Cerpen Singkat Persahabatan Anak SD

Halo, pembaca setia! Siapkan diri kamu untuk menyelami kisah-kisah menarik yang siap menghangatkan hatimu.

Cerpen Davina, Sang Pecinta Pantai Selatan

Dari jauh, suara ombak yang memecah keheningan siang hari menyambutku. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kenangan akan petualangan di pantai selatan. Namaku Davina, seorang gadis berusia sepuluh tahun yang selalu menemukan kebahagiaan di antara pasir putih dan laut biru. Setiap kali aku menginjakkan kaki di pantai, rasanya seperti kembali ke rumah. Teman-temanku sering berkata, “Davina, kamu memang gadis yang terlahir untuk mencintai laut!”

Hari itu, matahari bersinar cerah, dan cuaca tampak sempurna untuk bermain di pantai. Dengan gaun berwarna biru laut dan ikat rambut yang berbentuk bintang laut, aku berlari menuju garis pantai. Gelombang mengundangku untuk bermain, dan tawa riang kami mengisi udara. Dalam kerumunan teman-teman, aku merasa tak terpisahkan dari mereka.

Tapi hari itu, semuanya akan berubah. Di ujung pandanganku, seorang gadis baru muncul. Dia berdiri sendirian, tatapan kosong, seolah-olah menunggu sesuatu yang tidak akan datang. Rambutnya yang panjang dan kusut tertiup angin, dan dia mengenakan baju yang terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping. Teman-temanku tampak tidak memperhatikannya, terlarut dalam permainan mereka, tetapi hatiku tergerak.

“Ayo, kita ajak dia bermain!” seruku, berusaha menarik perhatian teman-teman. Namun, mereka hanya melirik dan kembali asyik bermain. Aku tidak bisa membiarkan dia sendirian.

Langkahku mantap menuju gadis itu. “Hai! Nama aku Davina. Kamu mau ikut bermain?” tanyaku, dengan senyum cerah yang aku harap bisa menghangatkan hatinya.

Dia mengangkat kepalanya perlahan, matanya berwarna cokelat tua, dalam dan penuh misteri. “Aku… Aku Rina,” jawabnya pelan, seolah berbicara kepada diriku sendiri. Ada kesedihan dalam suaranya, seperti gelombang yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak.

“Senang bertemu denganmu, Rina! Ayo, kita buat istana pasir!” ajakku, berusaha mencairkan suasana. Aku meraih tangannya dan membawanya ke tempat teman-temanku bermain. Dia terlihat ragu, tetapi pada akhirnya mengikuti langkahku.

Saat kami mulai membuat istana pasir, Rina mulai tersenyum. Kami bercerita tentang hal-hal kecil, seperti makanan kesukaan dan hobi. Di balik senyumnya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang mendalam—sebuah kerinduan yang tidak terucapkan. Ternyata, Rina baru saja pindah ke kota ini dan merasa kesepian, tidak memiliki teman di sekolah.

Satu jam berlalu, dan istana pasir kami kini menjulang tinggi. “Kita harus memberi nama pada istana ini!” seruku gembira. Rina berpikir sejenak, lalu berkata, “Bagaimana kalau kita sebut Istana Persahabatan?”

Itu adalah saat ketika jantungku bergetar. Dalam sekejap, aku merasa seolah kami sudah saling mengenal lama. Sejak saat itu, kami berdua menghabiskan banyak waktu bersama. Setiap hari di sekolah, aku dan Rina duduk bersebelahan, saling berbagi cerita dan mimpi.

Tetapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Rina. Di balik senyumnya yang tulus, ada bayangan kesedihan. Suatu sore, saat kami berjalan pulang dari pantai, aku memberanikan diri untuk bertanya. “Rina, ada yang mengganggumu? Aku bisa bantu jika kamu mau.”

Dia terdiam, dan untuk beberapa detik, aku hanya bisa mendengar suara ombak di kejauhan. Akhirnya, Rina menghela napas berat. “Aku… aku kangen rumah. Ini semua terasa asing bagiku.” Suaranya hampir tak terdengar, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Kata-katanya menembus hatiku. Aku merasakan betapa beratnya perasaannya, terpisah dari tempat yang dia cintai. “Kau bisa bercerita padaku tentang rumahmu,” kataku lembut, mencoba memberinya kekuatan. “Kita bisa pergi ke pantai ini bersama-sama setiap hari. Kita akan membuat kenangan di sini.”

Dalam pelukanku yang hangat, Rina akhirnya bisa membiarkan air mata jatuh. Saat dia merasakan dukunganku, aku berjanji akan selalu ada untuknya. Itulah awal dari persahabatan yang tak terduga, yang terjalin di antara gelombang dan pasir pantai selatan.

Kisah kami baru saja dimulai, dan meskipun banyak tantangan yang akan datang, aku tahu bahwa cinta dan persahabatan kami akan mengatasi semuanya.

Cerpen Elya, Penikmat Karang Berwarna

Hari itu langit membentang cerah, seolah-olah mengundang Elya untuk berpetualang. Dia melangkah ringan, rambutnya yang panjang tergerai, melambai lembut mengikuti angin. Suasana di sekolah dasar tempatnya belajar dipenuhi tawa riang anak-anak yang berlari ke sana kemari. Elya adalah anak yang selalu mampu menemukan kebahagiaan di mana pun dia berada. Teman-temannya sering kali menganggapnya sebagai matahari kecil yang menyinari hari mereka.

Di antara riuhnya suara, Elya merasakan ketertarikan pada sesuatu yang berbeda. Di sudut lapangan, terdapat sekelompok anak yang tampaknya sedang mengamati sesuatu dengan penuh perhatian. Dengan rasa ingin tahunya yang tinggi, Elya mendekat. Ketika dia mendekat, dia melihat mereka menatap penuh takjub pada sebuah karang berwarna-warni yang tergeletak di tanah.

Karang itu memancarkan warna-warna cerah—merah, biru, kuning, dan hijau—yang membuatnya terlihat seolah-olah baru saja dikeluarkan dari pelukannya lautan. Elya meraih salah satu dari karang itu, merasakan tekstur kasar di tangannya. “Cantik sekali!” serunya penuh semangat. Suara lembutnya menarik perhatian seorang gadis kecil yang berdiri di sampingnya.

Gadis itu memiliki rambut hitam ikal dan mata besar yang bersinar, seolah-olah menyimpan seribu cerita. “Namaku Zara,” katanya, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kamu suka karang? Ini adalah karang yang paling berharga di sini.”

Elya merasa jantungnya berdebar mendengar nama itu. Zara. Nama yang manis, seperti senyumnya. “Aku Elya! Boleh kita bermain bersama?” tanya Elya, matanya berbinar penuh harapan.

Zara mengangguk, dan seolah-olah dunia menjadi lebih cerah di sekitar mereka. Mereka berdua mulai mengumpulkan karang-karang berwarna yang tersebar di lapangan, berbagi cerita dan tawa. Hari itu, Elya dan Zara menciptakan ikatan yang tak terpisahkan, seperti karang-karang yang mereka kumpulkan, saling melengkapi satu sama lain dengan keindahan yang unik.

Waktu berlalu, dan persahabatan mereka semakin erat. Mereka saling berbagi rahasia, impian, dan ketakutan. Di setiap momen, Elya menemukan kebahagiaan dalam kehadiran Zara, dan sebaliknya. Namun, di balik tawa ceria itu, Elya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia menyadari bahwa dia mulai menyukai Zara lebih dari sekadar seorang sahabat.

Namun, perasaan itu datang dengan seberkas keraguan. Apakah perasaannya ini akan mengubah segalanya? Elya tak ingin merusak keindahan persahabatan yang telah mereka bangun. Dia hanya ingin menikmati saat-saat bahagia yang mereka lalui bersama.

Suatu sore, ketika mereka duduk di bawah pohon besar, Elya tak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. Dia memandangi Zara yang tengah memegang sepotong karang berwarna pink. “Zara,” Elya mulai, suaranya bergetar. “Apa kamu percaya pada cinta?”

Zara tersenyum, namun ada keraguan di matanya. “Cinta? Maksudmu cinta pada teman?”

Elya mengangguk, tetapi dalam hatinya, dia berharap Zara mengerti bahwa pertanyaannya lebih dalam dari sekadar persahabatan. Ketika mata mereka bertemu, Elya merasakan getaran yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Dia tahu saat itu, persahabatan mereka berada di persimpangan yang tak terduga.

Namun, sebelum Elya bisa melanjutkan, lonceng sekolah berbunyi, memisahkan mereka dari momen berharga itu. Elya melihat Zara berlari menuju kelasnya, meninggalkan Elya dalam keraguan dan harapan yang campur aduk. Dalam hati, Elya berdoa agar hari-hari yang mereka lalui ke depan tetap indah, tanpa mengubah warna pelangi yang telah mereka ciptakan bersama.

Bagi Elya, pertemuan itu adalah awal dari segalanya—sebuah cerita persahabatan yang penuh warna, namun juga menyimpan kerentanan di balik setiap tawa. Dan dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Cerpen Fayza, Gadis Penyelam Samudra

Di sebuah desa kecil yang bersebelahan dengan pantai, Fayza, seorang gadis berusia sebelas tahun, adalah sumber cahaya yang bersinar di antara teman-temannya. Rambutnya yang ikal berwarna hitam legam selalu terurai, menari-nari ditiup angin. Senyumnya yang ceria seakan memancarkan kehangatan, mengundang keceriaan bagi siapa saja yang melihatnya. Ia memiliki segudang teman yang selalu menemaninya bermain, tetapi ada satu hal yang membuatnya berbeda: kecintaannya pada laut.

Setiap sore, ketika matahari mulai merunduk ke peraduannya, Fayza akan meraih alat selamnya dan menjelajahi kedalaman samudra. Dia tidak hanya menyelam untuk melihat keindahan bawah laut, tetapi juga untuk merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Air laut yang jernih menyelimuti tubuhnya seperti pelukan hangat, membawa jauh semua masalah dan keraguan. Di dalam air, dia merasa bebas, seolah bisa terbang tanpa batas.

Namun, suatu hari, saat Fayza sedang menyelam, dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran di dalam air, seperti suara deru yang memanggilnya. Ternyata, di antara terumbu karang, dia menemukan seorang gadis lain yang tampak lebih muda darinya, sedang terjebak. Gadis itu memiliki rambut pirang yang panjang dan mata biru yang bersinar dengan ketakutan. Fayza segera mendekat, hatinya berdebar.

“Bantu aku!” kata gadis itu dengan suara nyaring, nyaris tak terdengar di bawah air. Dengan cepat, Fayza meraih tangannya dan menariknya keluar dari jebakan karang yang mengikatnya. Ketika mereka muncul ke permukaan, gadis itu terbatuk-batuk, air laut menyembur dari mulutnya. Fayza membantu mengusap air dari wajah gadis itu.

“Siapa namamu?” tanya Fayza, dengan nada lembut, sambil memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

“Aku Lila,” jawabnya, sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. “Terima kasih sudah menyelamatkanku.”

Sejak saat itu, sebuah ikatan yang tak terduga terjalin di antara mereka. Fayza dan Lila mulai menghabiskan waktu bersama, menjelajahi pantai dan menyelam bersama di kedalaman laut. Mereka berbagi cerita dan impian, saling mendukung satu sama lain. Fayza mengajari Lila cara menyelam dan mengenali ikan-ikan yang indah. Dalam waktu singkat, mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Fayza merasakan ada sesuatu yang berbeda tentang Lila. Terkadang, saat mereka berada di pantai, Lila akan memandang ke laut dengan tatapan jauh, seolah sedang menantikan sesuatu yang tak kunjung datang. Fayza mencoba untuk mengerti, tetapi Lila selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Suatu sore, saat matahari tenggelam dengan indahnya, Fayza memutuskan untuk bertanya. “Lila, apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku? Aku selalu ada untukmu.”

Lila terdiam sejenak, menatap ombak yang berdebur. “Kadang aku merasa kesepian,” katanya pelan. “Aku pindah ke sini karena keluargaku, tapi aku meninggalkan banyak teman di kota asalku. Aku takut tidak bisa beradaptasi di sini.”

Hati Fayza mencelus mendengar pengakuan Lila. Dia mengulurkan tangan, menggenggam tangan sahabatnya dengan lembut. “Jangan khawatir. Aku di sini, dan kita bisa melewati semuanya bersama. Kita akan menjadikan tempat ini rumah kita.”

Lila tersenyum, meskipun masih ada air mata yang mengalir di pipinya. “Terima kasih, Fayza. Kamu sahabat terbaik.”

Hari-hari berlalu, persahabatan mereka tumbuh semakin kuat, seolah samudra di sekitar mereka pun ikut merayakannya. Namun, Fayza merasakan ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang bisa merubah segalanya. Dan di dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanan persahabatan ini baru saja dimulai, penuh harapan dan mungkin juga kesedihan yang tak terduga.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *