Daftar Isi
Selamat datang, sahabat! Ayo, kita bersama-sama menggali kisah seru tentang perempuan yang berani melangkah meski tak tahu apa yang akan datang.
Cerpen Jelita, Si Ratu Instagram
Hari itu cerah, dengan matahari yang bersinar begitu terik, tapi aku merasa ada yang berbeda di udara. Aku, Jelita, gadis yang selalu senang berbagi cerita melalui Instagram, sedang berjalan menyusuri trotoar kota yang ramai. Aku mengenakan kaos putih dengan logo kecil di dada, celana pendek denim, dan sneakers kesayangan. Rambutku yang panjang tergerai bebas, dan aku hampir tidak pernah melewatkan kesempatan untuk berfoto.
Instagram adalah dunia yang aku ciptakan untuk diriku sendiri—dunia yang penuh senyum, kebahagiaan, dan kilau-kilau kecil dari filter yang kuterapkan. Aku memang bahagia, aku dikelilingi banyak teman, dan setiap hari aku merasa hidupku seperti sebuah pesta.
Namun, ada satu hal yang tak pernah aku ceritakan: betapa sepinya hati ini, meskipun selalu ramai dengan suara, like, dan komentar. Tapi itu bukan topik untuk dibahas saat ini. Aku akan membicarakan sesuatu yang lebih menarik: tentang dia, seseorang yang tak pernah kuanggap penting pada awalnya, tapi akhirnya jadi bagian besar dalam hidupku.
Aku pertama kali bertemu dengan Adit di sebuah kafe kecil di sudut kota. Waktu itu aku sedang menunggu temanku untuk nongkrong, sambil scrolling Instagram—mencari inspirasi foto atau sekedar mengomentari unggahan teman-temanku yang baru.
Tiba-tiba, aku mendengar suara riang dari meja sebelah. Suara itu terdengar begitu familiar, tapi bukan karena aku pernah mendengarnya sebelumnya, melainkan karena suaranya yang ceria itu mengingatkanku pada dunia Instagramku yang penuh warna dan keceriaan. Aku menoleh, dan di sana, duduk seorang pria yang sedang tertawa sambil berbicara dengan seorang teman.
Wajahnya familiar. Aku sadar, dia adalah Adit, seorang influencer yang juga cukup terkenal di Instagram. Adit dikenal sebagai sosok yang selalu ceria, humoris, dan penuh energi—semua hal yang tidak pernah kulihat secara langsung. Di Instagram, dia selalu tampak menyenangkan, tapi tatapannya itu… ada sesuatu yang berbeda.
Matanya yang tajam dan alisnya yang sedikit berkerut membuatku berpikir, apakah dia juga merasa terjebak dalam dunia Instagram yang penuh kepalsuan? Mungkinkah dia juga merasa kesepian meski dikelilingi ribuan pengikut? Itu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku.
Aku tak bisa menahan diri. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mendekatinya. Kaki ku melangkah tanpa sadar, mengikuti suara tawanya yang masih terdengar jelas.
“Maaf, Adit?” Aku mencoba menyapa dengan suara yang terdengar lebih percaya diri daripada yang aku rasakan. “Aku Jelita, dari Instagram.”
Adit menoleh, sejenak ragu, lalu tersenyum. “Oh, Jelita! Tentu saja. Senang akhirnya bertemu denganmu di dunia nyata.”
Aku tersenyum canggung, merasa sedikit aneh. Ini pertama kalinya aku bertemu seseorang yang kuanggap hanya ada di layar kaca. Aku merasa semacam kecanggungan yang membuncah dalam dada. Tapi Adit membuat suasana menjadi lebih nyaman. Dia mengajakku duduk dan berbicara. Kami mulai berbicara tentang segala hal—dari hal-hal sepele seperti makanan favorit, hingga topik berat tentang hidup dan Instagram.
“Tapi, aku penasaran,” kata Adit sambil menyeruput kopi. “Kenapa kamu begitu aktif di Instagram? Seperti, ada yang kamu cari di sana?”
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabanku. Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu pasti. Instagram adalah dunia di mana aku merasa dihargai, merasa penting. Dalam dunia nyata, aku sering merasa bahwa aku hanya sekadar ‘teman’ atau ‘orang biasa’. Tapi di Instagram, aku adalah Jelita yang penuh senyum, dengan ribuan pengikut yang menghargai setiap momen hidupku.
“Tidak ada yang istimewa,” jawabku akhirnya. “Aku hanya suka berbagi cerita. Kadang, dunia nyata terlalu berat. Di Instagram, aku bisa menjadi siapa saja yang aku inginkan.”
Adit mengangguk, seolah memahami. “Tapi, dunia Instagram itu seringkali bukan yang sebenarnya, kan? Banyak yang terselubung di sana.”
Aku mengangguk pelan, mataku tiba-tiba terasa sedikit perih. Adit berbicara dengan suara rendah, seolah dia juga pernah merasakannya—terjebak dalam dunia yang penuh ilusi.
“Benar,” aku mengangguk lagi, lebih pelan. “Kadang, meskipun kita dikelilingi banyak orang, kita tetap merasa sendirian.”
Mata Adit sepertinya menangkap perasaanku. “Jelita, kamu nggak sendirian kok. Dunia nyata punya cara untuk membuat kita menemukan orang-orang yang benar-benar peduli.”
Aku menatapnya dalam-dalam, merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kedalaman di balik mata Adit yang jarang kulihat pada orang lain. Bukan hanya sekadar pesona yang dia tampilkan di Instagram, tetapi ada rasa empati yang tulus di sana. Aku merasa nyaman berbicara dengannya.
Tapi, saat itu aku tidak tahu bahwa pertemuan kami hanya akan menjadi awal dari banyak cerita—cerita yang akan mengubah cara pandangku tentang persahabatan, cinta, dan diriku sendiri.
Mungkin, awalnya aku menganggapnya hanya sebagai “influencer” di dunia Instagram. Tapi, semakin kami berbicara, semakin aku merasa bahwa Adit bukanlah orang yang seperti dia tampilkan di media sosial. Ada kehangatan di dalam dirinya, yang membuat aku merasa, untuk pertama kalinya, bahwa mungkin dunia nyata ini juga memiliki tempat untukku.
Perlahan-lahan, aku mulai melihat keindahan dalam ketulusan yang jarang kulihat di Instagram. Dan siapa sangka, dari sebuah pertemuan yang sederhana ini, aku akan belajar bahwa kebahagiaan tak selalu ditemukan dalam foto-foto indah, tetapi dalam hubungan yang lebih nyata.
Cerpen Kania, Gadis Penuh Karisma
Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali bertemu dengannya. Hari itu, cuaca di luar begitu cerah, seolah langit pun merayakan sebuah hari yang istimewa. Aku, Kania, sedang duduk di bangku taman dekat sekolah, menikmati es krim stroberi kesukaanku, sambil memikirkan semua hal lucu yang terjadi di sekolah. Bukan hal aneh bagiku untuk tersenyum tanpa alasan, karena aku memang tipe orang yang selalu melihat sisi cerah dari segala hal. Teman-teman sering memanggilku “gadis penuh karisma” karena kepribadianku yang ceria dan penuh semangat. Aku selalu punya banyak teman, selalu merasa nyaman di tengah keramaian, dan sepertinya tak ada yang bisa menghalangi kebahagiaanku.
Tapi saat itu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Seorang gadis duduk sendiri di sisi taman yang lebih jauh. Posisinya agak terisolasi dari keramaian, dengan rambut hitam panjang tergerai, mengenakan jaket biru muda yang tampak sedikit kebesaran. Meskipun dia duduk dengan tubuh membungkuk, aku bisa merasakan ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih dekat, meskipun dia terlihat sangat berbeda dari kebanyakan orang yang aku temui sebelumnya.
Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena dia tampak begitu sendirian, atau mungkin karena ada semacam aura kesedihan yang mengelilinginya. Tanpa banyak berpikir, aku berdiri dan berjalan menghampirinya. Aku selalu punya rasa ingin tahu yang besar, dan aku rasa ini adalah salah satu momen yang tepat untuk mengikuti instingku.
“Hey, kamu nggak apa-apa?” tanyaku dengan suara ceria, berharap bisa menghiburnya.
Gadis itu menoleh pelan, matanya masih terlihat redup, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapan pertama kami terasa begitu intens, dan meskipun dia tampak ragu, akhirnya dia tersenyum tipis. Senyuman itu, meskipun kecil, seperti sebuah sinar kecil yang muncul di tengah awan mendung.
“Aku… aku cuma sedikit lelah,” jawabnya pelan, suaranya hampir berbisik.
“Lelah? Lelah belajar atau lelah berurusan dengan orang-orang?” aku bertanya sambil duduk di sampingnya. Aku merasa aneh kalau hanya berdiri di sana tanpa mengatakan apa-apa.
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Lelah dengan semuanya. Aku merasa nggak cocok dengan tempat ini. Kadang aku merasa seperti orang asing di tempat yang aku harusnya disebut rumah.”
Aku terkejut mendengarnya. Aku yang selalu merasa diterima di mana pun aku berada, merasa tak tahu harus berkata apa. Aku tahu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia rasakan, tapi ada semacam dorongan untuk membuatnya merasa lebih baik, untuk membuatnya tahu bahwa tidak semua orang itu buruk dan menyakitkan.
“Dengerin ya, aku Kania. Aku selalu punya banyak teman, dan aku rasa, aku bisa jadi teman yang baik buat kamu,” kataku dengan senyum lebar, berharap bisa mencairkan suasana.
Dia memandangku, matanya sedikit lebih terbuka, meskipun masih ada kecemasan yang mengendap di sana. “Aku Rania,” jawabnya pelan, suara barunya terdengar sedikit lebih ringan daripada sebelumnya. “Tapi… aku nggak tahu, Kania. Aku nggak merasa seperti bisa punya teman di sini. Semua orang terlihat terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.”
Aku mengangguk, meresapi kata-katanya. Memang, di sekolah ini, orang-orang sering terjebak dalam dunia mereka sendiri, terlalu sibuk dengan status sosial atau kelompok mereka. Tapi aku tidak percaya bahwa itu berarti kita tidak bisa menemukan satu sama lain di tengah semua itu.
“Aku nggak bakal paksa kamu untuk jadi teman aku, Rania. Tapi aku cuma mau bilang, kamu nggak sendirian,” aku berkata dengan serius, mencoba memberikan kenyamanan dalam setiap kata. “Kadang, kita hanya butuh waktu untuk menemukan tempat kita, dan aku bisa jadi orang yang bakal menemani kamu mencarinya.”
Dia menatapku sejenak, dan entah kenapa, aku bisa merasakan sesuatu yang kuat dalam tatapan itu. Seolah-olah ada keinginan yang terpendam, ingin membuka diri, tapi ragu apakah itu aman untuk dilakukan. Aku tahu, jalan untuk membuatnya merasa diterima tidak akan mudah, tapi aku siap untuk membantu. Sebab, aku percaya bahwa setiap orang layak untuk merasakan kebahagiaan, apalagi seorang gadis sepertinya—dengan karisma yang tersembunyi di balik raut wajah yang terluka.
Beberapa menit kemudian, Rania mengangguk pelan. “Mungkin aku bisa mencoba…”
Itulah awal dari segalanya. Hari itu, kami mulai mengobrol tentang banyak hal. Kami bercerita tentang hobi, keluarga, bahkan tentang mimpi-mimpi kami. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatku semakin merasa bahwa dia bukan hanya gadis yang sendirian. Di balik tatapan itu, ada kecerdasan, ada semangat, ada potensi untuk berkembang. Aku bisa merasakannya.
Hari itu berakhir dengan aku dan Rania berjalan pulang bersama, tertawa atas lelucon kecil yang kami buat, dan berjanji untuk bertemu lagi keesokan harinya. Aku merasa bahwa, meskipun awalnya aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara kami, aku merasa sangat senang bisa mengenalnya lebih jauh.
Kehidupan ini kadang bisa sangat berat, dan aku tahu Rania akan membutuhkan waktu untuk benar-benar merasa nyaman. Tapi aku siap untuk menjadi teman sejatinya. Siapa tahu, persahabatan kami ini bisa jadi awal dari kisah yang lebih berarti—bahkan mungkin lebih dari sekadar persahabatan.
Setiap pertemuan yang dimulai dengan tawa dan senyum, sering kali memiliki cerita yang lebih dalam, dan aku tahu, cerita kami baru saja dimulai.
Cerpen Laras, Si Penggila Fashion
Pagi itu, aku baru saja menyelesaikan rutinitasku yang biasa—mengambil gambar untuk Instagram, mencoba beberapa pakaian baru yang aku beli sebulan lalu, dan memutuskan untuk memamerkannya di depan cermin. Berpakaian modis bukan hanya hobiku; itu adalah caraku untuk mengungkapkan siapa diriku. Dan saat itu, di tengah riuhnya dunia fashion yang selalu berubah, aku merasa sangat hidup.
Aku Laras, gadis yang selalu mencintai hal-hal berkilau. Semuanya tentang mode—mulai dari baju desainer hingga aksesoris yang lebih mahal daripada bayar sewa rumah—adalah obsesiku. Aku tak pernah takut berbelanja sendirian, memilih warna mencolok untuk tas, dan mencoba gaya yang menurut orang lain ‘berlebihan’. Namun, ada sesuatu dalam diriku yang jarang diketahui orang. Aku bukan hanya gadis penggila fashion; aku adalah seorang yang sangat peduli dengan orang-orang di sekitarku.
Pagi itu aku datang ke kampus dengan gaun merah cerah yang aku beli minggu lalu. Gaun itu terlalu mencolok—aku tahu—tapi apa salahnya? Aku suka menjadi perhatian. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada melangkah ke kelas dengan senyum di wajah dan tatapan takjub dari teman-teman. Namun, aku tak pernah tahu, di balik langkah percaya diri itu, ada seseorang yang melihatku bukan sebagai seorang yang ingin tampil sempurna, tetapi sebagai seseorang yang sedang mencari arti persahabatan sejati.
Aku duduk di bangku dekat pintu kelas. Lalu, ada seorang gadis yang datang terlambat. Rambutnya agak berantakan, matanya sedikit sembab, dan dia mengenakan pakaian yang sangat sederhana—kaos putih, celana jeans, dan sneakers yang sudah usang. Dia masuk, sedikit canggung, dan mencari tempat duduk. Kelas sudah hampir penuh, kecuali satu kursi kosong di sebelahku. Aku sempat meliriknya, menilai dengan cepat, dan berpikir dia pasti akan merasa canggung duduk di dekatku.
Namanya Dinda. Dia tidak banyak bicara, lebih suka menyendiri. Dalam beberapa minggu pertama, aku tak terlalu peduli padanya. Lagipula, dia bukan tipe orang yang suka berbicara soal mode atau hal-hal yang aku anggap ‘penting’. Aku merasa, hidupku yang penuh dengan warna-warni dan kegembiraan jauh berbeda dengan dirinya yang tampak serba biasa.
Tapi pada suatu hari, semua itu berubah.
Itu terjadi saat kelas sedang berlangsung. Aku sedang asyik berbicara dengan teman-teman di bangku belakang tentang koleksi terbaru yang aku lihat di Instagram, dan tiba-tiba, Dinda, yang duduk di sebelahku, berbisik, “Aku suka gaunmu.”
Aku menoleh ke arahnya, terkejut. Selama ini, aku tak pernah menganggap Dinda sebagai seseorang yang peduli dengan penampilan orang lain. Mungkin dia lebih suka memikirkan hal-hal lain, seperti tugas kuliah atau topik-topik yang lebih serius.
“Serius?” tanyaku dengan suara sedikit tinggi, mencoba menyembunyikan rasa terkejut. “Kamu suka?”
Dinda mengangguk, wajahnya terlihat sedikit merah. “Iya. Aku cuma… bingung, kenapa kamu bisa selalu tampil percaya diri dengan pakaian yang sangat berbeda dari yang lain,” katanya pelan.
Itu adalah kalimat yang seolah-olah menghentikan waktu. Di balik kesederhanaannya, Dinda justru memberi pujian yang begitu berarti bagiku. Selama ini, aku selalu merasa dianggap aneh oleh orang-orang karena gaya berpakaianku yang kadang terlalu ‘berlebihan’, terlalu mencolok. Namun, di mata Dinda, aku ternyata terlihat… berbeda, dengan cara yang menyenangkan.
Aku tersenyum. “Terima kasih, Dinda. Tapi, aku rasa setiap orang punya gaya masing-masing, kan? Mungkin aku cuma terlalu berani tampil beda.”
Dinda tersenyum malu. “Aku rasa begitu,” jawabnya singkat.
Setelah pertemuan itu, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang menarik untuk dijelajahi di dalam diri Dinda. Bukan hanya tentang gaya berpakaian atau bagaimana dia tampak di luar, tapi lebih tentang siapa dia sebenarnya. Ada kerumitan di dalam dirinya yang aku mulai ingin ketahui lebih dalam.
Beberapa hari setelah itu, aku memutuskan untuk mengajak Dinda makan siang bersama. Aku tahu dia jarang bergabung dengan teman-teman lain, dan aku pikir ini bisa menjadi kesempatan untuk lebih mengenalnya.
“Hei, Dinda, mau makan siang bareng nggak?” tanyaku sambil tersenyum lebar. “Kita bisa ngobrol sedikit, nggak hanya tentang kuliah.”
Dinda tampak terkejut, tetapi dia tidak menolak. “Boleh juga, Laras.”
Kami berjalan bersama ke kafe dekat kampus. Aku merasa sedikit canggung, karena ini adalah pertama kalinya aku benar-benar berbicara dengan Dinda di luar kelas. Di meja, kami mulai bercerita tentang hal-hal biasa—sekolah, hobi, dan tentu saja, mode.
“Aku selalu merasa, kalau aku tidak tampil berbeda, orang-orang akan menganggap aku biasa saja,” aku berkata dengan tulus. “Kadang, aku merasa seperti hanya terlihat di permukaan saja.”
Dinda menatapku serius. “Aku mengerti. Kadang aku merasa, meskipun aku tidak pernah terlihat menonjol, ada bagian dari diriku yang orang lain tidak lihat. Tapi… itu mungkin lebih tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri, bukan?”
Aku terdiam mendengar kata-kata Dinda. Tidak pernah aku mendengar pendapat seperti itu sebelumnya. Biasanya, orang-orang akan membicarakan tentang keinginan untuk terlihat cantik atau sempurna, tetapi Dinda berbicara tentang sesuatu yang lebih dalam. Tentang bagaimana orang bisa terlihat biasa, namun memiliki keunikan yang tidak terlihat.
Hari itu aku mulai melihat Dinda dengan cara yang berbeda. Dia bukan hanya gadis yang selalu duduk sendiri, bukan hanya seseorang yang tampak begitu jauh dari dunia fashion yang aku kenal. Ternyata, di balik wajah yang terlihat tenang, Dinda memiliki cerita yang lebih banyak untuk diceritakan—dan mungkin, aku mulai menyadari bahwa pertemuan kami bukan hanya tentang mode dan penampilan, tetapi tentang sesuatu yang jauh lebih berharga: persahabatan sejati.