Cerpen Singkat Persahabatan SD

Selamat datang di dunia penuh warna, di mana setiap pilihan membuka jalan baru menuju kebahagiaan yang tak terduga. Ayo, ikuti kisah gadis-gadis yang berani bermimpi!

Cerpen Poppy, Gadis Sosialita

Aku selalu merasa hidupku sempurna. Dari luar, siapa yang bisa meragukan kebahagiaanku? Aku Poppy, gadis dengan senyum lebar dan mata yang selalu memancarkan keceriaan. Di sekolah, aku dikenal sebagai si sosialita, gadis populer yang memiliki segalanya—teman-teman yang setia, keluarga yang selalu mendukung, dan tentu saja, banyak cinta dari orang-orang di sekitar.

Namun, meski dikelilingi banyak orang, ada satu perasaan yang sering datang tanpa aku mengundangnya—kesepian. Tapi, itu bukanlah kesepian yang bisa dilihat oleh orang lain. Di luar, aku selalu tampak sibuk dan ceria, namun di dalam hatiku, aku merasa ada yang hilang. Aku tak pernah benar-benar memiliki teman dekat. Semua yang ada hanya teman-teman biasa yang aku ajak berbicara untuk mengisi kekosongan waktu. Mereka yang datang dan pergi begitu saja.

Namun, semuanya berubah saat aku bertemu dengan seorang gadis yang sama sekali berbeda dariku.

Hari itu adalah hari pertama aku duduk di kelas 5 SD. Seperti biasa, aku melangkah ke dalam ruang kelas dengan percaya diri, senyum terkembang di wajahku, dan rambut tergerai sempurna. Aku selalu tahu, dalam setiap langkahku, aku menarik perhatian. Namun, ada satu hal yang terasa berbeda pada hari itu. Ada seorang gadis baru yang duduk di pojok kelas, jauh dari keramaian. Aku baru tahu bahwa namanya adalah Clara.

Clara bukan gadis yang biasa. Dari penampilannya yang sederhana dan pakaian yang jauh dari kesan mewah, aku langsung tahu bahwa dia berbeda. Rambutnya hitam legam, diikat dengan gaya sederhana, dan wajahnya tampak selalu serius. Meski banyak teman-teman lain yang membicarakan dirinya, aku merasa ada yang aneh. Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang suka bergosip atau tertawa terbahak-bahak. Clara lebih banyak diam, dan bahkan matanya seringkali tampak kosong, seolah-olah dia sedang melamun jauh di luar kelas.

Rasa ingin tahuku muncul. Apa yang membuatnya berbeda? Mengapa dia tidak seperti yang lain?

Tanpa pikir panjang, aku mendekatinya di saat jam istirahat. Clara sedang duduk sendirian di bangku dekat jendela, memegang buku yang tampak berat—sebuah novel tebal yang aku rasa sangat serius untuk dibaca oleh seorang anak seumuranku.

“Hei, Clara, boleh aku duduk di sini?” tanyaku dengan senyum yang biasa aku pasang.

Clara menoleh, dan untuk sesaat, aku melihat sepasang mata coklat yang agak kebingungan memandangku. Kemudian, dia tersenyum kecil. “Tentu saja,” jawabnya, suara lembut dan sedikit canggung.

Aku duduk di sebelahnya, mencoba mengobrol, meskipun aku tahu dia bukan tipe orang yang mudah diajak bicara. Tapi aku rasa aku harus mencoba. “Aku lihat kamu suka baca buku-buku tebal ya? Kalau aku sih lebih suka baca majalah tentang mode atau cerita-cerita seru. Tapi, aku kira buku-buku seperti itu pasti menyenangkan.”

Clara mengangguk pelan. “Iya, aku suka buku yang bisa membuatku melupakan dunia sejenak,” katanya, matanya kembali tertuju pada halaman bukunya.

Aku tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Hmm, aku juga suka melupakan dunia kok, tapi biasanya aku melakukannya dengan pergi ke mall atau hangout sama teman-teman.”

Clara tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya, seperti menganggap itu hal yang wajar. Aku merasa sedikit canggung, tapi entah kenapa aku tidak bisa berhenti mencoba. “Tapi, kamu tahu nggak, Clara? Aku selalu suka berteman dengan orang yang unik, dan kamu punya cara sendiri untuk melihat dunia, kan?”

Clara berhenti membaca dan memandangku dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Mungkin,” jawabnya pelan. “Tapi aku lebih suka sendiri. Aku tidak butuh banyak teman.”

Aku terkejut. Biasanya, orang-orang ingin berteman denganku. Semua orang ingin dekat denganku, bahkan banyak yang berusaha untuk masuk ke dalam lingkaran pertemananku. Tapi Clara berbeda. Dia bahkan tidak tertarik untuk menjadi temanku. Aku merasa sedikit terhina, tapi entah kenapa ada rasa penasaran yang semakin membesar. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.

Hari demi hari aku mencoba mendekati Clara. Aku mulai meliriknya lebih sering di kelas, dan seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa mengajaknya bicara lebih banyak. Meski Clara tidak begitu ekspresif dan seringkali berbicara dengan nada yang datar, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Ada kedalaman dalam setiap kata-katanya yang tidak bisa aku temukan pada teman-teman lainnya.

Pada suatu siang, saat kami berdua duduk bersama di taman sekolah, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Clara, kenapa kamu suka sekali menyendiri? Bukankah lebih menyenangkan kalau kita punya banyak teman? Kalau aku sih, aku nggak bisa hidup tanpa teman-teman di sekitarku.”

Clara menatap langit biru di atas kami dan menghela napas. “Karena,” katanya perlahan, “teman-teman itu bisa datang dan pergi. Mereka hanya ada di hidupku saat aku butuh mereka. Tapi aku lebih memilih untuk mengandalkan diri sendiri. Dulu, aku punya teman, tapi… mereka pergi begitu saja. Itu menyakitkan.”

Aku terdiam. Kata-katanya mengena di hati, seolah menyentuh bagian terdalam yang belum pernah aku sadari sebelumnya. Mungkin Clara benar. Aku yang selama ini menganggap hidupku sempurna, dikelilingi teman-teman, ternyata tak pernah benar-benar tahu apa artinya kehilangan.

Kami berdua duduk diam, dikelilingi oleh suara burung yang berkicau dan angin yang bertiup lembut. Sesaat itu, aku merasa sebuah ikatan yang tak terucapkan mulai terbentuk di antara kami. Clara bukan teman yang mudah didapatkan, dan entah kenapa, itu membuatku merasa lebih tertantang untuk mengenalnya lebih jauh.

Cerpen Queena, Gadis Penguasa Event

Aku masih ingat jelas hari itu. Senja mulai merangkak turun di atas langit biru, memberi nuansa lembut pada sore yang hangat di sekolah dasar kami. Aku, Queena, seperti biasa, tengah asyik berbicara dengan beberapa teman dekatku di sudut lapangan. Biasanya, kami akan bermain atau merencanakan acara kecil-kecilan setelah jam sekolah selesai. Aku memang selalu dikelilingi banyak teman. Mereka mengatakan aku bisa membuat siapa saja merasa nyaman, bisa membuat hari mereka lebih cerah. Mungkin itu karena aku suka berbicara, mengatur, dan memberi warna dalam setiap kegiatan.

Hari itu, aku baru saja merencanakan acara yang akan diadakan untuk ulang tahun sekolah kami. Semua teman-temanku dengan semangat mulai menyusun daftar tugas—mendekorasi kelas, menyiapkan makanan, dan tentu saja, mempersiapkan kejutan untuk guru-guru. Aku adalah “gadis penguasa event,” julukan yang diberikan oleh teman-temanku karena aku selalu yang pertama kali datang dengan ide-ide besar dan membuat semuanya berjalan dengan sempurna.

Namun, ada satu hal yang berbeda di hari itu. Saat aku sedang merencanakan acara ulang tahun sekolah, seorang gadis baru datang ke sekolah kami. Namanya Zora, dan dia datang dari luar kota, pindah karena orangtuanya bekerja di sini. Kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan dia datang terlambat, tepat saat aku dan teman-temanku sedang berbicara.

Zora tampak canggung, berdiri di ujung lapangan dengan ekspresi bingung. Wajahnya terlihat pucat, matanya sedikit terpejam karena sinar matahari sore yang memancar langsung ke wajahnya. Rambutnya hitam panjang tergerai, sedikit acak-acakan, dan dia mengenakan seragam yang terlihat sedikit lebih besar dari tubuhnya yang kurus. Aku memperhatikannya sesaat sebelum akhirnya salah seorang teman menyapanya.

“Hey, kamu Zora, kan?” Tanya Sarah, teman sekelasku yang lebih suka berbicara duluan dengan orang baru.

Zora mengangguk, tapi masih terlihat ragu-ragu. Seolah tak tahu harus mulai dari mana, atau bagaimana cara berinteraksi dengan teman-teman baru.

“Dia teman baru kita!” Sarah berkata dengan penuh semangat, seolah memperkenalkan pahlawan baru dalam film yang kami tonton bersama.

Namun, Zora hanya tersenyum canggung. Senyumnya tipis, dan aku bisa melihat ada keraguan di mata kelamnya. Ada semacam kecemasan, seolah dia takut untuk menjadi bagian dari keramaian. Aku tahu rasanya, meskipun aku sudah lama bisa menyesuaikan diri di antara teman-teman. Berada di tengah-tengah banyak orang bisa jadi menakutkan bagi sebagian orang. Aku merasa kasihan, tapi aku juga merasa tergerak untuk mengajaknya bergabung.

Aku berjalan mendekat, berusaha menunjukkan senyum paling tulus yang bisa kuberikan. “Hei, Zora! Aku Queena, boleh ikut ngobrol dengan kita?” tanyaku, berusaha membuatnya merasa lebih nyaman.

Zora menatapku sejenak, matanya seakan mencari tahu siapa aku. Aku hanya tersenyum, dan akhirnya Zora mengangguk pelan. “Iya, boleh. Terima kasih.”

Kami duduk bersama di bawah pohon rindang yang berada di sisi lapangan. Teman-teman lainnya mulai kembali sibuk dengan tugas masing-masing, dan aku bisa merasakan ada sedikit ketegangan di udara. Zora tampaknya masih memerlukan waktu untuk benar-benar merasa nyaman di sini. Aku memberinya ruang, namun juga terus memberinya kesempatan untuk berbicara. Aku tahu betul bagaimana rasanya merasa asing di tempat yang baru, di tengah orang-orang yang sudah saling mengenal lama.

“Jadi, Zora, kenapa kamu pindah ke sini?” tanyaku pelan, mencoba mengawali percakapan.

Zora menatap tanah sebentar, lalu mengangkat wajahnya. “Karena orangtuaku dipindahkan kerja di sini, jadi aku harus ikut,” jawabnya dengan suara pelan, seakan-akan kata-katanya tidak cukup berarti.

Aku tersenyum lagi, meskipun aku merasa sedikit sedih mendengarnya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tertahan di dalam diri Zora. Seperti ada sebuah dinding yang sengaja dibangun di sekeliling hatinya. Aku ingin tahu lebih banyak, tetapi aku tidak mau memaksanya untuk bercerita jika dia belum siap.

“Gak apa-apa kok, kita bisa jadi teman. Aku juga nggak langsung bisa dekat sama semua orang di sini. Waktu yang akan jawab semuanya,” kataku, mencoba memberinya semangat.

Zora hanya mengangguk pelan, tetapi ada cahaya kecil yang muncul di matanya. Aku merasa lega melihat itu, meskipun tidak sepenuhnya yakin apakah itu tanda bahwa dia merasa lebih baik.

Hari itu, setelah kami selesai ngobrol, aku membiarkannya pulang duluan, memberi ruang agar dia tidak merasa terburu-buru. Aku terus memperhatikan, berharap kami bisa menjadi teman baik seiring berjalannya waktu. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini. Aku merasa ada yang belum selesai. Sesuatu yang harus kutemui di dalam diri Zora, yang membuatnya begitu tertutup dan penuh rahasia. Aku ingin tahu lebih banyak, tapi aku harus sabar.

Malamnya, aku terbaring di tempat tidur, memikirkan tentang Zora. Tentang bagaimana ia masih merasa seperti orang asing di dunia yang penuh dengan kebersamaan ini. Aku merasa prihatin, namun juga ada perasaan yang tidak bisa kusebutkan, perasaan yang mengusik setiap kali aku memikirkan senyum tipisnya.

Apakah aku bisa membantunya? Apakah dia akan pernah bisa merasa cukup nyaman untuk berbagi cerita denganku?

Waktu yang akan menjawab. Tapi aku tahu, entah bagaimana, hidup kami akan saling berhubungan lebih dari sekadar menjadi teman sekelas. Akan ada lebih banyak cerita yang akan terungkap, lebih banyak tawa dan air mata yang akan datang. Aku hanya perlu menunggu saat yang tepat.

Cerpen Rani, Si Bintang Pergaulan

Aku selalu percaya, hidup ini seperti langit yang luas, penuh bintang yang bersinar dengan cara mereka masing-masing. Seperti Rani, sahabatku yang satu ini. Dari pertama kali aku melihatnya, dia sudah berbeda. Bukan karena penampilannya, meski tak bisa dipungkiri, dia memang cantik. Tapi lebih kepada bagaimana semua orang selalu berkerumun di sekitarnya, tertawa, bercerita, bahkan hanya untuk sekedar mengagumi senyumannya. Rani adalah bintang pergaulan di sekolah kami, bahkan di kelas. Aku hanya gadis biasa yang duduk di bangku belakang, menyaksikan semua itu dari kejauhan.

Saat itu, aku tak tahu banyak tentang dia, hanya bahwa namanya selalu muncul dalam setiap percakapan teman-teman di sekolah. “Kamu sudah dengar? Rani tadi ada di kantin, dia ngomongin tentang pertandingan sepak bola!” atau, “Rani baru saja membantu guru menjelaskan pelajaran matematika, dia pinter banget, lho!” Semua orang selalu membicarakan Rani, seolah-olah dia adalah pusat dunia ini.

Aku, si gadis biasa yang sering terlambat datang ke sekolah karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah, hanya bisa duduk di pojokan dan mendengarkan cerita-cerita itu dengan rasa penasaran. Dulu, aku sering merasa iri dengan Rani. Semua orang mengaguminya, sementara aku merasa tak lebih dari bayang-bayang yang tak terlihat.

Namun, segalanya berubah pada suatu pagi yang tampak seperti hari biasa. Aku sedang duduk sendiri di taman sekolah, menggambar di buku catatan sambil menunggu bel masuk, ketika tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Aku menoleh dan hampir saja terjatuh dari bangku saking terkejutnya. Itu Rani. Rani yang selama ini hanya aku lihat dari jauh, duduk di sampingku dengan senyum lebar yang membuat jantungku berdegup lebih kencang.

“Eh, kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil menatapku penuh perhatian.

Aku hanya bisa mengangguk, sementara wajahku memerah karena malu. Ada yang aneh, rasanya aku seperti tidak bisa bernapas dengan normal. Aku ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata itu terasa seperti terjebak di tenggorokan. Rani tampaknya tidak memperhatikan kekakuanku. Dia justru tertawa kecil.

“Aku lihat kamu sering sendirian di sini, lagi gambar ya?” tanya Rani, mencoba membuka percakapan.

Aku hanya mengangguk, sedikit ragu, dan kemudian mengangguk lagi. “Iya, aku suka menggambar,” jawabku dengan suara pelan.

Dia tersenyum lebih lebar. “Keren! Aku juga suka gambar, tapi lebih suka gambar orang. Tapi aku nggak terlalu bagus, sih,” katanya sambil memiringkan kepalanya dengan ekspresi lucu.

Aku akhirnya bisa mengeluarkan sedikit tawa, walau aku masih merasa gugup. Rani, yang dulunya hanya sosok di angan-angan, kini ada di sini, duduk di sampingku dan berbicara padaku seperti teman. Itu terasa aneh, tapi juga menyenangkan. Rani kemudian melihat gambar di bukuku, mata birunya yang cerah berkilau.

“Wow, ini bagus banget! Apa ini gambar rumah pohon?” katanya sambil menunjuk salah satu gambar yang baru saja kubuat. Gambar itu memang rumah pohon yang kubuat dengan penuh cinta. Aku selalu ingin punya rumah pohon yang bisa menjadi tempat persembunyian dari dunia luar, tempat untuk aku sendiri.

“Eh, iya. Itu impianku,” jawabku, sedikit malu.

Rani menyandarkan punggungnya pada bangku dan menatapku dengan serius. “Kenapa nggak buat aja? Kalau kamu mau, aku bisa bantu. Aku ada banyak ide buat rumah pohon yang keren. Bisa juga jadi tempat kita nongkrong bareng.”

Aku terdiam sejenak. Aku tak bisa mengerti, kenapa dia ingin membantu. Apa yang membuat Rani, gadis populer yang memiliki segalanya, tertarik untuk menghabiskan waktu dengan aku? Aku yang hanya gadis biasa yang selalu terlihat di belakang, yang bahkan tidak begitu populer di kalangan teman-teman.

Namun, meskipun ada sedikit rasa canggung, hatiku terasa hangat. Aku mulai merasa, mungkin ada sisi lain dari Rani yang tidak pernah aku lihat. Mungkin, dia tidak hanya seorang gadis yang dikelilingi teman-teman dan perhatian, tapi juga seseorang yang bisa berbicara dengan hati, yang peduli pada orang lain. Kami berbicara panjang lebar hari itu, tentang rumah pohon, sekolah, dan impian masing-masing.

Sejak saat itu, setiap pagi, aku mulai menunggu Rani di taman sekolah. Kami tidak hanya berbicara tentang gambar atau rumah pohon, tetapi juga tentang banyak hal—tentang keluarga, tentang buku-buku yang kami baca, tentang mimpi-mimpi yang ingin kami wujudkan. Rani, dengan segala keceriaannya, mulai membuka duniaku yang dulu terasa sempit. Dia mengajarkanku untuk lebih percaya diri, untuk tidak takut menjadi diriku sendiri, meski aku merasa seperti bayang-bayang di tengah keramaian.

Aku tidak tahu kapan tepatnya kami menjadi sahabat. Mungkin itu terjadi perlahan, tanpa aku sadar. Tapi yang aku tahu, setelah pertemuan itu, segala sesuatu mulai berubah. Rani tidak lagi hanya bintang yang bersinar di langit yang jauh. Dia kini bagian dari dunia kecilku, yang menyinari setiap langkahku.

Tentu saja, tidak semua hal berjalan mulus. Kami bertemu dengan banyak tantangan, dan kadang-kadang, aku merasa seperti berada di ujung jurang, takut jatuh. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang lebih indah dari pertemuan kami. Sesuatu yang tidak akan pernah aku lupakan, dan aku mulai merasa—mungkin, hidupku tidak seburuk yang aku kira.

Dan itulah awal pertemuan kami. Sebuah pertemuan yang mengubah banyak hal, yang mungkin tidak pernah aku duga akan terjadi, dan mungkin, juga akan terus aku kenang selamanya.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *