Daftar Isi
Selamat datang, pembaca! Bersiaplah untuk menyelami kisah tentang seorang gadis pemberani yang berani melawan segala rintangan demi impiannya.
Cerpen Bella, Gadis Paling Hits di Pergaulan
Aku selalu merasa hidupku seperti dunia yang penuh warna, penuh tawa dan kebahagiaan. Namaku Bella, seorang gadis yang dikenal di hampir setiap sudut sekolahku. Aku tak pernah kesulitan untuk bergaul, selalu menjadi pusat perhatian, dan sepertinya semua orang ingin menjadi temanku. Tapi… aku tahu, ada satu hal yang tidak banyak orang tahu tentangku. Di balik tawa dan senyumku, ada perasaan yang sering kali sulit aku ungkapkan.
Hari itu, seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan penuh semangat. Aku sudah menyiapkan outfit yang paling keren, rambutku yang sedikit bergelombang terurai sempurna, dan senyuman manis yang siap membius setiap orang yang melihatnya. Saat aku melangkah masuk ke gerbang sekolah, beberapa teman sekelasku langsung menyapa dengan ramah. “Hai, Bella! Kamu keren banget hari ini!” Aku hanya tertawa kecil, memberi thumbs up, dan melanjutkan langkahku ke kelas.
Di kelas, seperti biasanya, aku duduk di dekat jendela, tempat yang paling strategis untuk melihat dunia luar dan berbincang dengan teman-teman. Suara tawa dan percakapan riang mengelilingiku, namun ada satu meja yang selalu tampak sepi. Meja itu milik seorang gadis yang jarang terlihat tersenyum. Namanya, Clara. Aku tidak tahu banyak tentangnya. Ia bukan tipe gadis yang suka bercanda, dan tak pernah ikut bergabung dalam percakapan-percakapan ramai yang biasa kami lakukan. Clara selalu duduk sendiri, dengan buku tebal di hadapannya, mata yang tampak serius menatap halaman demi halaman.
Pada awalnya, aku tidak begitu peduli. Bagiku, setiap orang punya dunianya sendiri. Namun, satu kejadian kecil membuatku melihat Clara dengan cara yang berbeda.
Saat itu, pelajaran matematika sedang berlangsung dan aku sedang kesulitan dengan soal yang diberikan oleh Bu Maya. Biasanya, aku cukup bisa mengandalkan teman-temanku untuk membantu, tapi entah kenapa hari itu, aku merasa lebih gugup dari biasanya. Ketika aku memutar tubuhku mencari bantuan, pandanganku tertuju pada Clara yang duduk tenang di pojok. Ia sedang mencatat sesuatu dengan hati-hati, tanpa terganggu dengan keramaian di sekitar.
Saat itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang menarik hatiku. Clara, dengan segala ketenangannya, tampak begitu fokus, begitu damai, sementara aku di sini, merasa cemas dan tak yakin dengan kemampuanku sendiri. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi tanpa banyak berpikir, aku memutuskan untuk mendekatinya.
Aku berjalan mendekat, ragu-ragu sejenak, lalu mengetuk meja Clara dengan perlahan. Ia mengangkat kepalanya, menatapku dengan mata yang agak bingung, seolah bertanya apa maksudku mengganggunya.
“Hai, Clara,” aku memulai percakapan dengan suara ceria. “Aku butuh bantuan dengan soal matematika ini. Bisa bantu?”
Clara hanya diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Tentu.”
Aku merasa sedikit canggung saat duduk di sebelahnya. Ia memindahkan bukunya ke samping dan mulai menjelaskan soal matematika itu dengan cara yang begitu tenang dan jelas. Aku terkesima, bagaimana ia bisa begitu sabar dan mudah menjelaskan sesuatu yang aku anggap sulit. Aku yang selama ini selalu merasa percaya diri, merasa malu dengan diriku sendiri.
“Apa kamu sering merasa kesulitan dengan matematika?” Clara bertanya, matanya menatapku tajam, tapi bukan dengan cara yang menghakimi, melainkan dengan cara yang penuh perhatian.
Aku terdiam sejenak. Aku merasa aneh, berbicara tentang kelemahan seperti ini di depan orang yang bahkan tidak begitu mengenalku. “Sebenarnya, iya,” jawabku pelan. “Aku kadang merasa, meskipun aku punya banyak teman, aku masih sering merasa sendirian dalam hal-hal tertentu.”
Clara mengangguk, seolah mengerti. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia kembali menjelaskan soal itu, dan aku mendengarkan dengan seksama. Ada rasa damai yang aneh mengalir dalam diriku saat itu, saat aku merasa diterima, meski aku tahu kami tidak memiliki banyak kesamaan. Ia berbeda, dan entah mengapa, perbedaan itu membuatku merasa nyaman.
Sejak saat itu, aku mulai lebih sering berbicara dengan Clara. Tentu saja, itu bukan hal yang mudah. Aku, yang terbiasa dikelilingi banyak orang, merasa ada sedikit jarak antara kami. Namun, ada sesuatu dalam diri Clara yang membuatku penasaran. Ia tidak seperti teman-temanku yang selalu tertawa riang atau mengobrol tentang segala hal sepele. Clara lebih tenang, lebih mendalam.
Suatu sore, setelah pelajaran selesai, aku duduk di bangku taman sekolah, memandangi langit yang mulai menguning. Teman-teman sekelasku sudah pulang, meninggalkan aku dengan pikiran-pikiran yang menggelayuti. Aku merasa bingung, seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Seperti ada bagian dari hidupku yang belum lengkap.
Tiba-tiba, aku merasakan ada yang duduk di sebelahku. Aku menoleh dan melihat Clara duduk dengan senyum kecil di wajahnya.
“Ada apa, Bella? Kamu terlihat tidak biasa,” katanya dengan lembut.
Aku terdiam sejenak. Aku merasa ada ikatan yang tak terucap antara kami. Sesuatu yang membuatku ingin berbicara lebih banyak dengannya. “Aku cuma… merasa kesepian, Clara. Meskipun aku punya banyak teman, aku merasa tidak ada yang benar-benar mengerti aku.”
Clara menatapku lama, seakan mencerna setiap kata yang aku ucapkan. Lalu, ia berkata dengan pelan, “Kamu tidak sendiri, Bella. Mungkin kita semua hanya belum menemukan orang yang tepat untuk diajak berbicara.”
Aku terdiam, merasa sedikit terharu mendengarnya. Clara yang selalu tenang dan penuh pertimbangan, memberikan aku rasa nyaman yang sulit aku temukan di tempat lain. Itulah pertama kalinya aku merasa benar-benar dipahami, meskipun hanya dengan beberapa kata.
Hari itu, aku mulai menyadari sesuatu yang penting. Teman-temanku yang ramai, yang selalu ada di sekitar, tidak selalu bisa memberikan kedalaman yang aku cari. Tapi Clara, dengan keheningannya, memberiku sebuah ruang untuk menjadi diriku sendiri, tanpa pretensi, tanpa harapan, hanya menjadi Bella yang apa adanya.
Begitu banyak hal yang tak aku mengerti saat itu. Tapi satu hal yang jelas, awal pertemuan kami itu, meskipun sederhana, telah membuka jalan baru dalam hidupku—jalan yang penuh dengan persahabatan, pengetahuan, dan mungkin, cinta.
Cerpen Cindy, Gadis Berjiwa Sosialita
Aku selalu percaya bahwa hidupku penuh warna. Berbeda dari kebanyakan orang yang harus berjuang keras untuk memperoleh kebahagiaan, aku—Cindy—merasa sudah cukup beruntung. Di sekolah, aku dikenal sebagai gadis sosialita yang ceria, selalu dikelilingi teman-teman, dan menikmati setiap detik yang berlalu. Namun, seperti yang selalu dibilang ibu, hidup tak selamanya tentang tawa dan senyum. Ada kalanya, kehidupan memberi kejutan yang mengubah cara kita memandang dunia.
Hari itu, cuaca di Jakarta tampak bersahabat, tidak terlalu panas meski tetap terasa gerah di tengah hiruk-pikuk kota. Aku berjalan ke sekolah dengan langkah ringan, menikmati pagi yang cerah sambil mendengarkan lagu favoritku di earphone. Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah taman kecil yang biasanya sepi, tapi hari itu, entah kenapa, ada seorang pria duduk di bangku taman, tampak sangat berbeda.
Tinggi, dengan tubuh tegap dan wajah yang tenang, dia tidak terlihat seperti orang yang suka bergabung dalam keramaian. Matanya yang tajam seperti menelusuri setiap sudut taman, namun ada sesuatu yang membuatnya tampak sendirian—sesuatu yang membuat aku ingin tahu lebih jauh.
Aku berusaha mengalihkan pandangan, tapi entah kenapa aku merasa tertarik. Mungkin hanya rasa ingin tahu saja, atau mungkin karena aku biasa terbiasa dikelilingi orang-orang yang selalu mengagumi penampilanku—tidak ada orang yang duduk diam begitu saja, seperti dia. Saat aku melewati bangku tempat dia duduk, tanpa sengaja, matanya bertemu mataku. Ada perasaan aneh yang muncul, campuran antara rasa penasaran dan sedikit ketegangan.
“Heh, Cindy!” Suara Rina, sahabatku, tiba-tiba memecah keheningan di sekitarku. Aku menoleh ke samping dan melihat Rina berjalan menghampiriku dengan senyum lebar. Aku mengangkat tangan, menyapa, lalu kembali menatap pria itu yang sudah mengalihkan pandangannya.
“Apa yang kamu lihat?” Rina bertanya, mengikuti arah pandangku.
“Nggak tahu. Ada yang aneh di sana,” jawabku singkat, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai menggelayuti hatiku.
Rina tertawa, tidak terlalu peduli dengan orang asing itu. “Cindy, kamu nggak perlu mikirin orang aneh kayak gitu. Ayo, kita ke kantin!” katanya sambil menggandeng lenganku.
Kami berdua berjalan menuju kantin sekolah, dan sejenak, aku melupakan pria itu. Namun, bayangannya kembali mengganggu pikiranku sepanjang pelajaran pagi. Seperti ada magnet yang menarik perhatian, meskipun aku tahu, di dunia yang penuh perhatian dan kegemerlapan ini, aku tak seharusnya tertarik pada hal yang seharusnya bukan milikku.
Pada jam istirahat, aku dan Rina duduk di meja favorit kami, yang selalu dikelilingi teman-teman. Rina yang selalu ceria, berbicara tentang rencana liburan akhir tahun, sementara aku hanya menanggapi dengan senyum tanpa banyak berbicara. Ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku, sesuatu yang berkaitan dengan pria yang aku temui pagi itu.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tiba-tiba, seorang guru masuk ke dalam kantin dan memberitahukan bahwa ada acara sosial di luar sekolah, sebuah acara penggalangan dana yang diadakan untuk membantu anak-anak kurang mampu. Guru itu mengumumkan bahwa ada kesempatan bagi kami untuk berpartisipasi, dan untuk mengikuti acara ini, para siswa diminta untuk mendaftarkan diri dan menjadi bagian dari tim relawan.
Aku melihat para siswa tampak tertarik, namun aku merasa hal ini bisa menjadi kesempatan yang lebih baik untuk menambah “citra” di mata teman-teman dan orang tua. Meskipun aku tidak terlalu suka terlibat dalam kegiatan yang bisa menguras waktu, aku tahu ini bisa menjadi peluang baik untuk memamerkan sisi lain dari diriku. Aku mengangkat tangan, berniat mendaftar.
“Aku ikut,” kataku dengan percaya diri, memotong percakapan Rina yang sedang berbicara tentang topik lainnya. “Aku akan ikut menjadi relawan. Ini bisa jadi seru.”
Rina menatapku bingung, lalu tertawa. “Kamu? Terlibat dalam acara amal? Sejak kapan kamu peduli dengan hal seperti itu?” tanyanya.
Aku hanya tersenyum manis, tidak menjelaskan lebih jauh. Dalam hati, aku merasa seolah ada dorongan kuat untuk ikut, meski aku tidak tahu persis apa yang akan kutemui.
Keesokan harinya, aku tiba lebih awal di tempat acara. Para relawan sudah mulai berkumpul, sebagian besar adalah teman-teman seangkatan yang biasa terlihat di keramaian. Tapi ada satu hal yang berbeda: pria yang aku lihat di taman kemarin, yang tampak begitu asing, juga ada di sana. Dia berdiri di sudut, berbicara dengan seorang guru, dan untuk beberapa detik, pandangannya berkenalan dengan mataku. Aku menundukkan kepala, berusaha agar tidak terperangkap dalam perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul.
Akhirnya, acara dimulai. Aku harus bekerja sama dengan teman-teman sekelompok, mengorganisir kegiatan yang ada, dan menjalani hari dengan penuh keriangan. Namun, ada sesuatu yang terus mengganjal di hatiku. Mengapa dia—pria itu—terus muncul dalam pikiranku? Aku yang selama ini biasa dikelilingi orang-orang ceria dan suka bergosip, kini merasa bingung dengan keberadaan seseorang yang tidak pernah menyapa, hanya diam dan memberikan tatapan kosong.
Hari itu berjalan dengan cukup lancar, namun hatiku terasa berbeda. Aku merasa seolah ada dua dunia yang berbeda yang aku jalani. Dunia yang aku kenal, penuh dengan tawa, kebahagiaan, dan perhatian orang-orang padaku, dan dunia yang tiba-tiba memasukkan seorang pria yang membuatku merasa tidak nyaman—dunia yang aku tahu akan mengubah semuanya.
Sore itu, di tengah kerumunan, aku bertemu lagi dengannya. Saat aku berjalan menuju pintu keluar, dia berdiri di sana, tidak sendirian, tetapi dia memandangku. Sekali lagi, ada tatapan yang aneh. Aku merasa seperti terjebak dalam dunia yang baru, yang aku tidak kenal.
Sampai akhirnya, dia membuka mulut, dan suara beratnya menyapaku untuk pertama kalinya. “Kamu, Cindy, kan?”
Aku mengangguk perlahan, berusaha menyembunyikan perasaan bingung yang mulai merayapi pikiranku. “Iya, saya Cindy. Kamu… siapa?”
Dan dengan senyum tipis, pria itu menjawab, “Nama saya Arka. Senang bertemu denganmu.”
Entah kenapa, mendengar namanya membuat aku merasa ada sesuatu yang penting yang akan berubah dalam hidupku. Tanpa aku tahu, pertemuan pertama ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan membawa kami ke dalam dunia yang penuh tantangan, cinta, dan persahabatan yang akan menguji segalanya.
Di sanalah, di sebuah acara sosial yang tidak terduga, aku bertemu dengan Arka. Pria yang akan mengubah cara pandangku tentang banyak hal—tentang hidup, tentang pendidikan, dan tentang makna persahabatan.
Cerpen Dina, Gadis Paling Modis di Sekolah
Aku masih ingat betul bagaimana hari itu dimulai. Pagi yang cerah, dengan langit biru dan sedikit awan putih yang menari-nari di udara, seakan memberikan semangat untuk setiap langkah yang aku ambil. Aku, Dina, seorang gadis yang selalu tampil modis, tidak pernah kehilangan senyum di wajahku. Dunia ini rasanya penuh dengan warna, dan aku selalu mencoba untuk melihat segala sesuatu dengan cara yang cerah.
Sejak aku kecil, aku sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena penampilanku, tetapi juga karena caraku berinteraksi dengan orang-orang. Aku punya banyak teman, hampir setiap orang di sekolah mengenalku. Namun, meskipun banyak teman, aku tidak pernah merasa benar-benar dekat dengan seseorang. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan dunia modisku—dengan segala perhatian yang datang bersamanya. Tetapi, aku tidak pernah mengeluh. Aku bahagia. Setidaknya, saat itu aku merasa bahagia.
Hari itu, seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan busana yang sempurna—rok mini berwarna biru laut, kaos putih dengan tulisan bergaya di dadaku, dan sepatu sneakers putih yang selalu membuatku merasa percaya diri. Rambutku yang panjang tergerai indah, disisir rapi, menambah kesan anggun namun tetap modern. Setiap orang yang melihatku pasti akan berkata, “Dia memang gadis yang paling modis di sekolah.”
Namun, saat aku memasuki kelas, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seperti biasa, teman-temanku memanggilku dengan penuh semangat, tetapi kali ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada seorang gadis baru di kelas ini, duduk di bangku belakang, dengan pakaian yang jauh dari kata modis. Dia mengenakan baju biasa, celana jeans robek di beberapa tempat, dan rambutnya yang sedikit berantakan. Tidak ada yang terlalu mencolok dari penampilannya.
Aku merasa sedikit penasaran, tapi rasa ingin tahu itu terpendam oleh kebiasaan ku yang selalu fokus pada penampilan dan gaya hidupku sendiri. Tapi, kemudian aku mendengar beberapa bisikan dari teman-teman.
“Eh, itu lho, Dina. Gadis baru itu… katanya dia dari kota kecil. Aku dengar dia nggak terlalu suka dengan fashion atau barang-barang branded.”
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit geli. Tentu saja, siapa yang tidak menyukai barang branded? Tapi saat itu, aku tidak terlalu peduli. Aku hanya ingin menikmati hari seperti biasanya.
Namun, pada saat yang tak terduga, guru mengumumkan bahwa kami akan diberi tugas kelompok untuk beberapa minggu ke depan. Aku mendengarnya dengan cemas, khawatir kalau aku akan mendapatkan kelompok dengan teman-teman yang tidak memahami gaya kerjaku yang cepat dan efisien. Tapi kemudian, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
“Untuk tugas kelompok, Dina, kamu akan bekerja sama dengan… Sarah,” kata Pak Budi, guru kami, sambil menunjuk ke arah gadis baru itu yang sedang duduk di belakang.
Aku terkejut. Sarah? Gadis yang tampaknya jauh berbeda dariku? Mengapa aku harus bekerja dengannya? Aku mengalihkan pandangan pada teman-temanku, berharap ada yang bisa memberi komentar atau reaksi yang membuatku merasa lebih baik. Tetapi mereka hanya memandangku dengan simpati, seakan tahu betapa tidak nyamannya aku dengan situasi ini.
Ketika aku mendekati meja Sarah, dia menatapku dengan senyum kecil, seolah mengerti kecanggungan yang kurasakan. “Hai, Dina. Senang bisa bekerja sama denganmu,” ucapnya lembut, tanpa sedikitpun rasa gugup.
Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya mengangguk dan duduk di sampingnya. Ada keheningan yang canggung, seperti dua dunia yang berbeda sedang bertemu.
Sarah berbeda dari yang aku bayangkan. Ia tidak banyak bicara, tapi cara dia menatap dunia terasa lebih dalam—seperti seseorang yang sudah melihat lebih banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku merasa canggung di dekatnya, seperti ada jarak yang tidak bisa aku lewati.
Hari-hari berlalu, dan kami mulai mengerjakan tugas kelompok itu. Awalnya, aku merasa tugas ini akan membosankan. Sarah tidak tertarik dengan fashion atau gaya hidup yang aku anggap penting. Namun, semakin lama aku bekerja bersamanya, semakin aku mulai menyadari bahwa ada sisi dari dirinya yang menarik. Meskipun penampilannya tidak mencolok, Sarah memiliki cara berpikir yang jernih, dan dia selalu punya ide-ide brilian yang seringkali membuatku terkesan.
Terkadang, ketika kami berdiskusi, aku merasa seperti dia bisa melihat lebih dalam ke dalam diriku—mungkin lebih dalam dari yang aku inginkan. Beberapa kali dia berkata dengan suara lembut, “Dina, apa sih yang sebenarnya kamu cari dalam hidup ini?”
Aku terdiam. Tidak ada yang pernah bertanya padaku seperti itu. Biasanya, orang hanya terpesona dengan penampilanku atau ceritaku tentang dunia sosial yang selalu riuh. Tetapi, Sarah, gadis yang tidak peduli dengan apa yang aku kenakan, seakan tahu ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.
Suatu sore, ketika kami sedang mengerjakan tugas bersama di perpustakaan, hujan mulai turun dengan deras. Aku dan Sarah terjebak di sana, menunggu hujan reda. Tanpa disadari, suasana menjadi lebih nyaman. Aku yang biasanya sangat sibuk dengan perasaan ingin terlihat sempurna di depan orang lain, tiba-tiba merasa tenang berada di samping Sarah. Ia tidak peduli dengan penampilanku yang terkadang terkesan berlebihan. Ia hanya melihatku sebagai Dina, seorang teman, bukan sebagai seorang gadis yang selalu berusaha tampil sempurna.
Tiba-tiba, Sarah berkata, “Dina, aku tahu kamu punya banyak teman, dan mereka semua suka dengan caramu berpakaian. Tapi apakah kamu pernah merasa kesepian? Aku melihat kamu, dan kadang-kadang aku merasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu.”
Aku menatapnya terkejut. Kata-katanya seperti menembus dinding yang selama ini aku bangun di sekitarku. Aku ingin menghindar, tetapi sesuatu dalam diriku membuatku ingin jujur.
“Kadang-kadang, iya,” jawabku pelan. “Aku merasa seperti… aku hanya dihargai karena penampilanku. Semua orang ingin jadi temanku karena aku terlihat menarik, tapi tidak ada yang benar-benar peduli dengan siapa aku di dalam.”
Sarah hanya tersenyum kecil, dan matanya yang lembut seperti memahami apa yang kurasakan. “Kamu lebih dari sekadar penampilanmu, Dina. Kita semua punya bagian dalam diri kita yang tak selalu orang lain bisa lihat.”
Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Saat itu, aku merasa seperti dunia yang selama ini kukenal sedikit demi sedikit mulai berubah. Mungkin, aku tidak selalu perlu menjadi yang paling modis untuk dihargai. Mungkin ada lebih banyak hal dalam diriku yang layak untuk dihargai, lebih dari sekadar penampilan luar.
Hari itu, di bawah rintik hujan yang semakin deras, aku merasa seperti ada sebuah pintu yang terbuka di depan mataku—pintu yang mengarah pada sebuah dunia di mana persahabatan, pemahaman, dan cinta bukan hanya soal penampilan, tetapi tentang siapa kita sebenarnya.