Daftar Isi
Halo semua! Kali ini, kita akan menyelami kisah seorang gadis yang berani melawan segala batasan demi mencapai cita-citanya.
Cerpen Ulfa, Gadis Paling Gaul di Sekolah
Hari itu adalah hari pertama aku bertemu dengan Rian. Aku masih ingat betul bagaimana dunia terasa berbeda saat mata kami bertemu untuk pertama kalinya. Suara ribut kelas, tawa teman-temanku, dan deru kipas angin di ruang kelas seakan-akan menghilang begitu saja. Aku tidak tahu apakah itu karena aku benar-benar tertarik padanya atau karena dia baru saja memecahkan zona nyaman yang selama ini aku banggakan.
Nama aku Ulfa. Di sekolah, hampir semua orang mengenal aku. Aku adalah gadis yang paling gaul, punya banyak teman, selalu terlihat ceria dan penuh energi. Semua orang datang padaku, baik yang ingin ngobrol, bercanda, atau sekadar menghabiskan waktu bersama. Aku selalu merasa dikelilingi oleh cinta dan perhatian—hingga Rian datang.
Rian adalah cowok baru di sekolah kami. Hari pertama dia datang, aku sempat mendengarnya dipanggil oleh teman-teman sekelas dengan suara berbisik dan penasaran. “Itu Rian, anak baru dari luar kota. Ganteng banget, ya?” Kata mereka sambil memandanginya dari jauh. Aku tidak terlalu peduli dengan hal itu. Tapi saat dia masuk ke kelas dan duduk di bangku belakang, ada sesuatu yang menarik perhatian aku. Mungkin, karena dia tidak seperti anak laki-laki pada umumnya di sekolah ini. Tidak ada senyum lebarnya, tidak ada canda tawa yang mengikuti langkahnya. Dia terkesan lebih pendiam dan serius. Matanya, yang berwarna cokelat gelap, terkesan kosong. Seolah-olah ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi dia memilih untuk diam.
Aku selalu merasa penasaran dengan orang-orang seperti itu. Dan, dengan rasa ingin tahu yang besar, aku memutuskan untuk mencoba mendekatinya.
Waktu itu, aku sedang duduk di kantin, di meja favoritku bersama teman-teman. Namun, mataku tak bisa berhenti melirik ke meja seberang, di mana Rian duduk sendirian. Meski dia sepertinya tidak nyaman dengan keramaian di sekitar, aku merasa ada sesuatu yang memanggilku untuk mendekatinya. Aku selalu merasa bisa mengubah suasana apapun di sekitarku, dan aku yakin, jika aku mendekatinya, dia akan tertarik padaku—seperti semua orang yang pernah aku ajak bicara.
Dengan langkah percaya diri, aku bangkit dan berjalan menuju meja Rian. “Hai, kamu Rian, kan?” tanyaku, sambil duduk di hadapannya tanpa menunggu jawaban.
Dia menatapku sejenak, seperti sedang mengukur siapa aku ini. Lalu, dia mengangguk pelan, “Iya, aku Rian.”
“Nama aku Ulfa, mungkin kamu udah denger nama aku di sini. Aku cukup terkenal di sekolah ini.” Aku tersenyum lebar, sedikit berkelakar. Tidak jarang aku menyebutkan itu, karena memang faktanya begitu. Aku selalu jadi pusat perhatian, dan aku terbiasa dengan itu.
Namun, alih-alih mendapat respons yang hangat seperti yang biasanya aku dapatkan, Rian hanya tersenyum tipis. “Iya, aku dengar,” jawabnya singkat.
Aku merasa sedikit canggung, tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. “Jadi, kamu suka makan di sini? Atau baru pertama kali?”
“Baru pertama kali,” jawabnya, dan suara itu terdengar lebih berat dari yang aku kira.
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, membuatnya sedikit lebih santai. “Sekolah ini enak kok, banyak tempat seru. Kalau kamu mau, aku bisa tunjukin tempat-tempat yang keren di sini. Atau… kamu lebih suka makan sendiri?”
Dia diam beberapa saat, seolah mempertimbangkan jawabannya. Lalu, dia menatap mataku dengan tatapan yang aku tak bisa baca. “Aku lebih suka sendiri,” jawabnya pelan.
Aku merasa sedikit kecewa. Biasanya, aku bisa mencairkan suasana dengan mudah, tapi kali ini… aku merasa seperti ada dinding yang sulit ditembus. Mungkin dia orang yang pendiam, pikirku.
Namun, sesuatu dalam diriku berkata bahwa aku harus terus mencoba. Tidak mungkin aku membiarkan Rian tetap berada di luar lingkaran pertemanan aku. Aku merasa bahwa di balik sikap dinginnya itu, ada sesuatu yang menarik. Dan aku ingin tahu lebih banyak.
Hari-hari berlalu, dan meski aku mulai mengobrol dengan banyak teman-teman Rian, kami tidak pernah benar-benar menjadi dekat. Rian tetap menjaga jarak. Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Setiap kali aku melihatnya di koridor atau di kantin, aku mencoba untuk menyapanya, mencoba untuk membuatnya tertawa, meski tak mudah.
Kemudian, ada satu hari yang sangat berkesan. Aku sedang duduk di taman sekolah dengan teman-temanku, tertawa-tawa dan bercanda seperti biasanya. Tiba-tiba, aku melihat Rian sedang duduk di bangku yang agak jauh, membaca buku. Tanpa pikir panjang, aku beranjak dan berjalan ke arah tempat duduknya. Teman-temanku sedikit terkejut, tapi aku hanya tersenyum dan memberi isyarat supaya mereka tidak mengikutiku.
“Hei, Rian,” sapaku dengan santai, duduk di sebelahnya tanpa diundang. Aku bisa merasakan betapa canggungnya suasana ini, namun aku merasa itu adalah kesempatan yang harus aku ambil.
Rian menoleh, tampak sedikit terkejut dengan kedatanganku. “Oh, Ulfa,” jawabnya datar, lalu kembali menatap bukunya.
Aku tidak peduli dengan ketidaknyamanannya. “Kamu suka buku-buku ini, ya?” tanyaku sambil memandang judul di sampul bukunya.
Rian mengangguk, “Iya, ini salah satu favorit aku.”
Aku tersenyum. “Aku suka juga baca, tapi lebih sering baca majalah fashion atau cerita tentang selebriti. Kadang-kadang, aku bisa lupa waktu kalau lagi baca.”
Dia menatapku, kali ini sedikit lebih lama. “Kamu punya banyak teman, kan?” tanya Rian.
Aku tertawa kecil, “Iya, banyak banget. Tapi… kadang aku juga merasa kesepian. Teman-teman aku suka datang dan pergi begitu saja. Kamu nggak merasa begitu?”
Rian menundukkan kepala sejenak. “Aku lebih suka sendiri,” katanya, meski kali ini suaranya lebih lembut.
Aku tidak tahu mengapa, tapi kata-kata itu menghentakku. Ada sesuatu yang dalam dari kalimat itu. Mungkin Rian memang lebih memilih kesendirian, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak ingin dia ceritakan.
Namun, aku merasa semakin penasaran. Ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatianku, dan meskipun dia tampak tertutup, aku merasa seperti ada kesempatan untuk lebih mengenalnya. Tapi aku tidak tahu, perasaan itu akan membawa aku kemana.
Saat itu, aku tidak tahu bahwa pertemuan kami yang sederhana ini akan menjadi awal dari sebuah kisah yang penuh dengan emosi, cinta, dan kehilangan. Aku tidak tahu bahwa pertemuan ini akan mengubah segalanya—bahkan cara aku memandang pertemanan dan cinta.
Tapi yang aku tahu adalah, sejak hari itu, perasaan aneh mulai tumbuh dalam diriku. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran. Sesuatu yang lebih sulit dijelaskan daripada sekadar perhatian biasa.
Aku hanya berharap, perasaan ini tidak akan menghancurkan kebahagiaan yang selama ini aku bangun.
Cerpen Vera, Gadis Super Modis dan Kekinian
Aku selalu percaya bahwa hidup ini penuh dengan kejutan, seperti cerita yang tak pernah kita duga. Hari itu adalah salah satu kejutan terbesar dalam hidupku, meski aku tak pernah tahu betapa besar dampaknya pada diriku kelak. Aku Vera, gadis yang selalu tampil modis dan kekinian. Jika ada yang bertanya tentang diriku, aku akan jawab dengan percaya diri—aku bahagia, aku punya teman-teman luar biasa, dan hidupku berjalan sesuai rencana. Tapi, satu hal yang tidak bisa kuprediksi adalah perasaan yang datang begitu mendalam, begitu menggetarkan, dan justru menguji semuanya yang telah kulakukan selama ini.
Aku ingat betul hari itu. Hari yang tampak biasa, seperti hari-hari lainnya. Seperti biasa, aku sedang duduk di kafe favoritku, tempat yang penuh dengan aroma kopi dan tawa teman-teman. Aku selalu merasa nyaman di sini. Semua orang mengenaliku, dan aku juga mengenal hampir semua orang. Aku tidak asing di tempat ini, bahkan bisa dibilang ini adalah markas kecilku. Teman-temanku, semuanya datang dan pergi dengan ceria, berbagi cerita tentang hari mereka. Aku selalu jadi pusat perhatian karena gaya hidupku yang terkadang menjadi bahan pembicaraan, atau mungkin lebih tepatnya karena aku selalu tahu apa yang sedang tren.
Namun, pada hari itu, aku merasa sedikit cemas, seperti ada sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu kenapa, tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Mungkin karena aku merasa sedikit kosong meski dikelilingi banyak orang. Mungkin karena aku masih terus mengingat dia, cowok yang selalu ada di pikiranku belakangan ini. Nama dia, Ryan, sepertinya sudah menempati ruang yang cukup besar dalam pikiranku—tanpa aku sadari.
Ryan adalah pacarku. Tapi, seiring waktu, aku mulai merasakan ada yang berubah dalam hubungan kami. Dulu, segalanya terasa begitu sempurna. Setiap detik bersamanya terasa seperti kisah romantis yang baru dimulai. Tapi kini, entah kenapa, dia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan sahabat wanitanya, Maya. Mereka berdua sudah lama bersahabat, bahkan sejak sebelum aku kenal dengan Ryan. Maya adalah gadis yang sederhana, cantik dengan cara yang natural, dan tak seperti aku yang selalu up-to-date dengan segala hal fashion dan tren. Awalnya, aku merasa sedikit cemburu, tapi kupikir mungkin itu hanya perasaan tidak aman yang wajar. Namun, akhir-akhir ini, ada yang berbeda.
Kembali ke hari itu, aku duduk dengan teman-temanku di sudut kafe. Kami sedang ngobrol santai, saling berbagi cerita tentang kegiatan masing-masing. Tiba-tiba, Ryan muncul bersama Maya. Dia melangkah ke meja kami, dan senyumannya selalu membuat hatiku berbunga-bunga. Tapi ada yang aneh. Tiba-tiba aku merasa seperti ada jarak di antara kami. Dia menyapa teman-temanku dengan semangat, tetapi pandangannya hanya sesekali bertemu denganku, lalu beralih ke Maya.
“Vera, Maya baru saja cerita tentang rencananya untuk akhir pekan ini. Kamu gak mau ikut?” Ryan berkata dengan nada yang agak datar. Aku melihatnya sesekali menatap Maya, dan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, kami berbicara lebih lama, saling bercanda, atau bahkan hanya menghabiskan waktu bersama tanpa peduli siapa pun. Tapi hari itu, semuanya terasa cepat, tanpa kehangatan seperti dulu.
Aku mengangguk lemah, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang mulai merayap ke dalam hatiku. Maya tersenyum dengan ramah, tapi aku bisa melihat sedikit keraguan di matanya. Seolah dia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia memilih diam.
“Vera, kamu baik-baik saja?” Maya bertanya pelan, matanya menatapku dengan penuh perhatian. Aku hanya tersenyum tipis, berusaha meyakinkan dirinya—bahkan mungkin juga diriku sendiri. “Iya, aku baik-baik saja,” jawabku dengan nada yang sedikit dipaksakan.
Setelah beberapa menit, Ryan mengajak Maya untuk keluar, meninggalkan aku dan teman-teman lainnya. Begitu mereka pergi, ada kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Teman-temanku yang lain hanya saling melirik, seolah merasakan ketegangan yang tak terucapkan.
Aku memandang keluar jendela, melamun sejenak. Pikiranku berkelana jauh, jauh ke masa lalu ketika pertama kali bertemu Ryan. Awalnya, dia adalah sosok yang sangat berbeda—canggung, pendiam, dan agak introvert. Kami pertama kali bertemu di sebuah acara kampus. Aku ingat dia terlihat bingung mencari teman di antara keramaian. Tanpa sengaja, aku menyapanya. Dari percakapan yang singkat itu, kami mulai saling mengenal, hingga akhirnya kami menjadi pasangan.
Ryan selalu membuatku merasa spesial. Di awal hubungan kami, aku merasa seperti satu-satunya perempuan di dunia ini bagi dia. Semua perhatian, semua waktu, semua kebaikan yang dia berikan—seakan hanya untukku. Aku merasa begitu beruntung bisa berada di sampingnya. Kami bahkan sering berjanji untuk selalu mendukung satu sama lain, dalam segala hal.
Namun kini, aku mulai merasakan adanya jarak yang perlahan tumbuh di antara kami. Tidak ada lagi tatapan penuh cinta seperti dulu. Tidak ada lagi kata-kata manis yang keluar dari mulutnya. Ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
Aku memutuskan untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang begitu berat di dadaku. Setibanya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Aku ingin menenangkan diri, merenung tentang apa yang sedang terjadi. Mungkin aku hanya terlalu sensitif, atau mungkin aku hanya perlu memberi ruang lebih banyak untuk Ryan dan Maya. Tapi entah kenapa, perasaan cemas ini tak kunjung hilang.
Aku duduk di depan cermin, memandangi diriku sendiri. Gadis modis dan kekinian ini, yang selalu ceria dan percaya diri, tiba-tiba merasa begitu rapuh. Apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa perasaan ini terasa begitu berat? Apakah benar aku sedang kehilangan Ryan, atau aku hanya khawatir akan sesuatu yang sebenarnya tak ada?
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan hati. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—perasaan ini adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecemburuan. Aku merasa ada sesuatu yang mulai berubah, dan mungkin, itu adalah awal dari sebuah akhir.
Cerpen Wina, Gadis Paling Hits di Pesta
Pesta itu digelar di taman yang luas, dihiasi lampu-lampu gantung yang berkelip seperti bintang-bintang. Semua orang sedang tertawa, bercengkerama, dan menikmati malam yang hangat. Aku, Wina, adalah pusat perhatian. Dengan gaun merah muda yang pas di tubuhku, rambut panjang yang sedikit bergelombang, dan senyum lebar yang seolah tak pernah pudar, aku berjalan di tengah kerumunan, seolah dunia ini milikku. Semua mata tertuju padaku, dan aku tahu itu.
Aku tak pernah merasa kesepian, apalagi di pesta seperti ini. Di sini, aku dikelilingi oleh teman-teman, sahabat-sahabat yang selalu membuat aku merasa berarti. Tapi malam ini ada sesuatu yang berbeda. Ada rasa yang entah bagaimana menambah getaran di hatiku. Aku bukan lagi hanya sekedar gadis yang sedang menikmati waktu, ada ketegangan yang menggantung di udara. Sebuah perasaan aneh yang menunggu untuk diungkapkan.
Aku menoleh ke samping dan melihatnya. Ryan. Dia berdiri di dekat pintu masuk, sedang berbicara dengan teman-temannya. Sosoknya tinggi dan tegap, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum yang bisa membuat siapa pun merasa nyaman. Entah kenapa, aku merasa ada ikatan di antara kami sejak pertama kali bertemu beberapa bulan lalu. Namun, kami belum pernah benar-benar berbicara lebih dalam.
Ryan adalah pacar dari sahabat terbaikku, Fira. Mereka sudah berpacaran hampir setahun, dan meskipun kami bertiga sering berkumpul, aku merasa ada sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Seperti ada ketegangan tak terlihat di antara aku dan Ryan. Mungkin ini hanya perasaanku saja, pikirku. Namun malam ini, aku merasa aneh, dan rasa itu semakin kuat.
Aku melangkah mendekat ke arah mereka. Fira melihatku dan tersenyum lebar, seperti biasa, sementara Ryan hanya melambaikan tangan tanpa berkata apa-apa. “Hai, Wina! Kenapa senyum-senyum sendiri?” Fira bertanya dengan nada ceria. “Malam ini benar-benar seru, kan?”
Aku mengangguk, meskipun dalam hati aku merasakan sesuatu yang berbeda. “Iya, seru banget, Fi. Banyak teman-teman yang datang. Semoga malam ini nggak ada drama deh,” jawabku sambil tertawa kecil. Fira tersenyum, lalu memegang tangan Ryan, seolah mengingatkan kami bahwa dia ada di sana.
Beberapa menit berlalu, aku dan Fira sibuk bercanda dengan teman-teman lainnya. Namun, entah kenapa aku selalu merasa mataku mencari-cari sosok Ryan di tengah kerumunan. Mungkin dia tidak sadar, atau mungkin dia memang sengaja menghindariku. Tapi setiap kali tatapan kami bertemu, ada sesuatu yang membuat detak jantungku lebih cepat, seperti ada percikan yang sulit aku pahami.
Lalu, tiba-tiba Fira menggamit tanganku dan mengajak berkeliling. “Ayo, Wina, kita ambil foto bareng teman-teman!” katanya penuh semangat. Aku tersenyum dan mengikutinya, berusaha untuk mengalihkan perasaan yang semakin mengganggu itu. Tetapi di tengah keramaian, aku merasakan tatapan Ryan yang tak lepas dariku. Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasa canggung.
Satu jam berlalu, dan pesta semakin meriah. Musik yang dimainkan semakin keras, dan tawa teman-teman semakin riuh. Aku berdiri di dekat meja minuman, menunggu Fira yang sedang berbicara dengan beberapa temannya. Tanpa sadar, Ryan sudah berdiri di sampingku, membuat aku terkejut ketika dia menyapaku dengan suara lembut.
“Hai, Wina. Luar biasa malam ini, ya?”
Aku memandangnya dan tersenyum, meskipun aku merasakan ada sesuatu yang aneh dengan suaranya. Ada ketegangan yang tidak biasa. “Iya, seru banget,” jawabku sambil mencoba bersikap biasa, meski jantungku berdegup lebih cepat. Ryan mendekat sedikit, lebih dekat dari biasanya. Aku bisa mencium aroma parfum segar yang menyelubungi tubuhnya.
“Mungkin kamu nggak tahu, tapi sejak pertama kali kita bertemu, aku selalu merasa ada yang berbeda di antara kita,” Ryan berkata dengan nada pelan, namun cukup jelas di telingaku. Aku terdiam sejenak, bingung harus merespon bagaimana. Suasana di sekeliling kami terasa memudar, seperti hanya ada kami berdua di dunia ini.
“Apa maksudmu?” tanyaku, suaraku hampir berbisik. Tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutku selain kata-kata itu.
Ryan menatapku dengan mata penuh arti. “Aku nggak tahu, Wina. Tapi ada sesuatu dalam dirimu yang selalu menarik perhatian. Aku merasa… kamu berbeda. Lebih dari sekadar sahabat Fira. Aku nggak bisa mengabaikannya, walaupun… aku tahu ini sangat salah.”
Aku terkejut, tubuhku kaku, seolah kata-kata Ryan itu menghantamku begitu keras. Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi perasaan yang mencampur adukkan antara kebingungan dan harapan itu membuatku sulit berpikir jernih.
“Apa kamu tahu apa yang kamu katakan, Ryan? Fira adalah sahabatku. Kamu…” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku tahu Fira adalah segalanya bagiku, dan Ryan adalah pacarnya. Tetapi di sisi lain, aku merasakan sesuatu yang jauh lebih kuat. Apakah aku tergoda dengan kata-kata Ryan? Atau apakah perasaanku memang sudah berubah sejak pertama kali kami bertemu?
Ryan menundukkan kepalanya, seperti menyesali ucapannya. “Maaf, Wina. Aku nggak seharusnya bicara begitu. Aku benar-benar nggak mau membuatmu merasa nggak nyaman. Tapi kadang, aku nggak bisa mengontrol perasaan ini.”
Aku terdiam, merasakan hati yang berat. Aku ingin mengatakan sesuatu yang bisa mengakhiri kebingunganku, tetapi kata-kata itu seolah menghilang begitu saja. Aku hanya bisa menatap Ryan, lalu berjalan menjauh darinya. Aku tidak ingin berpikir lebih jauh tentang apa yang baru saja dia katakan. Malam ini seharusnya tentang kebahagiaan, bukan tentang rasa yang memusingkan hati.
Namun, aku tahu, malam ini adalah awal dari segalanya. Sebuah perasaan yang tak bisa aku hindari, yang entah akan mengarah ke mana. Satu hal yang pasti, sejak pertemuan pertama kami, semuanya telah berubah.
Cerpen Xela, Gadis Pecinta Fashion dan Gaul
Namaku Xela. Seorang gadis yang tidak bisa jauh dari dunia fashion dan pergaulan. Dunia yang penuh warna, penuh gemerlap, dan tentu saja penuh dengan rasa ingin tahu. Aku sering dianggap sebagai gadis yang ‘easy going’, senang dengan hal-hal baru, dan selalu bersemangat menjalani hari-hari bersama teman-teman. Ke mana pun aku pergi, selalu ada tawa dan kebahagiaan yang mengelilingi. Teman-teman bilang aku memiliki kemampuan untuk membuat suasana jadi lebih hidup. Tapi ada satu hal yang kadang terasa kosong dalam hidupku—cinta.
Saat itu, aku sedang duduk di sebuah kafe yang cukup populer di kalangan anak muda. Penuh dengan percakapan riuh dan tawa yang terdengar dari setiap sudut. Aku, yang sudah biasa berada di tengah keramaian, sedang memandang sekeliling sambil menyeruput cappuccino kesukaanku. Rambutku yang panjang tergerai dengan rapi, dan aku baru saja membeli beberapa baju baru yang membuatku merasa lebih percaya diri. Itu adalah bagian dari hidupku—berpenampilan menarik, selalu tampil beda, dan mencari kebahagiaan dalam setiap kesempatan.
Di salah satu meja yang tak jauh dariku, aku melihat sepasang kekasih yang sedang asyik berbicara. Tentu saja, aku tidak terlalu peduli dengan mereka—sebenarnya aku lebih tertarik pada pakaian yang dikenakan oleh wanita di meja itu. Seperti biasa, aku akan menilai gaya seseorang dengan cara yang penuh minat. Tiba-tiba, pandanganku terhenti pada seorang pria yang duduk bersama teman-temannya. Dia sedang tertawa, dan aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang berbeda pada cara dia tertawa. Terlihat natural, tulus. Sesuatu yang jarang kutemui.
Mataku tak bisa berpaling, meskipun aku mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan. Pria itu tampak santai, dengan gaya berpakaian yang simpel namun tetap keren. Dia mengenakan jaket denim biru, kaus putih, dan celana jeans yang sudah sedikit pudar warnanya. Tak ada kesan berlebihan dari penampilannya, namun aku merasa ada daya tarik yang kuat dari dirinya. Penasaran, aku menoleh lagi. Kali ini, matanya bertemu mataku.
Saat itu, rasanya dunia berhenti sejenak. Aku merasa seolah-olah ada kilat yang menyambar. Aku tahu, ini gila. Aku baru saja bertemu dengannya, dan rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Mata kami terkunci dalam diam selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, dan aku sadar, aku tidak bisa berpaling. Entah kenapa, aku merasa tertarik dengan pria ini—lebih dari sekadar penampilannya.
Dia tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke teman-temannya. Sebuah senyum yang penuh arti, dan aku—aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
“Xela, kamu lagi mikirin apa sih?” tanya Mia, sahabatku yang duduk di seberang meja.
Mia adalah sahabat terbaikku. Dia selalu ada untukku dalam segala hal, bahkan ketika aku sedang terjebak dalam kebingunganku. Aku sering bercerita tentang segala hal padanya—termasuk soal percintaan, meskipun aku sendiri belum terlalu serius tentang hal itu. Aku lebih suka menikmati hidupku, bergaul, dan selalu mencoba gaya-gaya fashion yang lagi tren.
Namun kali ini, aku merasa ada yang berbeda. Aku menjelaskan padanya tentang pria yang tadi aku lihat. “Kamu yakin nggak cuma terpikat sama penampilannya aja?” Mia bertanya lagi, matanya menilai.
Aku mengangguk, meskipun aku merasa ragu. Mungkin, aku hanya merasa ada sesuatu yang menarik dari cara dia menatapku. “Mungkin aku cuma penasaran,” jawabku, meskipun aku tidak benar-benar yakin.
Hari itu, aku tidak tahu bahwa pertemuan singkat itu akan mengubah segalanya. Aku tak tahu bahwa dia—pria yang aku lihat beberapa menit yang lalu—akan menjadi seseorang yang begitu penting dalam hidupku, meski aku juga tahu dia adalah seseorang yang terhubung dengan sahabat terdekatku.
Dan malam itu, saat aku pulang, aku memikirkan pria itu lagi. Aku tahu aku harus lebih berhati-hati dengan perasaanku, karena terkadang hati bisa menyesatkan. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan apa yang kurasakan saat itu. Ada getaran halus yang merasuki hatiku, dan aku tahu bahwa hari-hari setelahnya tidak akan sama lagi.
Keesokan harinya, saat aku sedang berjalan ke kampus, aku tidak sengaja bertemu dengan pria itu lagi. Kali ini, dia sedang duduk di bangku taman dekat gerbang kampus. Dia memandang ke arahku, dan aku merasa matanya mengikuti langkahku. Aku tak bisa menahan senyum, dan aku merasa malu untuk beberapa detik. Apakah dia juga merasa ada sesuatu antara kami?
Tak lama setelah itu, aku menyadari ada seseorang yang berjalan menghampiri pria itu. Seorang gadis—temannya, mungkin—yang ternyata mengenakan gaun cantik dan menyapanya dengan hangat. Aku melihat mereka berdua berbicara dengan akrab, dan aku merasa ada sesuatu yang aneh. Kenapa aku merasa cemas begitu? Bukankah ini baru pertemuan pertama kami? Aku mencoba mengabaikan perasaan aneh ini, tetapi tidak bisa. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatku merasa terhubung, namun ada juga sesuatu yang mengganggu hati kecilku.
Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak bisa menahan diri untuk terus berpikir tentangnya. Dan aku yakin, pertemuan ini hanya permulaan dari cerita yang lebih rumit.