Cerpen Tentang Pengalaman Persahabatan

Hai pembaca setia, selamat datang kembali di dunia cerpen yang penuh dengan kisah seru dan tak terduga. Yuk, ikuti cerita seru kali ini!

Cerpen Erika, Gadis Super Gaul Masa Kini

Namaku Erika. Aku seorang gadis super gaul, seperti yang sering orang katakan, meski kadang aku merasa itu bukanlah hal yang penting. Yang penting bagiku adalah aku bisa bebas menjadi diri sendiri. Aku punya segalanya, teman-teman yang banyak, dunia maya yang selalu menyenangkan, dan tentu saja, rutinitas yang penuh warna. Namun, terkadang aku merasa bahwa semua itu tidak benar-benar memenuhi hati kecilku. Ada yang kurang. Sesuatu yang tak pernah bisa aku temukan meski dikelilingi banyak orang.

Hari itu, aku sedang duduk santai di sebuah kafe yang lumayan hits di pusat kota. Dengan secangkir kopi dingin di tangan, aku melirik ponselku yang penuh dengan notifikasi—Instagram, Twitter, Facebook, dan segala macam aplikasi yang seolah memanggil-manggil untuk dicek. Aku tertawa membaca meme lucu yang dikirim Dinda, sahabatku yang selalu bisa membuatku tertawa dalam keadaan apapun. Kami sudah berteman sejak SD, dan meskipun kesibukan kami berbeda-beda sekarang, Dinda tetap jadi tempat untuk berbagi cerita, sekecil apapun itu.

Namun, hari itu, ada yang berbeda. Ada seseorang yang tiba-tiba mengganggu dunia kecilku yang penuh dengan kebisingan virtual.

Aku merasa ada yang duduk di meja seberang, meski aku tak terlalu peduli pada siapa pun yang ada di sana. Tapi kemudian aku merasakan tatapan itu. Tatapan yang berbeda. Aku menoleh sedikit, dan langsung terpaku.

Seorang wanita, mungkin seumuranku, sedang duduk di sana, menatapku dengan tatapan yang… penuh rasa ingin tahu. Wajahnya biasa saja, bahkan bisa dibilang agak pendiam, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku penasaran.

“Kenapa dia terus menatap aku?” gumamku dalam hati.

Aku melanjutkan mengetik pesan di ponsel, mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan keberadaannya. Namun, mataku terus teralihkan ke arah meja itu. Akhirnya, wanita itu berdiri dan menghampiriku. Hanya satu langkah kecil, tetapi aku merasa seolah dunia berhenti berputar.

“Erika, kan?” katanya pelan, hampir ragu. Suaranya halus dan lembut, tidak seperti yang biasanya terdengar di antara keramaian kafe.

Aku terkejut, hampir terjatuh dari kursiku karena tidak menyangka ada seseorang yang tahu namaku begitu saja. Aku mengangguk ragu, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.

“Maaf, aku tahu ini mungkin aneh,” lanjutnya dengan sedikit canggung. “Aku cuma ingin bilang, aku suka dengan cara kamu hidup, dengan energi yang kamu punya di sosial media. Kamu terlihat selalu bahagia.”

Aku tersenyum tipis, bingung. “Oh, iya? Terima kasih,” jawabku, meskipun di dalam hati aku merasa agak aneh. Aku nggak tahu apa yang dimaksudnya, karena selama ini aku merasa dunia sosial media hanyalah tempat untuk pamer kebahagiaan, bukan cerminan nyata.

“Nama aku Naya,” dia memperkenalkan diri. “Aku… hanya ingin bilang, kalau kamu itu inspiratif. Ada sesuatu yang menarik tentang kamu.”

Sungguh, aku tidak tahu harus bilang apa. Apakah ini sekadar pujian biasa, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu? Aku melihat Naya dengan seksama. Rambutnya panjang, tergerai dengan gaya sederhana. Wajahnya tenang, bahkan cenderung menyendiri. Pakaian yang dikenakan pun simpel, jauh berbeda dengan gaya hidupku yang sering terlihat glamour dan penuh tren.

Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari wanita ini. Dia tidak terkesan ingin mencari perhatian seperti kebanyakan orang yang datang ke kafe ini. Keberadaannya begitu tenang, hampir bisa dibilang seperti dia berasal dari dunia yang berbeda.

“Kamu nggak ada jadwal lain?” tanyaku, berusaha memecah keheningan. Aku merasa canggung, tapi juga tertarik untuk berbicara lebih jauh dengannya.

Naya menggeleng. “Tidak, aku sering datang ke sini. Menikmati waktu sendiri. Aku lebih suka diam, tapi melihat banyak orang, seperti kamu misalnya…”

Kali ini, aku merasa sedikit aneh. Dia melihatku? Seorang gadis yang selalu ramai dengan teman-temannya, yang hampir tidak pernah merasa sepi. Aku merasa seperti dia sedang membaca isi hatiku tanpa harus berkata apapun. “Aku… nggak tahu harus berkata apa,” ujarku akhirnya, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini.

Naya tertawa pelan, hampir seperti mengerti dengan ketidaknyamananku. “Aku cuma ingin bilang, kadang kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Banyak yang bisa kita pelajari hanya dengan melihat dan diam.”

Aku tidak tahu kenapa, tapi kalimatnya itu terasa menohok, seolah dia bicara langsung ke hatiku. Aku selalu merasa harus berbicara lebih banyak untuk diterima, untuk dilihat. Padahal, mungkin aku justru perlu berhenti sejenak dan mendengarkan.

Sejak hari itu, kami mulai saling berbicara lebih sering. Setiap pertemuan dengan Naya, aku merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatku merasa tenang meski dunia sekitar begitu riuh. Naya mengajarkanku banyak hal, mulai dari bagaimana melihat dunia dengan cara yang lebih sederhana, hingga menghargai setiap detik dalam kehidupan ini. Aku merasa, meskipun hidupku penuh kebahagiaan dan teman, ada bagian dari diriku yang seakan hilang. Dan Naya, dengan segala ketenangannya, mulai menjadi bagian dari puzzle hidupku yang selama ini belum lengkap.

Namun, meski pertemanan kami semakin dekat, ada satu hal yang tak bisa aku ungkapkan—rasa yang mulai tumbuh di dalam hati. Aku mulai menyadari, bahwa di balik persahabatan ini, ada perasaan lain yang lebih dalam, sesuatu yang membuat aku ragu. Akankah persahabatan ini bisa bertahan jika aku mengungkapkan perasaanku?

Akan ada saatnya nanti, di babak selanjutnya, ketika aku harus memutuskan antara menjaga persahabatan atau berisiko kehilangan segalanya.

Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati setiap momen bersama Naya. Karena di antara keramaian hidupku yang penuh dengan tawa dan canda, aku akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengajarkanku untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Dan entah mengapa, meski aku tidak mengatakannya, aku merasa mungkin, inilah awal dari sesuatu yang lebih indah.

Cerpen Farah, Gadis Berkelas di Pesta

Aku masih ingat malam itu dengan jelas, seolah semuanya baru saja terjadi. Sebuah pesta mewah yang digelar di kediaman keluarga Salim. Setiap sudut rumah itu dipenuhi dengan cahaya kilauan kristal dari lampu gantung besar yang tergantung indah di langit-langit, menciptakan bayangan-bayangan lembut di setiap ruangan. Lantai marmer yang berkilau memantulkan setiap langkah kaki yang lewat, sementara musik lembut mengalun dari sudut ruangan. Pesta itu adalah yang terbesar di kota malam itu—pesta para elite, di mana mereka yang dianggap “berkelas” berkumpul, memamerkan gaun-gaun indah, jas-jas rapi, dan senyum yang tampaknya tak pernah pudar.

Aku, Farah, adalah salah satu dari mereka. Anakku yang bahagia, yang hidup dalam dunia yang penuh dengan canda tawa, teman-teman yang selalu ada, dan kegiatan yang tak pernah berujung. Aku menikmati setiap detiknya, terutama pesta-pesta seperti ini, tempat aku bisa menunjukkan siapa aku—seorang gadis yang ceria, dengan kepercayaan diri yang besar, dan banyak teman. Semua orang mengenalku, dan aku selalu merasa dikelilingi oleh cinta dan perhatian.

Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda.

Aku ingat betul, ketika aku berjalan menyusuri lorong dengan gaun biru muda yang melambai, rambutku diikat rapi dalam sanggul kecil dengan sentuhan bunga putih di atasnya, aku merasa mataku tertarik pada sosok yang berdiri di ujung ruangan. Seorang pria yang berdiri sendirian, jauh dari kerumunan, dengan ekspresi yang… hampa. Tidak ada senyum di wajahnya. Matanya tampak lelah, seakan-akan dia sedang mencari sesuatu yang hilang. Dia bukan tipe orang yang biasanya datang ke pesta-pesta seperti ini. Aku melihatnya beberapa kali, berdiri di sudut ruangan atau duduk dengan penuh kesendirian. Ada sesuatu yang aneh, sekaligus menarik, dalam dirinya.

Tanpa aku sadari, langkah kakiku membawa aku mendekat. Semua orang di sekitarku tampaknya sibuk, tertawa, berbincang, dan menikmati makanan, tapi aku hanya fokus padanya. Ada ketertarikan yang sulit dijelaskan. Ketika aku berdiri di hadapannya, dia langsung menoleh, seolah dia juga merasakan kehadiranku.

“Selamat malam,” ucapku dengan senyum ramah, mencoba membuka percakapan.

Dia menatapku sebentar, lalu membalas dengan senyuman yang hampir tidak terlihat, seperti senyum yang terpaksa dikeluarkan karena kesopanan. “Selamat malam,” jawabnya pelan. “Kamu menikmati pesta?”

Aku mengangguk cepat, mencoba mencairkan suasana. “Pesta ini selalu seru, banyak orang kenalanku di sini. Kamu baru di sini?”

Dia mengangkat bahu. “Ya, sepertinya begitu. Aku datang untuk bertemu seseorang,” katanya, kemudian menoleh ke arah pintu besar yang mengarah ke taman belakang. “Tapi rasanya lebih baik aku sendirian.”

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Ada kesendirian dalam nada suaranya yang membuatku merasa tidak nyaman. Ini berbeda dengan suasana yang biasanya aku temui di pesta-pesta seperti ini, yang selalu dipenuhi dengan tawa dan canda. Aku ingin mengajak dia berbicara lebih banyak, merasakan sedikit kehangatan dalam dunia yang sepertinya terlalu dingin baginya.

“Jangan khawatir,” kataku, sambil tersenyum lebar. “Pesta ini bisa jadi menyenangkan kalau kamu ikut bergabung dengan teman-temanku. Ayo, aku akan kenalkan kamu dengan mereka!”

Namun, dia menolak dengan lembut. “Aku lebih suka di sini, di sudut ini.” Nada suaranya terdengar lebih ringan sekarang, meskipun masih ada beban yang bisa aku rasakan di sana.

Aku merasa ada sesuatu yang harus aku lakukan. Meski pesta ini adalah tempat yang penuh dengan keceriaan, aku mulai merasa bahwa seakan-akan aku sedang berada di dalam dunia yang berbeda. Aku tidak tahu mengapa, tetapi sepertinya ada yang menarik di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tampilan luar. Jadi, tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa, hanya diam, mencoba berbagi keheningan yang terasa begitu nyaman.

Aku menyadari bahwa aku ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang dunia yang dia tinggalkan di luar pesta yang gemerlap ini. Aku ingin tahu mengapa dia tampak begitu terasing di tengah keramaian ini, padahal dia jelas bukan orang asing.

Waktu berlalu, dan aku tidak tahu bagaimana, tetapi semakin lama kami berbicara, semakin aku merasa terhubung dengan dia. Nama pria itu adalah Daffa. Seorang pria dengan mata yang dalam dan senyum yang jarang terlihat, seperti bunga yang mekar pelan di musim semi. Dia datang dari latar belakang yang berbeda—bukan dari keluarga yang kaya raya seperti kebanyakan tamu di pesta itu. Dia menceritakan bahwa dia hanya seorang anak muda yang berjuang, bekerja keras di luar sana untuk mencari tempatnya sendiri. Dia bukan tipe orang yang suka berbaur dalam keramaian, dan lebih suka menjaga jarak dengan dunia yang penuh dengan kepura-puraan.

“Aku nggak terlalu suka berada di tempat seperti ini,” katanya, sambil menatap kaca besar di dekat kami, memperhatikan bayangannya sendiri. “Bagi aku, dunia ini terlalu penuh dengan topeng.”

Aku hanya bisa diam, menyadari bahwa dalam pesta yang penuh warna ini, Daffa adalah satu-satunya yang menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Tanpa pretensi, tanpa riuh rendah yang kadang terasa palsu.

Malam itu, aku tidak tahu apa yang membuatku merasa seperti ini. Seperti ada sesuatu yang baru dalam hidupku—sebuah perasaan yang lebih mendalam dan tulus. Sebuah ikatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin, aku hanya merasa bahwa di dunia yang penuh gemerlap dan kesenangan sementara ini, aku bisa menemukan seseorang yang benar-benar mengerti arti kesepian, kesedihan, dan juga kebahagiaan yang sederhana.

Kami berdua berbicara lebih lama hingga malam semakin larut. Keramaian di sekitar kami tampak semakin jauh, seakan kami berada dalam dunia yang berbeda. Pesta itu tidak lagi penting. Semua yang ada di sekitar kami terasa seperti kabur, menghilang. Hanya ada aku dan Daffa, duduk berdua di sudut ruang yang damai, mencoba menemukan kedamaian dalam dunia yang terkadang terasa sangat keras ini.

Aku belum tahu apa yang akan terjadi setelah malam itu. Aku tidak tahu apakah ini hanya sekadar kenangan semalam atau sesuatu yang lebih dari itu. Tapi yang jelas, pertemuan malam itu membuka mataku. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dalam hidup ini selain pesta-pesta megah dan kemewahan. Sesuatu yang lebih dalam—sebuah persahabatan yang mungkin akan berkembang menjadi lebih dari itu. Sesuatu yang membuatku merasa bahwa aku tidak lagi hanya seorang gadis berkelas di pesta, tetapi juga seorang wanita yang belajar tentang kehidupan yang sebenarnya.

Cerpen Gina, Si Trendsetter Pergaulan

Aku pertama kali bertemu dengan Adrian saat hari pertama masuk kelas 12 di SMA. Seperti biasa, aku datang lebih awal, menghindari keramaian supaya bisa memilih tempat duduk yang paling strategis—di dekat jendela, yang bisa memberikan pandangan terbaik ke taman sekolah. Aku bukan tipe orang yang suka tampil mencolok, meskipun semua orang tahu siapa aku. Mereka menyebutku “Gina, si Trendsetter”. Mungkin itu karena aku selalu punya gaya yang berbeda dan cepat diikuti teman-temanku. Namun, di balik semua perhatian itu, aku lebih suka diam, menikmati dunia dengan cara yang lebih sederhana.

Hari itu, di ruang kelas yang baru, aku duduk di tempat yang sama seperti biasa, menunggu teman-temanku datang. Aku mengeluarkan ponsel dan mulai scroll sosial media, mencari inspirasi untuk outfit hari berikutnya. Sesekali, aku melirik ke arah pintu yang mulai terbuka, dan dari situ muncul seorang lelaki yang aku rasa belum pernah kulihat sebelumnya.

Dia masuk dengan langkah tenang, tapi ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya. Mungkin cara dia menundukkan kepala sedikit, atau cara matanya yang melihat ke sekeliling dengan ketelitian, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu atau seseorang. Aku menatapnya sebentar, rasa penasaran merayapi diriku. Tak lama setelah itu, matanya bertemu dengan mataku, dan aku bisa merasakan kilatan kebingungan di sana, seperti dia sedang mencoba mengenali wajah-wajah yang sudah terlalu familiar di sekitarnya.

“Adrian, duduk di sebelah Gina,” suara Bu Rina memecah keheningan.

Adrian menoleh, dan tanpa banyak kata, dia berjalan ke arahku. Aku menundukkan kepala, sejenak membenahi rambut panjangku yang tergerai sedikit berantakan. Tidak seperti biasanya, aku merasa agak canggung. Aku yang biasa dikelilingi banyak orang, hari itu tiba-tiba merasa kesepian. Entah mengapa, ada sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman. Mungkin karena dia berbeda. Atau mungkin, dia bisa melihat lebih jauh daripada sekadar penampilan luar yang aku ciptakan.

“Gina, ya?” tanyanya pelan, seakan-akan memastikan kalau dia memang duduk di tempat yang benar.

Aku mengangguk dengan senyuman. “Iya, aku Gina. Senang akhirnya kita bisa bertemu.” Suaraku terdengar lebih kaku dari biasanya, dan aku bisa merasakan ketegangan itu. Dia hanya tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuatku merasa seperti ada sesuatu yang hangat di sekitarnya.

Dari sana, kami mulai berbincang. Pada awalnya, percakapan kami terasa canggung. Adrian terlihat pendiam, lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Sementara aku, meskipun sepertinya tidak kesulitan berbicara dengan siapa pun, merasa sedikit terasing. Ada sesuatu yang berbeda dengan Adrian, sesuatu yang tidak bisa aku pahami dengan mudah.

Hari demi hari, kami mulai duduk berdekatan. Ia, yang ternyata baru pindah dari kota lain, memiliki cara pandang yang sangat berbeda tentang banyak hal. Dia tidak tertarik pada popularitas, tidak peduli dengan dunia sosial yang kadang aku geluti. Yang ia inginkan hanya ketenangan, kejujuran, dan mungkin—kehidupan yang lebih sederhana. Namun, itulah yang membuat aku semakin tertarik padanya. Karena dalam dirinya, aku merasa seperti ada dunia yang jauh lebih luas, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa aku hadapi setiap hari.

Kadang, saat kami berdua hanya duduk diam dan berbicara tentang hal-hal kecil, aku merasa sangat nyaman. Namun, ada kalanya aku merasa terjebak di dalam diriku sendiri. Keinginan untuk selalu tampil sempurna, untuk tidak terlihat lemah di depan teman-teman, mulai terasa memberatkan. Aku sering kali merasa seperti aku harus selalu menunjukkan sisi terbaikku, bahkan ketika hatiku sedang terluka atau aku merasa rapuh.

Aku teringat sekali, suatu sore setelah pelajaran selesai. Adrian dan aku sedang duduk berdua di taman sekolah, menikmati secangkir teh manis yang kami beli dari kantin. Kami tak banyak bicara, hanya menikmati kebersamaan yang terasa begitu damai. Tiba-tiba, dia menoleh padaku, dengan mata yang tajam namun lembut.

“Gina, kenapa kamu selalu terlihat begitu bahagia, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggu hidupmu?” tanyanya.

Aku terkejut. Selama ini, aku selalu merasa harus menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Namun, di hadapannya, aku merasa seperti ada sisi dari diriku yang tak bisa aku sembunyikan. Aku memandangnya lama, mencerna pertanyaannya. Aku ingin sekali menjawab, tapi rasanya kata-kata itu tak cukup untuk menjelaskan semuanya. Aku menghela napas panjang.

“Aku… mungkin terlihat bahagia, tapi kadang aku merasa seperti ada banyak hal yang tak bisa aku ceritakan. Hal-hal yang membuat aku merasa sepi meskipun banyak orang di sekitarku.” Aku berhenti sejenak, merasakan beban di dadaku. “Aku hanya tidak ingin orang lain tahu tentang itu.”

Adrian diam sejenak, lalu berkata dengan suara lembut, “Tapi kamu tak perlu menyembunyikan semuanya. Terkadang, kebahagiaan itu datang bukan dari apa yang kita tunjukkan, tapi dari apa yang kita rasakan dalam hati.”

Itulah pertama kalinya aku merasa seperti ada seseorang yang benar-benar melihatku—tanpa topeng, tanpa filter. Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Kami mulai berbicara lebih banyak, saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Dan meskipun aku tidak pernah mengungkapkan semuanya, aku merasa nyaman untuk menjadi diriku sendiri di dekatnya.

Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang lebih mendalam di hatiku. Sesuatu yang aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku merasa bingung, apakah ini sekadar perasaan simpati, ataukah ada perasaan lain yang lebih kuat? Aku hanya tahu satu hal—kehadirannya membuat dunia sekelilingku terasa lebih bermakna.

Namun, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Ada ketakutan yang mulai tumbuh di dalam hati ini. Ketakutan bahwa perasaan ini mungkin tak akan pernah terbalaskan. Karena, pada akhirnya, aku hanyalah seorang gadis yang selalu dianggap sebagai pusat perhatian, sementara Adrian, dia adalah orang yang tampaknya tak peduli dengan semua itu.

Dan dari situlah cerita kami dimulai. Sebuah cerita yang penuh dengan kebahagiaan, tapi juga dengan rasa takut dan harapan yang tak pasti. Karena aku tahu, seiring waktu berjalan, perasaan ini akan mengubah segalanya—baik untuk aku, maupun untuk Adrian.

Cerpen Adelia, Gadis Pemburu Sunset

Sore itu, langit di atas desa kami sedang berpesta. Warna oranye yang lembut merayap pelan ke seluruh cakrawala, seolah ingin menggenggam setiap sudut bumi dalam dekapan hangat. Aku masih ingat betul bagaimana perasaan itu—senja yang tak hanya menenangkan, tapi juga memberi harapan, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar hari yang berlalu.

Nama saya Adelia. Orang-orang biasanya memanggil saya Delia, atau bahkan lebih dekat dengan “Gadis Pemburu Sunset,” julukan yang saya dapatkan karena kebiasaan saya datang ke puncak bukit setiap sore hanya untuk melihat matahari tenggelam. Ada sesuatu yang menenangkan dalam melihat peralihan itu, sesuatu yang membuat hati saya terasa lebih ringan setiap kali saya menyaksikannya. Saya adalah anak yang bahagia, punya banyak teman, dan kehidupan saya terasa seperti lagu yang selalu berpadu indah dengan alam. Setiap detik adalah peluang untuk merayakan kebahagiaan.

Namun, satu hal yang tidak pernah saya duga adalah, pada suatu sore, kebahagiaan saya itu akan datang dalam bentuk seseorang yang tak saya kenal.

Aku sedang berjalan menuju puncak bukit itu, membawa termos berisi teh chamomile yang sudah saya siapkan. Biasanya, aku datang sendiri—terkadang ditemani angin sore yang sejuk, atau sekumpulan burung yang terbang rendah, mengiringi perjalanan saya menuju tempat favorit. Namun, hari itu berbeda. Ketika aku mencapai ujung jalan berbatu menuju bukit, mataku menangkap sosok seorang pria yang berdiri di sana, memandang langit yang mulai memerah.

Aku terkejut. Bukit itu adalah tempat yang sepi. Biasanya, tidak ada orang yang datang ke sini, kecuali aku. Aku menatapnya lebih lama, bingung apakah dia orang baru yang baru pindah ke desa kami. Rambutnya hitam legam, sedikit berantakan tertiup angin, dan postur tubuhnya tinggi, seakan memiliki aura yang tenang tapi kuat. Tapi ada satu hal yang membuatku semakin penasaran—di tangannya, dia memegang kamera. Kamera tua dengan desain klasik, yang seolah berasal dari zaman yang berbeda.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku ragu. Suaraku terdengar lebih lirih daripada yang kubayangkan.

Pria itu menoleh pelan, dan matanya yang kelam bertemu dengan mataku. Ada sesuatu yang tajam dan penuh misteri di balik tatapannya. Beberapa detik kami hanya diam, saling menatap tanpa sepatah kata pun. Aku merasa seolah dunia berhenti berputar, hanya ada kami berdua di tengah langit yang semakin gelap.

“Aku… hanya sedang mencari sesuatu,” jawabnya, suaranya dalam dan sedikit serak, seolah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. “Aku mendengar orang-orang bilang, ini tempat terbaik untuk melihat senja.”

Aku mengangguk pelan, sedikit tersenyum. “Iya, bukit ini memang tempat favoritku untuk melihat matahari terbenam.”

Lalu, ada keheningan yang memanjang. Kami berdiri di sana, tidak berkata-kata. Aku memandang matahari yang semakin merunduk, meresapi warna keemasan yang memudar. Entah mengapa, meskipun aku baru saja bertemu dengan pria itu, ada perasaan aneh yang datang begitu saja—seperti sesuatu yang sudah lama hilang, akhirnya kembali ditemukan.

Tak lama kemudian, pria itu menoleh kepadaku. “Mau aku ambilkan foto?” tanyanya.

Aku terkejut. “Foto? Foto saya?”

Dia mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Aku ingin menangkap momen ini—saat senja di belakangmu. Terkadang, kita lupa bagaimana rasanya berdiri di bawah langit yang luas, melihat sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.”

Aku terdiam. Kata-katanya seolah menyentuh bagian dalam diriku yang jarang dijamah. Saya merasa, sejenak, seperti dia bisa melihat lebih jauh dari sekadar penampilan saya—seperti dia bisa melihat ke dalam jiwa saya.

“Boleh,” jawabku akhirnya, meski rasanya aneh menerima tawaran orang yang baru pertama kali saya temui. Tapi ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuatku merasa nyaman, meskipun kami masih asing.

Dia mulai mengatur kamera, mengarahkan lensa pada posisi yang tepat. Aku merasa canggung, meskipun pemandangannya begitu indah. Dia tampaknya begitu fokus, seakan setiap detil di sekitarnya penting. Dalam diam, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, semakin cepat karena tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kamera itu berbunyi klik. Kemudian dia tersenyum dan berkata, “Bagus. Senja ini juga cocok denganmu.”

Aku tertawa pelan. “Kamu pandai merayu,” kataku, meski ada rasa hangat yang menyebar di dada.

“Aku hanya berkata apa yang aku lihat,” jawabnya, matanya yang gelap itu menatapku dengan cara yang sulit kuterangkan. “Kamu punya aura yang sama dengan senja.”

Saya terdiam, entah apa maksudnya. Tapi saat itu, langit berubah warna lagi—menjadi lebih gelap, lebih penuh dengan misteri. Seperti hidup kami berdua, yang baru saja dimulai.

Kami berdiri di sana untuk beberapa saat lagi, hanya menikmati keheningan dan senja yang mulai menghilang. Tidak ada kata-kata lebih, hanya detak jantung yang semakin harmonis, seiring dengan tibanya malam.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *