Cerpen Kado Terakhir Untuk Sahabat

Hai pembaca setia cerpen, di sini kamu akan menemukan beragam cerita menarik yang siap menemanimu. Kali ini, kita akan menyelami kisah dari “Gadis Sebatang Kara”. Yuk, simak keseruannya dan rasakan setiap emosi yang ada dalam cerpen ini!

Cerpen Dona Gadis Sebatang Kara

Matahari pagi yang hangat menyinari wajah Dona, seorang gadis dengan senyuman manis dan semangat hidup yang tinggi meskipun dia adalah seorang gadis sebatang kara. Dona telah tinggal di panti asuhan sejak kecil, setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis. Meskipun begitu, Dona tak pernah merasa sendirian. Ia punya banyak teman di panti, dan selalu bisa membuat suasana ceria di sekitarnya.

Pagi itu, Dona sedang bermain di taman dekat panti asuhan. Taman ini adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa melupakan sejenak kenyataan pahit hidupnya. Ia duduk di ayunan, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menikmati semilir angin. Tiba-tiba, suara tangis seorang anak perempuan memecah keheningan. Dona menoleh dan melihat seorang gadis kecil yang duduk di bangku taman, menangis tersedu-sedu.

Dona segera berlari mendekati gadis kecil itu. “Hei, kenapa kamu menangis?” tanyanya dengan lembut.

Gadis kecil itu, yang ternyata bernama Lani, mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. “Aku… aku kehilangan boneka kesayanganku,” jawabnya dengan suara tersendat-sendat.

Dona tersenyum hangat dan duduk di sebelah Lani. “Jangan khawatir, kita akan mencarinya bersama-sama,” katanya dengan penuh keyakinan. Mereka berdua kemudian mulai mencari boneka tersebut di sekitar taman.

Setelah beberapa saat mencari, Dona akhirnya menemukan boneka itu di bawah semak-semak. “Ini dia bonekamu!” seru Dona dengan riang sambil menyerahkan boneka itu kepada Lani.

Lani mengambil boneka itu dengan wajah yang berseri-seri. “Terima kasih, Kak Dona! Kamu sangat baik,” katanya dengan senyum lebar.

“Ah, tidak apa-apa. Senang bisa membantu,” jawab Dona dengan tulus.

Sejak hari itu, Dona dan Lani menjadi sahabat baik. Lani yang baru pindah ke kota itu merasa sangat kesepian, dan kehadiran Dona menjadi penghibur baginya. Mereka sering bermain bersama di taman, bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, dan saling berbagi rahasia kecil.

Pada suatu hari, saat mereka berdua duduk di bangku taman, Dona melihat Lani terlihat sedih. “Ada apa, Lani?” tanyanya dengan khawatir.

Lani menatap Dona dengan mata berkaca-kaca. “Aku harus pindah lagi, Kak Dona. Ayahku dipindahkan tugasnya ke kota lain,” jawabnya pelan.

Dona merasa dadanya sesak. Ia sudah sangat dekat dengan Lani, dan tidak bisa membayangkan hari-harinya tanpa sahabat kecilnya itu. Namun, ia berusaha tersenyum dan berkata, “Jangan sedih, Lani. Kita masih bisa bertemu lagi suatu hari nanti. Dan kita bisa saling menulis surat. Kamu selalu bisa mengandalkan aku sebagai sahabatmu.”

Lani mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya. “Aku juga akan selalu mengingat Kak Dona. Kamu adalah sahabat terbaikku.”

Hari-hari menjelang kepindahan Lani dihabiskan dengan kebersamaan yang semakin erat. Mereka membuat kenangan manis yang tak akan terlupakan. Dona bahkan membuatkan sebuah gelang persahabatan untuk Lani, sebagai tanda bahwa persahabatan mereka akan selalu abadi, meskipun jarak memisahkan mereka.

Saat hari kepindahan Lani tiba, Dona mengantar Lani hingga ke gerbang rumahnya. Mereka berpelukan erat, dan Dona berbisik di telinga Lani, “Jangan pernah lupa, Lani. Aku selalu ada untukmu, walaupun kita berjauhan.”

Dengan air mata yang mengalir di pipi, Lani mengangguk. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Kak Dona. Terima kasih untuk segalanya.”

Mobil yang membawa Lani pergi perlahan-lahan meninggalkan pandangan Dona. Dona berdiri di sana, menatap mobil yang semakin menjauh, sambil menggenggam erat gelang persahabatan yang sama yang juga dipakai oleh Lani. Hatinya sedih, namun ia tahu bahwa persahabatan sejati tidak akan pernah pudar, meskipun waktu dan jarak memisahkan mereka.

Dona berjalan kembali ke panti asuhan dengan perasaan campur aduk. Kehilangan sahabat kecilnya memang menyakitkan, namun ia berjanji dalam hati bahwa ia akan selalu menjaga kenangan indah mereka bersama, dan berharap suatu hari nanti mereka bisa bertemu kembali. Hari itu, di taman yang sama, di tempat di mana mereka pertama kali bertemu, Dona mengukirkan kenangan abadi yang akan selalu ia simpan dalam hati.

Cerpen Dilla Remaja Ambisius

Matahari sore memancarkan sinarnya yang lembut, menembus jendela kelas 10 IPA 2, sekolah tempat aku menimba ilmu. Namaku Dilla, seorang remaja yang penuh ambisi dan impian. Sejak kecil, aku selalu bermimpi menjadi seorang dokter. Bukan hanya demi prestise, tetapi karena aku ingin menyembuhkan orang-orang yang kucintai. Di antara banyak teman yang kukenal, aku selalu merasa beruntung karena dikelilingi orang-orang yang mendukung mimpiku.

Hari itu, adalah hari pertama kami masuk sekolah setelah liburan panjang. Aku selalu bersemangat di hari pertama sekolah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Saat memasuki kelas, mataku tertuju pada seorang gadis yang duduk di barisan paling belakang. Wajahnya terlihat asing, dengan rambut panjang yang tergerai rapi dan mata yang menatap penuh harap. Dia duduk sendiri, tampak canggung di antara hiruk-pikuk teman-teman yang lain.

“Siapa dia?” tanyaku dalam hati.

Bel berbunyi menandakan dimulainya pelajaran pertama. Ibu Rini, wali kelas kami, masuk ke dalam kelas dengan senyumnya yang khas. Setelah mengabsen, beliau memperkenalkan gadis itu kepada kami.

“Anak-anak, perkenalkan, ini adalah teman baru kalian, namanya Rani. Dia baru saja pindah dari Bandung. Tolong bantu Rani agar bisa beradaptasi dengan baik di sini, ya,” kata Ibu Rini dengan lembut.

Rani tersenyum canggung dan melambaikan tangan. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya. Saat itu, ada dorongan dalam diriku untuk mendekatinya, mengenalnya lebih jauh. Setelah jam pelajaran usai, aku menghampiri Rani yang sedang membereskan buku-bukunya.

“Hai, Rani, namaku Dilla. Selamat datang di kelas kita,” sapaku sambil tersenyum ramah.

“Hai, Dilla. Terima kasih,” jawabnya pelan, masih terlihat sedikit gugup.

“Ayo, aku temani ke kantin. Biar aku kenalkan kamu ke teman-teman yang lain,” tawarku.

Rani mengangguk, dan kami berjalan bersama menuju kantin. Sepanjang jalan, kami mulai berbicara tentang banyak hal—dari pelajaran, hobi, hingga impian. Rani ternyata memiliki impian yang sama denganku: menjadi seorang dokter. Percakapan kami mengalir begitu saja, dan aku merasa menemukan teman yang bisa memahami ambisiku.

Di kantin, aku mengenalkan Rani kepada sahabat-sahabat dekatku: Sarah, Lisa, dan Vina. Mereka semua menyambutnya dengan hangat, dan Rani mulai terlihat lebih nyaman. Hari itu, kami menghabiskan waktu bersama di kantin, bercanda, dan bercerita. Aku bisa melihat senyuman tulus di wajah Rani, yang membuatku merasa lega.

Sejak hari itu, Rani menjadi bagian dari keseharian kami. Kami selalu belajar bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung dalam mengejar impian. Rani yang awalnya canggung, perlahan-lahan berubah menjadi pribadi yang ceria dan penuh semangat. Dia pun mulai merasa nyaman dengan lingkungan barunya.

Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatianku. Di balik senyum dan tawa Rani, aku bisa melihat ada kesedihan yang mendalam di matanya. Rani jarang sekali berbicara tentang keluarganya, dan setiap kali topik itu muncul, dia selalu mengalihkan pembicaraan. Aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang membuatnya terluka.

Suatu sore, ketika kami sedang belajar di rumahku, aku memberanikan diri untuk bertanya. “Rani, boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?”

Rani menatapku, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Tentu, Dilla. Ada apa?”

“Aku merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kamu jarang sekali cerita tentang keluargamu. Apakah ada masalah?” tanyaku hati-hati.

Rani terdiam, matanya berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, dia menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita. “Keluargaku… mereka sedang dalam masalah besar. Orang tuaku bercerai, dan aku harus memilih tinggal dengan siapa. Aku pindah ke sini untuk tinggal dengan ibuku, tapi aku sangat merindukan ayah dan adikku di Bandung.”

Aku terkejut mendengar cerita Rani. Aku bisa merasakan beban yang dia tanggung, dan aku merasa terharu karena dia mau membuka diri padaku. “Rani, aku tahu ini sulit. Tapi kamu harus tahu, kami semua di sini adalah temanmu. Kami akan selalu ada untukmu,” kataku sambil menggenggam tangannya.

Rani tersenyum, dan air mata mengalir di pipinya. “Terima kasih, Dilla. Aku sangat bersyukur punya teman seperti kalian.”

Sejak saat itu, persahabatan kami semakin erat. Aku bertekad untuk selalu ada untuk Rani, seperti dia selalu ada untukku. Kami berdua tahu bahwa perjalanan mengejar impian ini tidak akan mudah, tapi dengan saling mendukung, kami yakin bisa melewati segala rintangan. Dan itulah awal dari sebuah persahabatan yang penuh makna, sebuah cerita yang akan selalu kami kenang sepanjang hidup.

Cerpen Starla Gadis Broken Home

Pagi itu, embun masih menyelimuti dedaunan di halaman sekolah ketika aku pertama kali melihatnya. Dia, dengan rambut panjang yang tergerai indah, sedang tertawa bersama teman-temannya di sudut halaman. Namanya Starla. Tidak sulit untuk melihat betapa cerahnya dunia di sekitar Starla. Dia adalah matahari pagi yang menyinari sekeliling dengan senyumnya yang menawan. Dari kejauhan, aku hanya bisa mengagumi kehangatan yang terpancar darinya.

Hari itu adalah hari pertamaku di SMA Harapan Bangsa, sekolah yang terkenal dengan kegiatan ekstrakurikulernya yang beragam. Aku sedikit gugup, berusaha menemukan tempat di mana aku bisa merasa nyaman. Ketika bel pertama berbunyi, aku bergegas masuk ke kelas baruku, berharap bisa duduk di bangku yang tidak terlalu mencolok.

Saat guru masuk, semua murid langsung diam. Aku, duduk di barisan tengah, diam-diam memperhatikan setiap detail kelas. Tiba-tiba, aku merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahku. Ketika aku menoleh, betapa terkejutnya aku melihat Starla, gadis yang tadi kulihat di halaman sekolah, tersenyum padaku.

“Hai, aku Starla. Kamu murid baru, ya?” tanyanya dengan ramah.

Aku mengangguk pelan, masih sedikit terkejut dengan interaksinya yang spontan. “Iya, namaku Maya,” jawabku.

Sejak saat itu, segalanya berubah. Starla adalah gadis yang penuh energi dan selalu tahu bagaimana membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Dia memperkenalkanku kepada teman-temannya, menunjukkan semua sudut sekolah, dan memastikan aku tidak merasa kesepian. Dia adalah teman yang selalu ada, mengajakku makan siang bersama, berbagi cerita dan tawa.

Namun, di balik senyum cerah dan gelak tawanya, ada sesuatu yang tersembunyi di matanya. Suatu hari, saat kami duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, Starla mulai bercerita tentang keluarganya. Aku bisa merasakan bahwa ini adalah bagian dari hidupnya yang jarang dia bagikan kepada orang lain.

“Kamu tahu, Maya, aku sebenarnya berasal dari keluarga yang… tidak sempurna,” katanya pelan, menundukkan kepala. “Orangtuaku bercerai saat aku masih kecil. Sejak itu, aku tinggal dengan ibuku. Ayahku jarang sekali menghubungi kami. Kadang, rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang.”

Aku terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku merasakan kesedihan yang mendalam di balik ceritanya. Starla yang selalu ceria ternyata menyimpan luka yang begitu dalam.

“Aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum dan bahagia di depan teman-temanku. Mereka tidak perlu tahu betapa hancurnya hatiku setiap kali melihat keluarga lain yang utuh,” lanjutnya. Aku melihat air mata yang menggenang di matanya.

Aku meraih tangannya, mencoba memberikan kekuatan melalui genggaman kecil itu. “Starla, kamu adalah orang yang luar biasa. Meski kamu mengalami banyak hal berat, kamu tetap bisa membuat orang lain merasa bahagia. Itu adalah kekuatanmu.”

Dia tersenyum, meskipun air mata mulai jatuh di pipinya. “Terima kasih, Maya. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa teman seperti kamu.”

Sejak hari itu, aku dan Starla menjadi semakin dekat. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu ada untuknya, seperti dia yang selalu ada untukku. Persahabatan kami tumbuh dari hari ke hari, penuh dengan tawa, cerita, dan juga air mata. Aku tahu bahwa Starla adalah sahabat yang tak tergantikan, dan aku ingin menjadi sahabat yang sama baiknya untuknya.

Dan di balik semua itu, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Perasaan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata, perasaan yang membuat hatiku berdebar setiap kali berada di dekatnya. Namun, aku menyimpannya rapat-rapat, karena yang terpenting bagiku adalah kebahagiaan Starla.

Begitulah awal pertemuan kami, awal dari kisah yang penuh dengan emosi, kesedihan, dan mungkin juga sedikit romantisme. Sebuah kisah tentang dua sahabat yang saling mendukung dan menguatkan, di tengah berbagai cobaan hidup yang datang menghadang.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *