Daftar Isi
Halo, teman-teman! Bersiaplah untuk memasuki dunia penuh kejutan, di mana setiap langkah membawa petualangan baru dan setiap impian layak diperjuangkan.
Cerpen Dina, Bintang Malam Kota
Nama saya Dina, dan dunia saya selalu dipenuhi dengan lampu-lampu neon, hiruk-pikuk suara klakson mobil, serta langkah kaki yang tergesa-gesa di trotoar. Saya tinggal di kota besar yang tak pernah tidur, kota yang bagaikan bintang-bintang di langit malam yang tak pernah padam. Tapi, meskipun begitu, saya tetap merasa kesepian.
Sekolah adalah dunia yang berbeda. Di sana, saya bukanlah gadis yang terkenal karena penampilan atau gaya hidup saya yang glamor. Saya adalah Dina, anak perempuan biasa, dengan senyuman yang tak pernah hilang, meskipun seringkali saya merasa sepi. Semua orang mengenal saya. Saya punya banyak teman, mereka bilang saya selalu ceria dan penuh energi. Seperti cahaya yang menerangi setiap sudut kelas. Tapi, mereka tidak tahu betapa saya harus berjuang untuk mempertahankan senyum itu setiap hari.
Hari itu, seperti hari-hari lainnya, saya duduk di pojok kantin, dikelilingi oleh teman-teman yang tak pernah kehilangan canda tawa. Suasana sekolah yang ramai, tawa yang riuh, dan suara piring yang berbenturan dengan meja tak pernah bisa menghalangi pikiran saya yang melayang entah ke mana. Di antara hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran saya—perasaan kosong yang sulit dijelaskan, seakan ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya. Saya sering bertanya pada diri sendiri, apakah saya benar-benar bahagia dengan hidup saya yang seakan terperangkap dalam rutinitas ini?
Tiba-tiba, perhatian saya teralihkan oleh suara langkah kaki yang berat mendekat. Saya menoleh, dan di sana, di ambang pintu kantin, berdiri seorang gadis yang berbeda dari yang lain. Dia tidak tersenyum, tidak tampak ceria seperti kami yang lain. Pakaian seragamnya tampak rapi, namun ada kesan seperti dia tidak begitu peduli dengan segala hal yang ada di sekitarnya. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan, dan matanya tampak kosong, seolah dia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Dia berjalan dengan langkah yang tegas, namun saya bisa melihat kecanggungan di setiap gerakannya. Ketika matanya bertemu dengan mata saya, saya merasakan semacam tarikan, sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahu saya. Saya tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang berbeda tentang dia, sesuatu yang menarik perhatian saya meskipun saya tidak ingin mengakui itu.
Dia duduk di meja paling belakang, sendirian. Tidak ada yang berani mendekat, seperti ada tembok tak terlihat yang menghalangi semua orang untuk sekadar menyapanya. Tiba-tiba, saya merasa seakan dunia ini hanya milik kami berdua. Saya memutuskan untuk berdiri, menyusun keberanian, dan berjalan ke meja belakang di mana dia duduk.
“Duduk di sini?” tanya saya dengan suara ceria, berusaha mencairkan suasana yang aneh itu.
Dia menoleh, sedikit terkejut, seolah tidak mengira ada yang akan datang padanya. Ada hening yang cukup lama, sebelum akhirnya dia anggukkan kepala pelan. “Terserah.”
Saya duduk di hadapannya, menyusun buku dan bekal makan siang saya di meja. Kami duduk dalam keheningan, tidak ada kata-kata, hanya suara gemericik sendok dan garpu yang saling berbenturan dengan piring. Saya mengamati dia, namun dia tidak melihat saya. Matanya tertuju pada jendela, di luar sana, di mana matahari sore mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi kota ini.
“Kenapa duduk sendirian?” tanya saya dengan suara yang pelan, meskipun saya tahu mungkin itu adalah pertanyaan yang konyol.
Dia menghela napas panjang, lalu akhirnya menoleh ke arah saya, mata cokelatnya tajam, seolah sedang menilai saya. “Tidak ada yang ingin duduk dengan orang seperti saya,” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
Saya merasa ada kesedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang membuat dia merasa tidak layak untuk diterima. Saya tahu saya harus mengatakan sesuatu untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik, tapi kata-kata saya terasa seperti bisa menyakiti lebih banyak daripada menghibur.
“Aku tidak percaya itu. Semua orang berhak punya teman. Aku juga bisa jadi temanmu kalau kamu mau,” jawab saya dengan serius, meskipun dalam hati saya mulai merasa cemas. Kenapa saya begitu peduli padanya?
Dia menatap saya sebentar, seperti masih tidak yakin dengan apa yang baru saja saya katakan. Lalu dia tersenyum, namun itu bukan senyuman yang penuh kebahagiaan. Senyum itu lebih mirip senyum yang dipaksakan, seperti sebuah pertahanan diri yang dia buat agar tidak terlihat rapuh.
“Terima kasih,” katanya pelan, tapi ada kehangatan yang samar di balik kata-katanya. Meskipun dia tidak mengatakan lebih banyak, saya bisa merasakan ada sesuatu yang perlahan membuka di dalam dirinya.
Hari itu, entah kenapa, pertemuan kami berdua terasa berbeda. Kami tidak langsung menjadi sahabat, dan dia juga tidak langsung membuka diri. Namun ada ikatan yang tercipta, meskipun hanya dalam hening yang penuh makna. Saya tahu, ada sesuatu yang lebih dalam tentang dirinya yang belum saya temukan, dan saya ingin tahu lebih banyak.
Keberadaan dia di sekolah ini seperti cahaya yang perlahan menyinari sudut-sudut gelap yang ada dalam hidup saya. Dia mungkin gadis yang canggung, yang selalu tampak jauh dari keramaian, namun entah mengapa, dia membuat saya merasa seperti ada sesuatu yang penting yang sedang terjadi dalam hidup kami berdua.
Saya tahu, mungkin ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan tanya, penuh dengan harapan, dan mungkin juga penuh dengan rasa sakit. Tapi saya sudah siap untuk berjalan bersamanya, tidak peduli betapa sulitnya jalan itu nanti. Saya ingin menjadi teman yang bisa membuatnya merasa diterima, bahkan jika itu berarti saya harus berjuang melewati kegelapan yang dia sembunyikan.
Dan siapa tahu? Mungkin, di balik tembok yang dia bangun, saya akan menemukan sebuah bintang malam yang selama ini tersembunyi di dalam hatinya.
Cerpen Elvira, Gadis Trendsetter
Hari itu, cuaca di luar kelas tampak begitu cerah. Mentari pagi menyapa setiap sudut sekolah dengan lembut, namun entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku berjalan cepat menuju kelas, melangkah dengan keyakinan, membawa semangat yang selalu ada dalam setiap langkahku. Namaku Elvira, dan seperti yang teman-temanku katakan, aku adalah gadis yang selalu bisa membuat hari-hari mereka lebih ceria. Aku selalu berusaha jadi seseorang yang positif dan menyenangkan, mungkin itulah sebabnya aku punya banyak teman.
Senyumku adalah senjata utamaku. Tapi, hari itu, senyum itu terasa sedikit lebih lelah.
Di kelas, aku duduk di bangku yang sudah penuh dengan teman-teman. Mereka selalu mengelilingiku, bertanya tentang outfit yang aku kenakan, atau bahkan meminta pendapat tentang masalah yang mereka hadapi. Aku tahu, aku selalu dianggap sebagai ‘trendsetter’ di sekolah ini. Setiap gaya yang aku kenakan, selalu menjadi bahan perbincangan, dan aku suka itu. Namun, ada satu hal yang jarang mereka tahu. Di balik segala perhatian itu, ada kekosongan yang tak bisa aku jelaskan.
Aku tahu aku memiliki banyak teman, tapi kadang aku merasa kesepian. Rasanya seperti semua orang hanya melihat penampilan luar, tanpa benar-benar mengenal siapa aku yang sebenarnya. Aku ingin ada seseorang yang bisa mengerti, yang bisa melihat lebih dari sekadar apa yang terlihat di luar. Tapi, aku tidak tahu harus mencari siapa.
Ketika bel masuk, aku duduk di tempatku seperti biasa, menyapa teman-teman di sekitar. Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Seorang gadis baru masuk. Rambutnya panjang, terurai dengan indah di punggungnya, dan dia mengenakan seragam dengan cara yang sangat berbeda. Ada aura tertentu yang mengelilinginya, seakan-akan dia tidak benar-benar berada di sini—di sekolah ini. Semua mata tertuju padanya, termasuk mataku. Terkadang aku merasa sangat peka terhadap orang-orang baru, dan ada sesuatu yang membuatku tertarik pada gadis itu.
Gadis itu berjalan dengan langkah tenang, tanpa terburu-buru, seolah-olah waktu tidak pernah menekan langkahnya. Ketika dia melewati mejaku, pandangannya bertemu dengan mataku sejenak. Matanya yang besar dan gelap seperti menyimpan sejuta pertanyaan, sementara wajahnya terlukis keheningan. Ada sesuatu yang melesat dalam diriku—keinginan untuk mengenalnya lebih jauh, untuk tahu apa yang ada di balik ekspresi itu.
“Hey, kamu bisa duduk di sini,” tawarku tanpa pikir panjang, menunjuk kursi kosong di sebelahku.
Dia ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan duduk. Tidak ada senyum atau sapaan hangat yang biasa aku lakukan, hanya keheningan yang sedikit canggung. Aku merasa seperti ada jarak di antara kami, meski kami duduk berdekatan.
“Nama saya Elvira,” aku membuka percakapan dengan suara ceria, seperti biasanya.
Dia menoleh padaku, sedikit terkejut dengan kehangatan yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk pelan. “Aveline,” jawabnya singkat.
Kami berdua terdiam beberapa saat. Aku berusaha mencairkan suasana, tapi ada sesuatu yang menghalangiku. Aveline tampak sangat berbeda dengan teman-teman lainnya. Tidak seperti kebanyakan gadis di sekolah ini yang suka bertanya-tanya tentang gaya dan tren, Aveline lebih suka diam, lebih suka mengamati daripada berbicara.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyaku, mencoba membuka percakapan lagi.
Dia menggelengkan kepala, namun matanya tetap tidak lepas dari pandangan ke luar jendela. Aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Aku tidak tahu kenapa, tetapi ada naluri yang memberitahuku bahwa dia bukan hanya gadis baru biasa. Mungkin lebih tepatnya, dia seperti cermin yang memantulkan bayanganku yang lain—sebuah cermin yang mungkin tidak ingin aku lihat.
Bel tanda istirahat berbunyi, dan teman-temanku segera mengerubungi mejaku, seperti biasanya. Mereka mulai bercanda dan berbicara tentang apa yang terjadi di luar kelas, namun aku bisa merasakan Aveline tetap terasing di tengah keramaian itu. Aku mencoba berbicara dengannya, bertanya apa dia ingin ikut bergabung, tapi dia hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara. Sebuah keheningan yang sulit dijelaskan.
Hari-hari setelah itu, aku mulai mengamati Aveline lebih dekat. Aku tidak bisa berhenti merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kadang dia akan terlihat sangat senang, namun dalam beberapa detik saja, ekspresinya bisa berubah menjadi sangat suram. Seperti ada beban yang dia sembunyikan. Ada satu malam ketika aku tak bisa tidur, memikirkan bagaimana caranya aku bisa mendekatinya, mengenalnya lebih jauh. Aku tahu, dia tidak seperti teman-teman lainnya. Aku merasa ada bagian dalam diriku yang mirip dengannya—seseorang yang selalu dikelilingi orang-orang, namun tetap merasa kesepian.
Saat istirahat, aku mendekatinya lagi. “Aveline, aku cuma mau bilang, kalau kamu butuh teman, aku di sini, oke?” kataku, mencoba membuka hati. Matanya menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. Ada kehangatan yang terpancar dalam senyuman itu, tapi juga ada kesedihan yang tersembunyi.
Dia mengangguk perlahan, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sedikit cahaya di matanya. Mungkin, hanya mungkin, kami akan saling mengerti. Aku merasa bahwa pertemuan ini bukan kebetulan. Aveline bukan hanya seorang gadis baru yang hadir di sekolah kami. Dia adalah bagian dari kisah yang belum pernah aku tulis—kisah yang penuh dengan misteri, emosi yang tersembunyi, dan mungkin, sebuah pertemuan yang bisa mengubah segalanya.
Saat itu, aku hanya berharap satu hal—bahwa persahabatan kami bisa tumbuh, tanpa ada lagi jarak yang menghalangi.
Cerpen Fani, Si Penggila Sosial Media
Aku selalu merasa dunia ini terlalu besar untukku, namun sekaligus terasa begitu kecil. Rasanya segala sesuatu yang ada di sekelilingku—teman-teman, sekolah, bahkan keluarga—adalah bagian dari satu cerita besar yang menunggu untuk diceritakan, disimak, dan dipahami. Aku Fani, dan sepertinya dunia sosial media adalah rumahku. Tak ada hari tanpa memeriksa ponsel, tanpa membagikan momen, tanpa berinteraksi dengan orang-orang di luar sana. Di sana aku merasa hidup. Di sana aku merasa eksis.
Di sekolah, aku juga bukan tipe orang yang bisa dibilang pendiam. Aku memiliki banyak teman—lebih tepatnya, teman-teman yang kutemui lewat dunia maya dan membawa pertemanan itu ke dunia nyata. Aku bukan yang paling pintar, tapi entah kenapa setiap orang seolah ingin berada di dekatku. Setiap hari, aku selalu punya sesuatu untuk dibagikan—entah itu status terbaru, foto-foto, atau sekadar cerita-cerita ringan tentang kehidupan sehari-hari. Seperti kebanyakan remaja zaman sekarang, sosial media adalah tempat aku mengekspresikan diri.
Suatu pagi di bulan Maret, sesuatu yang tak terduga terjadi. Aku baru saja memasuki kelas, membuka layar ponsel untuk melihat apakah ada notifikasi terbaru, ketika pandanganku tertumbuk pada seorang gadis yang baru saja masuk. Dia mengenakan jaket abu-abu dengan celana panjang hitam, rambutnya tergerai panjang, dan wajahnya tampak serius. Aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya bahwa dia bukan tipe yang banyak bicara. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian. Meskipun dia tampak tenang, sepertinya ada sebuah aura misterius di sekelilingnya. Orang seperti dia sangat jarang aku temui. Siapa dia? Kenapa dia tidak terlihat seperti kebanyakan orang di sini?
“Ada yang baru, ya?” tanyaku pada teman sebangku, Dita, yang sudah biasa duduk bersamaku di kelas.
“Ah, itu Rara. Dia anak pindahan dari sekolah lain,” jawab Dita sambil memandangi gadis itu dengan pandangan penasaran. “Tapi dia kayaknya gak terlalu suka nongkrong sama orang-orang. Sering banget duduk sendiri.”
Aku merasa aneh. Biasanya, anak baru di sekolah akan langsung menarik perhatian. Mereka akan mencari teman, berbincang, atau sekadar berkenalan. Tapi Rara, gadis itu, hanya duduk di pojok kelas, menundukkan wajah seolah berusaha untuk tidak terlihat. Mungkin karena itu aku merasa tertarik.
Hari-hari berlalu, dan aku mulai mengamati Rara dari jauh. Setiap hari, dia akan duduk sendiri di meja paling belakang. Dia tidak banyak bicara dengan orang lain, bahkan dengan guru sekalipun. Aku mendengar kabar dari beberapa teman bahwa dia tidak begitu tertarik bergaul. Namun, tidak ada yang benar-benar tahu alasan pasti kenapa dia seperti itu.
Suatu saat, saat istirahat, aku memutuskan untuk mendekatinya. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya, meskipun sepertinya aku tak seharusnya peduli. Tetapi entah kenapa, ada dorongan kuat dalam diriku yang memaksaku untuk melakukannya.
Aku duduk di meja yang berada tepat di depan mejanya. Dengan senyum, aku mencoba memulai percakapan.
“Hai, Rara! Aku Fani,” kataku dengan nada ramah. “Kamu baru di sini, ya?”
Dia menatapku sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Iya. Aku baru pindah,” jawabnya singkat.
Aku merasa sedikit canggung. Biasanya, aku tak kesulitan untuk berbicara dengan orang baru. Tapi Rara berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti puzzle yang harus kutebak. “Kalau kamu butuh teman, aku ada kok. Aku juga suka main sosmed, mungkin bisa jadi teman online kamu,” tawarku dengan santai.
Rara sedikit tertawa. “Sosmed? Sepertinya aku lebih suka dunia nyata,” jawabnya, sambil menundukkan kepala, seolah tidak ingin melanjutkan percakapan.
Aku terdiam. Ada perasaan aneh yang menghinggapi hatiku. Biasanya, setiap kali aku berusaha berkenalan, orang-orang pasti tertarik, tetapi Rara… entah kenapa dia berbeda. Ada semacam dinding yang sulit ditembus.
Hari-hari setelah itu, aku mulai lebih sering mengamati Rara, meskipun dia tampak tetap seperti dulu: tertutup, menjauh dari pergaulan. Aku yang biasanya aktif di grup obrolan sekolah, di Instagram, dan bahkan TikTok, merasa ada yang kurang tanpa adanya Rara di dalam lingkaran itu.
Suatu sore, setelah pelajaran berakhir, aku memutuskan untuk mendekatinya lagi. Kali ini, aku tak hanya ingin sekadar berkenalan, tetapi juga ingin mengerti lebih jauh apa yang membuatnya seperti itu.
“Rara, gimana kalau kamu ikut aku ke kafe seberang sekolah? Aku yakin kamu bakal suka. Aku tahu tempat yang tenang buat ngobrol,” ajakku dengan lebih lembut, berharap kali ini aku bisa memecah kebekuan di antara kami.
Rara menatapku beberapa detik, dan akhirnya dia mengangguk pelan. “Oke, ayo,” jawabnya singkat, namun ada sedikit keraguan di matanya.
Kami berjalan ke luar sekolah bersama-sama. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami. Rara bukan tipe yang banyak bicara, sedangkan aku selalu punya topik obrolan yang tak ada habisnya. Tapi hari itu, aku memilih diam. Aku membiarkan dia berbicara jika dia mau, tanpa merasa perlu untuk memaksanya.
Di kafe kecil itu, suasana terasa lebih santai. Rara memesan secangkir teh manis, sementara aku memilih kopi susu. Aku duduk menunggu, tak tahu apa yang harus kutanyakan lagi. Namun, tiba-tiba, Rara membuka mulut.
“Aku tidak suka sosial media,” katanya dengan pelan, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada padaku.
Aku terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. “Kenapa?” tanyaku, merasa ada misteri besar yang sedang ia sembunyikan.
Rara memandang ke luar jendela, seakan mencari kata-kata yang tepat. “Sosial media itu… semua orang seolah berusaha jadi sesuatu yang mereka tidak. Mereka memamerkan kebahagiaan mereka, tapi aku tahu itu semua cuma sebuah topeng. Aku… aku lebih suka dunia yang nyata. Dunia yang bisa kupahami.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Biasanya, aku selalu merasa bangga dengan kehidupanku yang penuh dengan sorotan sosial media. Aku merasa bahwa dengan setiap postingan, aku bisa menunjukkan bahwa aku bahagia, punya banyak teman, dan menjalani hidup yang menyenangkan. Namun, kata-kata Rara menghantamku dengan keras. Tiba-tiba aku merasa tidak yakin dengan segala yang kutampilkan. Apakah itu semua benar? Apakah itu berarti aku berusaha menutupi sesuatu yang lebih dalam dalam diriku?
Kami duduk diam untuk beberapa saat, dan aku merasakan perbedaan dunia kami. Dunia yang kutinggali selama ini, penuh dengan perhatian dan pengakuan dari orang-orang di dunia maya, dan dunia yang dipilih oleh Rara—dunia yang lebih sunyi, lebih jujur, lebih nyata.
Dari pertemuan itu, aku mulai memahami bahwa persahabatan itu tidak selalu tentang berbagi momen-momen bahagia dan status yang sempurna. Terkadang, persahabatan dimulai dari pemahaman yang lebih dalam, yang melampaui apa yang terlihat di luar.