Budaya Populer dan Budaya Massa

Apakah kamu sering melihat konten TikTok dengan back sound lagu-lagu tertentu beredar di berbagai platform media sosial? Bahkan membuat kamu tanpa sadar menghafal lagu yang ada di video tersebut? Asal kamu tahu, hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari Budaya Populer.

Apapun yang diminati oleh orang banyak itulah budaya pop. Budaya populer ini memang memikat, karena konsepnya yang ringan, menarik dan menyenangkan. Membuat semua orang berduyun-duyun ingin menjadi bagian darinya.

Peran media massa sangat besar dalam menyebarkan budaya populer. Melalui merekalah berbagai produk budaya seperti musik, film, makanan, hobi dan masih banyak lagi bisa sampai dan dinikmati oleh kita semua.

Menurut KBBI, populer atau sering disingkat ‘pop’ punya arti dikenal dan disukai banyak orang (umum); sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, mudah dipahami orang banyak, disukai dan dikagumi orang banyak.

Dalam pengertian yang lebih ekstrim, istilah populer ini memiliki 4 makna yakni: banyak disukai orang; jenis kerja rendahan; karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; dan budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Raymond William; John Storey, 2007).

Budaya populer selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Contohnya fenomena TikTok, sebelum menjadi suatu budaya populer, kita seperti tidak mengacuhkannya karena dianggap sebagai media tempat anak-anak alay. Hal yang berbeda untuk saat ini, TikTok dianggap sebagai media untuk kita dapat mengekspresikan diri secara kreatif.

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, seperti halnya di atas, budaya kita kenal yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar dalam sebuah kebudayaan mengalami pergeseran. Seperangkat nilai berupa kearifan lokal dari budaya yang diwariskan secara turun temurun atau sering disebut sebagai budaya tinggi (adiluhung) mulai mendapatkan budaya tandingan (counter-culture).

Contohnya, pembuatan video klip musik  membutuhkan perangkat rumit, sekarang hanya dengan smartphone kita bisa membuat video yang kita inginkan. Selain itu, kemudahan akses informasi serta media sosial membuat kita bisa membagikan momen tersebut kepada khalayak, dan bisa mengikuti tren yang sedang berlangsung dalam hitungan detik.

Budaya populer diartikan oleh McDonald (Strinati, 2007) sebagai sebuah kekuatan dinamis yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Dalam hal ini budaya populer lahir dari keterkaitannya dengan media. Artinya, media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan.

Populer yang dibicarakan di sini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen (Strinati, 2007). Dengan kata lain, budaya populer lahir atas kehendak media dan perilaku konsumsi masyarakat.

Media berperan sebagai penyebar informasi yang mempopulerkan suatu produk budaya. Bagaimana akbatnya? Hal tersebut menjadikan apapun yang diproduksi oleh media akan diterima oleh publik sebagai suatu nilai (budaya) bahkan menjadi kiblat panutan masyarakat sehingga hal tersebut menjadi budaya massa.

Baca juga: Komunikasi Massa

Dalam memahami konsep budaya massa ini, kamu perlu memahami apa yang disebut kebudayaan. Magnis Suseno & Kleden mengatakan budaya merupakan seluruh hamparan alam semesta yang telah disentuh pengaruh eksistensi manusia, dan budaya tak lain adalah hasil bentukan sekaligus yang membentuk manusia (Budiman, 2012).

Dua pendapat itu mengisyaratkan adanya hubungan erat antara budaya dan manusia. Sedangkan massa merupakan konsep yang mengacu pada satuan jumlah (kuantitas), yang tidak harus kaku dan mengikat, juga kualitas sosial yang beraneka ragam dan anonim (Budiman, 2012). Dari definisi tersebut dapat diambil pengertian bahwa budaya massa itu menunjuk pada berbagai produk dan praktik-praktik kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang berselera rendah.

Budaya massa dipandang sebagai budaya yang berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif, dan tidak memuaskan (Sukmana, 2009). Budaya massa hanya berbicara tentang komoditas sehingga hal ini terkait dengan industri yang pada akhirnya membuat sebuah budaya itu bukan produk yang dihasilkan langsung oleh ‘masyarakat’, tetapi oleh pelaku industri yang tujuannya untuk dibeli dan menghasilkan keuntungan bagi pemilik modal.

Konsekuensi Budaya Populer

konsekuensi budaya populer
Sumber: Karampelas on Unsplash

Budaya populer membuat kita merelatifkan segala sesuatu. Sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun mutlak salah, termasuk batasan apapun yang mutlak. Misalnya, batasan antara budaya tinggi dan budaya rendah yang membuat di antara kedua hal tersebut tidak ada standar mutlak terutama dalam bidang seni dan moralitas.

Maka tidak mengherankan bila dulu kita menganggap bahwa TikTok hanya diperuntukkan untuk anak alay, namun sekarang dianggap sebagai sebuah kewajaran. Hal tersebut terjadi karena budaya populer itu sangat relatif.

Dengan kata lain konsekuensi dari budaya populer adalah budaya dibangun hanya berdasarkan kesenangan saja tapi tidak substansial (bermakna) dan hanya untuk mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari dan membuat kita menjadi pragmatis.

Kita tidak lagi memedulikan benar atau salahnya hal yang kita lakukan. Selama hal yang kita lakukan itu mempunyai manfaat atau dapat menghilangkan kejenuhan, kita tidak lagi berpikir kritis mengenai dampak budaya hiburan yang ditawarkan.

Selain itu, budaya populer juga menyeragamkan tingkah laku kita. Penyeragaman ini mencakup barang-barang fiskal, non-fiskal, sampai ilmu pengetahuan. Kenapa ini bisa terjadi? Ya karena kita cenderung tidak mau yang ribet dan mau yang sedang hype saja.

Misalnya, tren minuman boba atau Thai-tea, yang booth penjualnya ada di mana-mana. Selain minuman, ada juga style-fashion hypebeast, dan hal lainnya.

Budaya populer juga menolak segala perbedaan yang mutlak antara budaya tinggi (adiluhung) dan budaya rendah, antara seni dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan waktu, dan sebagainya.

Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata. Perbedaan-perbedaan dan batasan-batasan tersebut ternyata hanya dimanipulasi untuk alasan-alasan pemasaran yang melanggengkan konsumerisme masyarakat.

Seperti yang kita ketahui, budaya populer pada akhirnya membentuk budaya konsumerisme. Kita menjadi merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus. Misalnya, kita sering bergonta-ganti smartphone karena saking dinamisnya, hampir tiap tahun berbagai macam brand saling mempromosikan smartphone dengan fitur canggihnya.

Hal tersebut memengaruhi kita untuk membeli karena kita merasa smartphone yang kita miliki sudah ketinggalan jaman, meskipun sebenarnya masih bisa digunakan. Budaya konsumerisme ini membuat kita membeli barang bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan bahkan gengsi.

Budaya populer lahir sebagai imbas dari perkembangan teknologi informasi, dengan ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksi masyarakat yang tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya hanya sebagai produk industri dan menjadi komoditas (Hamid, 2012).

Budaya populer pada akhirnya muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari apa yang kita konsumsi untuk kebutuhan tubuh kita, apa yang kita tonton, kita dengarkan, kita pakai, dan sebagainya. Budaya populer tidak ada begitu saja, budaya populer ada karena suatu hal yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah fenomena populer, dan dipopulerkan oleh media.

Konsekuensi Budaya Massa

konsekuensi budaya massa
Sumber: Josh Rose on Unsplash

Budaya massa erat kaitannya dengan industri budaya yang konsekuensinya adalah budaya hanya dipandang sebagai usaha untuk menghasilkan keuntungan. Masyarakat sebagai  konsumen industri budaya mendapat pengaruh yang sering kali berada di luar nalar. Masyarakat menikmati suatu produk budaya sebagai representasi kehidupan nyata.

Seperti fenomena Youtuber di Indonesia. Melalui media sosial, budaya populer seperti membuat konten video atau nge-vlog dianggap sebagai tren untuk anak muda yang ingin meraih popularitas. Tren tersebut menjadikan nge-vlog sebagai budaya massa. Nge-vlog dijadikan suatu cara untuk mendapatkan keuntungan.

Tren ini membuat banyak dari kita beranggapan bahwa menjadi youtuber adalah hal mudah karena hanya terlihat seperti membuat video saja. Proses kreatif dalam penyusunan konsep video yang menarik secara ide maupun teknis pada akhirnya dilupakan. Selain itu, kita pun akan merasa ketinggalan zaman ketika tidak “nge-vlog.”

Ada pula fenomena influencer di Instagram yang senang mengunggah kehidupan sempurnanya di Instagram. Mulai dari memamerkan kegiatan wisata, barang-barang bermerk, hingga kegiatan sehari-harinya. Hal tersebut dilakukan lagi-lagi untuk mengeruk keuntungan melalui endorse produk-produk apapun. Pada akhirnya, banyak dari kita yang merasa ketinggalan zaman jika tidak update di Instagram.

Hal ini menjadikan budaya massa menyebabkan media tidak dapat dilihat dari fungsinya sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan kita sebagai manusia, namun media justru mengatur gagasan dan perasaan manusia melalui realitas media (Strinati,2007).

Adorno dalam Esai “The Stars Down to Earth” menggambarkan bagaimana budaya massa menghasilkan tingkat dependensi tinggi serta kemampuan berpikir reflektif dan kritis yang rendah. Dicontohkannya bahwa budaya massa dalam hal ini kepercayaan kita pada ramalan astrologi.

Seperti yang kita ketahui, saran dalam ramalan astrologi yang diberikan tidak pernah menyimpang dari hal-hal yang dianggap sebagai standar sosial. Hal tersebut menumbuhkan cara berpikir yang konformis dan dependen melalui berbagai macam retorika yang memenuhi dan memanipulasi psikologi pembacanya.

Ada pergeseran makna setelah budaya massa mengubah sebuah seni menjadi sebuah komoditas. Budaya massa membuat pihak atau kelompok yang sebelumnya menciptakan budaya atau malah menggunakan produk budaya untuk perlawanan, kebanyakan tergusur oleh kekuatan dominasi industri budaya (Nusantara, 2018).

Contohnya, bisa dilihat pada hilangnya makna perlawanan dari aliran musik punk atau rap setelah diadopsi oleh industri dan dikomersilkan ke khalayak luas. Hal yang sama juga terjadi pada hilangnya makna perlawanan fashion jeans, yang pada awalnya menjadi simbol perlawanan anak muda di era 1950an terhadap fashion yang umum dikenakan oleh kelompok borjuis (jas, dasi, kemeja, celana kain). Contoh di atas juga merupakan salah satu praktik inovasi kreatif dalam industri budaya.

Intinya, budaya massa  terus-menerus memproduksi ulang bentuk dan makna budaya populer dalam suatu industri untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

Baca juga: Mengenal Analisis Konsumen

Kritik Budaya Populer

kritik budaya massa
Sumber: Charles Adewumi on Unsplash

Menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam bukunya Dialectic of Enlightment (1982), budaya populer dalam masyarakat kapitalis berfungsi seperti industri dalam memproduksi produk (konten) yang terstandarisasi dan karenanya menghasilkan orang-orang yang “terstandarisasi”.

Sebagai bagian dari budaya populer, produk-produk K-pop seringkali dilihat sebagai sesuatu yang standar, dangkal, buatan pabrik, dan tidak autentik. Perspektif tersebut tidak hanya berlaku terhadap produknya namun juga para penggemarnya. Hal tersebut membuat fans K-pop dan fans lainnya hanya dilihat sebagai kumpulan massa yang terbutakan oleh produk pabrik sehingga tidak kritis.

Tetapi belum lama ini, fenomena fans K-pop–atau sering disebut sebagai K-pop stans yang sebelumnya sering mendapat stereotip negatif dari publik menyerukan solidaritas dalam gerakan #BlackLivesMatter. Aktivisme tersebut cukup mengejutkan, mengingat selama ini citra yang mereka tampilkan sangat jauh dari figur “melek isu sosial-politik.” Mereka lebih sering dicap gila, irasional, obsesif, dan label negatif lainnya.

Anggapan fans K-Pop sebagai budaya populer dengan selera rendahan pada akhirnya mereduksi anggota-anggota fandom yang kompleks dan multidimensional, serta menunjukkan betapa beragamnya karakter para penggemar K-pop dan fans lainnya. Hal tersebut menunjukkan paradoks budaya populer yang merupakan panggung pertarungan dari banyak makna atas kekuasaan yang beredar di masyarakat untuk diperdebatkan.

Tidak selamanya hal-hal yang identik dengan budaya populer itu terbelakang, buruk, tidak kritis, dsb. Budaya populer pada akhirnya bisa menjadi tempat makna-makna dipertandingkan dan ideologi dominan bisa saja diusik.

Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kelompok pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala hal dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol terhadap makna yang berlangsung secara terus menerus (Strinati, 2007).

Kritik terhadap budaya populer mungkin hanya sebatas isi atau pesan yang diutarakan. Menyederhanakan bahwa budaya populer hanya membicarakan hal-hal yang dangkal dan tidak punya kesadaran sosial-politik. Namun ada kebenaran yang dapat diambil dari kekurangan-kekurangan budaya populer, yakni budaya populer berbicara tentang hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat kita, dan dengan demikian lebih mudah diterima dan punya pengaruh dalam praksis masyarakat.

Baca juga: Mengenal Jurnalisme Online

Kritik Budaya Massa

kritik budaya massa
Sumber: Joel Muniz on Unsplash

Tujuan dari budaya massa adalah penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut menjadikan kebudayaan sebagai produk yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi secara massal. Budaya massa menjadi sebuah perilaku yang membuat kita untuk semakin mengimani perilaku konsumerisme. Selain itu budaya massa membuat kita terbius oleh kesenangan universal tetapi hanya bersifat sesaat, mudah punah serta memiliki makna yang dangkal.

Budaya massa diciptakan hanya semata-mata untuk pasar. Kenyataan bahwa proses penciptaan kebudayaan oleh industri budaya bukanlah apa-apa kecuali bisnis dan pemahaman tersebut dijadikan alasan tindakan mereka dalam memproduksi hal-hal tak bermutu secara sengaja (Adorno & Horkheimer, 1982).

Dengan kata lain, dalam budaya massa memiliki keseragaman model dan etos sebagai corak adalah hal terpenting dalam kebudayaan massa. Budaya massa yang dibentuk melalui media menjadikan masyarakat menjadi pasif akibat terlalu bergantung kepada industri budaya.

Dalam hal ini, pasif bisa diartikan sebagai kepasifan masyarakat dalam menerima apa yang ditawarkan (tanpa memilah-milah). Selain itu bisa juga diartikan sebagai akibat dari perilaku konsumsi secara intensif yang membuat masyarakat menjadi pasif (menidurkan kesadaran masyarakat).

Meski begitu tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada konsumen produk industri budaya dalam era kapitalisme global yang sebenarnya tidak selamanya pasif dalam menerima sesuatu yang ditawarkan. Masih ada individu yang tetap kritis pada apa yang ditawarkan dan tetap memberi apresiasi pada proses penciptaannya ketimbang hanya melihat kepopuleran suatu produk.

Individu yang memilih untuk bersikap tidak mau tunduk atau menolak pembaruan di dalam sistem yang diterapkan industri budaya akan dicap sebagai ‘orang aneh’ di dalam masyarakat (Tknoell, 2012; Buchler, 2016). Tidak dapat dipungkiri, jika sistem dalam masa industrialisasi ini yang membentuk pola pikir dan perilaku produsen dan konsumen.

Namun, hadirnya budaya massa di tengah-tengah masyarakat mungkin tidak selamanya buruk, melihat potensinya yang sebenarnya bisa bertindak sebagai sebuah counter-hegemony. Yang terpenting ialah tetap menjaga kesadaran dan melihat “relasi-relasi sosial dan relasi-relasi kuasa juga wacana apa yang ada di balik itu semua” (Setiawan, 2016).

Tarik contoh sederhana dari perkembangan Industri K-Pop. Jika pada umumnya laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin dan tidak mempedulikan hal-hal feminin seperti penampilan, budaya K-Pop mematahkan hal tersebut.

Dalam pandangan budaya massa, laki-laki digambarkan sebagai wujud yang keren dan tidak peduli dengan hal-hal feminin seperti produk skincare, hair care, dsb. Jarang sekali ditemukan produk-produk kecantikan untuk laki-laki. Kebiasaan menggunakan produk kecantikanpun masih disematkan pada perempuan.

Budaya K-pop dapat dengan mudah mematahkan pandangan tersebut. Banyak dari pria-pria Korea Selatan yang menginvestasikan waktu dan uangnya pada produk kecantikan guna mencapai penampilan yang diinginkan. Hal yang pada awalnya identik dengan perempuan lambat laun mulai dapat diterima sebagai kewajaran.

Tentu, perubahan tersebut mematahkan streotip gender yang mengitari budaya kecantikan. Alih-alih tunduk pada streotip bahwa laki-laki tidak perlu fokus pada produk kecantikan, para pria di Korea Selatan menganggap setiap orang berhak mencapai penampilan terbaiknya dan menciptakan budaya baru di tengah-tengah masyarakat.

Baca juga: Mengenal Teori Komunikasi Antarbudaya

Walaupun pada akhirnya budaya skincare ala pria-pria Korea Selatan menciptakan suatu industri baru, kekuatannya dapat bertindak sebagai sebuah counter-hegemony yang melawan budaya dominan bahwa laki-laki yang menggunakan skincare tidak melulu feminin, dan menggunakan skincare merupakan hak siapa saja.

Pemahaman Akhir

Budaya populer adalah fenomena yang menarik karena ringan, menarik, dan menyenangkan sehingga menarik banyak orang untuk menjadi bagian darinya. Peran media massa sangat besar dalam menyebarkan budaya populer, karena melalui media inilah berbagai produk budaya seperti musik, film, makanan, dan hobi dapat sampai dan dinikmati oleh masyarakat.

Perkembangan teknologi komunikasi, seperti media sosial dan platform TikTok, telah mengubah cara budaya populer dihadirkan dan dikonsumsi. Sebelumnya, beberapa hal yang dianggap sepele atau rendah oleh masyarakat sekarang menjadi fenomena populer karena tampil di media sosial, termasuk TikTok.

Budaya populer cenderung membuat kita tanpa sadar mengikuti tren dan ikut-ikutan dalam hal apa pun yang sedang populer. Konsumsi budaya populer secara masif dapat mengarah pada budaya konsumerisme, di mana kita lebih fokus pada keinginan daripada kebutuhan, sehingga membeli berdasarkan tren dan gengsi.

Budaya massa, yang merupakan bagian dari budaya populer, berfungsi untuk menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi industri budaya. Industri ini menciptakan produk yang terstandarisasi untuk konsumsi massal, dan masyarakat seringkali menjadi pasif dalam menerima dan mengikuti apa yang ditawarkan.

Namun, ada juga aspek positif dalam budaya populer, terutama dalam hal menciptakan solidaritas dan aktivisme di antara komunitas penggemar seperti fans K-Pop. Budaya populer bisa menjadi panggung pertarungan makna dan gagasan serta menyediakan ruang untuk perubahan sosial dan pola pikir.

Dalam kesimpulannya, budaya populer dan budaya massa dapat memiliki dampak positif dan negatif. Penting bagi kita sebagai individu untuk tetap kritis dan sadar akan apa yang kita konsumsi dan bagaimana hal itu mempengaruhi pandangan dan perilaku kita.


Referensi :

Adorno, W. Theodor. 2002. The Stars Down to Earth and Other Essays on the Irrational Culture. Routledge.

Budiman, Hikmat. 2012. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Buchler, B. 2016. The Culture Industry. diakses dari https://medium.com/@bryanbuchler/the-culture-industry-dd26b96ce21d

Dominic, Strinati. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.

Hamid, Farid. 2012. “Media dan Budaya Populer”. Jurnal. Program Pascasarjana.  Universitas Mercu Buana. Jakarta

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. 1982. Dialectic of Enlightenment. New York: Continuum.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Komperhensif Teori dan Metode, Yogyakarta: Jalasutra.

Sukmana, Aryadi. 2009. “Budaya Massa dan Media Televisi: Sebuah Pandangan Cultural Studies terhadap Konstruksi Budaya”. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Program Studi Filsafat. Universitas Indonesia. Depok.

Artikel Terbaru

Avatar photo

Anggita Indari

Anggita merupakan lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman. Selain bekerja penuh-waktu sebagai praktisi digital marketing dan analis media, sehari-hari ia juga menikmati kajian media dan budaya.

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *