Cerpen Tentang Pelangi Persahabatan

Hai, pembaca hebat! Cerpen kali ini akan mengajakmu menyelami dunia yang penuh misteri dan keajaiban. Jangan lewatkan keseruannya!

Cerpen Yara, Gadis Paling Populer di Kampus

Aku ingat hari itu seperti baru kemarin. Angin sore itu sejuk, menyentuh kulitku yang terbakar oleh matahari seharian. Kampus masih ramai dengan suara tawa dan langkah-langkah kaki yang terburu-buru, menandakan hari pertama di semester baru. Di antara semua itu, aku hanya merasa seperti bagian dari kerumunan yang sama. Aku adalah Yara, gadis yang sudah dikenal hampir seluruh kampus. Aku mungkin adalah seorang yang paling populer di sini, tapi popularitas itu tak pernah membuatku merasa sepenuhnya hidup. Ada yang hilang. Ada yang aku cari, tapi tak bisa kupahami apa itu.

Semua orang ingin menjadi temanku. Aku tahu itu. Mereka mengagumi penampilanku, gaya berpakaianku, cara bicaraku yang selalu penuh percaya diri. Namun, apakah itu berarti mereka benar-benar mengenalku? Aku sering bertanya-tanya. Kadang aku merasa seperti aku hanya sekadar boneka yang dikelilingi banyak orang, tapi tetap merasa kesepian di dalam hatiku.

Aku berjalan ke kantin setelah kelas selesai, mengikuti langkah-langkah teman-teman sekelasku. Mereka ramai berbicara tentang kegiatan kampus, rencana makan malam, atau sekadar menggosip tentang apa yang terjadi di dunia hiburan. Aku tidak terlalu tertarik. Aku lebih suka duduk di pojok kantin, menikmati makananku sendiri tanpa perlu ikut terlibat dalam pembicaraan yang kadang terasa dangkal itu.

Saat aku melangkah melewati meja-meja yang penuh dengan teman-teman sekelasku, mataku tertumbuk pada seorang gadis yang duduk sendirian di meja belakang. Dia sedang menatap buku di hadapannya, tampaknya sedang membaca, atau mungkin menulis sesuatu. Rambutnya panjang terurai dengan warna cokelat yang tertangkap cahaya lampu kantin. Wajahnya serius, tapi ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk lebih memperhatikannya.

Aku tidak mengenalnya. Dari mana dia berasal? Aku mencoba untuk mengingat, tetapi tidak ada nama yang terlintas di pikiranku. Di kampus yang besar ini, rasanya aku sudah mengenal hampir setiap orang yang ada di sekitar, terutama mereka yang lebih sering muncul di ruang-ruang pertemuan atau kantin seperti ini.

Tanpa sengaja, aku tersandung kursi dan hampir terjatuh. Aku menahan diri dan dengan cepat menatap sekitar, berharap tidak ada yang melihat. Namun, mataku langsung berpapasan dengan matanya. Dia tersenyum kecil, seolah tahu bahwa aku merasa canggung. Aku langsung membalas senyuman itu, meskipun sedikit kikuk. Namun, ada sesuatu di senyumannya yang membuatku merasa… nyaman.

“Gak apa-apa?” katanya dengan suara lembut, suaranya seperti musik yang mengalun tenang di tengah keramaian kantin.

Aku mengangguk cepat. “Iya, kok. Maaf, saya… ya, nggak sengaja. Aku Yara, kamu siapa?”

Dia sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Namun, dia tidak terlihat canggung. Senyumnya malah semakin lebar, membuat pipinya yang tirus sedikit berlekuk. “Aku Zara. Baru transfer ke sini semester ini.”

Zara. Nama itu terngiang di telingaku. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada perasaan asing yang muncul ketika mendengarnya. Perasaan yang sulit dijelaskan.

“Senang akhirnya bisa kenalan,” kataku, mencoba melanjutkan percakapan yang tiba-tiba terasa lebih dalam dari yang aku kira.

Zara hanya mengangguk. “Senang juga,” jawabnya singkat. Lalu, dia kembali menatap bukunya. Aku merasa sedikit bingung, tetapi tidak ingin terlihat terganggu. Aku hanya berdiri di sana sebentar, mencoba mencari alasan untuk melanjutkan percakapan. Tapi entah kenapa, aku merasa tidak perlu terburu-buru.

Tak lama setelah itu, aku kembali duduk di meja yang lebih ramai, dikelilingi teman-teman sekelasku. Namun, pikiranku terus tertuju pada Zara. Aku tidak tahu kenapa, tapi dia berhasil membuatku merasa seperti ada sesuatu yang kurang dalam hidupku, yang selama ini aku coba tutupi dengan tawa dan kebahagiaan palsu.

Keesokan harinya, aku kembali melihatnya di kampus. Namun kali ini, dia tidak sendirian. Zara sedang berbicara dengan beberapa orang, terlihat cukup asyik. Aku bisa melihat bahwa dia bukanlah tipe orang yang mudah didekati. Ada sesuatu yang sangat berbeda tentang dirinya. Tidak ada keramaian, tidak ada perhatian yang berlebihan, hanya dia dan dunia kecilnya yang tenang. Bahkan, meskipun kami berada di tempat yang sama, rasanya seperti ada jarak tak terucapkan di antara kami.

Hari itu, aku lebih banyak berfokus pada kegiatanku sendiri. Kuliah, diskusi, rapat organisasi—semuanya berjalan seperti biasa. Namun, saat aku berada di ruang terbuka, tempat favoritku untuk menyendiri, aku melihat Zara lagi. Kali ini, dia duduk di bangku panjang yang menghadap ke taman kampus, menikmati buku yang sepertinya sudah menjadi teman setianya.

Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa perlu untuk mendekat. Mungkin ini karena aku penasaran, atau mungkin ada sesuatu dalam diriku yang ingin sekali tahu lebih banyak tentangnya. Aku berjalan mendekat, dan kali ini, aku tidak tersandung atau merasa canggung. Aku hanya berjalan dengan langkah tenang, tanpa tujuan yang jelas selain untuk berbicara dengannya.

“Boleh duduk?” tanyaku pelan saat aku berada di dekatnya.

Zara menoleh dan mengangkat alisnya. “Oh, tentu.”

Aku duduk di sampingnya, memandangi taman yang dipenuhi bunga-bunga kecil yang bermekaran. Saat itu, aku merasakan ketenangan yang tidak biasa. Rasanya seperti berada di tempat yang jauh dari segala hiruk-pikuk kampus.

“Kamu suka baca buku?” tanyaku setelah beberapa detik hening.

Zara mengangguk. “Iya, buku itu… selalu bisa memberi aku ruang untuk berpikir.”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Tanpa aku sadari, aku mulai merasa nyaman dengan keberadaannya. Di tengah semua orang yang selalu berusaha mendekatiku, hanya Zara yang memberi aku ruang tanpa tuntutan. Seperti sebuah pelangi di tengah hujan, dia memberiku cahaya yang berbeda. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku merasa sesuatu yang indah mulai tumbuh antara kami.

Namun, aku juga sadar bahwa aku harus berhati-hati. Aku seorang gadis yang hidup di dunia yang penuh dengan sorotan, dan hubungan dengan seseorang seperti Zara yang tampaknya begitu sederhana dan berbeda—entah mengapa—rasanya begitu menantang.

Cerpen Ziva, Gadis Paling Stylish di Lingkungan

Aku masih ingat saat itu—di sebuah sore yang cerah, ketika hujan baru saja berhenti dan udara terasa segar, seperti sebuah nafas baru yang diberi kepada dunia. Matahari bersinar dengan lembut, memantulkan cahaya ke setiap sudut jalan. Aku, Ziva, gadis yang selalu menjadi pusat perhatian di lingkungan, merasa hari itu adalah hari yang sempurna. Dengan gaun warna pastel yang sempurna dengan gaya rambut yang dibiarkan tergerai, aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju taman kecil di dekat rumah.

Aku adalah gadis yang dikelilingi oleh banyak teman, senang berbicara, dan mudah bergaul. Mungkin aku sering dianggap sebagai gadis yang penuh percaya diri, yang tahu cara berpenampilan dan selalu mendapat tempat di setiap percakapan. Banyak orang menganggapku sebagai gadis paling stylish di lingkungan ini—sesuatu yang kuterima dengan bangga, meski itu hanya kulit luar yang terlihat. Terkadang aku berpikir, apakah mereka pernah melihatku lebih dari sekadar penampilan? Mungkin tidak.

Saat itu, aku melihat seseorang yang duduk di bangku taman, sendirian. Seorang gadis dengan rambut pendek, terlihat sederhana dalam balutan kaos oblong dan celana jeans robek. Dia sedang sibuk dengan bukunya, tampaknya tidak peduli dengan dunia di sekitarnya. Aku berhenti sejenak, merasa ada sesuatu yang menarik dari sosoknya. Mungkin karena dia tampak berbeda dari yang lain. Tidak ada yang tahu tentangnya. Tidak ada yang mengenalnya.

Aku melangkah mendekat dan dengan percaya diri, aku menyapanya. “Hai, kamu baru di sini, ya?” Tanyaku, mencoba mencairkan suasana.

Dia menoleh dengan mata yang sedikit terkejut, seolah-olah aku datang dari dunia yang berbeda. “Oh, iya. Aku baru pindah ke sini,” jawabnya dengan suara pelan, bahkan terdengar hampir ragu.

Aku tersenyum, meskipun dia terlihat sedikit canggung. Aku tahu, jika ada yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman, itu adalah aku. “Kenalkan, aku Ziva. Aku tinggal di rumah nomor 12, di sana,” kataku sambil menunjuk ke arah rumahku yang terlihat dari taman. “Kalau kamu butuh teman atau tempat ngobrol, aku selalu ada.”

Dia tersenyum kecil, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di dalam tatapannya. Sesuatu yang menahan dirinya untuk membuka diri sepenuhnya. Aku ingin tahu lebih banyak, ingin tahu siapa dia, apa yang membuatnya tampak begitu tertutup. Mungkin ada alasan di balik sikapnya itu. Tapi aku tak ingin terburu-buru menilai.

“Nama aku Maya,” jawabnya pelan, matanya kembali tertuju pada bukunya. Aku bisa merasakan, walau dia mengucapkan nama itu dengan suara yang lebih lembut, dia tidak benar-benar ingin berbicara lebih jauh.

“Apa yang kamu baca?” tanyaku, mencoba membuka percakapan lebih dalam.

“Aku suka baca novel. Tentang kehidupan,” jawabnya, matanya tetap menunduk.

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasakan ada semacam kekuatan dalam kata-katanya yang membuatku terkesan. Bukannya menjauh, aku malah semakin tertarik. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan, Maya adalah sesuatu yang berbeda—sesuatu yang langka. Aku merasa tertantang untuk mengenalnya lebih dalam.

Hari demi hari, aku mencari kesempatan untuk bertemu Maya lagi. Tak jarang aku berjalan melewati taman itu hanya untuk melihat apakah dia ada di sana. Tentu saja, aku tak datang hanya untuk sekedar berpura-pura santai. Sejujurnya, aku ingin melihat senyum Maya yang jarang terbit itu, ingin berbicara dengannya lebih banyak. Tapi dia selalu terlihat sibuk, dengan dunia kecilnya sendiri.

Suatu sore, aku melihat Maya duduk di bangku yang sama, seperti biasa, dengan buku tebal di tangan. Kali ini, aku mendekat lagi dan duduk di sampingnya tanpa berkata-kata, hanya memberi ruang agar dia merasa nyaman.

“Apa kamu tidak bosan membaca terus?” tanyaku, mencoba melucu agar suasana menjadi lebih santai.

Dia terdiam beberapa detik, lalu menatapku dengan sedikit senyum. “Aku nggak bosan. Buku ini memberiku sesuatu yang nggak bisa aku dapatkan dari orang lain.”

Aku merasa ada kesedihan dalam kata-katanya, tapi aku tak ingin mendesak. Aku tahu Maya bukan orang yang mudah terbuka, dan aku tidak bisa memaksanya. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang ingin sekali memahami apa yang terjadi di dalam hatinya.

Hari-hari berlalu dengan santai, dan kami semakin dekat. Aku selalu berusaha ada di dekatnya, meskipun kadang dia tampak lebih memilih menyendiri. Kami berbagi banyak hal—cerita tentang sekolah, tentang teman-teman, tentang keluarga. Tapi aku belum bisa masuk lebih dalam ke dunia Maya. Setiap kali aku menanyakan tentang keluarganya atau masa lalunya, dia selalu menghindar.

Suatu hari, ketika hujan turun begitu deras, aku mencari perlindungan di sebuah warung kopi kecil. Aku tidak tahu kenapa, tetapi naluriku membawa aku ke sana. Dan di sana, aku melihatnya. Maya, duduk sendirian di sudut ruangan, matanya menerawang kosong ke luar jendela. Ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat penuh kekosongan.

Aku mendekat dan duduk di sampingnya. “Maya, ada apa?” tanyaku lembut.

Dia tidak langsung menjawab. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang penuh dengan beban. “Aku tidak bisa,” jawabnya, suaranya hampir tidak terdengar.

Aku tidak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Aku nggak bisa berteman denganmu, Ziva. Aku… aku nggak pantas untuk itu,” jawabnya dengan suara yang penuh kesedihan, seolah ada sebuah beban besar yang menahannya.

Aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin sekali mengerti, ingin sekali meyakinkan dia bahwa aku ada untuknya. Tapi Maya sudah tertutup begitu rapat.

“Aku nggak akan pergi, Maya. Aku akan tetap di sini. Kita bisa mulai pelan-pelan, kalau kamu mau,” kataku dengan penuh keyakinan, mencoba memberi secercah harapan.

Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ada sedikit kilau di matanya yang sebelumnya kosong. “Kamu… kamu mau berteman dengan aku?” Maya bertanya dengan ragu.

Aku mengangguk, sambil tersenyum lembut. “Tentu saja. Kita bisa menjadi sahabat.”

Dari situlah semuanya dimulai. Hubungan yang tak hanya tentang berbagi tawa, tapi juga tentang menghadapi kesedihan bersama. Pelan-pelan, aku belajar bahwa tak semua hal bisa dilihat dari luar. Terkadang, pelangi yang indah datang setelah badai yang paling gelap. Dan persahabatan kami, meski penuh tantangan, menjadi pelangi yang memberi warna dalam hidupku—warna yang lebih dari sekadar penampilan luar.

Cerpen Adinda, Si Gadis Paling Gaul

Seperti biasa, aku selalu menjadi pusat perhatian. Namaku Adinda, dan aku dikenal sebagai “Gadis Paling Gaul” di sekolah. Kalau aku melangkah ke kantin, semua mata pasti tertuju padaku. Aku bukan tipe yang pendiam, jauh dari itu. Aku suka berbicara, tertawa, dan menyebarkan energi positif ke sekitar. Sejak kecil, aku tahu bahwa hidup ini terlalu singkat untuk tidak bahagia. Dan itu yang selalu aku coba lakukan: membuat semua orang di sekitarku merasa bahagia.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, aku datang lebih awal ke sekolah. Ada yang berbeda, meskipun aku tidak bisa menjelaskannya. Pagi itu, langit terlihat lebih cerah dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu untuk terjadi.

“Eh, Dinda! Kamu lagi ada acara apa sih hari ini? Kok secerah itu?” tanya Tara, teman baikku, dengan senyum lebar. Dia selalu tahu kalau aku sedang merasa ‘beda’.

Aku hanya tertawa ringan. “Entahlah, Tara. Mungkin cuma perasaan aja. Tapi rasanya ada yang akan berubah.”

Hari-hariku penuh dengan kegiatan. Aku selalu sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler, menjalin hubungan dengan teman-teman baru, atau hanya sekedar hangout di kafe dengan mereka. Tidak ada yang spesial yang bisa membuat hari-hariku terasa lama atau membosankan. Tapi ada satu hal yang aku sadar, akhir-akhir ini aku sering berpikir tentang satu orang—seseorang yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya. Namanya Candra.

Candra itu tipe cowok yang bisa dibilang agak tertutup. Dia bukan tipe yang populer, dan tidak banyak orang yang mengenalnya. Aku juga hanya tahu namanya karena dia ada di kelas yang sama denganku. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, yang seolah bisa menembus lapisan terluar diriku yang selalu ceria. Kami pernah bertemu beberapa kali di kelas, tetapi rasanya itu hanya pertemuan yang biasa—hingga suatu hari, semuanya berubah.

Itu terjadi pada sore yang terik, setelah pelajaran olahraga. Aku duduk di bawah pohon rindang, menikmati es krim yang baru saja aku beli. Tempat ini selalu jadi favoritku. Sepi, teduh, dan seringnya hanya ada beberapa orang yang duduk di sini. Tiba-tiba, aku merasa seseorang duduk di sampingku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang, karena aku mengenal suara langkah kaki itu. Suara langkah yang tidak tergesa-gesa, tetapi tetap jelas, seolah membawa sebuah beban yang tak terlihat.

“Adinda,” suaranya yang rendah itu memecah keheningan.

Aku menoleh, dan menemukan Candra duduk dengan raut wajah yang biasa—datar. Aku tersenyum, mencoba menyapa seperti biasanya, “Eh, Candra! Kok bisa ketemu di sini?”

Candra hanya mengangguk, dan kemudian mendekat sedikit. Ada jeda panjang sebelum akhirnya dia membuka mulut. “Kamu… selalu terlihat bahagia, ya, Dinda?”

Aku tersenyum lebih lebar. “Kenapa? Emang kelihatan kayak gitu?” Aku tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan yang mulai terasa.

Dia mengangguk lagi, kali ini sedikit ragu. “Aku… kadang merasa kamu tuh… seperti langit yang cerah, tapi ada sisi lain yang gak kelihatan. Kamu tahu, kan, kalau langit itu kadang bisa berubah? Bisa mendung, hujan, dan gelap. Aku cuma ingin tahu… apakah kamu selalu merasa seperti itu?”

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang menyentuh. Selama ini, aku merasa diriku selalu terbuka untuk semua orang, tetapi Candra, dengan cara yang berbeda, seolah bisa melihat sisi lain dari diriku. Aku bukan gadis yang selalu ceria. Di balik tawa dan canda itu, ada hari-hari ketika aku merasa kosong. Kadang, aku merasa bahwa aku terlalu lelah untuk senyum.

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kamu agak jenius, ya. Gak banyak yang bisa lihat itu.”

Ada sebersit senyum di wajah Candra, meskipun tampak canggung. “Aku cuma penasaran. Karena kamu gak pernah kelihatan sedih.”

Satu kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Aku ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa aku punya alasan kenapa aku memilih untuk selalu terlihat bahagia. Tetapi entah kenapa, kata-kata itu seperti terhenti di tenggorokan. Jadi, aku hanya tersenyum dan mengubah topik pembicaraan.

“Kamu kok bisa sih tiba-tiba muncul di sini? Biasanya gak ada yang lihat kamu di luar kelas.”

Dia tersenyum kecil. “Aku cuma ingin tahu… apa yang membuat kamu benar-benar bahagia?”

Aku menatap matanya. Tatapan itu tajam, tetapi hangat. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli pada aku, bukan hanya sebagai teman yang selalu ada, tetapi sebagai Adinda—seorang gadis yang terkadang rapuh di balik senyum yang tak pernah berhenti.

“Perjalanan hidup itu nggak selalu mulus,” ujarku pelan, “Kadang, kita hanya perlu menemukan orang yang mau berjalan bersama, bahkan ketika hujan turun atau badai datang.”

Dia terdiam. Aku tahu dia tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang aku maksudkan, tapi aku merasa lebih ringan setelah mengucapkannya.

Kami duduk bersama dalam keheningan yang nyaman. Hanya suara angin dan kicauan burung yang terdengar. Tidak ada kata-kata lebih lanjut, tetapi entah kenapa, saat itu aku merasa lebih dekat dengan Candra. Seperti sebuah permulaan, meskipun aku tidak tahu akan berakhir di mana.

Aku merasa seperti pelangi yang baru saja muncul setelah hujan, dengan warna-warna yang mulai terlihat. Tetapi, aku tahu, di balik setiap pelangi, ada hujan yang harus dilalui. Mungkin, ini adalah hujan yang akan membawa kami pada sebuah pelangi persahabatan yang tak terduga.

Artikel Terbaru

Tulis Komentar Anda

Your email address will not be published. Required fields are marked *