Daftar Isi
Hai pembaca setia cerpen! Kali ini, kamu akan dibawa ke dalam kisah seru dari cerpen “Gadis Pengantar Surat”. Nikmati setiap alur dan petualangan yang ada di dalamnya. Yuk, langsung saja kita mulai!
Cerpen Riska Gadis Kota
Hari itu adalah hari yang cerah di Jakarta. Langit biru tanpa awan, seolah seluruh alam sedang bersorak menyambut hari yang baru. Di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, Riska berjalan cepat menuju sekolah barunya. Pindah ke sekolah ini adalah sebuah keputusan besar bagi keluarganya, dan dia sendiri merasa campuran antara antusiasme dan kecemasan.
Riska adalah anak yang bahagia. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya, membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Sejak kecil, dia memiliki banyak teman karena sifatnya yang ramah dan mudah bergaul. Namun, pindah ke sekolah baru di kota besar seperti Jakarta tentu saja membuatnya gugup.
Setibanya di sekolah, Riska menarik napas dalam-dalam. Ia menatap gedung sekolah yang megah, dengan siswa-siswa yang hilir mudik. Dengan berani, dia melangkah masuk ke dalam lingkungan yang asing baginya. Di saat itulah, ia bertemu dengan seorang pria yang kelak akan menjadi bagian penting dalam hidupnya—Ardi.
Ardi adalah sosok yang tenang dan ramah, dengan senyum yang selalu tulus. Dia adalah salah satu siswa yang populer di sekolah karena kepribadiannya yang menyenangkan dan kecerdasannya yang menonjol. Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan sekolah, tempat di mana Riska mencari ketenangan dari hiruk pikuk kota.
“Permisi, kamu murid baru ya?” tanya Ardi dengan suara lembut namun jelas. Riska yang sedang mencari buku matematika, menoleh dan tersenyum.
“Iya, namaku Riska,” jawabnya, sedikit gugup namun tetap ramah.
“Aku Ardi. Senang bertemu denganmu. Butuh bantuan mencari buku?” tanya Ardi sambil tersenyum. Riska merasa lega dengan kehadiran Ardi yang ramah. Mereka pun mulai mengobrol dan tak lama kemudian, suasana menjadi hangat dan akrab. Mereka menemukan banyak kesamaan, dari hobi membaca hingga kegemaran akan musik klasik.
Hari-hari berikutnya, Riska dan Ardi semakin dekat. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan, berbagi cerita tentang mimpi dan harapan, serta tertawa bersama di kantin sekolah. Riska merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Ardi. Namun, di balik senyumannya, Riska menyimpan perasaan yang berbeda. Ada getaran halus yang menyusup di hatinya setiap kali dia bersama Ardi. Perasaan yang lebih dari sekedar sahabat.
Riska seringkali merenung di kamarnya setiap malam, memikirkan Ardi. Dia sadar, perasaannya terhadap Ardi semakin hari semakin dalam. Tapi dia takut mengungkapkannya. Riska tak ingin merusak persahabatan mereka. Dia hanya bisa mencintai dalam diam, merasakan kebahagiaan hanya dengan berada di dekat Ardi.
Suatu hari, ketika mereka duduk di bangku taman sekolah, Ardi berbicara tentang impiannya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Riska mendengarkan dengan seksama, berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya. Dia tahu, jika Ardi pergi, semuanya akan berubah. Tapi Riska tetap mendukung sahabatnya, meski hatinya terasa hampa.
Pertemuan pertama itu menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh emosi bagi Riska. Sebuah kisah cinta yang tersembunyi dalam diam, antara dua sahabat yang tak pernah tahu bahwa hati mereka berbisik dalam kesunyian. Riska hanya bisa berharap, bahwa suatu hari nanti, Ardi akan menyadari perasaannya. Namun untuk saat ini, dia akan terus mencintai dalam diam, menikmati setiap momen yang ada, dan menyimpan kenangan indah bersama sahabat terbaiknya.
Cerpen Diana Kesenian
Aku selalu menyukai pagi hari, saat sinar matahari lembut menerobos melalui celah-celah jendela kamarku. Hari ini adalah hari pertama di SMA, dan aku merasa bersemangat sekaligus gugup. Namaku Diana, seorang remaja yang selalu merasa hidup dalam dunia seni. Melukis dan bermain piano adalah pelarianku dari kenyataan.
Saat aku memasuki gerbang sekolah yang megah itu, aku bertemu banyak wajah baru. Suara obrolan para siswa yang saling menyapa membuat suasana semakin meriah. Aku berusaha mencari ruang kelasku sambil sesekali mengagumi mural-mural di dinding sekolah yang penuh warna. Di salah satu lorong, aku melihat sebuah papan pengumuman tentang klub kesenian. Mataku berbinar, ini adalah tempatku!
Aku berjalan menuju papan itu, membaca informasi tentang kegiatan klub. Saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali. Dia, dengan senyum hangatnya, sedang berbicara dengan beberapa anggota klub. Namanya Arya. Tatapan matanya yang penuh semangat membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku merasa ada yang berbeda, sebuah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
“Apa kamu tertarik bergabung?” tanyanya tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut. Suaranya lembut dan ramah.
“Oh, iya. Aku sangat tertarik,” jawabku sambil tersenyum. “Aku Diana, senang bertemu denganmu.”
“Arya,” jawabnya singkat, namun senyumnya tak pernah pudar. “Aku salah satu anggota lama di sini. Kalau ada yang ingin kamu tanyakan tentang klub ini, jangan ragu untuk bertanya padaku.”
Kami berbincang sejenak, dan aku merasa nyaman berbicara dengannya. Arya sangat terbuka dan antusias. Dia menceritakan banyak hal tentang klub kesenian, tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan, dan tentang proyek-proyek seni yang sedang mereka garap. Aku semakin tertarik dan tidak sabar untuk bergabung.
Saat bel berbunyi, kami berpisah untuk kembali ke kelas masing-masing. Tapi pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan Arya. Di kelas, aku mencoba fokus pada pelajaran, tapi pikiranku selalu kembali padanya.
Sepulang sekolah, aku langsung menuju ruang klub kesenian. Aku melihat Arya sedang melukis di sudut ruangan. Tanpa sadar, aku menghampirinya.
“Hey, kamu datang!” serunya senang. “Ayo, aku kenalkan kamu dengan anggota yang lain.”
Aku diperkenalkan pada teman-teman klub kesenian, dan mereka semua menyambutku dengan hangat. Hari-hari berikutnya, aku dan Arya semakin dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, melukis, bermain musik, atau sekadar mengobrol. Setiap momen bersama Arya terasa begitu berharga.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada perasaan yang mulai tumbuh di hatiku. Perasaan yang tak ingin aku akui bahkan pada diriku sendiri. Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri, dan itu membuatku takut. Aku tidak ingin merusak persahabatan kami yang begitu indah.
Setiap kali aku melihat Arya tersenyum, hatiku berdebar. Setiap kali dia mendekat dan berbicara denganku, aku merasa ada ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku. Tapi aku tahu, aku harus menjaga perasaan ini tetap tersembunyi. Aku tidak ingin kehilangan Arya, sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
Hari-hari berlalu, dan aku semakin terbiasa menyembunyikan perasaanku. Aku tersenyum dan tertawa bersamanya, tapi di dalam hati, aku menangis. Mencintai dalam diam adalah sesuatu yang sulit, namun aku rela melakukannya demi menjaga persahabatan kami.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk saat ini, aku bahagia bisa berada di sampingnya, meski hanya sebagai sahabat. Karena kadang, mencintai seseorang berarti merelakan kebahagiaanmu sendiri demi melihatnya bahagia.
Cerpen Fika Remaja Yang Menyukai Kerajinan
Aku selalu percaya bahwa setiap orang memiliki jalan hidup yang unik. Hidupku dipenuhi dengan kebahagiaan sederhana yang datang dari hal-hal kecil yang kucintai. Salah satunya adalah kerajinan tangan. Namaku Fika, seorang gadis yang tak pernah bisa berhenti tersenyum ketika sedang memegang gunting, kertas warna-warni, dan lem. Namun, kebahagiaanku bertambah saat aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi bagian penting dari hidupku. Inilah kisah awal pertemuanku dengannya.
Semua bermula di sekolah menengah atas saat hari pertama masuk kelas. Aku adalah tipe anak yang mudah bergaul, tapi bukan berarti aku tidak merasa gugup. Hari itu, aula sekolah penuh dengan siswa baru yang tampak bingung mencari teman atau sekadar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Aku sendiri sedang duduk di bangku kayu di depan kelas sambil merapikan alat-alat kerajinanku yang baru kubeli.
Saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali. Dia masuk ke dalam kelas dengan langkah yang tenang, namun penuh percaya diri. Wajahnya tampak ramah dan senyum yang ia berikan kepada setiap orang membuatku merasa ada sesuatu yang istimewa darinya. Namanya adalah Arka, seorang anak laki-laki dengan aura yang hangat dan menyenangkan. Aku mendapati diriku terpesona oleh caranya berbicara dan bersikap, seolah-olah dia membawa kedamaian di mana pun dia berada.
Tanpa sadar, aku terus memperhatikannya. Hingga akhirnya, momen yang tak pernah kuduga terjadi. Arka mendekat ke arahku. Dia melihat alat-alat kerajinanku yang tertata rapi di atas meja. Dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya, dia bertanya, “Kamu suka membuat kerajinan tangan?”
Aku terkejut sejenak, namun dengan cepat menguasai diri dan menjawab dengan antusias, “Iya, aku sangat suka. Aku merasa bisa mengekspresikan diri melalui kerajinan tangan.”
Arka tampak tertarik. Dia bercerita bahwa dia juga menyukai hal-hal kreatif meski tidak terlalu pandai membuat kerajinan. “Aku lebih suka menggambar,” katanya sambil menunjukkan sketsa sederhana di buku catatannya.
Percakapan itu menjadi awal dari persahabatan kami. Setiap hari, kami selalu duduk bersama di kelas, berbagi cerita dan hobi. Dia selalu mendukung dan memberikan ide-ide kreatif untuk setiap proyek kerajinanku. Sementara aku, merasa senang bisa menjadi pendengar setia untuk semua cerita dan impian yang ia bagi.
Namun, seiring berjalannya waktu, perasaanku mulai berubah. Setiap senyum yang dia berikan, setiap kata yang dia ucapkan, membuat hatiku berdebar. Aku menyadari bahwa rasa nyaman yang kurasakan bukan hanya sekadar pertemanan. Diam-diam, aku mulai mencintainya.
Mencintai sahabat sendiri adalah sebuah dilema. Ada ketakutan akan kehilangan persahabatan yang telah terjalin indah jika perasaanku diketahui. Jadi, aku memilih untuk memendamnya dalam-dalam. Menyimpan perasaan itu menjadi bagian dari kebahagiaanku yang lain. Meski kadang terasa berat, melihatnya tersenyum sudah cukup bagiku.
Hari demi hari berlalu, dan aku tetap menjadi sahabat terbaiknya. Di balik tawa dan canda, aku belajar untuk menikmati setiap momen bersamanya, walau hanya dalam diam. Aku tetap mencintai kerajinan tanganku, tapi kini ada hal lain yang memenuhi hatiku: cinta yang tak terucapkan untuk seorang sahabat yang begitu berarti.
Itulah awal pertemuanku dengan Arka. Sebuah pertemuan yang membawa kebahagiaan, tantangan, dan perasaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tapi aku percaya, apapun yang terjadi, aku akan selalu menghargai setiap detik yang kulewati bersamanya. Sebagai sahabat, atau mungkin lebih, suatu hari nanti.
Cerpen Rahma Gadis Golf
Aku masih ingat hari itu dengan jelas. Langit biru cerah membentang luas, angin sepoi-sepoi menerpa wajahku dengan lembut. Suara dentingan bola golf yang terkena stik, menggaung di telingaku. Di sinilah aku, Rahma, berdiri di tepi lapangan golf yang hijau nan luas. Sejak kecil, aku memang suka bermain golf. Ayahku, seorang pegolf handal, selalu membawaku ke lapangan golf setiap akhir pekan. Di sana, aku belajar dan jatuh cinta pada permainan ini.
Hari itu, seperti biasa, aku berada di lapangan golf, mencoba menyempurnakan ayunan stik golf-ku. Saat sedang fokus, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh dan melihat seorang pemuda yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia terlihat kebingungan, tampaknya baru pertama kali datang ke sini.
“Hai, kamu baru di sini?” tanyaku sambil tersenyum ramah.
Pemuda itu menoleh dan balas tersenyum. “Iya, aku baru pindah ke sini. Nama aku Ardi. Kamu Rahma, kan? Aku sering lihat kamu main golf di sini,” jawabnya.
Aku terkejut mendengar namaku disebut. Ternyata, Ardi sudah sering melihatku bermain golf. Kami pun mulai berbincang. Ternyata, Ardi baru saja pindah dari kota lain dan mulai bersekolah di sekolah yang sama denganku. Kami cepat akrab karena banyak hal yang bisa dibicarakan, termasuk hobi dan kehidupan sehari-hari.
Sejak hari itu, Ardi sering menemani aku bermain golf. Walaupun dia masih baru dan belum terlalu mahir, dia selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Hal itu membuatku semakin mengaguminya. Dia memiliki semangat yang tinggi dan selalu ceria, membuat suasana di sekitarnya menjadi menyenangkan.
Hari-hari berlalu, dan persahabatan kami semakin erat. Ardi tidak hanya menjadi teman bermain golf, tapi juga teman bercerita, tempat aku mencurahkan segala kegembiraan dan kesedihan. Di balik senyumannya, aku merasa ada sesuatu yang istimewa. Ada rasa yang mulai tumbuh dalam hatiku. Rasa yang awalnya hanya kekaguman, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih hangat.
Namun, aku memilih menyimpan perasaan itu dalam diam. Aku takut, jika aku mengungkapkan perasaanku, persahabatan kami akan berubah. Aku tidak ingin kehilangan sahabat terbaikku, seseorang yang selalu ada di sisiku, mendukungku, dan membuatku tertawa.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, kami duduk di tepi lapangan golf, menikmati indahnya langit senja. Ardi menatap langit, lalu menoleh padaku. “Rahma, terima kasih sudah mau jadi temanku. Kamu sahabat terbaik yang pernah aku miliki,” katanya dengan senyum tulus.
Hatiku berdesir mendengar kata-katanya. Aku menatapnya dan tersenyum. “Aku juga berterima kasih, Ardi. Kamu membuat hariku lebih berwarna,” jawabku.
Di dalam hati, aku berharap bisa selalu berada di sisinya, mendukungnya, dan mencintainya dalam diam. Meski perasaan ini mungkin tidak pernah terungkap, aku tetap bahagia bisa menjadi bagian dari hidupnya. Dan di situlah, di bawah langit senja yang indah, aku menyadari bahwa mencintai seseorang tidak selalu harus memiliki. Kadang, mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menjaga persahabatan yang begitu berharga.
Cerpen Siskha Gadis Pengantar Surat
Namaku Siskha, seorang pengantar surat di kota kecil yang penuh dengan kisah sederhana namun indah. Pekerjaan ini mungkin terlihat biasa bagi banyak orang, tapi bagiku, ini adalah jalan untuk melihat senyuman di wajah orang-orang ketika menerima surat dari orang terkasih mereka. Hari ini, seperti biasa, aku mengayuh sepeda merah kesayanganku, membelah jalanan yang masih sepi di pagi hari. Matahari baru saja menampakkan sinarnya, menyoroti jalan setapak yang aku lewati.
Hari itu, aku mendapatkan rute baru di daerah yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Sebuah rumah kecil berwarna putih dengan pagar kayu biru yang mulai memudar. Di depan rumah itu, ada taman kecil dengan bunga-bunga yang bermekaran. Hatiku merasa hangat hanya dengan melihatnya. Aku berjalan mendekat dan mengetuk pintu dengan hati-hati.
Ketukan pintuku dijawab dengan suara lembut dari dalam, “Sebentar!” Pintu terbuka, dan di depanku berdiri seorang pria dengan senyuman yang membuat pagi itu semakin cerah. Namanya Ardi. Dia adalah sahabatku sejak kami kecil, namun sudah lama kami tidak berjumpa karena kesibukan masing-masing.
“Ardi! Kamu di sini?” tanyaku tak percaya.
“Siskha? Apa kabar? Lama tak bertemu!” jawabnya dengan mata berbinar.
Kami pun tertawa bersama, mengenang masa-masa kecil yang penuh kebahagiaan. Ardi kemudian mengajakku masuk dan menawarkan segelas teh hangat. Kami berbincang-bincang panjang lebar tentang kehidupan kami sekarang. Ternyata, Ardi baru saja kembali dari luar kota setelah menyelesaikan pendidikannya.
Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu. Setiap kali aku memiliki surat untuk diantar ke daerah itu, aku selalu berharap salah satunya adalah untuk Ardi, agar aku punya alasan untuk bertemu dengannya lagi. Kami menghabiskan banyak waktu bersama, seperti dua sahabat yang tak pernah terpisah. Kami berjalan-jalan di taman, duduk di bawah pohon rindang sambil berbagi cerita.
Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa aku ungkapkan padanya. Di balik senyuman dan tawa itu, ada rasa yang tumbuh dalam diam. Rasa yang lebih dari sekadar persahabatan. Aku mencintainya, namun aku takut merusak apa yang sudah ada di antara kami. Setiap kali aku melihat senyumnya, hatiku berdebar lebih kencang. Setiap kali dia tertawa, rasanya dunia ini begitu sempurna.
Malam itu, saat aku pulang setelah menghabiskan waktu bersamanya, aku duduk di tepi tempat tidurku, merenungi perasaanku. Apakah aku harus mengungkapkannya? Bagaimana jika dia tidak merasakan hal yang sama? Aku terlalu takut kehilangan persahabatan kami. Aku memutuskan untuk menyimpan rasa ini, setidaknya untuk sekarang.
Di sinilah awal dari perjalanan cinta yang tak pernah terucap. Setiap hari aku berharap, suatu saat aku akan memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Namun, untuk saat ini, aku memilih mencintainya dalam diam, menikmati setiap momen bersamanya, meski tanpa kata-kata cinta yang terucap.
Begitulah, awal dari sebuah kisah cinta yang terbungkus dalam persahabatan. Sebuah cinta yang tumbuh di antara tawa dan cerita masa lalu, di antara surat-surat yang kuantar dan harapan yang terpendam di hati. Aku adalah Siskha, pengantar surat yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Dan ini adalah ceritaku.