja dibelinya di kafe dekat rumah. Di sekelilingnya, hiruk-pikuk kehidupan kota selalu ada, dengan orang-orang yang berlalu-lalang, beberapa sibuk dengan ponsel mereka, yang lain berbicara dengan teman atau rekan kerja. Semua tampak biasa, seperti hari-hari lainnya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda di udara itu—sesuatu yang menyentuhnya tanpa dia sadari. Sesuatu yang akan mengubahnya selamanya.
Dia melihat seorang gadis berdiri di dekat pohon besar di ujung jalan, dengan gaya yang begitu mencolok. Gadis itu mengenakan pakaian yang sangat berbeda dari yang lain, seakan-akan dia berjalan keluar dari halaman majalah mode. Setelan blazer hitam dengan aksen warna emas, sepatu boots tinggi yang melangkah dengan percaya diri, dan rambut panjang yang terurai rapi dengan sedikit gelombang alami. Gadis itu tampak seperti salah satu ikon fashion yang biasa Erika lihat di majalah, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar penampilannya yang menarik.
Erika berjalan mendekat, menarik napas dalam-dalam, dan berharap bisa melewati gadis itu tanpa terlalu lama memperhatikannya. Tetapi entah kenapa, pandangannya tak bisa lepas. Ada semacam magnet yang menariknya untuk lebih dekat, ingin tahu siapa gadis itu dan apa yang sedang dilakukannya di tengah keramaian. Dan tepat pada saat itu, ketika langkah kaki Erika semakin dekat, gadis itu menoleh—sebuah tatapan kosong dan kosong yang menusuk langsung ke dalam dirinya.
Sejenak, Erika merasa seolah-olah dunia sekitar mereka berhenti berputar. Gadis itu hanya memandangnya, seolah tak peduli dengan semua yang terjadi di sekelilingnya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Erika merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Seolah-olah ada dinding yang terbangun antara mereka berdua, dinding yang tinggi dan tak terlihat, namun sangat kuat.
Erika tersenyum kecil, berharap bisa mencairkan atmosfer yang kaku itu. Namun, gadis itu tetap diam, seolah tak mendengar atau merasakan apapun. Erika mengerutkan kening, mencoba membaca ekspresi wajah gadis itu yang seakan tak tertarik pada apapun di dunia ini. Tapi ada sesuatu dalam pandangannya—sesuatu yang rapuh, yang bahkan Erika bisa rasakan meskipun mereka hanya bertemu sekejap.
Akhirnya, gadis itu menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya, berjalan perlahan menyusuri jalan yang berlawanan dengan Erika. Sebelum benar-benar menghilang di balik kerumunan orang, Erika melihat sekilas sesuatu yang aneh di tangan gadis itu—sebuah foto, terselip di dalam buku agenda kulit hitam yang ia pegang erat. Foto itu terlihat usang, seperti foto lama yang mungkin sudah lama tidak dilihat oleh pemiliknya. Tanpa sadar, Erika berbalik dan melangkah sedikit lebih cepat, berusaha menghilangkan perasaan aneh yang mengganjal di hatinya.
Sesampainya di rumah, Erika duduk di meja makan sambil memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Dirasakan oleh dirinya, momen pertemuan itu masih terngiang, dan wajah gadis itu seakan terukir dalam benaknya. Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di hatinya. Mengapa gadis itu tampak begitu berbeda? Apa yang dia rasakan? Apakah ada kisah yang tersembunyi di balik penampilannya yang begitu anggun namun kosong itu? Erika tak bisa menahannya. Keingintahuan tentang gadis itu, yang kini muncul begitu mendalam, mengusik setiap sudut pikirannya.
Namun, yang paling mengejutkan adalah perasaan yang ia rasakan—sebuah perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ada sesuatu yang meresap di hatinya, dan walau ia berusaha menepisnya, Erika tahu bahwa perasaan itu tak akan hilang begitu saja. Ada sesuatu yang tak beres dalam pertemuan singkat itu. Dan seiring malam semakin larut, Erika memutuskan untuk meninggalkan perasaan itu begitu saja, berjanji untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Namun, sepertinya tak ada janji yang bisa menghalangi perasaan itu untuk terus menggema di dalam dirinya.